Kamis, 26 Juni 2008

SUPARMAN DAN LEBAH

Kediaman keluarga Suparman berbentuk kotak segi panjang berukuran 3 x 2 m. Di sebuah rumah triplek dan beratap esbes, Juminah berdiri tepat di tengah pintu sambil menggendong anaknya. Sesekali istri Suparman tersebut menoleh kesuaminya yang sedang beraktivitas di sebelah kanan rumah tersebut.


Rumah tanpa jendela depan dan samping, hanya pintu depan yang terpasang. Terdapat pohon cerie setinggi dua meter di depan rumah tepat di samping jalan. Disisi kiri rumah terdapat kebun jagung dan di kanannya ada peternakan lebah madu yang dikelilingi rumput panjang dan ilalang. Terdapat 65 kotak berisi lebah dan 1 lagi kosong, diatur menjadi empat baris. 200 lebih lebah dan satu induk disetiap kotaknya.
Sebenarnya, Bapak berusia 57 tahun ini, selain merawat lebah-lebahnya, juga diserahi villa untuk menjaganya selama pemilik villa tersebut pergi. Villa itu berada di depan rumahnya seberang kanan jalan. Tepat berhadap-hadapan dengan peternakannya.
Suparman ditemani Budi memberi makan lebah yang kekurangan bunga untuk dihisap madunya. Beberapa hari ini, dia mengerjakan hal itu. “Jarang sekali terdapat bunga di musim sekarang ini. Jadi kami harus memberi gula cair sebagai ganti makanan lebah-lebah tersebut.” Ujar Suparman.

Sabtu, 08 Desember 2007 pukul 16.45. Ditemani anjing kecil berbulu hitam, Suparman dengan kaos lengan panjang biru, topi berkerudung nerawang sampai leher dan celana coklat panjang, mengelilingi petermakan sambil membawa ember biru berisi gula cair. Setelah membuka tutup kotak dia berteriak “Djampuuut!Jangkrik! Tembus!” sambil mengepakkan tangan kanan karena tersengat lebah yang kelima kalinya sambil berlari menjauh. “Hua ha ha ha!!” Budi tertawa.

“Ya beginilah, resiko dekat-dekat sama lebah. Sebenarnya kalau tidak mengganggu mereka, kita tidak akan disengat,” ujar Suparman menenangkan dirinya sambil mengolesi luka itu dengan minyak kayu putih Cap Lang, sesekali meniupnya dengan mulut moncong ke depan. “Sebenarnya sudah sering saya tersengat kayak gini. Kaget aja!”

Suparman mengaku, baru kali ini dia merasa gagal dan kecewa. Dia tidak mau ambil pusing, dia memindahkan kotak-kotak tersebut dari Ambolo, Jember. Dia menyewa bus mini, hampir tiga minggu lebah-lebah tersebut berada di Malang. Kalau masih tetap di sana, mereka akan mati cepat atau lambat karena kurangnya perawatan. “Saya pergi keluar kota bulan lalu dan menyewa pekerja untuk merawatnya, tetapi dia minggat setelah panen.” terangnya

Dia memindahkan ke Malang untuk sementara waktu, setelah semuanya pulih kembali, lebah-lebah tersebut akan dibawa lagi ke Jember. “Jember cocok untuk lebah madu karena terdapat banyak bunga sepanjang musim.” Tuturnya sehabis menghisap rokok Djarum biru yang baru saja dinyalakan.

“Sebenarnya, di sini tidak cocok untuk peternakan lebah madu. Disamping tidak terdapat banyak bunga, cuaca juga mempengaruhi lebah dalam berkembang biak. Apa boleh buat, saya harus memulihkan kembali jumlah lebah.” Ujar Suparman.
“Pak! Itu, di kotak sebelah sana ada lebah besar.” Budi teriak dengan menunjuk ke arah kotak paling pojok. “Mana?” sahut Suparman melotot sambil berjalan membawa sapu ijuk ke arah pojok. Lebah besar biasanya memakan labah madu dan itu merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan lebah madu karena itu lebah besar diincar dan dibunuh seketika ia terlihat.

“Mana? Gak ada.”ujar Suparman.

“Tadi saya lihat ada di situ. Coba cek lagi!” timpal Budi.
“Mata kau yang rabun, wong enggak ada apa-apa.” Tegasnya Suparman.
“Ya sudah, kalau emang nggak ada.” Kata Budi dengan wajah berpaling.
“Guk guk guk.” Gonggongan anjing ke arah Suparman.

Dia tidak akan menyerah begitu saja, walaupun selama di sini dia belum pernah memanen dari hasil lebahnya tersebut. “Pokoknya, saya akan mengembalikan semuanya seperti sedia kala.” Ujarnya sambil merapatkan alisnya dengan nada jelas dan terang.
Juminah keluar rumah dengan membawa ember berisi pakaian siap dijemur di taman villa yang dipasrahkan kepada Suparman. Tidak lama kemudian, Suparman berjalan mendatangi sang istri untuk membantu menjemur pakaian yang sebagian milik Suparman. Tetapi, belum sempat membantu, suara tangisan bayi terdengar dari dalam rumahnya. “Bapak ke rumah saja, gendong dulu dia.” Ujarnya sambil mengibaskan baju. “Baik!” jawab Suparman pelan.

Read more...

