Senin, 13 Oktober 2008

Berharap Bisa Mandiri

Ketika memasuki pintu gerbang pondok pesantren Dhuafa, Bulu Lawang, Malang, tampak terlihat seorang santri sedang duduk sendirian di sebuah warung sederhana beralaskan tanah. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Yang terlihat hanyalah tatapan kosong tak tentu arah. Namun, ketika kru inovasi berkunjung menghampirinya, senyum manis pun tampak terlihat seraya mempersilahkan untuk duduk disebuah kursi panjang yang terletak di depan warung tanpa penjaga itu.

Santri itu bernama Ainul Aziz, umurnya sekitar 23 tahun. penampilannya, tidak jauh beda dengan santri lain pada umumnya. Siang itu, dia memakai pakaian lengan panjang berwarna coklat muda, berkopyah, sarung dan sepasang sandal jepit.

Dari penampilannya, Aziz bukanlah santri yang berlebihan. Dia hanyalah anak Sebagai anak seorang petani, kelahiran Krebet, Bulu lawang yang dengan penuh kesederhanaan. Akan tetapi, ia mempunyai keinginan sangat tinggi. Keinginan ini tergambar dalam ingatan Aziz sejak tiga tahun lalu.

Beberapa tahun yang lalu, bungsu dari lima bersaudara ini, setelah lulus dari bangku sekolah berkeinginan melanjutkan studi di PTN di Malang. Dia tidak berpikir berapa banyak biaya yang dibutuhkan ketika masuk perguruan tinggi. Yang dilakukan Aziz pada saat itu adalah belajar dan berencana melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, apa mau dikata, setelah lulus sekolah, tiba-tiba Aziz mengurungkan niatnya untuk kuliah. Sebab, apa yang dibayangkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tingginya biaya perkuliahan menjadi faktor utama sekaligus penghalang bagi Aziz.

Saat itu, Aziz geleng-geleng kepala ketika mendapat informasi seputar tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi dari salah satu temannya di kampung. “Seakan saya tidak percaya. Akan tetapi apalah daya, kenyataannya seperti itu”, kenang Aziz sambil duduk diam termenung mengingat kembali keinginan masa lalunya yang terpendam.

Ia hanya bisa pasrah menerima nasib. Keinginan Aziz tercapai hanya pada tataran mimpi. Sedangkan, faktanya tidak kunjung terealisasi. Ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan hanya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adiknya yang masih kecil-kecil. Niatan mulia melanjutkan pendidikan pun kini tinggal kenangan. Padahal, sejak awal Aziz menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Apalagi untuk ukuran kehidupan sekarang. Baginya, pendidikan sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, Aziz sangat optimis bahwa dengan pendidikan, maka dimasa yang akan datang akan mendatangkan perubahan mendasar pada diri dan keluarganya.

Selain itu, keyakinan kuat atas pentingnya pendidikan, didasarkan atas kondisi sosial yang serba tidak menentu--terus mengalami perubahan. Aziz melihat kehidupan sekarang ini penuh dengan persaingan-persaingan antara satu dengan yang lainnya, sehingga mendorong keinginan hati untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Yang disesalkan Aziz adalah mahalnya biaya pendidikan, sehingga menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan akses pendidikan yang murah sekaligus berkualitas.

Potret Aziz, menambah daftar dari sekian banyak anak Indonesia yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akibat mahalnya biaya pendidikan. Masalah klasik ini seakan terus dipelihara dan dijaga kelestariannya dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia dari hari ke hari.

Meskipun demikian, tingginya biaya pendidikan tidak mengurungkan niat Aziz untuk berhenti belajar. Ia berencana ingin melanjutkan studi di pesantren. Berdasarkan informasi yang di dapatkan dari kerabat dekatnya, yang kebetulan pernah nyantri di pesantren An-nur 3, pesantren Dhuafa’ membuka pintu lebar untuk menampung anak-anak orang miskin yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Berawal dari informasi inilah, Aziz tertarik mondok di pesantren Dhuafa’ yang masih berada dalam lingkup An-nur 3. Di sana, ia tidak hanya mendapatkan pendidikan gratis, tetapi juga di latih dengan berbagai keterampilan. Bagaimanakah pesantren memberdayakan santri dengan serangkaian keterampilan tersebut?
***********
Pemberdayaan

Pesantren Dhuafa’ memiliki luas area kurang lebih 100 m². Hampir seluruh aktifitas santri berlangsung di pondok, begitu juga aktifitas belajar. Mereka tidak hanya di beri bekal ilmu agama saja, melainkan juga berbagai disiplin ilmu keterampilan. Diantara, keterampilan berdagang, bertani, tentang perkebunan, pertukangan, peternakan, dan perikanan. Tujuannya adalah untuk memberi bekal pada santri sebelum meninggalkan pondok pesantren.
Proses pemberdayaan ini, tidak mengenal istilah maupun teori. Mereka langsung praktek. Sebab, proses pembelajaran ini tidak berlangsung di dalam kelas. Melainkan, lebih banyak diselenggarakan di luar kelas sebagai proses edukatif yang mengarahkan santri agar mengenal lebih dekat lingkungannya.

