Kamis, 24 Juli 2008

BERIMAN TANPA RASA TAKUT






Bab 1 - Kenapa Aku Menjadi Muslim Refusenik?


“Di kelas-kelas hari Sabtuku, aku didoktrin: Kalau kau orang yang beriman, kau jangan berpikir. Kalau kau berpikir, maka kau bukan orang yang beriman.”
(Irshad Manji)
SEPERTI JUTAAN kaum muslim lainnya selama 40 tahun terakhir, keluargaku berimigrasi ke Barat. Kami tiba di Richmond, daerah suburban kelas-menengah kota Vancouver, British Columbia, Kanada, pada tahun 1972. Saat itu umurku baru empat tahun. Antara tahun 1971 dan 1973, ribuan muslim Asia Selatan melarikan diri dari Uganda setelah sang diktator militer, Jenderal Idi Amin Dada, menyatakan bahwa Afrika diperuntukkan hanya bagi warga kulit hitam. Dia memberi waktu kami yang berkulit cokelat beberapa minggu saja untuk pergi atau mati.

Kaum muslim yang telah menghabiskan hidup mereka di Afrika Timur berterima kasih kepada pemerintah Inggris, yang telah membawa kami ke Asia Selatan untuk membantu pembuatan jalan kereta api di koloni-koloni Afrika mereka. Setelah beberapa generasi, banyak kaum muslim yang meningkat hidupnya dan menjadi pedagang yang makmur. Ayah dan saudara-saudara lelakinya, yang menjalankan bisnis dealer Mercedes-Benz di dekat Kampala, memperoleh keuntungan dari mobilitas kelas sosial yang diwariskan oleh pemerintah Inggris kepada kami. Tetapi mobilitas kelas sosial itu tidak kami wariskan kepada orang kulit hitam, penduduk asli yang kami pekerjakan.

Pada umumnya, kaum muslim di Afrika Timur memperlakukan orang kulit hitam seperti budak. Aku ingat ketika Ayah memukuli Tomasi, pelayan kami, dengan keras hingga menyebabkan lebam-lebam mengkilap di bagian-bagian tubuhnya yang legam. Meskipun aku, kedua saudara perempuanku, dan ibuku menyayangi Tomasi, tetapi kami akan ikut dihajar jika Ayah memergoki kami mengobati luka-lukanya. Aku tahu, hal serupa juga terjadi di banyak rumah tangga muslim lainnya.


Dan perbudakan tetap berlangsung setelah keluargaku pergi dari sana. Itulah sebabnya, saat menginjak remaja, aku menolak jika diajak menjenguk keluarga jauhku di Afrika Timur. “Kalau aku pergi bersama Ibu,” aku mengingatkan ibuku, “Ibu tahu, kan, aku pasti bertanya pada bibi-bibi dan paman-pamanmu yang gendut-gendut itu: Kenapa mereka memperlakukan pembantu mereka seperti budak?” Ibu bermaksud menjadikan perjalanan itu sebagai ucapan selamat tinggal kepada hubungan keluarga yang mulai menua. Bukan sebagai kampanye hak asasi manusia. Khawatir keikutsertaanku mempermalukan Ibu, maka aku tetap tinggal di rumah.
Saat Ibu pergi, aku berpikir lebih dalam lagi tentang makna “rumah”. Aku sampai pada pemikiran bahwa rumah adalah tempat tinggal martabatku, bukan semata-mata tempat nenek moyangku berasal. Saat itu adalah awal ketika aku menyadari mengapa demam poskolonial pan-Afrikanisme—“Afrika untuk orang kulit hitam”—menyapu benua tempatku dilahirkan. Banyak kaum muslim kurang menghargai martabat orang yang kulitnya lebih gelap daripada kulit kami. Tanpa perasaan, kami mengeksploitasi penduduk Afrika asli. Dan, tolong jangan katakan bahwa kami mempelajari kekejaman ini dari orang Inggris, sebab itu akan memunculkan pertanyaan: Kenapa kami tidak mempelajari cara memberi ruang gerak bagi orang kulit hitam yang berbakat wirausaha sebagaimana halnya orang Inggris telah memberikannya kepada kami?
Di sini aku tidak minta maaf karena terserang oleh fakta bahwa aku pernah memiliki seorang Tomasi. Aku yakin, kebanyakan dari Anda pun menentang perbudakan. Namun, bukan Islam yang membantu mengembangkan keyakinanku bahwa setiap manusia memiliki martabat. Lingkungan demokratis tempat keluargaku bermigrasilah yang membuatku meyakini hal itu. Richmond adalah tempat di mana bahkan seorang gadis kecil muslim pun dapat merasa terikat—bukan terikat dalam arti pernikahan. Simaklah penjelasanku berikut ini.
Beberapa tahun setelah keluargaku sedikit mapan, Ayah menemukan layanan penjagaan bayi gratis di Gereja Baptis Rose of Sharon. (Ucapkan “gratis” pada seorang imigran, maka keterikatannya pada agamanya akan pudar oleh tawaran murah yang sangat dibutuhkan saat itu). Saban minggu, ketika Ibu meninggalkan rumah untuk menjajakan produk-produk Avon dari rumah ke rumah, Ayah, yang kurang akrab dengan anak-anak, akan ”meninggalkan” anak-anaknya di gereja itu. Di sana, seorang perempuan Asia Selatan yang mengawasi studi Injil menunjukkan padaku dan kakakku kesabaran yang sama seperti yang dia tunjukkan kepada anak lelakinya sendiri. Dia membikinku percaya bahwa pertanyaan-pertanyaanku cukup berharga untuk dikatakan. Jelas, pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan sebagai anak berumur tujuh tahun sederhana saja: Dari mana Yesus berasal? Kapan dia hidup? Apa pekerjaannya? Siapa yang dia nikahi? Rentetan pertanyaan ini tentu tidak meyusahkan siapa pun. Tapi, yang kumaksudkan di sini adalah, tindakan bertanya—dan bertanya lebih banyak lagi—selalu disambut dengan senyuman yang sangat hangat.
Mungkin itulah yang memotivasiku, di umur delapan tahun, untuk memenangkan penghargaan sebagai Orang Kristen Paling Menjanjikan Tahun Ini. Aku dikasih hadiah edisi 101 Kisah Injil yang berilustrasi warna-warna cemerlang. Aku mengenang kembali saat itu dan berterima kasih kepada Allah karena aku berada dalam dunia di mana Al-Quran tidak harus menjadi buku pertama dan satu-satunya yang boleh kumiliki, seolah-olah kitab itu adalah kekayaan tunggal yang diberikan kehidupan kepada orang-orang beriman. Lagi pula, 101 Kisah Injil membuatku terpana karena gambar-gambarnya. Seperti apa kiranya penampilan buku 101 Kisah Al-Quran? Saat itu, aku belum pernah melihat buku dan gambar seindah itu. Saat ini, banyak sekali buku anak-anak tentang Islam, termasuk A untuk Allah, karya Yusuf Islam (seorang mualaf Barat yang nama aslinya Cat Stevens). Masyarakat yang bebas ternyata memungkinkan adanya penemuan-kembali diri sendiri dan terjadinya evolusi keimanan.
