Minggu, 22 Juni 2008

MERAYAKAN ABNORMALITAS

DI sebuah gang, di bawah naungan kegelapan malam dan kepekatan kabut, sorang pemuda berjalan sendirian menyusuri jalan raya beraspal yang mengarah ke Songgoriti, melintasi padang rumput, dan barisan pohon pinus. Pohon cemara yang berdiri tegak di balik tembok dan gerbang besi yang memagari pekarangan rumah di kiri jalan, menimbulkan bayangan-bayangan gelap.

Angin bertiup kencang, dingin menyapu daerah lembah peggunungan. Embun memercik di antara pepohonan yang rindang, serta jalan yang sepi. Dalam langkah panjangnya dia menggigil di balik balutan jaket tipis dan celana panjang. Tangannya sangat kesusahan dengan buntalan kecil yang dibungkus kain sarung. Dia menggeserkan buntalan itu ke samping, kadang di siku, kadang di bagian tubuh lainnya. Dia berbuat begitu agar dapat memasukan kedua tangannya ke saku.

Tangannya kaku kedinginan. Dia mempercepat langkahnya, sesekali ia melayangkan pandangannya ke kanan jalan. Di sebelah kanan jalan terdapat pohon kelapa. Alang-alang yang sebagian sudah mengering. Rumput-rumpu hijau menyembul di pematang sawah. Sebuah desa dengan rumah-rumah yang beratap seragam tampak membayang di depannya.

Setelah melewati sepuluh rumah, ia tiba di sebuah gang kecil, di depan hotel Arumdalu. Dari tempat ia berdiri terlihat hamparan rumput di pekarangan tampak hijau kebiruan dan berkilau-kilau di bawah siraman sinar lampu; di sana-sini tumbuh pohon cemara. Jalan mobil berlapis kerikil yang menuju depan pintu hotel diapit pagar putih tempat mawar-mawar merah merambat. Sebuah bus pariwisata dan tujuh mobil pribadi diparkir di depan, sementara ekor bus berwarna krem tampak menyembul dari garasi hotel.

Dari situ pemuda itu terus menyusuri gang sempit tepat di depan hotel. Berhenti di depan rumah di deretan kedua. Dinding yang retak di sana-sini dicat biru muda, genting di atap banyak yang pecah. Rumput liar di pekarangan rumah di biarkan begitu saja. Daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati dibiarkan bergelantungan.

Tepat di samping rumah terdapat sebuah gubuk, disangga oleh delapan buah kayu. Dua penyangga depan telihat paling mencolok karena di ukir dengan pola-pola yang menyerupai ular naga. Sekilas cahaya keluar dari jendela yang berjelaga, dua lampu usang digantung di luar, di bangunan yang kayu penyangganya telah menghitam dengan penampang kuda-kuda yang sangat kokoh. Gubuk itu berdinding papan, beratap seng, dan beralaskan bambu yang dirangkai dengan utasan tali. Alas itu diletakan di atas tumpukan kayu yang tingginya mencampai lima puluh centimeter dari permukaan tanah, sehingga jika hujan turun, tidak terkena genangan air.

Dari tempat saya berdiri, terlihat pemuda itu sedang melihat kearah saya dari balik jendela kaca. Ia pun datang menghampiri.
“Cari villa mas, atau mau lihat-lihat dulu, nanti kalau tidak cocok saya carikan di tempat lain?” tanyanya kepada saya.
“Saya mau lihat-lihat dulu.”
“Ya tidak apa-apa” kami berjalan menuju rumah itu

Empat lampu neon menerangi ruangan yang terisi satu ruangan tamu, ruangan tengah, dapur, dan dua kamar tidur. Di ruangan tamu terdapat empat kursi sofa dan satu meja. Di kamar depan, ada satu lemari, sebuh meja dan dua kursi kayu tua. Springbad, bantal, dan selimut yang tersusun rapi. Bekas rokok yang dimatikan menodai dinding yang dicat kuning terang. Pakaian usang tergantung pada sebuah paku, sebuah guci diletakan di lantai dekat lemari. Selain itu, tidak ada yang lain. Sedangkan kamar lainya hanya terdapat springbad, bantal, dan selimut. Masing-masing kamar mempunyai kamar mandi.

Sebuah ruangan yang cukup luas, dilengkapi sebuah televisi 21 inci, DVD Player beserta kasetnya. Karpet berwarna hijau dengan ukuran panjang empat meter dan lebar dua meter terhampar di atas keramik. Dinding dihiasi dengan berbagai poster. Tak ada ornamen selain sebuah kotak karton merah di atas TV, dan burung-burungan di piringan jam yang telah menunjukan pukul 22.00, detak bunyinya seperti mengisi kehampaan plafon, di ruangan tengah.
Pemuda itu terus mengikuti saya, melihat-lihat kondisi rumah.
“Berapa, Lima puluh ribu ya?” tanya saya.
Setelah berpikir sejenak ia pun mengaggukan kepala tanda setuju.

