Kamis, 26 Juni 2008

BURUH TANI DI LADANG SENDIRI

Terik mentari menyengat tubuh, kala seorang perempuan baya berjalan menapaki sawah. Ia tak terlihat kepanasan karena di kepalanya terpasang topi jerami. Dengan membawa seikat batang jagung di punggung dan sabit di tangannya, ia menuruni pematang sawah. Niatnya mau istirahat sebentar sambil menikmati makan siang di rumah.
Sawah itu, memang berada sekitar satu meter lebih tinggi dari badan jalan. Untuk menaikinya, ada sebuah lereng kecil yang menyamping ke kiri. Agak sempit dan sedikit curam. Namun perempuan itu telah terbiasa, karena tidak ada jalan lain menuju sawahya.
Dia adalah Juma’iyah. Dengan menurunkan seikat batang jagung di punggungnya, ia pun bercerita.
“Panen jagung musim ini agak rugi, tapi masih lumayan nggak kayak tahun sebelumnya waktu menanam bibit Pioneer” keluhnya kepada saya
Juma’iyah memang pernah menanam benih Pioneer. Namun hal ini dilakukannnya pada tahun 1987-2006. Mereka enggan untuk memanam benih jagung Pioneer lagi, karena merasa tidak diuntungkan dan terjadinya kasus penahanan seorang petani ke penjara, dikarenakan menyimpan benih jagung Pioneer yang ditanamnya.
“Saya tidak mau lagi menanam bibit jagung Pioneer, karena rugi. Jagungnya kecil-kecil. Saya juga takut kejadian pak Zaenal menantu pak Sa’i akan menimpa saya.” Tahun ini, ia menanam benih jagung lokal, sebagaimana petani lain di desa Sukoanyar.
Sa’i adalah salah satu petani kaya yang disegani di desa itu. Tubuhnya telah renta, giginya ompong dimakan usia, wajahnya keriput, dan kulitnya hitam karena setiap hari tersengat terik matahari. Walau usia telah lanjut, ia tak pernah lelah untuk mengurus dan mengolah sawahnya.
Siang itu, ia pergi ke sawah bersama istrinya. Tak berbeda dengan petani lain, ia membawa sabit di tangan. Istrinya pun membawa cangkul berukuran kecil. “Hanya ingin melihat tanaman jagung yang barusan tumbuh, mbak, dan mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar jagung” ujar Sa’i sambil melepaskan topi bundarnya.
Di tahun 1980-an, dia menjadi ketua kelompok tani. Saat itu ia mempunyai staf, namanya In’am. Mereka berdua, bekerja sama mengurus organisasi kelompok tani di desanya. Menurut ceritanya, sekitar dua puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1987, sebuah perusahaan benih jagung Hibrida masuk ke desa. Perusahaan itu bernama Pioneer. Perusahan meminta Sa’i membujuk petani agar mau bekerja sama.
Awal musim tanam jagung di tahun itu pun tiba. Sa’i beserta petani lain menanam benih jagung hibrida Pioneer. Hasil panen petani lumayan untung. Perusahaan juga mendapatkan apa yang diinginkan. Produktifitas benih jangung hibrida semakin meningkat.
Melihat kedua belah pihak saling diuntungkan. Kerja sama pun berlanjut. Hubungan antara perusahaan dan petani desa Sukoanyar juga terjalin di tahun 1988. Sama dengan tahun sebelumnya, kerja sama berjalan cukup mulus, hingga akhirnya di tahun awal musim tanam tahun 1989, perusahaan tidak menampakkan hidung belangnya. Perusahaan datang terlambat. Petani sudah terlanjur menanam benih jagung lokal.
Sebagaimana petani lain di desanya, Sa’i, mengolah sawahnya, memberi pupuk, menyemprot hama dengan pestisida, hingga mencabuti rumput yang mengganggu. Semua dilakukan dengan kerja keras dan biaya sendiri. Panen pun tiba, mereka menuai keuntungan yang berlimpah. Walau ada sebagian petani yang merasa hasil panennya sedikit rugi.