Tak lama setelah aku meraih gelar sebagai Orang Kristen Paling Menjanjikan Tahun Ini, Ayah merenggutku dari gereja itu. Sebuah madrasah (sekolah Islam) akan segera dibangun. Si kecil ini tak sabar lagi menanti. Jika pengalaman sekolah Minggu-ku menjadi ukuran, maka dengan lugu aku beranggapan bahwa madrasah tentunya juga akan menyenangkan, atau sama menyenangkannya seperti gereja.
Sementara itu, dunia baruku ikut tumbuh bersamaku. Sebuah mal yang begitu luas, yang akan menjadi sangat penting dalam pendidikanku sebagai seorang muslim, Landsowne Centre, dibuka. Nama pendiri Richmond (orang-orang berdarah Skotlandia) yang menghiasi papan-papan petunjuk di luar mal—Brighouse, McNair, Burnett, Steveston—segera berdesak-desakan menarik perhatian, bersaing dengan kata-kata dalam bahasa Hindi, Punjab, Urdu, Mandarin, Kanton, Korea, dan Jepang. Bahasa-bahasa ini menyelimuti interior Aberdeen Centre, yang dibangun beberapa tahun kemudian dan dijuluki sebagai “plaza belanja ala Asia terbesar di Amerika Utara”.
Jauh sebelum itu, aku sudah menyadari bahwa tempat seperti Richmond dapat mengakomodasi siapa saja yang mau mengekspresikan isi hatinya. Di kelas sepuluh, aku berkampanye untuk menjadi ketua OSIS di J.N. Burnett Junior Secondary School. Tahun sebelumnya, aku sudah kalah dalam pemilihan di tingkat kelas. Aku kalah gara-gara ada seorang anak menjengkelkan yang tidak ingin seorang “Paki” (orang Pakistan— Peny.) mewakili kelasnya. Setahun kemudian, sebagian besar murid di sekolah membuat si Paki ini menjadi ketua terpilih mereka. Di Richmond, rasisme tidak harus menghalangi ambisi-ambisiku.
Beberapa bulan kemudian, setelah aku menjadi ketua OSIS, wakil kepala sekolah tengah berjalan melewati lokerku dan berhenti mematung ketika dia melihat selintas poster para pejuang revolusi Iran yang kutempelkan di pintu loker. Dikirimkan oleh seorang pamanku di Prancis, poster itu memuat gambar perempuan-perempuan bercadar hitam yang menghancurkan sayap pesawat terbang. Sayap kiri pesawat bergambar palu-arit (gambar bendera Uni Soviet), sementara sayap kanan bergambar bintang dan garis-garis (gambar bendera Amerika Serikat).
“Ini tidak pantas,” dia memberiku peringatan. “Turunkan poster itu.”
Aku menunjuk ke loker sebelah yang di pintunya tergantung bendera Amerika. Aku lalu bertanya, “Kalau dia bisa mengungkapkan opininya secara terbuka, kenapa saya tidak?”
“Karena kamu kurang menghargai nilai-nilai demokratis kita. Sebagai ketua OSIS, harusnya kamu jauh lebih tahu tentang hal itu.”
Kuakui, aku tidak menyadari bahwa rezim Ayatollah Khomeini melahirkan totalitarianisme. Aku belum mengerjakan “PR”-ku. Sebagian tergoda oleh propaganda dan sebagian lagi oleh kebanggaan hidup di masyarakat bebas, aku ingin membela perbedaan opini agar ”Bendera Amerika” tidak membunuh pandangan-pandangan lain. Aku pun berani mendebat wakil kepala sekolah itu.
“Saya kurang menghargai demokrasi? Bagaimana mungkin Anda menyatakan diri Anda mendukung demokrasi, sementara Anda melarang saya mengekspresikan diri saya, tetapi,” seraya menuding bendera Amerika di pintu loker lain, “orang lain bisa?”
Kami saling menatap. “Kau memberi contoh buruk,” katanya. Dia menegakkan punggungnya dan berjalan menjauh.
Anda harus memberinya hormat karena dia telah membiarkan perbedaan opini tetap hidup di Burnett Junior High. Yang bahkan lebih mengagumkan lagi adalah: Dia penganut Kristen Evangelis. Dia tidak menutup-nutupi keyakinan pribadinya, tapi dia juga tidak menghasut para siswa—bahkan ketika ketua OSIS memperlihatkan dukungan terhadap teokrasinya Imam Khomeini. Dia pun tidak memperlihatkan dukungan ketika para siswa melobinya agar celana pendek seragam sekolah menampakkan kaki lebih banyak daripada yang menurutnya terlihat wajar. Setelah debat panas dengan kami dan melakukan beberapa penundaan, dia menyetujui permintaan para siswa terkait celana pendek tersebut. Dia sebenarnya bersikukuh dengan pendiriannya, tapi masih menghormati kehendak orang banyak.
Berapa banyak juru dakwah muslim yang Anda kenal, yang menoleransi sudut pandang lain, yang membuat diri mereka merasa terganggu? Tentu saja, wakil kepala sekolahku harus menahan sedikit ucapannya dalam sebuah sistem sekolah umum, tapi sistem seperti itu hanya bisa muncul dari sebuah konsensus bahwa orang dari keyakinan, latar belakang, aspirasi, dan tempat yang berbeda harus bergumul bersama. Berapa banyak negara Islam yang menoleransi pergumulan semacam itu?
Tuhan, aku mencintai negeri ini. Aku mencintai kenyataan bahwa negeri ini sepertinya tidak akan pernah selesai membentuk dirinya, jawaban-jawaban finalnya belum diketahui—jika memang ada. Aku mencintai kenyataan bahwa dalam renovasi terus-menerus ini, kontribusi para individu sangatlah penting.
Akan tetapi, di rumahku sendiri, kepalan tinju Ayah menguasai seluruh anggota keluarga. Jangan tertawa saat makan malam. Kalau aku mencuri uang tabunganmu, diamlah. Kalau aku menendang bokongmu, ingatlah bahwa besok akan lebih keras lagi. Saat aku menghajar ibumu, jangan panggil polisi. Kalau mereka datang, aku akan membujuk supaya mereka pergi, dan kau tahu bahwa mereka pasti akan pergi. Saat mereka sudah enyah, aku akan mengiris telingamu. Kalau kamu mengancam akan melapor ke petugas sosial, aku akan mengiris telingamu yang satunya lagi.
Suatu saat, Ayah mengejarku ke seluruh bagian rumah dengan pisau terhunus. Aku berhasil menyelinap dari jendela kamar tidurku dan tidur di atap rumah semalaman. Ibu tidak tahu keadaanku, karena dia mendapatkan shift yang tidak mengenakkan di suatu perusahaan penerbangan. Aku pun tidak yakin kalau aku mau dibujuk untuk turun, sekalipun dengan janji-janji Ibu bahwa aku tidak akan digebuki. Rasanya, aku menyukai atap rumahku sebagaimana aku menyukai sekolahku, Gereja Baptis Rose of Sharon dan, beberapa tahun kemudian, Aberdeen Centre. Dari ketinggian di masing-masing tempat ini, aku dapat mengawasi sebuah dunia yang penuh kemungkinan tiada batas.
Dalam komunitas muslim Afrika Timur, mungkinkah aku dibolehkan bermimpi memperoleh pendidikan formal? Mendapat beasiswa? Berpartisipasi dalam kampanye politik, apalagi punya kantor sendiri? Jika mengamati foto-foto hitam putih dan kabur yang ditunjukkan padaku, saat aku berusia tiga tahun sedang bermain menjadi pengantin perempuan dengan kepala tertutup, tangan terlipat, mata memandang ke bawah, dan kaki menjuntai dari sofa, aku hanya bisa menebak bahwa hanya hierarki kaku yang akan mendekap garis nasibku, kalau saja kami tetap tinggal di dalam batasan-batasan muslim Uganda.