Pemuda itu menggeliat, menarik kedua tanggannya di antara rambut pirang yang berjatuhan di dahi dan kuduknya. Tubuhnya termasuk kurus untuk anak berusia 19 tahun, badanya ringkih, lengannya mengkilap, sementara mukanya pucat. Ia menguap untuk terakhir kalinya, seketika bau minuman keras meyebar dari mulutnya yang agak besar. Matanya berair karena menahan kantuk, raut mukanya sendu, ia kelihatan sembab dan kosong karena kelelahan. Ia tertidur pulas.
****
Waktu telah menujukan pukul 07.00. Saya memandang ke luar melalui jendela kamar. Pagi yang indah. Matahari sudah muncul dari peraduannya. Namun dingin masih menyelemuti kawasan ini. Jauh di atas, burung-burung melayang mengikuti arus angin. Dengan sayap-sayap mereka yang terentang lebar. Salah satu burung tiba-tiba menukik tajam dengan sayap terlipat di sisi tubuh, menerjang permukaan ilalang, lalu terbang lagi sambil membawa belalang di paruhnya.
Dari kamar sebelah, terdengar suara kamar terbuka. Pemuda itu tampak telah beranjak dari tempat tidurnya. Sesekali ia menggeliat untuk mengendorkan otot-ototnya, sambil berjalan menuju ruangan tamu dan berbaring di atas sofa.

Pemuda itu bernama Hermawan, sejak kecil ia sudah bertempat tinggal di Songgoriti, di asuh oleh kakek dan neneknya, sedangkan orang tuanya berada di daerah Malang selatan. Sekolah Dasar hingga Menengah ia tamatkan di salah satu sekolah di kota Batu. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas ia sudah bergelut dalam menyewakan villa.

Setiap malam ia selalu mangkal di gang-gang sempit, tepian jalan, dan gerbang masuk kawasan Songgoriti, mencari tetamu yang ingin meyewa villa.

“Sebenarnya ada niatan untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi tapi lagi-lagi terbentur oleh biaya, tidak menjadi beban orang tua bagi saya sudah untung”

Untuk lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, mulanya ia bekerja sebagai penjaga villa, setiap bulannya dia dapat mengantongi uang Rp 300 ribu. Belum genap enam bulan sang empu villa pindah kerja ke Jakarta. Hermawan menawarkan diri untuk menyewa rumah tersebut. Akhirnya rumah itu ia sewa dengan harga enam juta pertahunnya, diangsur tiga kali selama enam bulan. Kini sudah dua tahun berlalu ia menyewa. Dalam kurun dua tahun Hermawan bisa mengantongi uang kurang lebih dua juta perbulannya.

Bagi Hermawan, menyewakan villa adalah pekerjaan yang menjanjikan. Kini ia sudah mampu membiayai hidupnya sendiri, selain itu ia juga sering membantu kebutuhan-kebutuhan kedua orang tua. Menyekolahkan adik-adiknya. Sisanya ia tabung.

****
DI jantung desa Songgoriti terdapat sebuah pasar, berjarak 15 meter dari rumah Hermawan. Tujuh meter dari Hotel Arum Dalu. Terbelah oleh jalan yang terbagi menjadi empat, masing-masing mempunyai lebar yang sama. Dikelilingi oleh lapak-lapak pedagang kaki lima, penjual aneka ragam bunga, bermacam-macam hewan peliharaan, makanan ternak, kerajinan tangan, dan pakian jadi.

Pasar berbentuk memanjang, kira-kira 15 x 10 meter, dibelah oleh jalan selebar 1 meter. Berjajar dan berdempetan lapak-lapak pedagang yang menjual aneka macam cindera mata, mulai dari kain bordiran, perlengkapan sembahyang, taplak meja, kerajinana tangan, dan boneka. Buah-buahan, sayur-sayuran, dan bumbu masak terletak paling unjung pasar.

Dari pusat pembelajaan itu, kita bisa menyaksikan secara langsung kehidupan modern dan konservatif atau aliran radikal dan moderat berbaur menjadi satu, yang tidak peduli antara satu dengan yang lain. Mengunjungi pasar Songgoriti, biasanya bagi para wisatawan sebagai kunjungan gratis setelah mengunjungi tempat-tempat wisata di Songgoriti.

Jalan yang berada di depan pasar adalah jalan utama yang digunakan untuk keluar masuknya kendaraan yang menju kawasan pemandian. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada dua toko terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi.

Sekitar 5 meter dari warung kopi, sebuah lahan yang menjorok tujuh meter ke dalam di gunakan sebagai lahan parkir. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gardu. Dua orang polisi, berambut pendek, berkaca mata hitam, sedang asik menikmati kopi, sambil memantau lalu lintas yang mulai dipadati oleh pengunjung.

Tiga bus pariwisata datang dari arah barat, salah satu polisi itu mengangkat tangannya sambil menunjuk ke tempat parkir. Sopir bus itu memarkirkan kendaraanya. Kepala bus mengahadap ke arah pintu keluar dari Songgoriti. Satu demi satu para wisatawan turun.

Seketika, Songgoriti menjadi lautan manusia. Sebagian wisatawan berhamburan menuju ke tempat pemandian, sebagian lainnya melihat-lihat aneka macam ragam bunga.

Kian siang kawasan ini kian ramai. Semua hilir-mudik. Riuh. Pedagang kaki lima yang menjual bakso ikut melengkapi teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangan
Para wisatawan yang mengendarai sepeda motor juga mulai berdatangan. Kebanyakan dari mereka pasangan muda-mudi. Mulai menyesaki area parkir yang tempatnya berada di depan pasar.

Sebagai tempat wisata, Songgoriti sangat di gemari oleh pengunjung. Apa lagi di akhir pekan. Pengunjung dari berbagai daerah hampir tidak pernah melewatkan liburan mereka di Songgoriti.
Karena banyaknya pengunjung, hotel-hotel yang berada di sekitar wisata tidak mampu menampung tetamu yang ingin bermalam.

