Senin, 13 Oktober 2008

Beringin, Masjid, dan Tuhan

Seorang pria paruh baya sedang bergelayutan di sebuah pohon beringin besar. Badanya kurus dan tinggi. Warna kulitnya coklat tua disertai guratan-guratan di sekujur tubuhnya. Kaus putihnya tampak tersapu debu. Tanganya memegang sebuah kapak yang digunakanya untuk memotong pohon beringin tersebut. Ranting demi ranting dia tebas. Tubuhnya berpindah dari satu dahan ke dahan lainya. Mengait cabang beringin satu demi satu. Begitu lincah dan piawai. Alhasil daun beringin yang awalnya hampir menyentuh tanah berubah menjadi gundul. Suasana berubah menjadi terang. Hanya saja cabang-cabang yang menjulang ke atas tidak dapat dia jangkau. Masih terlihat rimbunya beringin di bagian teratas.

Dia menyelesaikan pekerjaanya tepat setelah adzan ashar berkumandang. Sebuah gerobak telah penuh oleh kayu-kayu yang ia kumpulkan. Seorang wanita yang berkulit lebih gelap darinya membantu. Tubuhnya pun lebih kurus. Dia memakai rok panjang bermotif bunga-bunga. Baju atasanya pun tak jelas warnanya. sekilas terlihat putih tapi putih yang menguning. Wanita itu menggunakan kerudung merah muda yang terlihat begitu kontras di wajahnya. Dia mengangkut ranting-ranting pohon yang sudah dihilangkan daunya ke dalam gerobak. Sedikit demi sedikit. Lalu mereka beranjak dari tempat itu sambil mendorong gerobak. Saya tidak sempat menayakan siapa nama mereka.

Pagi itu tepatnya di bulan pebruari. Saya sedang mencoret angka delapan di kalender saat mendengar suara benda keras dipukul. Suaranya tidak begitu keras tapi cukup mengagetkan. Suara itu lama terdengar dan kemudian kembali sepi. Saya keluar rumah untuk mencari tahu, melihat ke ujung jalan tempat suara berasal. Terlihat seorang pria berjaket hijau lumut memegang sebuah besi. Kira-kira panjangnya 20cm. Dia berdiri tepat di depan tiang listrik. Akhirnya saya dapat menyimpulkan asal suara itu.

Selang beberapa menit beberapa warga desa Semanding kecamatan Dau kabupaten Malang datang beramai-ramai menuju punden. Punden adalah suatu tempat untuk meletakkan keranda yang dipakai mengusung jenazah. Warga desa Semanding juga biasa menyebutnya dengan istilah Kendal. Disana terdapat segala perlengkapan untuk memandikan dan menguburkan jenazah. Mulai dari tong tempat air, sampai selang dan peralatan pengurusan jenazah lainya.

Punden terletak tepat di samping pohon beringin. Di sana juga terdapat sebuah makam yang telah rata dengan tanah. Di ujung atas dan bawah makam ditandai dengan batu nisan yang tidak bernama. Ada tanaman liar di sekitarnya. Menurut Yuli warga semanding, makam itu adalah makam orang yang pertama kali membuka desa Semanding. Orang pertama yang menjadikan semanding sebagai pemukiman. Dalam istilah jawa disebut babat alas.

Warga datang ke punden dengan membawa makanan. Setiap perwakilan keluarga membawa satu jenis makanan. Ada yang membawa nasi putih lengkap dengan lauknya. Ada pula yang membawa nasi kuning atau buah-buahan. Makanan itu diletakkan di sebuah wadah yang bernama encek. Encek adalah suatu wadah yang terbuat dari pelepah pisang dan bambu yang dianyam. Diatasnya diberi daun pisang agar makanan tidak tumpah. Tapi tidak semua warga bisa membuatnya. Sebagian lainya menggunakan wadah plastik atau nampan. Lebih gampang dan praktis.

Setiap warga yang datang langsung meletakkan makanan yang dibawanya tepat di bawah beringin. “makananya tidak wajib, warga membawa makanan seikhlasnya. Tidak ada paksaan, ya semampunyalah.” Ujar Datinah. Menurut Datinah acara ini adalah bersih desa. Tujuanya meminta keselamatan untuk seluruh warga desa Semanding. Bersih desa juga dilakukan di desa-desa lainya di kecamatan Dau. Tempatnya pun beraneka ragam. Ada yang di jalan-jalan dan kebanyakan di bawah pohon beringin yang ada di desa bersangkutan.