Pertanyaan yang lebih besar adalah, kenapa madrasah di Richmond, yang didirikan oleh kaum imigran di negeri yang mengakui hak dan kebebasan ini, memilih otokrasi? Dari umur sembilan sampai empat belas tahun, kuhabiskan setiap hari Sabtu di sana. Kelas-kelas dilaksanakan di lantai atas masjid yang baru dibangun, yang lebih mirip rumah di pinggiran kota yang sangat besar ketimbang arsitektur Timur Tengah. Namun, di dalamnya, Anda hanya akan menemukan wajah Islam yang keras. Laki-laki dan perempuan memasuki masjid dari pintu yang berbeda dan memaku diri masing-masing di tempat yang sudah ditentukan, dengan dinding-pembatas permanen yang membelah bangunan itu menjadi dua bagian.
Bangunan itu mengkarantina kedua jenis kelamin selama beribadah. Di dinding ini, terdapat sebuah pintu penghubung bagian laki-laki dan bagian perempuan. Pintu ini sangat menolong setelah pengajian, ketika kaum laki-laki meminta tambahan makanan dari dapur umum dengan menyodorkan mangkok lewat pintu, sembari menggebrak dinding, dan menunggu beberapa detik saja sampai ada tangan perempuan menyodorkan kembali mangkok yang terisi penuh lagi. Di masjid, laki-laki tidak pernah bertemu dengan perempuan, dan perempuan tidak pernah terlihat. Seandainya kenyataan ini bukan sebagai makna dari pengkotak-kotakan kami pada dunia-dunia yang sempit, maka aku pasti melewatkan sesuatu yang besar darinya.
Satu lantai di atas adalah tempat madrasah, dengan dekorasinya yang membikin orang depresi. Ruangannya berisi karpet-karpet cokelat tua, lampu-lampu neon, dan partisi-partisi yang dapat dipindah-pindah, yang memisahkan anak perempuan dari anak laki-laki. Di mana saja kelas diadakan, di sisi lebar sebuah ruangan, partisi-partisi itu akan selalu hadir. Yang lebih buruk lagi adalah: partisi otak dan jiwa. Di kelas-kelas hari Sabtuku, aku didoktrin: Kalau kau orang yang beriman, kau jangan berpikir. Kalau kau berpikir, maka kau bukan orang yang beriman. Cara berpikir sederhana ini menghapus rasa ingin tahuku yang meluap-luap, yang selalu dimanjakan di Richmond. Anda boleh menyebut peristiwa ini sebuah benturan peradaban bagiku, barangkali.
Solusinya bukan hanya dengan menerima bahwa ada dunia sekuler dan non-sekuler, yang memiliki caranya sendiri-sendiri. Dengan logika seperti itu, Gereja Baptis Rose of Sharon, yang dianggap non-sekuler, seharusnya tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan masa kecilku. Sebaliknya, rasa ingin tahuku justru membuatku mendapatkan penghargaan. Burnett Junior High adalah satu sekolah sekuler, di mana pertanyaan-pertanyaanku telah membelalakkan mata kepala sekolahku hingga ia mengeluh kepada Tuhan Yesus-nya. Tetapi tidak seorang pun menyuruhku tutup mulut. Di kedua tempat itu, martabat seorang individu sangat dijunjung tinggi. Tidak demikian halnya dengan di madrasah. Aku memasuki tempat itu dengan mengenakan jilbab poliester putih dan meninggalkan tempat itu beberapa jam kemudian dengan rambut yang kucel dan semangat yang letih, seolah-olah kondom di kepalaku telah dengan baik memvaksin diriku sehingga aku “aman” dari aktivitas intelektual.
Sebelum menelanjangi hal-hal lainnya, izinkan aku bercerita apa adanya tentang seorang guru madrasahku, yang akan kita panggil Mr. Khaki. Dia adalah seorang muslim yang keras. Lelaki kurus dengan jenggot yang tercukur rapi (menandakan kebersihan) dan mobil Honda Mini Compact (menunjukkan kesederhanaan) ini secara suka rela di akhir pekan (membuktikan amal baik) memberikan pendidikan agama kepada anak-anak muslim imigran agar mereka tidak larut dalam nilai-nilai rendah di negara multikultural ini. Bukan tugas yang mudah memang, karena madrasah menarik murid-murid dari berbagai tingkatan usia: ABG narsis yang sedang berjuang melawan problem jerawat; anak-anak yang suka cekikikan sembari ngumpet di kamar mandi—itu baru contoh anak-anak gadisnya saja.
Kebanyakan dari kami memandang madrasah bukan sebagai tempat belajar, tetapi sebagai kolam tempat kami memancing calon jodoh di masa mendatang. Karena anak-anak perempuan yang terlalu banyak omong sulit memperoleh suami, teman-teman perempuanku jarang sekali berdebat dengan Mr. Khaki. Lalu apa masalahnya? Tidakkah aku ingin menjadi istri suatu saat nanti? Tapi aku tak ingin membahas masalah ini. Masalahku adalah: Aku terpikat oleh dunia di luar madrasah. Aku bersikukuh untuk lebih memilih menjadi orang terdidik daripada menjadi orang yang terindoktrinasi.
Masalahku bermula dari sebuah buku berjudul Pahami Islam Anda, yang wajib aku bawa di dalam tasku setiap minggu. Setelah membacanya, aku butuh mengetahui lebih banyak lagi tentang Islam-“ku”. Kenapa anak perempuan harus menjalankan hal-hal yang wajib, seperti shalat lima waktu, pada usia yang jauh lebih muda ketimbang anak laki-laki? Mr. Khaki memberitahuku: Karena anak perempuan lebih cepat dewasa. Mereka mencapai “usia wajib” beribadah pada usia sembilan tahun. Sementara anak laki-laki tiga belas tahun!
“Kalau begitu, kenapa tidak memberikan penghargaan kepada anak perempuan atas kedewasaannya dengan membiarkan kami menjadi imam shalat?” aku bertanya.
“Anak perempuan tidak bisa menjadi imam.”
“Apa maksud Anda?”
“Anak perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam.”
“Kenapa tidak diperbolehkan?”
“Allah bilang begitu.”
“Apa alasan-Nya?”
“Bacalah Al-Quran.”
Aku mencoba membaca Al-Quran, meskipun terasa artifisial karena aku tidak memahami bahasa Arab. Apakah aku melihat Anda tengah mengangguk-anggukkan kepala? Kebanyakan kaum muslim sama sekali tidak tahu apa yang kita ucapkan ketika membaca Al-Quran yang berbahasa Arab. Bukan karena kita bodoh. Lebih karena bahasa Arab adalah salah satu bahasa dunia yang paling ritmis, dan pelajaran-pelajaran di madrasah tidak akan membuat kita mampu memahami kompleksitasnya. Kata haram, misalnya, bisa mengacu pada sesuatu yang dilarang atau sesuatu yang sakral, bergantung pada huruf “a” mana yang Anda beri penekanan. Penguasaan terhadap bahasa Arab sulit diwujudkan jika mengingat kenyataan-kenyataan hidup yang dialami oleh banyak orang. Pada kasusku: aku mempunyai seorang ayah penuh kekerasan yang kebanyakan praktik agamanya hanya untuk pamer belaka, dan seorang ibu yang berusaha melakukan yang terbaik untuk tetap menjadi wanita salehah sembari bekerja keras demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Anda tentunya dapat memahami jika pelajaran bahasa Arab tidak dapat menjadi prioritas keluarga kami. Sejujurnya, jawaban instan Mr. Khaki atas pertanyaan-pertanyaanku—“Bacalah Al-Quran”—menjadi hambar dan tanpa makna sebagaimana kucelnya rambutku yang tertutup oleh jilbab.