“Waktu zamannya lurah Samat. Masyarakat sekitar Songgoriti di anjurkan menjadikan rumah mereka sebagai penginapan atau villa, untuk menampung para wisatawan yang berkunjung. Lama kelamaan mayoritas masyarakat Songgoriti menjadikan rumah mereka sebagai villa. Sehingga para tetamu yang ingin bermalam tidak khawatir lagi seandainya hotel-hotel yang ada di sekitar Songgoriti sudah penuh. Mereka bisa meyewa rumah penduduk sebagai tempat menginap” ujar Supriadji, ketua RW Songgoriti.

Sejak tahun 1980-an masyarakat songgoriti telah menjadikan rumah mereka sebagai villa, namun belum terlalu banyak seperti saat ini. Tahun 1985 sampai 1990-an ada sekitar 10-20 rumah. Tipikal kamar-kamar di rumah pelesiran Songgoriti memang tak jauh dari gambaran petak-petak kecil, yang sebagian di antaranya berdinding anyaman bambu. Ranjang kecil. Sumur tanpa dinding.

Pada awal tahun 1980-an mayoritas masyarakat Songgoriti menggantungkan kebutuhan sehari-hari mereka dengan bertani dan berternak. Menyewakan villa adalah pendapatan sampingan bagi mereka. Namun, dari setiap tahun terjadi pergeseran, hasil bertani dan berternak tidak semakin menguntungkan.

“Hasil dari bercocok tanam kurang begitu bagus, dari berternak biaya oprasionalnya terlalu tinggi. Sedangkan mulai tahun 1990-an sampai pasca reformasi kebutuhan sembako, kubutuhan manusia paling pokok mulai mengalami kenaikan. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan pendapatan untuk mensejahterahkan masyarakat. Akhirnya, masyarakat sepakat untuk mendirikan rumah sewa di mana tatanan rumah sewa itu tidak mengurangi kesejukan alam, tidak mengurangi nilai religius, menerima tamu siapa saja yang bertujuan untuk menikmati nuansa di Songgoriti. Karena Songgoriti itu hawanya sejuk, bertempat di dataran tinggi, dan letak geografisnya berada di lembah lereng pegunungan, serta di sini juga sudah punya nama, orang Jakarta atau Jawa Tengah pasti kenal Songgoriti. Ini merupakan daya tarik untuk di jadikan kawasan wisata” ujar Titut, ketua paguyuban villa Songgoriti

Kini sembilan puluh persen masyarakat Songgoriti menyewkan villa, sedangkan sepuluh persen lainnya berdagang. Dari tahun 1995 sampai 2008 berkembang menjadi 200 villa. Dengan catatan ada kesepakatan harga, ada paguyuban, ada ketetapan bersama dalam memiliki villa. “Jadi ada aturan main semaksimal mungkin supaya kenyamanan tamu yang ada di Songgoriti betul-betul dapat dipenuhi dan masyarakat yang mempunyai villa tersebut dapat menuntut jika tamu berbuat di luar batas, yang berhubungan dengan KUHP” tambah Titut

“Wisata, biasanya sangat dekat sekali dengan pelacuran. Bagaimana dengan di Songgoriti?” tanya saya

“Untuk menyiasati ukuran pariwisata. Pariwisata itu tidak bisa dikatakan putih, pariwisata itu abu-abu. Di dalam mengelola usaha pariwisata yang asasnya adalah wisata keluarga, kita mempunyai kesepakatan bersama. Berebeda dengan di Tretes, kalau di Tretes itu memang di setiap villa di sediakan pramuria atau PSK. Tapi kalau di Songgoriti tidak sama sekali. Dari tahun 1990-an sampai sekarang kita selalu mengadakan pengerbekan. Anak perempuan menyewa disini kalau malam cari obyek, kita usir, tangkap dan kita kasihkan ke aparat keamanan, supaya wisata yang nuansanya keluarga ini tetap terjaga karena kalau tidak hanya mengejar keutungan hanya sekali dengan menyediakan perempuan saya jamin satu tahun sudah tidak laku. Karena orang yang mau ke songgoriti nanti takut jangan-jangan suaminya di gangu orang.”

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Ketua paguyuban, RW, Satuan polisi PP, pihak pariwisata, dan masyarkat setempat merumuskan beberapa peraturan. Salah satunya melarang perempuan yang menyewa mencari obyekan. Melarang anak yang memakai seragam sekolah meyewa villa, jika ketahuan masuk kamar dan pemilik rumah memberikan izin untuk menyewa maka keduanya kena denda sebelum dilaporkan ke polisi.

****
Tak jauh dari rumah Titut yang tembok luarnya didominasi cat biru, duduk beberapa pemuda sambil merokok di sebuah gardu yang diapit oleh warung dan jalan beraspal yang menuju ke gang-gang di kanan-kiri jalan. Salah satu mereka bernama Rudi, ia menghampiri kendaraan-kendaraan pribadi yang parkir di depan toko untuk menjajakan villa.

Setiap hari Rudi mangkal di gardu itu bersama teman-temannya. Sudah lima tahun ia menjalani profesi sebagai penghubung. Target mereka adalah para wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Songgoriti. Jika mendapat tamu yang ingin menyewa, ia langsung membawa ke sejumlah villa yang berderet di kiri jalan, rumah-rumah beton berjajar, masing-masing mempunyai papan nama yang berbeda-beda semuanya bertuliskan “disewakan” tepatnya di jalan Rambutan.