Warga sudah ramai berkumpul. Laki-laki dan perempuan, juga anak-anak kecil. Mereka setia menunggu dimulainya acara bersih desa. Saya sudah lama menunggu begitu pula dengan warga lain. Beberapa bapak-bapak yang sudah lama menunggu mulai tidak sabar. Yang ditunggu tak kunjung datang. “Siapa yang ditunggu?” tanya saya pada wanita berkerudung tepat disamping saya. “Yang mimpin, mbak.” Jawabnya singkat sambil tersenyum ramah. Bapak-bapak mengutus seorang pria untuk memanggil seseorang yang telah biasa memimpin bersih desa. Seoarang pria berumur tiga puluhan berdiri dan keluar dari tempat warga berkumpul.

Tak lama kemudian seorang laki-laki tua memasuki punden. Namanya Kamid. Menyusul dibelakangnya laki-laki yang tadi pergi untuk memanggilnya. Kamid adalah petua desa yang biasa memimpin bersih desa. Dia membawa kantung kresek warna putih yang berisi arang. Setelah sampai di bawah beringin dia mulai mengeluarkan arang dan menyalakanya. Arang terbakar dengan cepat. Kamid memindahkan arang yang dibakar ke tempat yang lebih dekat dengan pohon beringin. Arang diletakkan di antara makanan-makanan dalam encek.

Setelah menyalakan arang, Kamid memasukkan sebuah batu kecil berwarna putih. Ternyata itu adalah batu kemenyan. Batu kemenyan menimbulkan kepulan asap yang berbau harum. Bau wangi memenuhi punden. Beberapa warga menutup hidung. Wangi kemenyan begitu menusuk pernapasan. Suasana mistis pun mulai terasa. Warga mulai hening. Kamid yang bersimpuh mulai komat kamit membaca doa. Acara telah dimulai.
Seorang pria berpeci berdiri memberi sambutan. Dia adalah Misdi, ketua RT. Dalam sambutanya dia menyatakan bahwa bersih desa merupakan kebiasaan leluhur yang harus dilestarikan. Dia menuturkan bahwa warga Semanding seyogyanya tidak melupakan warisan budaya leluhur. Adapun tujuan dari bersih desa adalah meminta keselamatan kepada Allah SWT. Terhindar dari segala mara bahaya, diberikan kesehatan, dan rezeki yang barokah. Semua itu dituturkanya dalam bahasa jawa.

Acara disambung dengan doa yang dibacakan oleh Kamid. Ia membaca doa berbahasa jawa yang diamini oleh seluruh warga. Ia berhenti sejenak. Kemudian pengeras suara berpindah dari tangannya ke tangan Jumain. Doa dilanjutkan. Kali ini Jumain melanjutkan doa ala Islam. Seluruh warga serempak mengamini. Di sela-sela doanya terdengar Jumain berdoa derngan bahasa Indonesia. “khususon untuk warga desa Semanding sekalian, alfaaatihah.”

Acara pembacaan doa merupakan penghujung acara. Acara usai saat Misdi selaku RT mempersilahkan warga menikmati makanan. Warga berebutan menagambil makanan. Warga tidak mengambil makanan yang mereka bawa sendiri. Tapi bertukaran dengan makanan warga lainya. Acara berlangsung ramai. Beberapa warga bahkan mendapatkan makanan lebih dari satu encek. Warga yang tidak membawa makanan pun pulang dengan encek yang penuh makanan.

Acara berlangsung tidak lebih dari 15 menit. Namun warga begitu gembira. Selama acara berlangsung tidak jarang mereka saling berbincang dan bercanda. Tidak semua dari mereka paham akan makna dan asal-usul upaca ini. Seperti yang dialami Umiasih. Dia adalah salah satu warga yang kurang mengerti dengan asal-usul bersih desa. Dia adalah pendatang yang telah 12 tahun tinggal di desa Semanding. Umiasih menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Semanding. Saat ditanya mengapa acara dilakukan dibawah pohon beringin dia menjawab tidak tahu.

Semua warga sudah berhamburan keluar punden. Suasana kembali sunyi dan sepi. Yang tersisa hanyalah pohon beringin besar dengan punden dan juga makam disampingnya. Saya berjalan keluar mengikuti warga.
Di seberang jalan yang hanya berjarak sekitar 50 langkah dari punden terlihat sebuah masjid. Masjid yang begitu indah dan megah. Bangunanya masih baru. Di sana-sini masih terlihat beberapa bagian yang belum selesai dicat. Masjid itu terlihat sepi.

”Selametan desa, berarti berdoa kepada yang maha kuasa?” Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dibenak saya. Lalu pertanyaan-pertanyaan lain pun mulai menyesaki isi kepala: Adakah tempat yang lebih mustajabah selain rumah Tuhan itu. Adakah tempat yang lebih dekat dengan Tuhan selain di rumahnya sendiri? Atau pohon beringin yang besar itu memang lebih dekat dengan Tuhan? Entahlah!




Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.