Senin, 13 Oktober 2008

Lingkaran Kebebasan dalam Novel Pada Sebuah Kapal Karya Nh. Dini

Dalam pengantar buku The Second Sex, Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang perempuan sedang dalam proses menuju pemulihan mitos feminisme. Mereka mulai menyatakan kebebasannya dengan cara terang-terangan. Tetapi, sebenarnya perempuan belum dapat menikmati kehidupan yang mereka inginkan seperti kaum laki-laki. Kemana pun mereka melangkah, garis akhir yang berupa pernikahan selalu berwujud, memaksa perempuan mengakui dominasi laki-laki.

Antagonisme terhadap dominasi laki-laki yang selalu dihubungkan dengan opresi perempuan tidak hanya dibicarakan oleh de Beauvoir. Pada tahun 60-an, NH Dini juga getol membicarakan permasalahan institusi pernikahan, dominasi laki-laki dan konstruksi sosial yang sangat patriarkal melalui novelnya, Pada Sebuah Kapal. Dalam karya ini, pembaca dihadapkan pada permasalahan-permasalahan kehidupan perempuan yang terjadi saat ini.

Sinopsis
Novel Pada Sebuah Kapal terdiri dari dua bagian, “penari” dan “pelaut”. Di bagian pertama, Sri, seorang perempuan Jawa, menjadi narator tokoh; di bagian kedua, Michel, seorang warga negara Perancis yang ditemui Sri pada perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles, mengambil alih peran tersebut. Dalam “penari” sejumlah peristiwa dalam kehidupan Sri disajikan secara kronologis mulai ia berusia tiga belas sampai tiga puluh tahun. Masa kecilnya di Semarang dan tahun-tahun bekerja di Jakarta diceritakan secara bertahap. Bagian ”pelaut” dibuka pada suatu titik yang sudah diceritakan dalam “penari”, yakni perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles. Peristiwa-peristiwanya tidak dikisahkan secara kronologis, melainkan diselang-selingi kilas balik tentang masa lalu Michel. “Pelaut” berhenti dengan kabar dari Sri kepada Michel bahwa ia, suami dan anaknya akan pindah ke Paris. Novel itu berakhir di sini, dengan menyisakan kemungkinan bahwa Sri dan Michel akan meneruskan hubungan diluar nikah.

Penentangan terhadap Konvensi Sosial
Kehidupan di Jakarta adalah awal keberanian Sri untuk menentang konvensi sosial yang sudah mengakar di otaknya. Cerita ini dimulai dalam jangka waktu singkat selama delapan belas bulan di Jakarta. Di sana Sri bertemu dua laki-laki, Saputro dan Charles (PSK;67-144). Dua laki-laki itulah yang selanjutnya mewarnai kehidupan Sri. Pertama, dengan Saputro. Pertemuan Sri dengan Saputro bukan sekedar pertemuan, tetapi berlanjut pada hubungan percintaan. Rasa cinta keduanya sangat kuat, sehingga mereka yakin dan tidak ragu melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah (PSK;120). Namun sayang, tepat sebelum pernikahan mereka, Saputro meninggal dalam sebuah kecelakaan. Setelah sepuluh bulan peristiwa menyedihkan itu terjadi, Charles Vhincent hadir. Sri menikah dengan Charles, hidup dan membangun rumah tangga bersamanya. Hal menarik pada bagian ini bukan terletak pada hubungan Sri dengan Charles, tetapi hubungan dengan Saputro. Keberanian Sri melepas keperawanannya dengan Saputro adalah gambaran jelas penentangan terhadap konvensi sosial. Sri, sebagai gadis Jawa tidak mempedulikan norma-norma yang telah diajarkan sejak kecil.

Keharusan menjaga kesucian keperawanan ia lepaskan. Sri tidak menganggap penting menjaga kesucian sampai saat pernikahan dan ia yakin bahwa tidur dengan laki-laki yang dicintai adalah hal yang benar meski berlawanan dengan konvensi sosial. Sri sangat menyadari apa yang ia lakukan saat melanggar batas-batas yang ditetapkan atasnya sebagai gadis Jawa. Sebagai seorang pramugari pun, ia menjalani hidup yang ditentang oleh orang lain karena menurut standar masyarakat Jawa, pekerjaan tersebut memberikan terlalu banyak kebebasan bagi perempuan. Namun, ia tetap ingin mendapatkan kebebasan. Gambaran ini terlihat pada bagian:
Aku tidak menunggu saat perkawinan kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah kembali. Dan aku mencintainya. Apakah lagi yang mesti kami tunggu untuk saling melumat satu dengan lainnya, masa bodohkan hukum yang hanya dibikin oleh manusia abad-abad terakhir (PSK:120)