Para tamu yang ingin meyewa di bebaskan untuk memilih villa yang ingin disewa. Setelah cocok, ia langsung memanggil pemilik villa untuk tawar-menawar harga. Para pemilik villa menawarkan dengan harga yang tinggi kepada peyewa jika ia memakai jasa penghubung. Karena pemilik villa harus memberikan komisi sebesar dua puluh persen kepada penghubung, seperti Rudi.

Muka-muka lama yang sering menyewa villa tentu saja tidak membutuhkan jasa penghubung. Mereka langsung menuju tempat, di mana mereka sering menyewa. Tak heran jika pemilik villa dan penyewa saling mengenal dan terlihat akrab. Hanya perempuan yang baru pertama kali menginap bersama pasangannya saja yang terlihat risih dan malu.

Kanan jalan sebuah gang yang dihiasi dengan tanaman bunga, patung harimau, kolam ikan yang berukuran 1 x 1 meter. Gang itu juga disesaki oleh perumahan warga yang dijadikan villa. Bangunan bertingkat dua menghadap ke jalan raya, tertuliskan “Pondok Rahayu disewakan” yang lokasinya dekat gang terlihat paling mencolok.

Dari rumah itu, Pasangan muda-mudi menuruni tangga sambil berjinjit. Perempuan itu mengenakan celana putih dan baju berwarna merah jambu, serta sepatu sandal tanpa kaus kaki. Ujung-ujnug rambutnya tampak pucat karena sinar matahari dan warna kulitnya menjurus sawo matang. Sedangkan laki-laki itu perawakannya seperti petinju, perutnya rata, dan pundaknya lebar. Mereka saling bercengkrama. Pasangan muda-mudi itu tidak menghiraukan walaupun beberapa pasang mata sedang tertuju ke arah mereka.

Pemandangan yang sama terdapat di villa Wisata Alam, letaknya tepat di depan gedung pertemuan yang biasa digunkan sebagai tempat pengajian oleh masyarakat setempat. Pintunya terbuka lebar. Pasangan muda-mudi sedang bermesraan. Sesekali tawa manja perempuan itu berderai terdengar jelas dari tepi jalan.

Para pemuda yang sedang menjajakan villa mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara. Mereka hanya tersenyum. Seakan-akan telah terbiasa. “Namanya juga tempat wisata, di mana-mana kondisinya pasti sama, terserah mereka mau melakukan apa saja” ujar Rudi
Tiba-tiba saya terbesit dengan peraturan-peraturan yang diungkapkan oleh ketua paguyuban villa Songgoriti.

Menurut Rudi para tetamu yang menyewa villa hampir dipastikan berpasang-pasangan. Karena di sini tidak boleh menyediakan perempuan penghibur. Songgoriti hanya menyediakan tempat berupa villa. Untuk menyewa villa persyaratannya hanya meninggalkan KTP sebagai jaminan. Dari KTP itulah ia bisa mengenali nama, asal, dan status. Kebanyakan dari mereka belum menikah.

“Seandainya kami menolak pasangan belum memiliki status yang jelas untuk menyewa villa, terus yang mau meyewa villa itu siapa? Karena kebanyakan yang menyewa villa di sini itu mereka-mereka yang belum menikah. Sedangkan pendapatan utama masyarakat dari penyewaan villa”
Rudi juga mengatakan bahwa pemilik villa tidak terlalu memikirkan apakah mereka sudah menikah apa belum. “Sempat merasa bersalah juga sih, tapi itu tergantung cara kita menilainya. Agama memang melarang, tapi dari segi usaha dan materi kita tidak ada masalah”

Sebagai kawasan villa, Songgoriti sangat terbuka bagi siapa saja. Itulah sebabnya Songgoriti menjadi kawasan yang paling digemari oleh banyak wisatawan. Keterbukaan masyarakat rupanya menjadi ladang subur bagi para penyewa villa. Mereka bebas merayakan kesenangan masing-masing. Tidak ada yang merassa terganggu.

Tidak jauh dari gang itu. Terdapat sebuah masjid, di bagian atas, luar maupun dalam, dilapisi marmer. Sementara semua tiang masjid berbentuk hiasan bunga, sedangkan bagian bawah tiang masjid itu bergambar hiasan tangkai pepohonan. Tidak banyak hiasan kaligrafi seperti masjid pada umumnya. Lantai masjid juga terbuat dari marmer. Pada siang hari pantulan sinar matahari dari lantai masjid itu sangat kentara dan menyilaukan mata.

Kegiatan-kegiatan keagamaan diadakan setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu, terbagi atas kegiatan anak-anak dan remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. “Hari sabtu dan Minggu masyarakat di sini sibuk melayani tetamu jadi tidak ada kegiatan sama sekali.” ungkap Manan, salah satu pengurus masjid.

Tak mudah bagi Manan untuk mengangkat kembali pamor masyarakat Songgoriti yang religius. Bangunan-bangunan mentereng telah lama mengepung masjid. Di kanan-kiri berdiri Villa-villa bersusun tiga lantai.

Suasananya tidak jauh berbeda dengan gang Rambutan dan gang Macan. Villa-villa yang disewakan juga menjadi tempat favorit bagi pengunjung yang berpasang-pasangan.