Para santri diberdayakan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pada saat menginjakkan kaki di pesantren Dhuafa’, tampak terlihat Aziz bersama 2 temannya berada dilangit-langit bangunan. Tanpa dihantui rasa takut, mereka menaiki bangunan yang menjulang tinggi itu untuk memasang kayu. Sebuah palu dan paku mereka keluarkan dari saku celana untuk merapatkan kayu pada bagian atap bangunan. Sedangkan sebagian lainnya, bertugas memilih kayu yang sudah di cetak dengan bentuk persegi panjang itu untuk di haluskan.

Menurut Aziz, santri yang menekuni bidang pembangunan “bangunan yang sedang dalam proses penyelesaian itu dinamakan kasibo”. Sebuah bangunan yang biasa disebut gedung kasunanan. Banguan itu didesain mirip bangunan-bangunan yang ada pada zaman Wali Songo. Salah satu ciri khas dari bangunan itu adalah sebagian besar bahannya terbuat dari kayu kelapa. Fondasi bangunan tanpa dicor, sehingga ada kesan alami seperti bangunan yang ada pada masa lalu.

Tidak hanya kasibo yang didesain sesuai dengan corak tempo dulu. Bangunan-bangunan yang ada disekelilingnya, yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar santri, juga memiliki kesamaan. Semua bangunan itu dibuat berdasarkan atas hasil kreatifitas santri.

“Dalam proses pengerjaannya, sudah terbagi sesuai dengan jobnya masing-masing. Meski dengan bekal peralatan apa adanya, teman-teman bahu membahu menyelesaikannya. Ada yang bertugas memilih kayu yang cocok, menghaluskan dan memasangnya. Semuanya ini tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri. Harus tetap menggunakan prinsip kerjasama” Tambah Aziz.

Aziz tidak bekerja sendirian. Pada saat bersamaan, tampak terlihat santri yang masih berumur belasan tahun, sedang serius menggunting rumput. Dengan telaten, rumput yang sudah mulai memanjang diguntingi. Bekas rumput yang di gunting di sapu hingga bersih agar tampak terlihat rapi dan asri.

Masih banyak lagi keterampilan yang ditekuni santri. Ada yang berperan mengurusi masalah perikanan, peternakan, perdagangan. Semua santri disuruh mengembangkan sendiri sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Sedangkan peran Ustadz, hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan santri apabila salah dalam proses belajar. Peran ustadz lainnya adalah mendampingi santri dalm proses pembelajaran. Apabila santri tidak paham, maka langsung bertanya pada ustadz.

Sistem pembelajaran seperti ini pada dasarnya bertujuan untuk merubah anggapan bahwa santri hanya berperan sebagai penerima sedangkan ustadz sebagai pemberi pengetahuan. Sistem pembelajaran yang monologis ini, tidak lagidijadikan sebagai prinsip dasar pembelajaran dalam pesantren Dhuafa’. Santri Dhuafa’ diberi kesempatan untuk mengembangkan daya kreasi dan imajinasi sesuai dengan potensi yang mereka miliki.

Proses pembelajaran yang demikian ternyata memberikan hasil-hasil yang positif, karena santri benar-benar diajak untuk melatih diri mempelajari keterampilan secara mantap. Mereka dipersiapkan sejak dini agar pada saat terjun ke masyarakat bisa menjadi pribadi yang mandiri.
***
Keterampilan Untuk Kemandirian

Harapan KH. Ahmad Qusyairi Anwar, selaku pengasuh pondok pesantren Dhuafa’ Bulu Lawang Malang, terhadap anak didiknya adalah setidaknya santri yang sudah selesai mendalami ilmu agama dan belajar keterampilan hidup di pesantren, kelak di kemudian hari mereka bisa menjadi figur agamawan serta tidak binggung lagi mencari pekerjaan. Karena sejak awal masuk di pesantren, mereka sudah di gembleng hidup secara mandiri dengan berlatih bekerja.