Seiring waktu, jawaban “Bacalah Al-Quran” memicu lebih banyak pertanyaan: Kenapa aku harus belajar dan membaca aksara Arab jika kegiatan itu tidak memberi makna praktis dan tidak menyentuh getar emosi sama sekali? Kenapa kita harus mencurigai setiap terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris sebagai sesuatu yang mereduksi makna teks aslinya? Maksudku, jika Al-Quran memang bersifat “terus-terang” seperti yang dikatakan kaum puritan kepada kita, maka tidakkah pengajarannya harus dengan mudah dapat diterjemahkan ke dalam ribuan bahasa? Yang terakhir, kenapa stigma harus ditujukan kepada kita yang belum menguasai bahasa Arab jika kenyataannya hanya tiga belas persen saja kaum muslim yang beretnis Arab? Berarti, delapan puluh tujuh persen dari umat Islam bukan orang Arab, bukan? “Pahami Islam Anda,” kata mereka dengan gembira. Islam versi siapa?
Baiklah, kita istirahat sejenak.
Mari kita membicarakan pertanyaanku yang pertama kepada Mr. Khaki: Mengapa perempuan tidak bisa menjadi imam shalat? Dengan mengandaikan bahwa jawaban Al-Quran akan diulang di beberapa buku, aku berusaha untuk mengakses perpustakaan madrasah. Sungguh sukar bagiku untuk memasukinya. Perpustakaan madrasah terdiri dari beberapa deret rak yang terletak di atas anak tangga terakhir di bagian ruang laki-laki di masjid—tertutup bagi perempuan tanpa membuat janji terlebih dulu dengan pengurusnya. Karena sudah berusia sebelas tahun dan “sudah akil balik”, aku tidak dapat berteman dengan laki-laki dewasa. Jadi aku harus membujuk seorang anak laki-laki yang belum balik—yang umurnya dua belas tahun ke bawah—agar aku bisa naik ke atas dan memperoleh izin kapan saja aku ingin membaca di perpustakaan.
Mengira aku sudah memperoleh lampu hijau, semua laki-laki harus mengosongkan tempat itu sebelum aku bisa naik tangga dan memilih-milih di antara koleksi brosur-brosur sederhana yang ada di rak. Tentu saja waktuku sangat terbatas karena para laki-laki tersebut menunggu untuk kembali ke tempat mereka. Aku berusaha meminjam beberapa buku, yang isinya amat sulit untuk diikuti. Aku tidak tahu di mana para penulisnya belajar. Dua tahun usahaku bolak-balik ke perpustakaan di dalam masjid itu terbukti sia-sia. Pada usia tiga belas tahun, aku menyadari bahwa aku harus mengelak dari Mr. Khaki dan madrasah agar pertanyaanku dapat terjawab.
Aku menjadi “tikus mal”. Misiku? Untuk melacak Al-Quran berbahasa Inggris. Lansdowne Centre ternyata memilikinya, semoga Tuhan memberkahi kota Richmond yang menampung banyak agama dan kepercayaan di dalamnya. Kebebasan informasi barangkali membuat Mr. Khaki takut, tetapi justru kebebasan semacam inilah yang memungkinkan satu dari sekian banyak muridnya menemukan makna agamanya lebih dalam—sebuah makna yang tidak akan diberikan oleh madrasah.
Apa yang kupelajari tentang alasan perempuan tidak dapat menjadi imam? Aku tidak bisa memberi tahu Anda saat ini. Karena, bahkan jika para mullah dan guru-guru madrasah bisa memberikan jawaban-jawaban yang tepat, Al-Quran justru tidak. Apa yang dapat kuberitahukan kepada Anda hanyalah: Di antara aktivitas-aktivitas semacam pemilihan senat, latihan drama, kerja paruh waktu, latihan voli—baik di dalam maupun di luar kampus—aku mempelajari Kitab Suci dengan kepala yang penuh dengan “pertanyaan-pertanyaan tentang perempuan”. Aku masih tetap membacanya hingga kini. Pada tahap ini, memberitahukan kesimpulan-kesimpulanku akan menjadi seperti melompat ke dalam kehidupan dewasaku. Pertama, aku harus menghadapi masalah lain dulu.
Kaum Yahudi. Itulah pertanyaan lain yang menggangguku selama bertahun-tahun bersekolah di madrasah, karena kaum Yahudi sering menjadi cemoohan yang tak habis-habis. Mr. Khaki mengajarkan kepada kami—dengan wajah yang serius—bahwa kaum Yahudi menyembah pemimpinnya, bukan Allah. Pemujaan mereka terhadap berhala akan menodai kesalehanku jika aku bergaul dengan mereka. Aku bertanya-tanya, planet mana yang dihuni Mr. Khaki? Sengajakah dia membutakan diri terhadap lingkungan sekitar kami? Richmond, daerah suburban di bawah permukaan laut, lebih mungkin terhanyut oleh pengaruh komersial orang Asia daripada terkubur di bawah gunung uang yang dapat ditimbun oleh kaum Yahudi. Kalaupun Richmond pernah memiliki satu saja sinagog saat itu, maka aku tidak pernah mengetahuinya.
Sekali lagi, aku mengganggu pelajaran-pelajaran sejarah yang disampaikan Mr. Khaki dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Yahudi. Aku ingat, aku pernah bertanya: Mengapa Nabi Muhammad memerintah tentaranya untuk membunuh seluruh kaum Yahudi jika Al-Quran memang diwahyukan kepadanya sebagai pesan perdamaian. Mr. Khaki tidak bisa menerima pertanyaan itu. Dia menatapku penuh hinaan dan melambaikan tangan pertanda terganggu oleh pertanyaanku. Lalu dia menghentikan pelajaran sejarah itu, dan menyambungnya dengan pelajaran Al-Quran.
Setahun setelah aku membeli Al-Quran berbahasa Inggris, Mr. Khaki dan aku menghadapi jalan buntu. Tidak ada satu hal pun yang telah kubaca sampai sejauh ini, yang meyakinkanku tentang adanya konspirasi kaum Yahudi. Kuakui, waktu satu tahun sama sekali tidak cukup untuk mencerna Al-Quran, apalagi di usia empat belas tahun. Masih banyak proses pendewasaan mental yang harus kulalui. Aku tidak dapat melupakan begitu saja ceramah anti-Semit yang agresif dari Mr. Khaki. Memangnya aku ini siapa sehingga bisa memutuskan apakah dia penuh omong kosong atau tidak, sebelum aku memiliki semua buktinya? Karena itu, aku menantang dia untuk memberikan bukti-bukti adanya persekongkolan kaum Yahudi. Jawabannya adalah sebuah ultimatum: Kamu percaya atau keluar dari sini! Dan kalau kamu keluar dari sini, keluarlah untuk selama-lamanya.
Benarkah? Cukup begitu saja?
Memang seperti itu.