BURUH TANI DI LADANG SENDIRI

Terik mentari menyengat tubuh, kala seorang perempuan baya berjalan menapaki sawah. Ia tak terlihat kepanasan karena di kepalanya terpasang topi jerami. Dengan membawa seikat batang jagung di punggung dan sabit di tangannya, ia menuruni pematang sawah. Niatnya mau istirahat sebentar sambil menikmati makan siang di rumah.
Sawah itu, memang berada sekitar satu meter lebih tinggi dari badan jalan. Untuk menaikinya, ada sebuah lereng kecil yang menyamping ke kiri. Agak sempit dan sedikit curam. Namun perempuan itu telah terbiasa, karena tidak ada jalan lain menuju sawahya.
Dia adalah Juma’iyah. Dengan menurunkan seikat batang jagung di punggungnya, ia pun bercerita.
“Panen jagung musim ini agak rugi, tapi masih lumayan nggak kayak tahun sebelumnya waktu menanam bibit Pioneer” keluhnya kepada saya
Juma’iyah memang pernah menanam benih Pioneer. Namun hal ini dilakukannnya pada tahun 1987-2006. Mereka enggan untuk memanam benih jagung Pioneer lagi, karena merasa tidak diuntungkan dan terjadinya kasus penahanan seorang petani ke penjara, dikarenakan menyimpan benih jagung Pioneer yang ditanamnya.
“Saya tidak mau lagi menanam bibit jagung Pioneer, karena rugi. Jagungnya kecil-kecil. Saya juga takut kejadian pak Zaenal menantu pak Sa’i akan menimpa saya.” Tahun ini, ia menanam benih jagung lokal, sebagaimana petani lain di desa Sukoanyar.
Sa’i adalah salah satu petani kaya yang disegani di desa itu. Tubuhnya telah renta, giginya ompong dimakan usia, wajahnya keriput, dan kulitnya hitam karena setiap hari tersengat terik matahari. Walau usia telah lanjut, ia tak pernah lelah untuk mengurus dan mengolah sawahnya.
Siang itu, ia pergi ke sawah bersama istrinya. Tak berbeda dengan petani lain, ia membawa sabit di tangan. Istrinya pun membawa cangkul berukuran kecil. “Hanya ingin melihat tanaman jagung yang barusan tumbuh, mbak, dan mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar jagung” ujar Sa’i sambil melepaskan topi bundarnya.
Di tahun 1980-an, dia menjadi ketua kelompok tani. Saat itu ia mempunyai staf, namanya In’am. Mereka berdua, bekerja sama mengurus organisasi kelompok tani di desanya. Menurut ceritanya, sekitar dua puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1987, sebuah perusahaan benih jagung Hibrida masuk ke desa. Perusahaan itu bernama Pioneer. Perusahan meminta Sa’i membujuk petani agar mau bekerja sama.
Awal musim tanam jagung di tahun itu pun tiba. Sa’i beserta petani lain menanam benih jagung hibrida Pioneer. Hasil panen petani lumayan untung. Perusahaan juga mendapatkan apa yang diinginkan. Produktifitas benih jangung hibrida semakin meningkat.
Melihat kedua belah pihak saling diuntungkan. Kerja sama pun berlanjut. Hubungan antara perusahaan dan petani desa Sukoanyar juga terjalin di tahun 1988. Sama dengan tahun sebelumnya, kerja sama berjalan cukup mulus, hingga akhirnya di tahun awal musim tanam tahun 1989, perusahaan tidak menampakkan hidung belangnya. Perusahaan datang terlambat. Petani sudah terlanjur menanam benih jagung lokal.
Sebagaimana petani lain di desanya, Sa’i, mengolah sawahnya, memberi pupuk, menyemprot hama dengan pestisida, hingga mencabuti rumput yang mengganggu. Semua dilakukan dengan kerja keras dan biaya sendiri. Panen pun tiba, mereka menuai keuntungan yang berlimpah. Walau ada sebagian petani yang merasa hasil panennya sedikit rugi.
Sa’i di kenal sebagai petani yang ulet di desanya. Dia tak pernah pantang meyerah menggarap sawah. Walau terkadang ada petani lain yang sudah merasa lelah dan rugi menggarap sawah, namun ia masih bersemangat, hingga akhirnya ia berhasil dibandingkan dengan petani lain. Keuletan dan keberhasilannya lah, yang membuat Sa’i dipercaya oleh perusahaan Pioneer untuk mengajak petani agar mau bekerja sama lagi, menanam benih jagung hibrida Pioneer.
Tak beselang lama, perusahaan kembali datang.
“Pada tahun 1990 Pioneer datang, petani pun menanam benih jagung hibrida Pioneer lagi,” kenang Sa’i dengan sedikit tertawa.
Kerja sama berlanjut setiap tahun. Sebagaimana petani lain di desa itu, waktu musim tanam, Sa’i tak lagi menanam jagung lokal, tapi menanam benih jagung hibrida Pioneer. Dia bekerja keras tanpa mengeluh, walau hasil penennya harus diserahkan kepada pihak perusahaan tanpa sisa sedikitpun dan terkadang juga rugi.