“Ya...paling tidak yang hitam itu menjadi abu-abu, kalau mau dijadikan putih sudah tidak mungkin” ujar Manan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sebagai pengurus masjid Manan juga merasa risih dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Menurut Manan Songgoriti adalah tempat kotor “Kami sadar apa yang kami lakukan di sini adalah perbuatan yang tercela. Karena, kami memberikan fasilitas bagi orang-orang yang mau melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Tapi kami berusaha untuk terus berperasangka baik kepada semua tamu”

Sekarang yang menjadi garapan utama Manan dan pengurus masjid lainnya adalah anak-anak sekitar. Karena setiap hari mereka disuguhi pemandangan-pemandangan yang tidak layak dilihat oleh mereka.

Itulah sebabnya warga membangun Taman Pendidikan Al-quran, 100 meter dari masjid. Ada dua lantai dan menghabiskan dana Rp. 140 juta, belum termasuk upah tenaga kerja. Semuanya dari swadaya masyarakat. Sekarang muridnya sudah mencapai kurang lebih 150 anak.

Dengan menyewakan villa perekonomian masyarakat Songgoriti membaik dibandingkan tahun-tahun dulu. Dimana pendapatan utama mereka masih bergantung pada sektor pertanian dan perternakan. Kini mereka dapat membangun fasilitas-fasiltas umum seperi jalan, TPA, dan masjid.
****
Ketika saya datang, Hermawan sedang memotongi daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati. Membersihkan bunga-bunga dari tumbuhan-tumbuhan liar. Dia bertelanjang kaki serta mengnakan celana jins yang dipotong dan berbaju kaos tanpa lengan. Sambil berlutut ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di antara tanaman tomat, lalu membuang semuanya ke dalama ember. Wajahnya bermandikan keringat. Setelah penuh ia melemparkan isi ember tersebut ke sebuah kolam yang berada di samping gubuk. Keningnya tercoret tanah bercampur keringat. Tadi pagi ketika saya berpamitan untuk melihat-lihat suasana pasar dan wawancara ke ketua paguyuban dan ketua RW . Ia masih tidur-tiduran di atas sofa.

Saya berbaring di teras gubuk. Di dalam seorang pemuda bertubuh besar. Berambut pirang. Kaki dan tangannya penuh dengan tatoo, bermacam-macam gambar ia torehkan dengan tinta hitam, biru, dan merah. Empat buah anting-anting terbuat dari besi menempel di telinga sebelah kiri. Sebuah gelang melingkar di lengan kanannya.

Namanya Bagus. Usianya 25 tahun. Dia pernah bekerja sebagai penjaga villa selama satu tahun. Namun, dia dipecat oleh majikan yang tak menyukainya. Kini ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ia sering mangkal di depan pasar, menjajakan villa bersama Hermawan.

Secara diam-diam, mereka kerap memberikan petunjuk bagi lelaki yang ingin menyalurkan syahwat. “Setengah tahun yang lalu, gubuk ini biasa buat mangkal para ABG yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial. Para penghubung mengambil mereka di sini jika ada tamu yang memesan.” Bagus membuka pembicaraan.

“Bukankah dilarang menyediakan perempuan di sini?”
“Makanya sekarang di sini sepi. Kalau dulu, para pekerja seks komersial pernah ada yang menyewa villa selama satu bulan. Saya dan Hermawan yang kebagian mencarikan tamu, lumayan dapat dua puluh persen”

“ Kami sudah mendapat peringatan dari RW dan ketua paguyuban untuk ketiga kalinya. Jadi kami sudah tidak mengijinkan mereka untuk mangkal di sini lagi. Sekarang para Pekerja Seks Komersial itu mangkal di kos mereka masing-masing. Kalau mau makai ya harus menghubungi lewat telepon. Kos mereka nggak jauh kok dari sini.” Hermawan memberitahu

“Oh ya...kamar yang kamu sewa tadi malam sudah ada yang menempati” ujar Hermawan sambil melihat kearah saya.
“Dia juga minta dicarikan perempuan tapi short time-an.”
“Sudah kamu hubungin apa belum?” tanya Hermawan kepada Bagus
“Beres, katanya sebentar lagi. Masih dandan.”

Selang beberapa saat telepon gengam Bagus berbunyi. Ia langsung membuka pesan.
“Udah siap katanya, dia minta jemput. Sepeda motornya dipinjam teman. Tukang ojek juga tidak ada.”

Hermawan langsung mengambil kunci sepeda motor, dan pergi menjemput.
“Tidak buru-buru pulangkan?” tanya Bagus
Saya hanya menggelengkan kepala. “Perempuan itu bisa diajak ngobrol apa tidak?”
“Bisa, tapi habis kerja. Orangnya agak pendiam. Dia dulu pacar saya.”
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara sepeda motor memecah obrolan kami. Suara itu semakin mendekat. Dari balik pagar terlihat Hermawan dengan seorang perempuan sudah memasuki pekarangan rumah.

Postur tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu. Gincunya tidak terlalu tebal, sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, melihat ke arah kami. Penampilannya sama sekali tidak mengesankan sebagai Pekerja Seks Komersial.

Ia langsung menuju ke rumah, membuka pintu dan menutupnya kembali. Pintu itu ia kunci dari dalam.

Sedangkan Hermawan langsung merebahkan diri di samping Bagus, sambil memainkan telepon gengam dan berkata “tidak usah heran, di Songgoriti pelacuran sudah menjadi pemandangan sehari-hari bahkan sudah menjadi sumber nafkah bagi sebagian orang, termasuk saya. Meskipun dilarang pelacuran tetap marak di sini. Karena peraturannya tidak ketat. Selain itu, di sini dilarang menyediakan perempuan tapi kalau bawa sendiri boleh. Kan sama saja bohong.”
****
Memperbincangkan persoalan pelacuran tidak pernah ada kata selesai. Fenomena ini dapat disebut sebagai fenomena gunung es yang hanya tampak kecil pada permukaan sementara telah mengakar demikian kuat di kehidupan masyarakat.