Santri yang sudah kembali ke tanah kelahirannya, atau dimana saja santri bertempat tinggal, mereka telah dibekali ketrampilan agar tidak canggung (gagap) ditengah masyarakat. Mereka dapat menjalani hidup secara mandiri dengan menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

Harapan-harapan ini muncul seiring dengan maraknya masalah kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di berbagai wilayah. Kyai Qusyairi menuturkan bahwa beliau sering menjumpai orang miskin yang nganggur karena tidak mempunyai pekerjaan, baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan, terutama di Malang.

Penilaian ini memang tidak berlebihan. Sebab, selain karena minimnya peran pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Proses pemberdayaan terhadap masyarakat miskin dengan memberikan keterampilan hidup juga kurang dilakukan. Faktor lain juga disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan. Terutama bagi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sering mengeluh karena tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Sehingga, keinginan untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan menjadi sebuah kendala.

Menurut KH. Ahmad Qusyairi Anwar, “kalau mereka yang tidak mampu secara ekonomi tidak kita tolong dengan memberikan biaya pendidikan gratis, bagaimana mungkin anak mereka yang berada di pelosok-pelosok desa bisa membangun daerahnya sendiri di masa yang akan datang. Bisa jadi angka pengangguran akan semakin bertambah karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia”.

“Tujuan pesantren ini didirikan hanya untuk menolong orang-orang yang lemah. Dan kegiatan menolong merupakan kewajiban saya dan kita semua. Tapi kalau saya sendiri disuruh terjun langsung, menjangkau ke sana (baca: pelosok desa), ya ngga’ mungkin. Kalau ada orang mondok di sini, atau bagi siapa saja yang ingin belajar di sini, ya silakan. Malah saya tambah senang. Saya di sini hanya menyediakan fasilitas pondok saja” tambah Kyai pada saat ditemui di ruang tamu rumahnya.

Banyak lembaga pendidikan yang mencetak sarjana, namun mereka hanya menjadi pengangguran. Mereka terjerembab dalam persoalan pengangguran, karena tidak memiliki kompetensi serta tidak mempunyai keterampilan hidup yang bisa dijadikan bekal terjun di masyarakat.

ketidakmampuan para sarjana dalam mengatasi persoalan pengangguran di negeri ini terkait dengan sistem pendidikan tinggi yang belum mampu memacu kreativitas mahasiswanya. Kyai Qusyairi beranggapan bahwa sistem pembelajaran yang diterapkan di bangku perkuliahan masih banyak menggunakan pendekatan teoritik. Sedangkan porsi waktu yang diberikan dalam mempraktekkan ilmunya sangat minim.

“Sampeyan (kamu, red) sendiri kan sudah mengerti, kalau saat ini banyak lulusan sarjana yang nganggur. Mereka nganggur karena tidak dipersiapkan dengan bekal keterampilan. Mereka hanya mengandalkan ilmu dari bangku kuliah saja. Padahal, apa yang dipelajari dibangku perkuliahan kadangkala tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Kalau mereka tidak diajak langsung terjun ke masyarakat, mempraktekkan ilmu yang dimiliki, bisa jadi akan memunculkan kegamangan tersendiri ketika mereka dihadapkan pada sebuah persoalan yang membutuhkan penyelesaian secara serius”,
ujarnya.

Berdasarkan catatan Razali Ritonga, Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS yang memaparkan Hasil survei angkatan kerja nasional Februari 2007 menunjukkan, jumlah penganggur di Tanah Air sebanyak 10,55 juta orang, atau sekitar 9,75 persen. Jika ditilik menurutpendidikan yang ditamatkan, sebanyak 740.206 orang, atau sekitar 7,02 persen tercatat sebagai penganggur intelektual. Secara sosial, tingginya angka pengangguran intelektual itu akan menyebabkan beban, tidak hanya bagi pemerintah, akan tetapi juga bagi masyarakat. Secara ekonomi, tingginya angka pengangguran itu akan menyebabkan hilangnya potensi (potential loss) dalam peningkatan pendapatan masyarakat.

Mereka yang berpendidikan seharusnya berperan besar dalam menyelesaikan masalah pengangguran, malah justru terjebak pada pengangguran itu sendiri. Berangkat dari permasalahan inilah Kyai Qusyairi sebagai pengasuh pondok pesantren Dhuafa’, merasa turut prihatin Sehingga di tahun 2003 yang lalu, mendorong pondok pesantren ini untuk hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai alternatif penyelesaian masalah tersebut.
Bukti konkrit keunggulan pesantren ini adalah hingga saat ini tercatat lebih dari 80 santri dari anak orang tidak mampu secara ekonomi mondok di pesantren Dhuafa’ dengan biaya gratis sekaligus diberdayakan dengan berbagai keterampilan yang ada. Dan sudah banyak alumni pesantren yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, dengan menerapkan ilmu yang di dapatkan di pesantren.


Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.