Hingga akhirnya, di tahun 2004, Sa’i dan petani lain merasa kerja sama itu hanya menguntungkan pihak perusahaan.
“Benih jagung kecil-kecil, sehingga hasil panen sangat sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil itu tidak sebanding dengan kerja keras selama musim tanam. Perawatan harus lebih ekstra, biaya perawatan pun sangat besar sehingga kalau tidak benar-benar kerja keras, maka tidak akan mendapatkan apa-apa,” ujar Sa’i yang dibenarkan istrinya.
Dengan pengucapan yang tak lagi fasih, ia menambahkan “Kami harus mitani (membuang hama satu persatu), jika ingin hasil panen yang memuaskan.”
Hal senada juga dinyatakan oleh istri Zaenal. Ia harus rela merogoh sakunya untuk membeli pupuk dan pestisida tambahan.
“Pinjaman pupuk dan pestisida hanya bisa dipakai satu kali, itu pun untuk pemupukan awal. Yang kedua dan seterusnya saya harus beli sendiri,” ungkapnya.
Kerugian telah dirasakan oleh Sa’i dan petani lain di desa itu. Mereka tidak mendapatkan kuntungan dari hasil panennya. Walau kerja keras selama musim tanam telah dilakukan, biaya perawatan tanaman telah dikeluarkan, dan biaya pinjaman telah dilunasi, namun mereka hanya mendapatkan hasil panen berupa uang yang dipotong bunga pinjaman. Perusahaan tidak mau tahu kesulitan petani selama musim tanam. Perusahaan hanya menginginkan pinjaman modal dan bunganya dikembalikan serta hasil panen diserahkan tanpa sisa sedikitpun.
PT Pioneer Hibrida Indonesia adalah salah satu perusahaan yang memproduksi benih jagung hibrida di Indonesia. Namun sejak 1999, PT DuPont Indonesia telah mengakuisisi PT Pioneer Hibrida Indonesia dari Pioneer Hi-Bred International Inc (DuPont News Online).
Perusahaan itu tersebar luas di seluruh penjuru negeri, mulai dari sabang hingga merauke. Di Jawa Timur misalnya, Malang adalah sasaran empuk bagi Pioneer. Di Malang, perusahaan itu bertempat di kecamatan Gondanglegi. Perusahaan juga bekerja sama dengan petani dan melakukan pembenihan di sana, namun pembenihan kurang berhasil. Selain di Gondanglegi, perusahaan juga melakukan pembenihan di desa Sukoanyar. Di desa itu, perusahaan Pioneer berhasil meningkatkan produktifitas benih hibridanya.
Desa Sukoanyar terletak di sebelah selatan kota Malang. Tepatnya di antara desa Kidangbang dan desa Wajak , kecamatan Wajak. Desa seluas 439.2 Km2 (BPS, 2003), masih menyisakan lahan pertanian yang cukup luas. Belum ada bangunan mencakar langit atau pun pabrik. Yang terlihat hanyalah bangunan rumah, sebagai tempat tinggal warga. Kanan-kiri jalan raya masih terhampar sawah, meskipun beberapa rumah telah berjejer menyelinginya. Tanaman jagung, tebu dan polowijo tumbuh subur diatasnya. Di desa itu juga, terdapat gang-gang. Setiap gang terdapat bangunan rumah yang berhalaman luas. Di samping kanan kiri rumah masih menyisakan lading bercocok tanam.
Tanah desa Sukoanyar tergolong vulkanik. Sawah-sawahnya dialiri dengan irigasi. Dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya, Sukoanyar lebih subur dan cocok untuk lahan pertanian. Tak heran jika Pioneer datang ke desa tersebut.
Sejak tahun 1987, Pioneer bertengger di desa itu, menawarkan benihnya kepada petani agar ditanam. Namun, ketika tahun 2005, petani Sukoanyar tak mau lagi menerima kerugian. Mereka pun akhirnya tidak menanam benih jagung hibrida yang ditawarkan oleh perusahaan Pioneer.
Petani juga merasa perusahaan tidak pernah memberikan kontribusi apapun. Perusahaan hanya mengeruk keuntungan tanpa peduli dengan kesejahteraan petani. Bahkan perusahaan tidak mau peduli kesulitan dan kerugian yang di derita. Perusahaan tak mau tahu apakah kerugian berasal dari kesalahan petani atau tidak.
“Walau ada bencana sekalipun, Pioneer tidak mau tahu,” ungkap istri Zaenal.
Petani merasa, perusahaan sudah berubah. Tidak lagi seperti di tahun 1987. Perusahaan tak lagi memberikan penyuluhan lapangan. Mereka hanya akan datang saat panen tiba. Benih yang diberikan pun berubah menjadi kecil-kecil, sehingga hasil panen petani sedikit.
Pioneer tak mau kehilangan akal, ia berusaha agar petani mau bekerja sama lagi.
“Pioneer dapat masuk lagi ke desa Sukoanyar dengan janji memperbaiki sarana irigasi,” ungkap Sunu (Bendahara Kelompok Tani saat ini).
Tentu saja petani senang. Akhirnya di tahun 2006, Pioneer kembali bekerja sama dengan petani. Mereka menanam benih jagung hibrida lagi. Namun kerja sama itu tidak berlangsung lama. Di akhir tahun 2006, Pioneer hengkang dari desa Sukoanyar. Petani sudah dibuat kapok. Mereka tidak mau lagi berurusan dengan perusahaan itu. Hal ini dikarenakan Pioneer memenjarakan Zaenal, petani yang menyimpan benih jagung yang ditanamnya sendiri.