Di Indonesia, Seperti ditulis Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones dalam buku Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Mengungkapkan bahwa Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita. Hingga menemukan bentuknya yang mutakhir karena didorong oleh faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan.

Dalam sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan, melekat sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755. Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Ketika itu, kekuasaan seorang raja tak punya batas.

Mereka menguasai segalanya. Tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahayanya. Di antara harta milik raja adalah selir-selir. Siapa pun, kala itu, berlomba-lomba mendekati kekuasaan dengan berbagai cara. Misalnya para bangsawan. Mereka tak segan menyerahkan putri-putrinya sendiri sebagai tanda kesetiaan. Kerajaan kecil tetangga juga mengirimkan upeti perempuan. Rakyat kelas bawah tidak kalah berpartisipasi. Mereka menyerahkan anak-anaknya dengan harapan keluarganya punya hubungan dengan istana.

Pemasok wanita yang tak punya stok juga berburu gadis sampai ke daerah lain. Sejak masa itu ada kawasan yang dikenal sebagai gudang perempuan cantik dan memikat. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.

Bahkan Kecamatan Gabuswetan, di Indramayu, dapat memenuhi kebutuhan selir untuk Istana Sultan Cirebon. Memang, tradisi itu belum mencapai segi komersialisasi sebagai industri seks dengan sistem germo dan pelacur profesional. Namun tradisi pada zaman feodal itu membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Yaitu nilai bahwa perempuan adalah komoditas yang diperjualbelikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki. Dan ini menjadi cikal bakal pelacuran modern

Nilai-nilai itu makin subur, ketika Belanda membentuk koloni baru. Hadirnya serdadu, pedagang, dan utusan yang dibawa pemerintah kolonial menghidupkan permintaan pelayanan seks--lebih daripada awalnya yang hanya di sekitar pelabuhan.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan

Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kota-kota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya-Surabaya. Fisik kota-kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat aktivitas pelacuran menjadi-jadi dan menjelaskan asal mula mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.

Surabaya, pada masa penjajahan Belanda, tumbuh sebagi kota pelabuhan terkemuka dan pangkalan angkatan laut. Ketika banyak kapal barang dan kapal angkatan laut memasuki pelabuhan, dengan segera kedatangannya disambut perahu-perahu kecil yang mengelilingi. Di perahu kecil itu terdapat para pelacur yang mencari langganan baru. Mereka dibawa dari rumah bordil. Menurut catatan sejarah Kota Surabaya, pada 1864, dari 18 rumah bordil, pelacurnya berjumlah 228 orang.

Di Jawa Timur, pada 1960-an sampai 1970-an tercatat 4.600 Pekerja Seks Komersial, tetapi diperkirakan di luar jumlah itu masih ada tambahan 1.000 orang lagi. Di Jawa Tengah ada 2.404 pelacur di 486 rumah pelacuran. Di Jakarta sendiri jumlahnya 6.500 orang.

Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, lowongan terbanyak berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai sepuluh kali lipat.

Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk gadis panggilan, dan paling mutakhir ABG yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan tempat-tempat pariwisata.

****
Dari dalam gubuk terdengar pintu rumah terbuka. Bagus mengintip dari celah-celah dinding papan. Perempuan itu baru saja selesai melayani tamu.
“Mas, minta rokoknya” celetuk perempuan itu.

Bagus menyodorkan bungkus rokok dan koreknya. Dia mengambil sebatang dan langsung dinyalakan. Diisapnya kuat-kuat sampai terlihat kedua pipinya mengempot. Buzz...buzz....asapnya diembuskan dan Uh…Uh… ia terbatuk-batuk. Ia meletakan rokoknya di atas asbak
“Kalau tidak bisa merokok, jangan sok-sokan bisa” teriak Bagus sambil tertawa.
Gadis berambut pendek dengan alis mata tebal itu sekira setahun yang lalu masih tercatat sebagai siswi salah satu Sekolah Menengah Atas di Malang, menginjak kelas tiga ia berhenti. Namanya Yuni

“Saya tidak betah tinggal di rumah, karena orang tua bertengkar terus. Akhirnya saya nekat pergi dari rumah. Saya punya niatan pergi ke Surabaya untuk mencarai pekerjaan. Tapi, saya tidak punya teman maupun saudara di sana, jadi niatan itu saya urungkan” ia diam sejenak

“Tapi niatan saya untuk pergi dari rumah sudah bulat, tanpa sepengetahun orang tua saya pergi ke Songgoriti. Di situ secara tidak sengaja saya berkenalan dengan Bagus. Setelah lama mengobrol akhirnya ia memberikan saya tumpangan untuk menginap di villa yang ia tunggu. Karena pada saat itu hari sudah malam” sambung Yuni

Semula Yuni menolak saat diminta menceritakan awal mulanya terjun ke dunia pelacuran.
“Sudahlah, nggak apa-apa ceritakan saja” Bagus mendesak
“Setelah satu minggu saya tidak pulang ke rumah, saya kehabisan uang, untuk makan saja tidak ada. Sedangkan tempat tidur saja saya masih menumpang di tempatnya Bagus. Akhirnya saya kepikiran untuk menjadi Pekerja Seks Komersial saja. Karena di Songgoriti sendiri banyak yang berprofesi seperti itu, setiap hari pasti ada tamu yang minta di carikan teman kencan”