Dengan kepala berdenyut-denyut dan leher berkeringat di bawah jilbab poliester yang gatal, aku berdiri. Selagi melintasi partisi yang memisahkan anak perempuan dan anak laki-laki, aku bisa saja membuka jilbabku supaya anak laki-laki melihat rambutku, tapi aku tidak mau mengambil risiko dipermalukan karena dikejar keluar oleh Mr. Khaki. Satu-satunya bersitan pikiran yang bisa kulakukan adalah membuka lebar pintu logam madrasah yang kokoh dan berteriak “Yesus Kristus!” Kuharap itu bisa menjadi cara keluar yang tak akan terlupakan. Baru kemudian aku menyadari bahwa itu memang cara keluar yang tak terlupakan. Sebab Yesus adalah orang Yahudi!
Setelah peristiwa pengusiranku dari madrasah, apakah Anda bertanya-tanya mengapa aku tidak mengutuk seluruh agama dan berlanjut merayakan identitas Amerika Utara-ku yang “teremansipasikan”? Dalam beberapa hal, kebutuhan akan identitas diri menghampiriku. Anda pasti tahu yang aku maksudkan. Sebagian besar dari kita menjadi muslim bukan karena kita berpikir untuk menjadi muslim, tetapi lebih karena kita dilahirkan sebagai muslim. Muslim adalah “siapa kita”. Apa pun.
Terusirnya aku dari madrasah membuat ibuku malu. Tapi Ibu sudah hidup terlalu lama denganku. Karena itu, dia merasa yakin dapat menyuruhku memohon maaf kepada Mr. Khaki dengan cara apa pun. Tapi tak mungkin aku minta maaf kepadanya. Ibu juga tidak memaksaku pergi ke masjid bersamanya lagi. Namun demikian, selama beberapa tahun, nyatanya aku kembali pergi ke masjid bersamanya. Masjid adalah sebuah tempat yang tetap terbuka bagiku di dalam peta kemuslimanku yang rapuh. Aku mencintai Allah, dan aku tidak berniat menghukum masjid karena dosa-dosa madrasah—sampai sedikit demi sedikit masuk ke otakku bahwa madrasah yang aku benci itu sebenarnya merupakan perpanjangan masjid juga. Pergi ke masjid mungkin telah membawaku mengidentifikasikan diri sebagai seorang muslim, tapi juga telah mewajibkanku untuk mengorbankan bagian lain identitas diriku yang sama sucinya: seorang pemikir.
Izinkanlah aku menceritakan kisah yang lain. Di antara pilar Islam adalah sedekah. Demikianlah, suara pengumuman memenuhi udara di suatu sore ketika pengeras suara (yang terletak di bagian jamaah perempuan) mendengung-dengungkan suara mullah (yang berada di bagian jamaah laki-laki), yang mengumumkan upaya pengumpulan dana bagi saudara-saudara kita sesama muslim di luar negeri. Kita diminta menyiapkan dana dalam beberapa hari. Saat itu aku bertanya kepada salah satu anggota pengurus perempuan, ke mana uang itu akan dikirimkan. Dia menyebutkan organisasi Islam dengan nama yang terdengar manis. Aku juga bertanya, dana tersebut akan digunakan untuk apa. Untuk memberi makan saudara-saudara muslim kita, jawabnya. Teringat berita di TV tentang tuduhan penipuan terhadap dana amal kaum Kristen, aku bertanya bagaimana kita bisa mengetahui bahwa uang kita akan sampai kepada yang berhak. “Uang itu akan sampai ke tangan kaum muslim,” sergahnya. “Itu saja yang perlu kau ketahui.”
Anda percaya? Aku tidak percaya. Pertanyaan kritisku bukan tentang pemberian amalnya, tetapi tentang informasi yang dirahasiakan. Mungkinkah aku harus bersikap diam hanya karena orang-orang yang menyebut dirinya sebagai “muslim” akan membawa donasiku? Apakah hanya karena “menjadi seorang muslim itu bajik” maka setiap muslim otomatis menjadi bajik? Mari bicara tentang keimanan. Di mana letak kesalahan pertanyaanku? Atau, apakah pertanyaan-pertanyaanku itu sendiri adalah kesalahan? Ibuku, yang terpojok, tidak terlihat syok saat aku menjelaskan bahwa aku tidak bisa memberikan sumbangan keluarga kami, karena siapa yang peduli pada agama apa yang dipunyai oleh orang yang lapar? Di samping itu, aku bersikap waspada terhadap informasi yang diberikan kepada kami. Sebaliknya, kataku, amalku akan kuberikan kepada organisasi amal non-religius yang kesahihannya bisa kuselidiki.
Ketika masjid semakin kurasakan seperti madrasah, semakin jarang aku pergi ke sana. Aku mulai bersikap kritis terhadap keimananku. Aku mulai menumbuhkan hubungan personal dengan Tuhan daripada percaya begitu saja bahwa hubungan dengan-Nya harus dimediasi lewat jamaah. Dengan spirit itu, aku berdoa sendiri dalam kesunyian. Setiap hari selama bertahun-tahun, aku bangun pagi-pagi sekali dan berjalan dengan tubuh menggigil ke kamar mandi yang tidak diberi pemanas—ibuku yang bekas pengungsi ingin menekan biaya tagihan listrik sekecil mungkin. Setelah berwudhu, aku kemudian menggelar sajadah di ruang tengah, menghadap kiblat, meletakkan sepotong tanah liat Arab yang akan tersentuh dahiku, dan menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk shalat dan berdoa. Kegiatan itu merupakan latihan membangun disiplin diri dalam gerakan dan mengucapkan beberapa rangkaian doa.
Namun demikian, seluruh syariat yang menginstruksikan untuk membersihkan bagian-bagian tubuh yang telah ditetapkan dalam wudhu, mengulang bacaan ayat-ayat tertentu dan membungkuk dengan sudut yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam shalat, semuanya pada waktu-waktu yang juga telah ditentukan, dapat membawa kita pada kepatuhan yang mekanis dan tanpa jiwa. Jika Anda belum melihat kecenderungan seperti ini pada orangtua atau kakek-nenek Anda, maka Anda tergolong muslim yang langka. Aku menyadari bahwa apa yang semula merupakan panduan menuju ketuhanan telah menjadi sesuatu yang otomatis dan mekanis. Dan itu mendorongku untuk menggantikan rutinitas shalatku dengan sesuatu yang lebih mengarah pada kesadaran-diri: percakapan-percakapan yang jujur, langsung, dan tidak terstruktur dengan Sang Pencipta sepanjang hari. Kedengarannya mungkin ekstrem, tapi setidaknya aku dapat menyebut kata-kata itu sebagai kata-kataku sendiri.
Pada titik ini, sebenarnya setapak lagi aku akan mencampakkan keislamanku dan menghapus identitas diriku sebagai seorang muslim. Tahukah Anda apa yang membuatku tidak melakukannya? Kesetiaanku pada keadilan. Aku selalu mencoba untuk memberikan penilaian pada Islam secara adil karena, menurut ukuranku yang cenderung mengikuti Barat, objektivitas adalah segala-galanya. Aku harus menemukan Islam yang sebenarnya, bukan apa yang tampak dari luar. Misalnya, waktu aku berumur sekitar tiga belas tahun, Ibu mendorongku untuk berlaku ramah terhadap sepupuku yang menjengkelkan. “Dia anggota keluarga kita,” Ibu beralasan. “Dia darah-daging kita.” Aku membalas dengan geram bahwa darah-daging tidak berarti apa-apa bagiku. Pertanyaan yang lebih relevan adalah, apakah aku akan memilih untuk berteman dengannya di sekolah jika kami tidak punya hubungan saudara. Karena aku tidak menyukai kepribadiannya, maka dia tak mungkin menjadi temanku. Memaksakan diri untuk “menyukai” hanya karena dia sepupu adalah sia-sia. Aku punya urusan yang lebih penting. Meskipun Ibu memahami hal itu, dia tetap tidak setuju dengan sikapku. Baginya, keluarga lebih penting. Bagiku, hubungan darah tidak sama dengan objektivitas. Kepribadianlah yang bisa diukur dengan objektivitas.