Ketika kelompok tani telah mengumpulkan petani, pegawai perusahaan pun memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara menanam benih jagung hibrida Pioneer. Yaitu dengan jarak antar benih sampai 65 x 16 cm dan dengan aturan 1-4-1 (tiap empat larik untuk betina dan diisi satu larik untuk jantan).
Pioneer juga menjelaskan larangan menyimpan hasil panen, walaupun hasil jerih payah petani sendiri. Petani tidak boleh mengambil hasil panen sedikit pun. Jika itu terjadi, maka penjara adalah sangsinya, sebagaimana kisah Zaenal.
Larangan lainnya adalah isolasi. Petani boleh menanam benih jagung hibrida di sawhnya, asalkan di lahan sekitarnya tidak ditanami benih jagung lain selain benih jagung hibrida Pioneer. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi isolasi. Jika isolasi terjadi, maka petani yang menanam benih jagung Pioneer tidak akan mendapatkan hasil panen yang maksimal. Bibit tersebut, akan mengalami persilangan, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan Pioeneer. Petani akan rugi, karena hasilnya tidak sebanding dengan hasil jerih payahnya selama musim tanam.
Sebagaimana yang tejadi pada Saikhu, petani dari Gondanglegi yang menanam jagung hibrida Pioneer. Selain itu, ia juga berusaha mempertemukan para petani dengan pihak perusahaan. Pada saat musim tanam, jagung hibrida Pioneer terisolasi dengan jagung lokal. Jagung yang ditanamnya pun mengalami persilangan dan akhirnya hasil panen tidak sesuai dengan yang diharapakan perusahaan. Meskipun dia dan petani lain telah bekerja keras, namun hasil panen yang dihargai dengan uang itu tak sebanding dengan jerih payahnya selama musim tanam. Saikhu pun tak diberi gaji selama ia bekerja untuk Perusahaan. Dia lah yang mngusahan agar petani mau menanam benih jagung hibrida Pioneer. Namun kerja keras salama satahun tidak diupah dengan semestinya.
“Saya rugi, hanya diberi 2500 dalam setahun,” keluhnya dengan sedikit kesal.
Ketentuan lainnya adalah pengadaan bunga sebanyak 4% setiap empat bulan dan penentuan harga. Ketentuan harga pupuk, obat pestisida yang dipinjami perusahaan, dan bunga hasil panen adalah hak pioneer. Perusahaan juga yang menentukan harga hasil panen. Harga itu tidak sama dengan harga pasar. Di tahun 2004 misalnya, setiap satu glondong jagung dihargai Rp. 1600. Meskpiun harga lebih tinggi dari harga pasar, namun besarnya harga tak sebanding dengan besarnya kerugian yang ditanggung dengan membayar pinjaman modal, besarnya bunga pinjaman, dan biaya perawatan tambahan lainnya.
“Saya pernah ko’, menanam dua petak sawah. Saat itu mendapatkan hasil panen tapi dipotong utang, bunga utang. Saya cuma mendapat balikan tiga ribu rupiah,”
Kesepakatan-kesepakatan di atas adalah sebagian dari isi surat kontrak kerja sama. Pembuat surat kontrak kerja sama adalah pihak perusahaan Pioneer. Petani hanya sebagai pendengar yang tidak mengerti arti surat kontrak kerja sama.
“Para petani saat itu hanya diam dan mengiyakan apa yang dikatakan Pioneer” ujar Jumaiyah.
Sama hal nya yang diungkap oleh istri Zaenal “Kontrak tertulis itu ada, namun saya tidak membaca secara langsung. Yang tahu ya ketua Kelompok Tani. Dia yang mewakili para petani melihat kontrak itu, begitu juga daftar hadirnya, dia yang mewakili tanda tangan.”
Para petani tidak menanyakan secara detail isi kontark perjanjiana itu, bahkan mereka tidak tahu bagaimana bentuk.nya. yang mengetahui hanya pihak birokrasi desa, dan ketua kemolok tani beserta stafnya dan tentu saja pihak perusahaan.
Ketika disingung soal surat kontrak kerja sama, Sunoto selaku Ketua kelompok tani mengatakan bahwa surat itu berada di tangan Sunu. Sunu adalah bendahara kelompk tani. Namun pernyataan Sunoto ditepis Sunu. “Saya hanya menangani arsip-arsip pembayaran. Yang mengerti surat itu pak Sunoto,” sangkalnya.
Terkait dengan itu, pihak perusahaan Pioneer tidak memberikan komentar apapun. “Kami masih menunggu jawaban dari kantor pusat Jakarta, jika ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu”, jawab Fajar selaku bagian administarsi perusahaan yang bertempat di Gondanglegi. Namun, ketika dihubungi kembali, ia pun memberikan tanggapan dan jawabn yang sama.



