Selasa, 16 September 2008

Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis

Memoar seorang yang memutuskan keluar dari anggota jaringan Hizbut
Tahrir di Inggris. Potret kecupetan berpikir.

***
Pada mulanya dia adalah pemuda kalem yang taat salat, mengaji, dan
lembut tutur katanya kepada semua orang. Tapi, pada usia 16 tahun,
ada sesuatu yang berubah: ia terlibat dalam jaringan Hizbut Tahrir di
Inggris. Di matanya Islam juga ideologi yang harus mengatur semua
soal, dari jenggot hingga boleh-tidaknya voting di parlemen.

Ed Husain berubah menjadi "Islamis". Islam ideal itu, bagi Ed Husain,
tengah dikangkangi kapitalisme, sosialisme, dan ideologi sekuler
lainnya, dan harus ditegakkan kembali lewat pembentukan khilafah.
Dengan begitulah "Islam sebagai solusi" bisa didesakkan ke ruang
publik, termasuk dengan memanfaatkan berkah demokrasi Inggris.


Lewat buku The Islamist yang sudah diterjemahkan menjadi Matinya
Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis (Penerbit Alvabet)
bulan lalu, Husain mengisahkan pengalamannya terpikat pada Hizbut
Tahrir selama lima tahun. Ia menyelam, sebelum akhirnya memutuskan
keluar dari organisasi yang mendapat ruang hidup di Inggris itu.

Lima tahun Husain dengan penuh gairah mempraktekkan dan
mengkampanyekan Islam itu. Sekolahnya, juga hubungannya dengan
keluarganya, imigran Indo-Pakistan yang tradisionalis dan penganut
tarekat, terganggu. Tapi murabbi (mentor)-nya di Hizbut Tahrir
berkata: bukankah itu ongkos yang harus ditanggung? Bukankah godaan
terberat seorang Islamis adalah tantangan keluarga terdekat?

Lingkaran pergaulannya juga menyempit. Garis kawan dan lawan ditarik
lebih tegas. Di dunia jahiliyah sekarang, seperti kata George Bush,
yang "ideologinya" menyerupai Hizbut Tahrir di Inggris, Anda with us
atau against us. Tidak ada irisan, tak ada wilayah abu-abu yang
membuka ruang untuk dialog.

Sumber informasi pun dibatasi. Di dunia yang penuh tipu daya, Anda
wajib menelan bacaan ini, dan haram menyentuh bacaan itu. Dunia
Husain kemudian menjadi bak kapsul yang makin kecil, menyempit ke
dalam. Makin terbatas sumber ilhamnya, makin cupet dan radikal ia.

Kini Husain keluar dari Hizbut Tahrir dan balik menentangnya. Ia
diselamatkan oleh kesediaannya untuk terus menggunakan akal sehat,
yang memungkinkannya memperluas wawasan dan pengetahuan. Kesadarannya
mulai terusik ketika seseorang wafat akibat radikalisme kelompoknya.
Ia belajar sejarah dan menyimpulkan bahwa cerita kekhalifahan Islam
bukanlah cerita yang mulus seperti sering diomongkan murabbi-nya.

Ia tak cocok dengan sikap mendua kelompoknya. Banyak aktivisnya hidup
dari bantuan pemerintah Inggris, negara yang mau mereka hancurkan.
Mereka mau melibas demokrasi, padahal karena demokrasilah mereka bisa
hidup bebas di Inggris.

Kini, sambil sekolah S3 di Universitas London, Husain mendirikan
Yayasan Quilliam dengan misi menghambat ekstremisme Islam. Quilliam
adalah pionir muslim Inggris yang tak mempertentangkan identitasnya
sebagai warga Inggris dan muslim sekaligus.

Buku ini, yang dengan terperinci menuturkan pengalaman pribadinya,
termasuk memoar langka. Butuh keberanian tertentu bagi Husain untuk
mengungkap dapur yang cukup lama membesarkannya. Beberapa kalangan di
Inggris, termasuk bekas teman dekatnya, mengecamnya sebagai "jual
diri". Muslim lainnya menilai Husain "terlalu membesar-besarkan
kelompok radikal". Lainnya lagi menyambut bukunya sebagai sumber
informasi penting untuk mengenal lebih dekat Islamisme.

Kita tak perlu tahu detail yang mana yang benar untuk menghargai
signifikansi buku ini dan belajar darinya. Ya, kisah Husain penting
disimak karena ia menunjukkan sesuatu yang tak lagi pada tempatnya
(baca: berbahaya) ketika militansi agama bertemu dengan, atau
diakibatkan oleh, kecupetan berpikir. Ketika keyakinan tentang yang
absolut, yang diisolasi dari kritisisme, menggerakkan orang untuk
merasa boleh melakukan apa saja.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina.
(Majalah Tempo, 8 September 2008)


Bookmark & Share:

2 komentar:

Anonim,  15 Desember 2008 pukul 12.42  

Wahai orang-orang HTI janganlah memaksakan diri untuk membangun negara Islam di Indonesia. Saya melihat ketika Agama dicampur adukan dengan Negara maka tidak akan beres.

hizbut tahrir indonesia 24 Juni 2009 pukul 23.25  

Ed Husain, Pengembara Yang Sia-sia.
buku ini sangat dipengaruhi oleh subyektifitas penulis, termasuk tingginya kadar emosi dari seorang anak muda dan rendahnya pengetahuan ke Islaman penulis yang memang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai mengingat ia bukanlah berlatar pendidikan tsaqafah Islam.
Ed Husain bukanlah anggota Hizbut Tahrir.

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.