Sa’i di kenal sebagai petani yang ulet di desanya. Dia tak pernah pantang meyerah menggarap sawah. Walau terkadang ada petani lain yang sudah merasa lelah dan rugi menggarap sawah, namun ia masih bersemangat, hingga akhirnya ia berhasil dibandingkan dengan petani lain. Keuletan dan keberhasilannya lah, yang membuat Sa’i dipercaya oleh perusahaan Pioneer untuk mengajak petani agar mau bekerja sama lagi, menanam benih jagung hibrida Pioneer.
Tak beselang lama, perusahaan kembali datang.
“Pada tahun 1990 Pioneer datang, petani pun menanam benih jagung hibrida Pioneer lagi,” kenang Sa’i dengan sedikit tertawa.
Kerja sama berlanjut setiap tahun. Sebagaimana petani lain di desa itu, waktu musim tanam, Sa’i tak lagi menanam jagung lokal, tapi menanam benih jagung hibrida Pioneer. Dia bekerja keras tanpa mengeluh, walau hasil penennya harus diserahkan kepada pihak perusahaan tanpa sisa sedikitpun dan terkadang juga rugi.
Hingga akhirnya, di tahun 2004, Sa’i dan petani lain merasa kerja sama itu hanya menguntungkan pihak perusahaan.
“Benih jagung kecil-kecil, sehingga hasil panen sangat sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil itu tidak sebanding dengan kerja keras selama musim tanam. Perawatan harus lebih ekstra, biaya perawatan pun sangat besar sehingga kalau tidak benar-benar kerja keras, maka tidak akan mendapatkan apa-apa,” ujar Sa’i yang dibenarkan istrinya.
Dengan pengucapan yang tak lagi fasih, ia menambahkan “Kami harus mitani (membuang hama satu persatu), jika ingin hasil panen yang memuaskan.”
Hal senada juga dinyatakan oleh istri Zaenal. Ia harus rela merogoh sakunya untuk membeli pupuk dan pestisida tambahan.
“Pinjaman pupuk dan pestisida hanya bisa dipakai satu kali, itu pun untuk pemupukan awal. Yang kedua dan seterusnya saya harus beli sendiri,” ungkapnya.
Kerugian telah dirasakan oleh Sa’i dan petani lain di desa itu. Mereka tidak mendapatkan kuntungan dari hasil panennya. Walau kerja keras selama musim tanam telah dilakukan, biaya perawatan tanaman telah dikeluarkan, dan biaya pinjaman telah dilunasi, namun mereka hanya mendapatkan hasil panen berupa uang yang dipotong bunga pinjaman. Perusahaan tidak mau tahu kesulitan petani selama musim tanam. Perusahaan hanya menginginkan pinjaman modal dan bunganya dikembalikan serta hasil panen diserahkan tanpa sisa sedikitpun.
PT Pioneer Hibrida Indonesia adalah salah satu perusahaan yang memproduksi benih jagung hibrida di Indonesia. Namun sejak 1999, PT DuPont Indonesia telah mengakuisisi PT Pioneer Hibrida Indonesia dari Pioneer Hi-Bred International Inc (DuPont News Online).
Perusahaan itu tersebar luas di seluruh penjuru negeri, mulai dari sabang hingga merauke. Di Jawa Timur misalnya, Malang adalah sasaran empuk bagi Pioneer. Di Malang, perusahaan itu bertempat di kecamatan Gondanglegi. Perusahaan juga bekerja sama dengan petani dan melakukan pembenihan di sana, namun pembenihan kurang berhasil. Selain di Gondanglegi, perusahaan juga melakukan pembenihan di desa Sukoanyar. Di desa itu, perusahaan Pioneer berhasil meningkatkan produktifitas benih hibridanya.