Read more...

Minggu, 22 Juni 2008

MERAYAKAN ABNORMALITAS

DI sebuah gang, di bawah naungan kegelapan malam dan kepekatan kabut, sorang pemuda berjalan sendirian menyusuri jalan raya beraspal yang mengarah ke Songgoriti, melintasi padang rumput, dan barisan pohon pinus. Pohon cemara yang berdiri tegak di balik tembok dan gerbang besi yang memagari pekarangan rumah di kiri jalan, menimbulkan bayangan-bayangan gelap.

Angin bertiup kencang, dingin menyapu daerah lembah peggunungan. Embun memercik di antara pepohonan yang rindang, serta jalan yang sepi. Dalam langkah panjangnya dia menggigil di balik balutan jaket tipis dan celana panjang. Tangannya sangat kesusahan dengan buntalan kecil yang dibungkus kain sarung. Dia menggeserkan buntalan itu ke samping, kadang di siku, kadang di bagian tubuh lainnya. Dia berbuat begitu agar dapat memasukan kedua tangannya ke saku.

Tangannya kaku kedinginan. Dia mempercepat langkahnya, sesekali ia melayangkan pandangannya ke kanan jalan. Di sebelah kanan jalan terdapat pohon kelapa. Alang-alang yang sebagian sudah mengering. Rumput-rumpu hijau menyembul di pematang sawah. Sebuah desa dengan rumah-rumah yang beratap seragam tampak membayang di depannya.

Setelah melewati sepuluh rumah, ia tiba di sebuah gang kecil, di depan hotel Arumdalu. Dari tempat ia berdiri terlihat hamparan rumput di pekarangan tampak hijau kebiruan dan berkilau-kilau di bawah siraman sinar lampu; di sana-sini tumbuh pohon cemara. Jalan mobil berlapis kerikil yang menuju depan pintu hotel diapit pagar putih tempat mawar-mawar merah merambat. Sebuah bus pariwisata dan tujuh mobil pribadi diparkir di depan, sementara ekor bus berwarna krem tampak menyembul dari garasi hotel.

Dari situ pemuda itu terus menyusuri gang sempit tepat di depan hotel. Berhenti di depan rumah di deretan kedua. Dinding yang retak di sana-sini dicat biru muda, genting di atap banyak yang pecah. Rumput liar di pekarangan rumah di biarkan begitu saja. Daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati dibiarkan bergelantungan.

Tepat di samping rumah terdapat sebuah gubuk, disangga oleh delapan buah kayu. Dua penyangga depan telihat paling mencolok karena di ukir dengan pola-pola yang menyerupai ular naga. Sekilas cahaya keluar dari jendela yang berjelaga, dua lampu usang digantung di luar, di bangunan yang kayu penyangganya telah menghitam dengan penampang kuda-kuda yang sangat kokoh. Gubuk itu berdinding papan, beratap seng, dan beralaskan bambu yang dirangkai dengan utasan tali. Alas itu diletakan di atas tumpukan kayu yang tingginya mencampai lima puluh centimeter dari permukaan tanah, sehingga jika hujan turun, tidak terkena genangan air.

Dari tempat saya berdiri, terlihat pemuda itu sedang melihat kearah saya dari balik jendela kaca. Ia pun datang menghampiri.
“Cari villa mas, atau mau lihat-lihat dulu, nanti kalau tidak cocok saya carikan di tempat lain?” tanyanya kepada saya.
“Saya mau lihat-lihat dulu.”
“Ya tidak apa-apa” kami berjalan menuju rumah itu

Empat lampu neon menerangi ruangan yang terisi satu ruangan tamu, ruangan tengah, dapur, dan dua kamar tidur. Di ruangan tamu terdapat empat kursi sofa dan satu meja. Di kamar depan, ada satu lemari, sebuh meja dan dua kursi kayu tua. Springbad, bantal, dan selimut yang tersusun rapi. Bekas rokok yang dimatikan menodai dinding yang dicat kuning terang. Pakaian usang tergantung pada sebuah paku, sebuah guci diletakan di lantai dekat lemari. Selain itu, tidak ada yang lain. Sedangkan kamar lainya hanya terdapat springbad, bantal, dan selimut. Masing-masing kamar mempunyai kamar mandi.

Sebuah ruangan yang cukup luas, dilengkapi sebuah televisi 21 inci, DVD Player beserta kasetnya. Karpet berwarna hijau dengan ukuran panjang empat meter dan lebar dua meter terhampar di atas keramik. Dinding dihiasi dengan berbagai poster. Tak ada ornamen selain sebuah kotak karton merah di atas TV, dan burung-burungan di piringan jam yang telah menunjukan pukul 22.00, detak bunyinya seperti mengisi kehampaan plafon, di ruangan tengah.
Pemuda itu terus mengikuti saya, melihat-lihat kondisi rumah.
“Berapa, Lima puluh ribu ya?” tanya saya.
Setelah berpikir sejenak ia pun mengaggukan kepala tanda setuju.

Pemuda itu menggeliat, menarik kedua tanggannya di antara rambut pirang yang berjatuhan di dahi dan kuduknya. Tubuhnya termasuk kurus untuk anak berusia 19 tahun, badanya ringkih, lengannya mengkilap, sementara mukanya pucat. Ia menguap untuk terakhir kalinya, seketika bau minuman keras meyebar dari mulutnya yang agak besar. Matanya berair karena menahan kantuk, raut mukanya sendu, ia kelihatan sembab dan kosong karena kelelahan. Ia tertidur pulas.
****
Waktu telah menujukan pukul 07.00. Saya memandang ke luar melalui jendela kamar. Pagi yang indah. Matahari sudah muncul dari peraduannya. Namun dingin masih menyelemuti kawasan ini. Jauh di atas, burung-burung melayang mengikuti arus angin. Dengan sayap-sayap mereka yang terentang lebar. Salah satu burung tiba-tiba menukik tajam dengan sayap terlipat di sisi tubuh, menerjang permukaan ilalang, lalu terbang lagi sambil membawa belalang di paruhnya.
Dari kamar sebelah, terdengar suara kamar terbuka. Pemuda itu tampak telah beranjak dari tempat tidurnya. Sesekali ia menggeliat untuk mengendorkan otot-ototnya, sambil berjalan menuju ruangan tamu dan berbaring di atas sofa.

Pemuda itu bernama Hermawan, sejak kecil ia sudah bertempat tinggal di Songgoriti, di asuh oleh kakek dan neneknya, sedangkan orang tuanya berada di daerah Malang selatan. Sekolah Dasar hingga Menengah ia tamatkan di salah satu sekolah di kota Batu. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas ia sudah bergelut dalam menyewakan villa.