Kugunakan standar yang sama untuk menilai agama. Dalam rangka memutuskan apakah aku harus menjalankan Islam atau tidak, maka aku harus menemukan ukuran yang objektif dalam praktik Islam—atau tidak sama sekali. Dan aku harus menemukannya sendiri, menggantikan lembaga masjid dan kesalehan-kesalehannya yang terprogram dengan pencarianku sendiri akan kepribadian Islam. Mungkin Al-Quran benar-benar mendehumanisasi kaum Yahudi dan menindas perempuan. Atau mungkin Mr. Khaki adalah guru yang buruk. Mungkin pula Tuhan memerintah semua orang untuk berbahasa Arab. Atau mungkin itu hanyalah peraturan bikinan manusia agar kaum muslim bergantung kepada para penguasa. Mungkin, tindakan menyimpang dari Kitab Suci berarti menghina Yang Maha Kuasa. Atau, mungkin kita menghormati kekuatan kreatif Allah ketika kita menggunakan kekuatan kreatif kita sendiri. Aku tak tahu. Tapi, tanpa adanya eksplorasi untuk menemukan sebuah alternatif, maka meninggalkan Islam terasa seperti melarikan diri dari kenyataan.
Yang membuatku senang adalah kenyataan bahwa aku hidup di sebuah belahan dunia yang membolehkan aku melakukan eksplorasi. Terima kasih atas kebebasan Barat yang diberikan kepadaku—untuk berpikir, menyelidiki, berbicara, bertukar pikiran, berdiskusi, menantang pikiran orang lain, ditantang oleh orang lain, dan berpikir ulang. Sehingga, aku bisa menilai agamaku secara seimbang dengan semangat yang tidak akan pernah kumiliki dalam mikrokosmos muslim yang sempit di madrasahku. Tak perlu memilih Islam atau Barat. Sebaliknya, Barat memungkinkan aku untuk memilih Islam, meskipun secara tentatif. Sehingga, sekarang terserah kepada Islam untuk mempertahankan diriku.
Aku tidak terobsesi dengan agama. Tapi, setiap saat sebuah pertanyaan selalu muncul, dan aku memburu jawabannya di satu-satunya tempat yang menurutku memungkinkan. Bayangkanlah: perpustakaan umum pada periode pra-internet sekitar tahun 1980-an dan awal 1990-an. Sebagian besar bahan tentang Islam yang aku baca memberikan nada seperti buku-buku teks sekolah. Banyak referensi, sedikit tantangan. Kemudian, pada tanggal 14 Februari 1989, Ayatollah Khomeini mengumumkan fatwa hukuman mati bagi Salman Rushdie, penulis Ayat-ayat Setan. “Valentine yang tidak lucu ini,” sebagaimana Rushdie menyebut fatwa ini, mendorong orang di Barat untuk lebih berkerut kening terhadap teokrasi. Banyak orang di Barat yang menentang hukuman mati itu. Dan aku pasti tidak bersikap jujur jika mengingkari kenyataan ini. Tapi, penjelasan-penjelasan yang berhasil kulacak di perpustakaan umum tampaknya cukup puas dengan hanya menjelaskan kemarahan kaum muslim. Penjelasan-penjelasan yang kudapat semakin menjauhkan jawaban dan memunculkan pertanyaan: Apakah betul Al-Quran sesuci yang selalu diyakini oleh para pembasmi patung itu? Lalu apa yang terjadi dengan pemikiran Barat yang telah membuat aku jatuh cinta? Yang secara religius menghormati orang lain tapi secara intelektual tak bisa dikatakan suci? Apakah multikulturalisme mulai kehilangan pijakan?
Dalam makna yang krusial, aku rasa demikian. Aku mengatakan demikian karena aktivitasku ke perpustakaan kebetulan bersamaan dengan era Edward Said. Dia adalah intelektual Arab-Amerika yang pada tahun 1979 menggunakan kata “Orientalisme” untuk menjelaskan kecenderungan Barat untuk mengolonisasi kaum muslim dengan cara menjuluki kita sebagai orang gila eksotis dari Timur. Teori yang sangat meyakinkan, tapi tidakkah teori itu juga menyuarakan bahwa Barat “imperialis” ternyata mempublikasikan, mendistribusikan, dan mempromosikan buku Edward Said?
Selama satu dekade, Said menjadi simbol segala kegusaran yang ada di kalangan akademik, yang kemudian menjadi aktivis di Amerika Utara dan Eropa. Penghormatan mereka terhadapnya dengan efektif telah melumpuhkan ide-ide lain tentang Islam. Pada saat Salman Rushdie muncul dengan novel Ayat-ayat Setan, para pembantu Said bersiap menuduhkan “Orientalis” (baca: rasis) pada apa pun yang menghina muslim arus-utama. Berdasarkan pengalamanku, perpustakaan umum juga tidak terlepas dari sikap ini.
Aku mulai mendapatkan kembali keyakinanku, baik pada Barat maupun pada Islam, setelah pertengahan 1990-an. Alhamdulillah dengan adanya internet. Dengan tidak relevannya sensor di dunia Web—orang lain akan mengatakan apa yang tidak akan Anda katakan—internet menjadi tempat di mana para pemberani yang kritis akhirnya bisa bernapas lega. Mereka menegaskan kembali hal-hal yang membuat Barat menjadi inkubator ide-ide yang sengit: kecintaan Barat pada penemuan baru, termasuk penemuan atas bias-biasnya sendiri. Dan ketika para kritikus menggali Islam lebih dalam, aku menemukan beberapa aspek dari agamaku yang membuatku ternganga.
Berapa banyak dari kita yang tahu sampai sejauh mana fakta bahwa Islam adalah “hadiah dari kaum Yahudi”? Kesatuan penciptaan Tuhan, keadilan Tuhan yang inheren dan yang sering kali misterius, kapasitas bawaan dalam diri kita sebagai mahluk Tuhan, untuk memilih hal-hal yang baik, tujuan akhir kehidupan duniawi kita, tidak terbatasnya hidup sesudah mati—hal-hal tersebut dan hal-hal besar lain menyangkut monoteisme datang kepada kaum muslim melalui Yudaisme. Penemuan ini menyentak kesadaranku karena mendorong agar kaum muslim tidak perlu terlena dalam slogan anti-Semitisme. Kalaupun ada hal yang mengaitkan kaum muslim dengan kaum Yahudi, maka hal itu adalah: alasan untuk berterima kasih kepada mereka lebih besar ketimbang membenci mereka.