Desa Sukoanyar terletak di sebelah selatan kota Malang. Tepatnya di antara desa Kidangbang dan desa Wajak , kecamatan Wajak. Desa seluas 439.2 Km2 (BPS, 2003), masih menyisakan lahan pertanian yang cukup luas. Belum ada bangunan mencakar langit atau pun pabrik. Yang terlihat hanyalah bangunan rumah, sebagai tempat tinggal warga. Kanan-kiri jalan raya masih terhampar sawah, meskipun beberapa rumah telah berjejer menyelinginya. Tanaman jagung, tebu dan polowijo tumbuh subur diatasnya. Di desa itu juga, terdapat gang-gang. Setiap gang terdapat bangunan rumah yang berhalaman luas. Di samping kanan kiri rumah masih menyisakan lading bercocok tanam.
Tanah desa Sukoanyar tergolong vulkanik. Sawah-sawahnya dialiri dengan irigasi. Dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya, Sukoanyar lebih subur dan cocok untuk lahan pertanian. Tak heran jika Pioneer datang ke desa tersebut.
Sejak tahun 1987, Pioneer bertengger di desa itu, menawarkan benihnya kepada petani agar ditanam. Namun, ketika tahun 2005, petani Sukoanyar tak mau lagi menerima kerugian. Mereka pun akhirnya tidak menanam benih jagung hibrida yang ditawarkan oleh perusahaan Pioneer.
Petani juga merasa perusahaan tidak pernah memberikan kontribusi apapun. Perusahaan hanya mengeruk keuntungan tanpa peduli dengan kesejahteraan petani. Bahkan perusahaan tidak mau peduli kesulitan dan kerugian yang di derita. Perusahaan tak mau tahu apakah kerugian berasal dari kesalahan petani atau tidak.
“Walau ada bencana sekalipun, Pioneer tidak mau tahu,” ungkap istri Zaenal.
Petani merasa, perusahaan sudah berubah. Tidak lagi seperti di tahun 1987. Perusahaan tak lagi memberikan penyuluhan lapangan. Mereka hanya akan datang saat panen tiba. Benih yang diberikan pun berubah menjadi kecil-kecil, sehingga hasil panen petani sedikit.
Pioneer tak mau kehilangan akal, ia berusaha agar petani mau bekerja sama lagi.
“Pioneer dapat masuk lagi ke desa Sukoanyar dengan janji memperbaiki sarana irigasi,” ungkap Sunu (Bendahara Kelompok Tani saat ini).
Tentu saja petani senang. Akhirnya di tahun 2006, Pioneer kembali bekerja sama dengan petani. Mereka menanam benih jagung hibrida lagi. Namun kerja sama itu tidak berlangsung lama. Di akhir tahun 2006, Pioneer hengkang dari desa Sukoanyar. Petani sudah dibuat kapok. Mereka tidak mau lagi berurusan dengan perusahaan itu. Hal ini dikarenakan Pioneer memenjarakan Zaenal, petani yang menyimpan benih jagung yang ditanamnya sendiri.
Ketika kelompok tani telah mengumpulkan petani, pegawai perusahaan pun memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara menanam benih jagung hibrida Pioneer. Yaitu dengan jarak antar benih sampai 65 x 16 cm dan dengan aturan 1-4-1 (tiap empat larik untuk betina dan diisi satu larik untuk jantan).
Pioneer juga menjelaskan larangan menyimpan hasil panen, walaupun hasil jerih payah petani sendiri. Petani tidak boleh mengambil hasil panen sedikit pun. Jika itu terjadi, maka penjara adalah sangsinya, sebagaimana kisah Zaenal.
Larangan lainnya adalah isolasi. Petani boleh menanam benih jagung hibrida di sawhnya, asalkan di lahan sekitarnya tidak ditanami benih jagung lain selain benih jagung hibrida Pioneer. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi isolasi. Jika isolasi terjadi, maka petani yang menanam benih jagung Pioneer tidak akan mendapatkan hasil panen yang maksimal. Bibit tersebut, akan mengalami persilangan, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan Pioeneer. Petani akan rugi, karena hasilnya tidak sebanding dengan hasil jerih payahnya selama musim tanam.