Setiap malam ia selalu mangkal di gang-gang sempit, tepian jalan, dan gerbang masuk kawasan Songgoriti, mencari tetamu yang ingin meyewa villa.

“Sebenarnya ada niatan untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi tapi lagi-lagi terbentur oleh biaya, tidak menjadi beban orang tua bagi saya sudah untung”

Untuk lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, mulanya ia bekerja sebagai penjaga villa, setiap bulannya dia dapat mengantongi uang Rp 300 ribu. Belum genap enam bulan sang empu villa pindah kerja ke Jakarta. Hermawan menawarkan diri untuk menyewa rumah tersebut. Akhirnya rumah itu ia sewa dengan harga enam juta pertahunnya, diangsur tiga kali selama enam bulan. Kini sudah dua tahun berlalu ia menyewa. Dalam kurun dua tahun Hermawan bisa mengantongi uang kurang lebih dua juta perbulannya.

Bagi Hermawan, menyewakan villa adalah pekerjaan yang menjanjikan. Kini ia sudah mampu membiayai hidupnya sendiri, selain itu ia juga sering membantu kebutuhan-kebutuhan kedua orang tua. Menyekolahkan adik-adiknya. Sisanya ia tabung.

****
DI jantung desa Songgoriti terdapat sebuah pasar, berjarak 15 meter dari rumah Hermawan. Tujuh meter dari Hotel Arum Dalu. Terbelah oleh jalan yang terbagi menjadi empat, masing-masing mempunyai lebar yang sama. Dikelilingi oleh lapak-lapak pedagang kaki lima, penjual aneka ragam bunga, bermacam-macam hewan peliharaan, makanan ternak, kerajinan tangan, dan pakian jadi.

Pasar berbentuk memanjang, kira-kira 15 x 10 meter, dibelah oleh jalan selebar 1 meter. Berjajar dan berdempetan lapak-lapak pedagang yang menjual aneka macam cindera mata, mulai dari kain bordiran, perlengkapan sembahyang, taplak meja, kerajinana tangan, dan boneka. Buah-buahan, sayur-sayuran, dan bumbu masak terletak paling unjung pasar.

Dari pusat pembelajaan itu, kita bisa menyaksikan secara langsung kehidupan modern dan konservatif atau aliran radikal dan moderat berbaur menjadi satu, yang tidak peduli antara satu dengan yang lain. Mengunjungi pasar Songgoriti, biasanya bagi para wisatawan sebagai kunjungan gratis setelah mengunjungi tempat-tempat wisata di Songgoriti.

Jalan yang berada di depan pasar adalah jalan utama yang digunakan untuk keluar masuknya kendaraan yang menju kawasan pemandian. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada dua toko terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi.

Sekitar 5 meter dari warung kopi, sebuah lahan yang menjorok tujuh meter ke dalam di gunakan sebagai lahan parkir. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gardu. Dua orang polisi, berambut pendek, berkaca mata hitam, sedang asik menikmati kopi, sambil memantau lalu lintas yang mulai dipadati oleh pengunjung.

Tiga bus pariwisata datang dari arah barat, salah satu polisi itu mengangkat tangannya sambil menunjuk ke tempat parkir. Sopir bus itu memarkirkan kendaraanya. Kepala bus mengahadap ke arah pintu keluar dari Songgoriti. Satu demi satu para wisatawan turun.

Seketika, Songgoriti menjadi lautan manusia. Sebagian wisatawan berhamburan menuju ke tempat pemandian, sebagian lainnya melihat-lihat aneka macam ragam bunga.

Kian siang kawasan ini kian ramai. Semua hilir-mudik. Riuh. Pedagang kaki lima yang menjual bakso ikut melengkapi teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangan
Para wisatawan yang mengendarai sepeda motor juga mulai berdatangan. Kebanyakan dari mereka pasangan muda-mudi. Mulai menyesaki area parkir yang tempatnya berada di depan pasar.

Sebagai tempat wisata, Songgoriti sangat di gemari oleh pengunjung. Apa lagi di akhir pekan. Pengunjung dari berbagai daerah hampir tidak pernah melewatkan liburan mereka di Songgoriti.
Karena banyaknya pengunjung, hotel-hotel yang berada di sekitar wisata tidak mampu menampung tetamu yang ingin bermalam.

“Waktu zamannya lurah Samat. Masyarakat sekitar Songgoriti di anjurkan menjadikan rumah mereka sebagai penginapan atau villa, untuk menampung para wisatawan yang berkunjung. Lama kelamaan mayoritas masyarakat Songgoriti menjadikan rumah mereka sebagai villa. Sehingga para tetamu yang ingin bermalam tidak khawatir lagi seandainya hotel-hotel yang ada di sekitar Songgoriti sudah penuh. Mereka bisa meyewa rumah penduduk sebagai tempat menginap” ujar Supriadji, ketua RW Songgoriti.

Sejak tahun 1980-an masyarakat songgoriti telah menjadikan rumah mereka sebagai villa, namun belum terlalu banyak seperti saat ini. Tahun 1985 sampai 1990-an ada sekitar 10-20 rumah. Tipikal kamar-kamar di rumah pelesiran Songgoriti memang tak jauh dari gambaran petak-petak kecil, yang sebagian di antaranya berdinding anyaman bambu. Ranjang kecil. Sumur tanpa dinding.