“Biasanya tamu-tamu yang menyewa villa saya itu sudah bawa pasangan dari luar. Tapi tidak jarang juga tamu-tamu yang minta di carikan di sekitar sini. Malam minggu, saya lupa tanggalnya yang pasti, saat itu masih pertengahan bulan puasa. Saya kedatangan tamu dari luar Jawa Timur, dia minta di carikan cewek yang masih ABG. Saya langsung menghubungi nomor-nomor yang saya simpan di telpon gengam, tapi semuanya masih ada tamu. Akhirnya saya tidak punya pilihan lain selain menawarkan kepada Yuni. Yun kamu mau nggak melayani tamu? Ujar saya. Awalnya dia agak ragu-ragu, setelah berpikir agak lama akhirnya dia menganggukan kepalanya” ungkap Bagus sambil memandang ke arah Yuni

Pengalaman pertamanya menemani seorang tamu ia mendapat bayaran Rp. 750 ribu untuk satu malam. Mulai saat itulah ia menekuni profesi itu. Sebagai pekerja seks komersial yang masih tergolong ABG, ia biasa di-booking dengan tarif antara Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu, short time. Bila menginap, bayarannya bisa mencapai Rp 900 ribu.

Bagi Yuni menggeluti dunia pelacuran memang semata-mata karena butuh uang untuk hidup. Kini hidupnya lebih mapan. Ia sudah memiliki telepon genggam, pakaian yang bermerek dan sudah mampu untuk menyewa sebuah kos dari hasil keringatnya sendiri.

Menurut dia, sudah banyak pria yang mengajaknya kencan di berbagai hotel, kelas melati maupun berbintang. Ia menyebut beberapa hotel seperti yang terletak di Selecta. Soal tarif, bagi pria yang tidak begitu dikenalnya tidak ada kompromi. “Nginap bisa Rp 900 ribu. Kalau hanya satu sampai dua jam saja, Rp. 300 ribu sampai Rp 350 ribu. Tapi hanya satu kali main” ujar yuni polos

Kebanyakan pekerja seks komersial yang ada di Songgoriti berasal dari desa-desa terpencil di wilayah Jawa Timur. Sekalipun dari daerah terpencil wajah-wajah mereka tidak kalah dengan pekerja seks komersial dari kota. Menurut Hermawan sampai saat ini tercatat ada sekitar 70 pekerja seks komersial yang beroprasi di Songgoriti. Kebanyakan masih ABG, bahkan ada yang masih di bawah umur. Entahlah dari mana dia mendapatkan data tersebut.

Menyandang predikat pelacur bagi Yuni memang terkesan berat. Apalagi pelacuran sering mengusik ketenangan banyak orang. Kaum agamawan mencap mereka sebagai manusia kotor yang tidak bermoral. Sehingga mereka dijadikan objek penobatan. Pemerintah maupun tokoh masyarakat menjadikan pelacuran sebagai sesuatu yang meresahkan sehingga perlu ditertibkan. Saat-saat menjelang bulan suci agama para pelacur seringkali menjadi objek pembersihan aparat demi mendukung kekhusukan ibadah.

“Saya sering lihat di televisi para pelacur di tangkapi oleh Satuan polisi PP, dikejar-kejar seperti hewan, dan rumah-rumah yang dijadikan peraktik pelacuran digeledah. Bahkan tidak ketinggalan kalau menginjak bulan puasa banyak orang-orang berjubah putih-putih turun jalan dengan membawa pentungan. Mereka dengan sesuka hati menghancurkan tempat-tempat lokalisasi. Terus kalau begitu caranya dari mana mereka dapat uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, udah nggak ngasih solusi lagi!” seru Yuni kesal.

Atas nama moralitas agama, sebagian kelompok masyarakat sangat gampang menyerang dengan bengis tempat-tempat para perempuan penghibur seperti Yuni menjalankan profesinya. Tentu saja, beragam penggerbekan di beberapa lokalisasi dan tindakan kekerasan sebagian kelompok dengan dalih agama ini terasa menyeramkan di mata Yuni. “Untunglah di Songgoriti aman-aman saja” celetuk Hermawan

Model-model penggerbekan dan penyampaian pesan-pesan moral sebagaimana terjadi saat ini, pada kenyataannya jauh dari maksud sasaran, yaitu menjauhkan masyarakat dari tempat maksiat. Tapi menimbulkan seribu persoalan. Penggerbekan dan semacamnya hanya menimbulkan ketakutan bagi sesama.

Mencari uang dengan menjual tubuh tidak lah nyaman. Tapi keadaanlah yang tidak pernah berpihak. Sehingga menjadi pelacur adalah sebuah pilihan yang paling menyakitkan. Penuh resiko, sebagaian orang mencibirnya, membenci karena alasan agama, tapi sebagian yang lain dengan malu-malu membutuhkannya

Atas alasan agama, para pekerja seks komersial, seperti Yuni harus menyandang gelar sampah masyarakat. Gelar yang amat berat bukan? Apalagi seusia Yuni. Sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku pelacuran itu dan berupaya untuk menghilangkannya.

Pandangan bahwa pelacuran merupakan perilaku kotor, tidak bermoral, dan penyakit sosial. Kehadiran pelacuran tidak hanya menjadi sebuah gambaran degradasi moral sejumlah wanita, namun juga mempertontonkan struktur masyarakat yang tidak sempurna adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan. Namun, penanganan pelacuran tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Pelacuran adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama.