Aku belum memberikan apresiasi bahwa kaum muslim menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan kaum Yahudi dan kaum Kristen, sampai aku mendidik diriku sendiri. Al-Quran menegaskan fakta ini. Namun, aku mesti membaca dulu sebuah buku terbitan baru karya ilmuwan religius Inggris, Karen Armstrong, sebelum pokok pikiran itu memasuki pikiran bentukan madrasahku. (Apa mau dikata? Menghapus fail-fail otakku yang sudah telanjur terprogram selama bertahun-bertahun adalah sesuatu yang sulit kulakukan). Armstrong menegaskan, Nabi Muhammad tidak menyatakan bahwa dia memperkenalkan Tuhan baru ke seluruh dunia. Misi pribadinya adalah menuntun bangsa Arab menuju keluarga Ibrahim yang “ditunjuki kepada jalan yang benar”. Ibrahim, nabi pertama yang menerima wahyu bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Mahakuasa.
Selama masa perkembanganku, aku tidak pernah mendengar nama Ibrahim disebut-sebut dalam pelajaran sejarah. Penghapusan yang sangat mencolok, mengingat bahwa anak cucu Ibrahim-lah yang kemudian membentuk bangsa Yahudi. Sebagai monoteis pertama di muka bumi, kaum Yahudi meletakkan dasar-dasar bagi kaum Kristen dan kaum muslim. Jadi, bukanlah kaum muslim Arab yang menemukan Tuhan yang satu: Kita menamai-ulang Dia sebagai “Allah”. Kata “Allah” adalah kata Arab untuk “Tuhan”—Tuhan kaum Yahudi dan Kristen.
Di manakah pengakuan kita terhadap warisan Yahudi dalam kurikulum madrasah? Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelum Islam. Namun, jika seluruh pengalaman pra-Islam tersebut dianggap tidak pernah ada, maka tidak akan pernah ada pula prinsip-prinsip kita sebagai muslim. Jika saja lebih banyak dari kita yang tahu bahwa Islam adalah produk puluhan sejarah yang saling-berkaitan, bukan sebagai sebuah jalan hidup utuh yang orisinal—jika saja kita memahami bahwa kita adalah makhluk hasil persilangan spiritual—akankah kita lebih mau menerima “yang lain”? Aku mulai bertanya-tanya kenapa kita begitu enggan untuk mengakui pengaruh-pengaruh luar, kecuali ketika kita menyalahkan Barat atas aneka luka kolonial yang kita derita. Yang, pada gilirannya, memunculkan sebuah pertanyaan mendasar: Apakah Islam lebih picik daripada agama-agama dunia lainnya?
Ada kekacuaan dalam mendiskusikan topik ini. Sejak di universitas, kapan saja orang setuju pada suatu diskusi tentang sikap Islam yang tidak toleran, maka mereka akan mewanti-wantiku untuk tidak mencampuradukkan agama dengan kebudayaan. “Merajam perempuan dengan batu sangat berhubungan dengan kebiasaan masyarakat tribal dan tidak ada hubungannya dengan Islam,” seorang perempuan menguliahiku pada suatu acara makan malam. Aku tetap skeptis. Kalaupun Islam memang fleksibel, maka Islam dapat beradaptasi untuk hal-hal yang baik, dan bukan untuk hal-hal buruk, bukan? Lalu kenapa tidak ada satu hal pun di dalam masjidku yang mirip dengan demokrasinya Richmond—sebuah demokrasi yang membolehkan kaum muslim mendirikan masjid.
Bukan hanya muslim modern dalam diriku yang harus bergulat dengan isu-isu seperti itu. Karierku sebagai wartawan TV dan komentator, menempatkanku di garis depan—berhadapan langsung dengan—pertanyaan-pertanyaan publik tentang Islam. Setelah menyaksikan wajahku di layar TV, orang kebanyakan tanpa ragu mendekati dan menyapaku di toko, restoran, dan kereta bawah-tanah untuk menyuarakan keprihatinan yang mendasar: Kalau kau menjadi muslim yang mengutuk jenggot, menolak jilbab, maka semoga Allah menolong dan menyelamatkanmu. Tapi, sepanjang kau memilih untuk tetap menjadi bagian dari Islam, bagaimana kau menghadapi begitu banyak kaum fanatik di bawah bendera Islam?
Lebih tepatnya, mereka bertanya, “Apakah boleh menjadi muslim sekaligus feminis?” “Apa yang dibutuhkan untuk mengubah seorang muslim yang taat menjadi seorang pengebom bunuh diri?” “Kenapa hanya sedikit muslim yang berbicara di depan publik?” “Apa kau takut berbicara?” Dan, “Kenapa aku tak pernah mendengar lelucon tentang seorang pendeta, seorang rabbi, dan seorang mullah?” Karena tertohok oleh pertanyaan terakhir itu, maka aku melakukan pengkajian serius. Dan rasanya aku telah memperoleh pemahaman yang dalam. Izinkan aku menguraikannya secara ringkas.
Islam memiliki ajaran populer yang melarang “tertawa berlebihan”. Tidak boleh ada lelucon. Dalam satu buklet berjudul Problema dan Solusinya, Syekh Muhammed Salih Al-Munajjid menjelaskan ajaran tersebut. Pada saat “seorang muslim tidak boleh menampilkan wajah masam”, terlalu banyak tertawa membuktikan bahwa kaum muslim telah dimanipulasi oleh kecerdasan akal, yang akan melemahkan karakter dan kesalehan kita. Aku teringat, seorang paman dengan penuh kasih sayang tapi tegas memperingatkanku pada suatu malam tahun baru agar tidak tertawa terlalu keras karena Kiamat pasti segera datang. Jika tertawa yang berlebihan tidak diperbolehkan, kenapa efek liris dan menghipnotis dari bahasa Arab, yang dibaca berulang-ulang dengan keras, tidak diberi sanksi yang sama?
Berdasarkan fakta tersebut, orang lalu berharap ada lelucon menohok—yang berbicara tentang seorang pendeta, seorang rabbi, dan seorang mullah—maka aku harus mengatakan bahwa aku menyukai keingintahuan publik. Selama bertahun-tahun, keingintahuan itu telah menyuburkan keingintahuanku sendiri. Semakin banyak kesempatan yang kuraih untuk menjadi pusat perhatian, meributkan problem sosial ini atau tren global itu, semakin banyak aku membutuhkan orang luar untuk terus menyadarkanku tentang alasan kenapa aku berusaha keras mengasosiasikan diriku dengan keyakinan yang menjadi pusat dari begitu banyak kekacauan internasional dan penderitaan individu. Orang berhak bertanya. Dua pertanyaan, secara khusus, telah mengguncang duniaku—keduanya ditujukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik, tapi tidak satu pertanyaan pun yang tidak menimbulkan kepedihan.
Pertanyaan pertama adalah, “Bagaimana Anda bisa membuat Islam mampu menerima homoseksualitas?” Secara terbuka, kunyatakan diriku sebagai seorang lesbian. Aku memilih untuk “mengakuinya kepada dunia luar”. Karena, setelah menjadi dewasa dalam rumah tangga yang penuh penderitaan, di bawah kekuasaan Ayah yang sewenang-wenang, aku tidak akan menentang cinta suka-sama-suka yang menawarkan kegembiraan sebagai orang dewasa. Aku bertemu kekasih pertamaku pada usia dua puluhan. Beberapa minggu kemudian, aku menceritakan hubunganku dengannya kepada Ibu. Dia merespons dengan bijak, seperti biasanya. Sehingga, pertanyaan apakah aku bisa menjadi seorang muslim dan seorang lesbian pada saat yang bersamaan hampir tidak menggangguku sama sekali. Yang itu adalah agama. Yang ini adalah kebahagiaan. Aku tahu mana yang lebih kubutuhkan. Sembari mempelajari Islam, aku terus mempelajari seni mempertahankan hubungan dengan perempuan (yang merupakan hal yang lain lagi), memproduksi tayangan TV, dan secara umum menjalani hidup yang penuh pilihan bagi seorang yang berusia dua puluhan di Amerika Utara.