Pada awal tahun 1980-an mayoritas masyarakat Songgoriti menggantungkan kebutuhan sehari-hari mereka dengan bertani dan berternak. Menyewakan villa adalah pendapatan sampingan bagi mereka. Namun, dari setiap tahun terjadi pergeseran, hasil bertani dan berternak tidak semakin menguntungkan.

“Hasil dari bercocok tanam kurang begitu bagus, dari berternak biaya oprasionalnya terlalu tinggi. Sedangkan mulai tahun 1990-an sampai pasca reformasi kebutuhan sembako, kubutuhan manusia paling pokok mulai mengalami kenaikan. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan pendapatan untuk mensejahterahkan masyarakat. Akhirnya, masyarakat sepakat untuk mendirikan rumah sewa di mana tatanan rumah sewa itu tidak mengurangi kesejukan alam, tidak mengurangi nilai religius, menerima tamu siapa saja yang bertujuan untuk menikmati nuansa di Songgoriti. Karena Songgoriti itu hawanya sejuk, bertempat di dataran tinggi, dan letak geografisnya berada di lembah lereng pegunungan, serta di sini juga sudah punya nama, orang Jakarta atau Jawa Tengah pasti kenal Songgoriti. Ini merupakan daya tarik untuk di jadikan kawasan wisata” ujar Titut, ketua paguyuban villa Songgoriti

Kini sembilan puluh persen masyarakat Songgoriti menyewkan villa, sedangkan sepuluh persen lainnya berdagang. Dari tahun 1995 sampai 2008 berkembang menjadi 200 villa. Dengan catatan ada kesepakatan harga, ada paguyuban, ada ketetapan bersama dalam memiliki villa. “Jadi ada aturan main semaksimal mungkin supaya kenyamanan tamu yang ada di Songgoriti betul-betul dapat dipenuhi dan masyarakat yang mempunyai villa tersebut dapat menuntut jika tamu berbuat di luar batas, yang berhubungan dengan KUHP” tambah Titut

“Wisata, biasanya sangat dekat sekali dengan pelacuran. Bagaimana dengan di Songgoriti?” tanya saya

“Untuk menyiasati ukuran pariwisata. Pariwisata itu tidak bisa dikatakan putih, pariwisata itu abu-abu. Di dalam mengelola usaha pariwisata yang asasnya adalah wisata keluarga, kita mempunyai kesepakatan bersama. Berebeda dengan di Tretes, kalau di Tretes itu memang di setiap villa di sediakan pramuria atau PSK. Tapi kalau di Songgoriti tidak sama sekali. Dari tahun 1990-an sampai sekarang kita selalu mengadakan pengerbekan. Anak perempuan menyewa disini kalau malam cari obyek, kita usir, tangkap dan kita kasihkan ke aparat keamanan, supaya wisata yang nuansanya keluarga ini tetap terjaga karena kalau tidak hanya mengejar keutungan hanya sekali dengan menyediakan perempuan saya jamin satu tahun sudah tidak laku. Karena orang yang mau ke songgoriti nanti takut jangan-jangan suaminya di gangu orang.”

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Ketua paguyuban, RW, Satuan polisi PP, pihak pariwisata, dan masyarkat setempat merumuskan beberapa peraturan. Salah satunya melarang perempuan yang menyewa mencari obyekan. Melarang anak yang memakai seragam sekolah meyewa villa, jika ketahuan masuk kamar dan pemilik rumah memberikan izin untuk menyewa maka keduanya kena denda sebelum dilaporkan ke polisi.

****
Tak jauh dari rumah Titut yang tembok luarnya didominasi cat biru, duduk beberapa pemuda sambil merokok di sebuah gardu yang diapit oleh warung dan jalan beraspal yang menuju ke gang-gang di kanan-kiri jalan. Salah satu mereka bernama Rudi, ia menghampiri kendaraan-kendaraan pribadi yang parkir di depan toko untuk menjajakan villa.

Setiap hari Rudi mangkal di gardu itu bersama teman-temannya. Sudah lima tahun ia menjalani profesi sebagai penghubung. Target mereka adalah para wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Songgoriti. Jika mendapat tamu yang ingin menyewa, ia langsung membawa ke sejumlah villa yang berderet di kiri jalan, rumah-rumah beton berjajar, masing-masing mempunyai papan nama yang berbeda-beda semuanya bertuliskan “disewakan” tepatnya di jalan Rambutan.

Para tamu yang ingin meyewa di bebaskan untuk memilih villa yang ingin disewa. Setelah cocok, ia langsung memanggil pemilik villa untuk tawar-menawar harga. Para pemilik villa menawarkan dengan harga yang tinggi kepada peyewa jika ia memakai jasa penghubung. Karena pemilik villa harus memberikan komisi sebesar dua puluh persen kepada penghubung, seperti Rudi.

Muka-muka lama yang sering menyewa villa tentu saja tidak membutuhkan jasa penghubung. Mereka langsung menuju tempat, di mana mereka sering menyewa. Tak heran jika pemilik villa dan penyewa saling mengenal dan terlihat akrab. Hanya perempuan yang baru pertama kali menginap bersama pasangannya saja yang terlihat risih dan malu.

Kanan jalan sebuah gang yang dihiasi dengan tanaman bunga, patung harimau, kolam ikan yang berukuran 1 x 1 meter. Gang itu juga disesaki oleh perumahan warga yang dijadikan villa. Bangunan bertingkat dua menghadap ke jalan raya, tertuliskan “Pondok Rahayu disewakan” yang lokasinya dekat gang terlihat paling mencolok.