Hal itu digambarkan secara lugas oleh Koentjoro melalui buku On The Spot:
Tutur dari Sarang Pelacur. Secara terang-terangan ia menunjukkan betapa pelacuran menjadi fenomena yang demikian terstruktur secara rapi dalam suatu masyarakat. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh Koentjoro, banyak aspek yang membuat seorang perempuan menjatuhkan pilihan untuk menjadi seorang pelacur.

Di antaranya adalah faktor ekonomi. Dalam arti lebih luas, faktor yang mengacu pada tumbuhnya nilai materialistik.. Uang memberi arti lebih dari sekadar penghargaan ekonomi. Uang menunjukkan materialisme dan sebenarnya inilah faktor pengaruh yang paling kuat. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pengaruh sistem yang berlaku di masyarakat dapat memaksa seseorang (khususnya perempuan) untuk menjadikan materi sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Ia akan meraih status sosial tertinggi pada sistem stratifikasi dalam masyarakat jika memiliki sejumlah besar materi.

Saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, jaring-jaring sosial yang cenderung berorientasi pada harta dan kesenangan, karena setiap manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki hasrat terus menerus mendapatkan kepuasan dalam jumlah besar. Dan kondisi demikian akan semakin menyuburkan keberadaan dunia pelacuran. Bukankah pelacuran akan menyediakan sarana bagi mereka yang berkelebihan materi untuk meraih kesenangan sepuasnya melalui seksualitas. Tuntutan untuk kepuasan lebih menuntut dunia pelacuran untuk lebih berkembang menciptakan dimensi-dimensi pelayanan baru. Sehingga variasi-variasi pelayanan seks diciptakan.

Selain itu, pelacuran sesungguhnya merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak pernah lepas dari sejarah peradaban manusia. Aktivitas pelacuran dan prostitusi telah belangsung lama, bahkan sejak masa awal peradaban manusia pelacuran sudah dikenal. Pelacuran di masa lampau bahkan tidak selalu dinilai buruk. Bahkan ada pelacuran bersifat suci sebagaimana diceritakan Herodotus, sejarawan Yunani, bahwa setiap perempuan Babilonia sekali dalam masa hidupnya dipaksa pergi ke kuil Ishtar dan menawarkan diri demi bayaran tertentu pada laki-laki yang menginginkannya sebagai bentuk pelayanannya terhadap Dewa. Prostitusi suci sedemikian juga ditemukan tumbuh subur di Mesir Kuno maupun Yunani Kuno.

Sayangnya, kelaziman di suatu tempat, kebenaran di suatu zaman, dan dikatakan normal oleh masyarakat tertentu, bisa menjadi ketidaklaziman ditempat lain, ketidakbenaran di zaman tertentu, dan abnormal bagi masyarakat lain.

Upaya menanggulangi pelacuran hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah. Di Songgoriti Yuni bebas melakukan apa saja. Tanpa harus takut dikejar-kejar oleh Satuan polisi PP. Orang-orang yang aktifitasnya dihabiskan dalam masjid pun mempunyai toleransi tinggi terhadapnya.

Sebuah kerukunan dan keharmonisan yang luar biasa bukan? Masing-masing bebas merayakan keyakinan dan kesenangannya. Di dalam masjid kehidupan normal dijalankan tanpa harus terganggu oleh jeritan-jeritan manja dari villa-villa di sekelilingnya.

Begitu juga para penyewa villa, Pekerja Seks Komersial dan pria hidung belang mereka bebas “merayakan abnormalitas”
****
Suara adzan magrib terdengar lantang. Bagus, Hermawan, dan Yuni, menghentikan pembicaraan. Mereka saling memandang sambil tersenyum.

Yuni berdiri seraya merogohkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Ia mengeluarkan dua lembar uang kertas lima puluhan.
“Ini bagianmu” ia melemparkan lembaran uang tersebut ke Bagus sambil tersenyum
“Ini bagianmu” kali ini lembaran uang itu ia lempar ke arah Hermawan.
Hari ini, dari pagi hingga sore Yuni sudah melayani tujuh tamu. “kalau badan lagi fit sanggup sampai sepuluh” ia tertawa

Di hari liburan seperti ini, Yuni dapat mengumpulkan uang sebesar dua juta dalam sehari. Sebuah penghasilan yang cukup besar, Hermawan harus menunggu satu bulan untuk mengumpulkan uang sebesar itu.

Wisata Songgoriti sudah menjadi berkah bagi Yuni, Bagus, Hermawan, Rudi, dan para pedagang serta pemilik Villa. Sebuah proses simbiosis mutualisme terjadi di sini yaitu suatu keadaan yang saling menguntungkan.

Dengan ramainya tetamu yang memakai jasa Yuni sebagai pekerja seks komersial, akan menguntungkan Bagus sebagai penghubung, Hermawan sebagai pemilik villa, dan para pedagang di sekitarnya.

Hari mulai gelap. Rintik hujan gerimis mulai membasahi rerumputan di halaman rumah. Yuni sedang menunggu tamunya yang kedelapan ketika saya pulang Bagus dan Hermawan mengantarkan saya sampai ke jalan raya.


Bookmark & Share:

2 komentar:

Anonim,  13 Oktober 2010 pukul 04.37  

naiz serrrrr gan

Anonim,  23 Juli 2013 pukul 03.13  

hanya cerita yg dibuat2.
gk seru gan

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.