Penentangan terhadap Sangkar Keluarga
Seperti yang telah dijelaskan, Sri berasal dari sebuah keluarga Jawa. Ia pindah dari Semarang ke Jakarta dan kemudian meninggalkan Indonesia untuk hidup di luar negeri (Jepang dan Perancis). Sebelum hijrah ke luar negeri, Sri banyak mempraktikkan tarian tradisional Jawa dan Bali. Dari situ ia banyak memperoleh identitas ke-Indonesiaan yang merupakan bagian dari identitas pribadinya. Sayangnya, suaminya, Charles, tidak menghargai bakat Sri sebagai penari dan tidak memberikannya dukungan (PSK:168-173). Sri terpaksa menyerahkan sebagian identitasnya karena pernikahan dan sikap Charles. Penilainan Sri terhadap Charles seluruhnya bersifat negatif. Baginya, Charles adalah laki-laki kasar yang sama sekali tidak dapat memahami posisi dan perasaan-perasaannya, serta tidak mampu memberikan keseimbangan emosional dalam pernikahannya. Sri semakin merasa terkucil. Pernikahan dan sikap Charles benar-benar menjadi sangkar bagi Sri. Sri menggambarkan Charles sebagai pihak yang bersalah atas kegagalan pernikahannya, dan dirinya adalah korban. Itulah yang membuat Sri muak pada Charles. Gambaran perasaan ini terlihat dalam pernyataan:

“Pada saat-saat berdua, dia lebih nampak kelembutannya dan mulai membicarakan bayi yang akan segera lahir. Aku tidak memperhatikannya. Kalau bayi itu lahir biarlah dia berbuat sekehendak hatinya….Dengan hati-hati aku memalingkan mukaku untuk tidak melihat kemarahannya, dan kuusap perlahan perutku untuk melembutkan perasaan muak dan benciku kepada bapak anak yang kukandung (PSK;155-156)

Kemuakan Sri terhadap Charles diproyeksikan pula pada hubungan dengan anak perempuannya :

“Aku melihat anakku baru keesokannya……..dia tidak tampan, tiba-tiba aku berkata seorang diri. Aku mengingini seorang anak laki-laki tetapi yang lahir adalah seorang bayi perempuan yang amat jelek. Sebentar aku merasakan kekecewaan yang dalam” (PSK;157)

“Kalau anakku menangis, aku tidak selalu dapat menengoknya ke atas. Dan untuk seterusnya dia kubiarkan tumbuh tanpa aku sering-sering di sampingnya” (PSK:158)

Tidak berbeda dengan pandangan terhadap Charles, selain sebagai proyeksi kebencian, Sri juga memandang anaknya sebagai sangkar bagi langkahnya.

‘’Aku juga mempunyai keputusan”, kataku perlahan. Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah payah karena langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan kuberikan pada sebuah penitipan anak-anak. Aku tidak mau membawanya bersamaku”…….( PSK: 186-187).

“Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau gila serunya…….” Aku tidak percaya”……” aku tidak perduli apakah kau percaya atau tidak. Bagiku anakku akan merupakan penghambat yang besar kalau aku harus bekerja di Eropah………”

“Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya” ( PSK: 186-187).


Gambaran-gambaran di atas telah menunjukkan bahwa suami dan anak bagi Sri adalah sangkar yang merebut kebebasannya. Pertama, Charles tidak mengizinkannya untuk tetap menari, dan kedua, kehadiran anak menjadi penghambat yang besar untuk meneruskan karier di Eropa. Sebagai bentuk pemberontakan, tepatnya pada perjalanan kapal selama tiga minggu dari Saigon ke Marseilles (PSK : 188-229), Sri berani memutuskan melanjutkan cintanya pada Michel, laki-laki yang baru ditemuinya di kapal. Sri berani mengambil konsekuensi perselingkuhannya dengan laki-laki itu. Sembilan bulan usai perjalanan tersebut, kita diberitahu bahwa perkawinan Sri tetap seperti sedia kala, serta bahwa Sri dan Michel bertemu dua kali lagi di Jepang.

Lingkaran Kebebasan
Pada dua bagian di atas, terlihat betapa Sri melakukan beberapa upaya untuk mendapatkan kebebasan. Upaya-upaya tersebut ditempuh dengan cara yang paling kontroversial. Dalam kesempatan pertama, ia melanggar aturan kesucian sebelum menikah, dan dalam kesempatan kedua, ia melanggar monogami. Namun, benarkah dengan upaya tersebut, Sri mendapatkan kebebasan dan hidup dalam kebebasan itu? Ternyata tidak. Jawaban ini terlihat pada saat Saputro meninggal, dimana Sri tidak bisa melepaskan diri dari tekanan sosial. Masyarakat sekitar mengutuknya karena ia menjadi perempuan lajang yang sudah tidak suci lagi. Perbedaan dalam hal kebebasan seksual di Timur dan Barat menjadi penting bagi Sri sejak saat itu. Bahkan itu merupakan alasan utama menikahi Charles meski belum mengenalnya dengan baik.

Aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda-pemuda di negeriku menganggapku seorang wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. (PSK:154).

Sebelum kawin dia telah mengetahui bahwa aku pernah mencintai dan memberikan keperawananku kepada orang lain. Orang-orang Barat kebanyakan tidak keberatan akan masih suci atau tidaknya seorang perempuan yang menarik hatinya yang akan dikawininya (PSK: 150)

Pernikahan dengan Charles adalah tebusan rasa bersalah serta ketakutan akan penolakan sosial (PSK:133,154), sekaligus alat untuk melindungi diri dari rasa malu. Demikian halnya dengan upaya kedua, dimana Sri melanggar aturan dan menjalin hubungan dengan Michel. Hubungan dengan Michel adalah satu langkah menuju kebebasan pribadi. Namun, hubungan tersebut tidak memberikan solusi yang tepat bagi permasalahannya. Sri tetap terperangkap dalam kekangan penindasan perkawinannya yang berantakan. Ia tetap tergantung pada Charles, dan tetap berperan sebagai ibu dari anaknya, meski ia menyatakan sebaliknya. Sri tidak banyak menunjukan semangat juang dalam upayanya dalam mengubah hidup. Misalnya saja, dalam suatu kesempatan, ia meminta Charles mempertimbangkan perceraian (PSK:241). Ketika Charles bertanya apakah ada laki-laki lain, dia tidak menjawab. Artinya, Sri menghindar untuk mengatakan kebenaran (PSK;234-44). Sri tidak punya cukup inisiatif serta keberanian untuk menjalankan rencananya.

Di akhir cerita, ia tetap menjalani pernikahan yang tidak bahagia. Ini memberikan makna ganda pada tindakannya. Di satu sisi, ia memutuskan pola-pola lama dan memberi kesempatan pada dirinya untuk berubah; di sisi lain, ia menarik diri—takut terhadap kemungkinan menjalani hidup sebagai seorang perempuan yang benar-benar mandiri dan bebas. Novel ini tidak terlihat mengajak perubahan yang radikal terhadap nilai dan norma yang telah ada. ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak benar-benar dihapuskan di sini, terutama sekali ketika Sri jatuh lagi ke dalam peran tradisional dalam hubungannya dengan Michel.

Mengenal Nh. Dini
Nh Dini adalah salah satu dari sekian banyak penulis perempuan yang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Menganalisis karyanya menunjukan bahwa ia berprespektif feminis. Melalui tulisannya, Nh Dini menjadi wakil wanita untuk menyampaikan usul dan protes serta menjadi suara dari kebisuan perempuan.

Karena berprespektif feminis, karya-karya Nh Dini sering kali digugat sebagai “sastra seksual”. Nh Dini telah lama melakukan perlawanan terhadap konstruksi seksualitas perempuan sejak tahun 1970-an. Salah satu karyanya yang disunting untuk melakukan perlawanan adalah Kemayoran, yang menggugat mitos malam pertama dengan menekankan kesakitan perempuan yang biasanya terbisukan oleh wacana kejantanan laki-laki.

Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.

Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan.

NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya wafat semasih duduk di bangku SMP

Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.

Pada 1960 Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang,. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja.

Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.

Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis.

Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.


Bookmark & Share:

1 komentar:

Anonim,  29 Agustus 2010 pukul 03.38  

Menurut saya, keputusan untuk melepas keperawanan sebelum menikah yang dilakukan NH.Dini tetaplah salah. Ia boleh mengatakan hal itu sebagai upaya pemberontakan terhadap adat-adat yang telah mengakar dalam masyarakat selama puluhan tahun, tetapi ingatlah bahwa apa yang ia lakukan bukan saja melanggar norma-norma susila dan budaya, tapi juga AGAMA. Inilah yang tidak bisa kita berontak.

Peraturan itu adalah MUTLAK dari-Nya dan telah JELAS tertulis dalam kitab suci. Ini yang kemudian di adaptasi masyarakat ke dalam norma-norma susila dan budaya.

NH.Dini juga secara langsung maupun tidak sering menyuarakan aura ketidak adilan bagi kaumnya wanita yang diterima dari masyarakat, tetapi ia sendiri melakukan seks di luar nikah. Bagaimana perempuan mau dihargai kalau menjaga kehormatannya sendiri saja tidak bisa? Tidak usahlah kita selalu menyalahkan kaum lelaki dan peraturan masyarakat, tetapi introspeksi diri sendiri dululah.

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.