Sebagaimana yang tejadi pada Saikhu, petani dari Gondanglegi yang menanam jagung hibrida Pioneer. Selain itu, ia juga berusaha mempertemukan para petani dengan pihak perusahaan. Pada saat musim tanam, jagung hibrida Pioneer terisolasi dengan jagung lokal. Jagung yang ditanamnya pun mengalami persilangan dan akhirnya hasil panen tidak sesuai dengan yang diharapakan perusahaan. Meskipun dia dan petani lain telah bekerja keras, namun hasil panen yang dihargai dengan uang itu tak sebanding dengan jerih payahnya selama musim tanam. Saikhu pun tak diberi gaji selama ia bekerja untuk Perusahaan. Dia lah yang mngusahan agar petani mau menanam benih jagung hibrida Pioneer. Namun kerja keras salama satahun tidak diupah dengan semestinya.
“Saya rugi, hanya diberi 2500 dalam setahun,” keluhnya dengan sedikit kesal.
Ketentuan lainnya adalah pengadaan bunga sebanyak 4% setiap empat bulan dan penentuan harga. Ketentuan harga pupuk, obat pestisida yang dipinjami perusahaan, dan bunga hasil panen adalah hak pioneer. Perusahaan juga yang menentukan harga hasil panen. Harga itu tidak sama dengan harga pasar. Di tahun 2004 misalnya, setiap satu glondong jagung dihargai Rp. 1600. Meskpiun harga lebih tinggi dari harga pasar, namun besarnya harga tak sebanding dengan besarnya kerugian yang ditanggung dengan membayar pinjaman modal, besarnya bunga pinjaman, dan biaya perawatan tambahan lainnya.
“Saya pernah ko’, menanam dua petak sawah. Saat itu mendapatkan hasil panen tapi dipotong utang, bunga utang. Saya cuma mendapat balikan tiga ribu rupiah,”
Kesepakatan-kesepakatan di atas adalah sebagian dari isi surat kontrak kerja sama. Pembuat surat kontrak kerja sama adalah pihak perusahaan Pioneer. Petani hanya sebagai pendengar yang tidak mengerti arti surat kontrak kerja sama.
“Para petani saat itu hanya diam dan mengiyakan apa yang dikatakan Pioneer” ujar Jumaiyah.
Sama hal nya yang diungkap oleh istri Zaenal “Kontrak tertulis itu ada, namun saya tidak membaca secara langsung. Yang tahu ya ketua Kelompok Tani. Dia yang mewakili para petani melihat kontrak itu, begitu juga daftar hadirnya, dia yang mewakili tanda tangan.”
Para petani tidak menanyakan secara detail isi kontark perjanjiana itu, bahkan mereka tidak tahu bagaimana bentuk.nya. yang mengetahui hanya pihak birokrasi desa, dan ketua kemolok tani beserta stafnya dan tentu saja pihak perusahaan.
Ketika disingung soal surat kontrak kerja sama, Sunoto selaku Ketua kelompok tani mengatakan bahwa surat itu berada di tangan Sunu. Sunu adalah bendahara kelompk tani. Namun pernyataan Sunoto ditepis Sunu. “Saya hanya menangani arsip-arsip pembayaran. Yang mengerti surat itu pak Sunoto,” sangkalnya.
Terkait dengan itu, pihak perusahaan Pioneer tidak memberikan komentar apapun. “Kami masih menunggu jawaban dari kantor pusat Jakarta, jika ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu”, jawab Fajar selaku bagian administarsi perusahaan yang bertempat di Gondanglegi. Namun, ketika dihubungi kembali, ia pun memberikan tanggapan dan jawabn yang sama.



Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.