Sejalan dengan pekerjaanku di TV yang telah membuatku menjadi figur publik yang menonjol, harapanku untuk merekonsiliasi homoseksualitas dengan Islam turut berevolusi menjadi kesibukan tersendiri. Aku memasuki periode introspeksi diri yang serius, bahkan juga tergoda dengan kemungkinan untuk meninggalkan Islam demi keutuhan cinta. Tujuan apa lagi yang lebih baik daripada cinta, yang mengharuskan kita mengorbankan segala-galanya? Tapi, setiap kali aku tenggelam dalam introspeksiku yang sunyi, aku selalu kembali ke dalam realitas. Bukan karena takut. Tapi karena keinginan untuk berlaku adil—terhadap diriku sendiri. Sebuah pertanyaan menuntunku untuk berpikir secara mendalam: jika Tuhan yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa tidak menghendakiku menjadi seorang lesbian, lalu mengapa Dia masih memberiku kesempatan hidup?
Tantangan hebat untuk “menjelaskan diriku” hampir menjadi peristiwa sehari-hari setelah tahun 1998. Pada tahun itu aku mulai memandu acara QueerTelevision, sebuah acara di TV dan Internet yang mengupas budaya gay dan lesbian yang belum pernah ada sebelumnya. Tayangan itu membahas orang, bukan pornografi. Namun demikian, acara itu membuat orang Islam dan Kristen fundamentalis mengeluarkan petisi terbuka yang melawan kehadiranku di layar TV mereka. Sebenarnya aku tidak berharap apa pun. Tetapi, naifkah diriku jika berharap agar mereka tidak langsung mengutukku, melainkan memberiku kesempatan untuk berdialog dengan mereka?
Cara dialog sudah kucoba. Sebagai pencinta perbedaan, termasuk perbedaan pandangan, aku tak pernah mencampakkan surat-surat dari pihak yang mencelaku ke tong sampah. Sungguh, secara teratur aku membacakan surat-surat tersebut pada tayanganku. Misalnya: “Saya memberi tahu Anda bahwa satu-satunya Tuhan dan Tuhan yang sejati, yaitu Tuhan di dalam Injil, telah menegaskan dengan sangat jelas bahwa kaum Sodom telah mengorbankan kemanusiaan demi hawa nafsu yang kacau dan sesat. Karena perbuatan yang nista mereka dibenci Tuhan. Mereka bukan lagi manusia, dan akan segera dihukum sesuai dengan hukum Levitikus dan Deuteronomi…”
Sejumlah muslim yang menelepon dan mengirim e-mail ke QueerTelevision setuju dengan pendapat orang Kristen ini (kecuali pada bagian tentang satu-satunya Tuhan dan Tuhan yang sejati hanya milik Injil). Namun demikian, tidak seorang muslim pun yang menanggapi tantangan balikku, yang kuulang-ulang pada percakapan itu: Bagaimana mungkin Al-Quran pada saat yang sama mencela homoseksualitas dan menyatakan bahwa Allah “membuat sempurna segala sesuatu yang Dia ciptakan”? Bagaimana para pengkritikku menjelaskan fakta bahwa, menurut kitab yang mereka anut, Tuhan secara sengaja merancang kebinekaan dunia yang mencengangkan? Pertanyaan yang menyerang homoseksualitas dengan dalil-dalil Islam sungguh menguji keyakinanku. Tapi, memikirkan pertanyaan itu membuatku sadar bahwa dialog yang sehat adalah sesuatu yang mungkin dilakukan jika kita lebih sedikit peduli pada di mana posisi kita ketimbang di mana kuasa Tuhan.
Sekarang aku akan membahas pertanyaan yang kedua. Pertanyaan itu diajukan kepadaku hanya beberapa bulan sebelum peristiwa 11 September, dan pertanyaan itu mempercepat ujian terbesar atas keyakinanku.
Pada bulan Desember 2000, sebuah amplop antar-kantor tiba di mejaku di QueerTelevision. Amplop itu berasal dari bosku, Moses Znaimer. Pontang-panting menyelesaikan sebanyak mungkin episode acara sebelum liburan Natal, suatu saat aku merasa kehabisan energi dan membutuhkan selingan. Jadi, aku membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah kliping Koran. Kliping itu menggambarkan laporan singkat dari Agence France-Presse:
Gadis yang dipaksa berhubungan seks
dicambuk 180 kali
—Tsafe, Nigeria. Seorang gadis berusia 17 tahun yang sedang hamil dihukum 180 cambukan oleh Pengadilan Islam karena dituduh melakukan hubungan seks di luar nikah. Ia akan segera melahirkan dalam waktu dekat. Keluarganya menyatakan hal itu kemarin.
Bariya Ibrahim Magazu, nama gadis itu, mengatakan kepada pengadilan pada bulan September bahwa dia telah dipaksa melakukan hubungan seks dengan tiga lelaki yang pernah berhubungan dengan ayahnya. Ia telah membawa tujuh saksi. Keluarganya mengatakan bahwa dia akan segera melahirkan bayinya dalam beberapa hari ini dan diharapkan menerima hukumannya setidaknya 40 hari kemudian. AFP
Dengan warna merah menyala, Moses melingkari kata “Islam”, dan dua kali menggarisbawahi angka “180”, dan menambahkan komentar, dalam gaya Talmud, di pinggir kertasnya. Tulisannya berbunyi:
IRSHAD,

DALAM SATU DUA
HARI INI KAU AKAN
MENGATAKAN PADAKU BAGAIMANA
KAU MEMBENARKAN
KEGILAAN MACAM INI,
DAN MUTILASI
KELAMIN PEREMPUAN
DENGAN IMAN ISLAMMU.
M.
Astaga! Belum cukupkah para pemirsa QueerTelevision mendesakku untuk memilih antara orientasi seksualku dan orientasi agamaku? Apakah bosku harus membebaniku secara etis juga? Terutama di saat-saat deadline yang terasa menyiksa seperti ini?
Kusingkirkan amplop itu dan kulanjutkan pekerjaanku. Tapi, beberapa jam kemudian, tantangan Moses mengguncang nuraniku. Katakan padaku kalau hal itu tidak mengguncang nuranimu juga. Cerita tentang gadis korban perkosaan yang masih muda ini harus menghantui setiap manusia normal. Karena, betapapun kecilnya kasus ini, ada satu fakta yang tidak dapat dikesampingkan secara rasional: Harkat dan martabat gadis ini telah dihancurkan, dan dengan susah payah ia telah mengumpulkan tujuh saksi. Tujuh! Dan tetap saja dia harus menjalani hukuman 180 cambukan! Bagaimana bisa aku membenarkan kesewenang-wenangan itu dengan iman Islamku?
Aku akan menghadapinya secara langsung. Tidak dengan bersikap membela diri, tidak dengan teori-teori, tapi dengan kejujuran total. Kurang dari setahun sebelum seluruh dunia terhentak oleh peristiwa 11 September (2001), aku bersiap-siap memasuki bab berikutnya dari kehidupanku sebagai seorang muslim Refusenik. Selengkapnya kunjungi www.irshadmanji.com

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.