Dari rumah itu, Pasangan muda-mudi menuruni tangga sambil berjinjit. Perempuan itu mengenakan celana putih dan baju berwarna merah jambu, serta sepatu sandal tanpa kaus kaki. Ujung-ujnug rambutnya tampak pucat karena sinar matahari dan warna kulitnya menjurus sawo matang. Sedangkan laki-laki itu perawakannya seperti petinju, perutnya rata, dan pundaknya lebar. Mereka saling bercengkrama. Pasangan muda-mudi itu tidak menghiraukan walaupun beberapa pasang mata sedang tertuju ke arah mereka.

Pemandangan yang sama terdapat di villa Wisata Alam, letaknya tepat di depan gedung pertemuan yang biasa digunkan sebagai tempat pengajian oleh masyarakat setempat. Pintunya terbuka lebar. Pasangan muda-mudi sedang bermesraan. Sesekali tawa manja perempuan itu berderai terdengar jelas dari tepi jalan.

Para pemuda yang sedang menjajakan villa mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara. Mereka hanya tersenyum. Seakan-akan telah terbiasa. “Namanya juga tempat wisata, di mana-mana kondisinya pasti sama, terserah mereka mau melakukan apa saja” ujar Rudi
Tiba-tiba saya terbesit dengan peraturan-peraturan yang diungkapkan oleh ketua paguyuban villa Songgoriti.

Menurut Rudi para tetamu yang menyewa villa hampir dipastikan berpasang-pasangan. Karena di sini tidak boleh menyediakan perempuan penghibur. Songgoriti hanya menyediakan tempat berupa villa. Untuk menyewa villa persyaratannya hanya meninggalkan KTP sebagai jaminan. Dari KTP itulah ia bisa mengenali nama, asal, dan status. Kebanyakan dari mereka belum menikah.

“Seandainya kami menolak pasangan belum memiliki status yang jelas untuk menyewa villa, terus yang mau meyewa villa itu siapa? Karena kebanyakan yang menyewa villa di sini itu mereka-mereka yang belum menikah. Sedangkan pendapatan utama masyarakat dari penyewaan villa”
Rudi juga mengatakan bahwa pemilik villa tidak terlalu memikirkan apakah mereka sudah menikah apa belum. “Sempat merasa bersalah juga sih, tapi itu tergantung cara kita menilainya. Agama memang melarang, tapi dari segi usaha dan materi kita tidak ada masalah”

Sebagai kawasan villa, Songgoriti sangat terbuka bagi siapa saja. Itulah sebabnya Songgoriti menjadi kawasan yang paling digemari oleh banyak wisatawan. Keterbukaan masyarakat rupanya menjadi ladang subur bagi para penyewa villa. Mereka bebas merayakan kesenangan masing-masing. Tidak ada yang merassa terganggu.

Tidak jauh dari gang itu. Terdapat sebuah masjid, di bagian atas, luar maupun dalam, dilapisi marmer. Sementara semua tiang masjid berbentuk hiasan bunga, sedangkan bagian bawah tiang masjid itu bergambar hiasan tangkai pepohonan. Tidak banyak hiasan kaligrafi seperti masjid pada umumnya. Lantai masjid juga terbuat dari marmer. Pada siang hari pantulan sinar matahari dari lantai masjid itu sangat kentara dan menyilaukan mata.

Kegiatan-kegiatan keagamaan diadakan setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu, terbagi atas kegiatan anak-anak dan remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. “Hari sabtu dan Minggu masyarakat di sini sibuk melayani tetamu jadi tidak ada kegiatan sama sekali.” ungkap Manan, salah satu pengurus masjid.

Tak mudah bagi Manan untuk mengangkat kembali pamor masyarakat Songgoriti yang religius. Bangunan-bangunan mentereng telah lama mengepung masjid. Di kanan-kiri berdiri Villa-villa bersusun tiga lantai.

Suasananya tidak jauh berbeda dengan gang Rambutan dan gang Macan. Villa-villa yang disewakan juga menjadi tempat favorit bagi pengunjung yang berpasang-pasangan.

“Ya...paling tidak yang hitam itu menjadi abu-abu, kalau mau dijadikan putih sudah tidak mungkin” ujar Manan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sebagai pengurus masjid Manan juga merasa risih dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Menurut Manan Songgoriti adalah tempat kotor “Kami sadar apa yang kami lakukan di sini adalah perbuatan yang tercela. Karena, kami memberikan fasilitas bagi orang-orang yang mau melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Tapi kami berusaha untuk terus berperasangka baik kepada semua tamu”

Sekarang yang menjadi garapan utama Manan dan pengurus masjid lainnya adalah anak-anak sekitar. Karena setiap hari mereka disuguhi pemandangan-pemandangan yang tidak layak dilihat oleh mereka.

Itulah sebabnya warga membangun Taman Pendidikan Al-quran, 100 meter dari masjid. Ada dua lantai dan menghabiskan dana Rp. 140 juta, belum termasuk upah tenaga kerja. Semuanya dari swadaya masyarakat. Sekarang muridnya sudah mencapai kurang lebih 150 anak.

Dengan menyewakan villa perekonomian masyarakat Songgoriti membaik dibandingkan tahun-tahun dulu. Dimana pendapatan utama mereka masih bergantung pada sektor pertanian dan perternakan. Kini mereka dapat membangun fasilitas-fasiltas umum seperi jalan, TPA, dan masjid.
****
Ketika saya datang, Hermawan sedang memotongi daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati. Membersihkan bunga-bunga dari tumbuhan-tumbuhan liar. Dia bertelanjang kaki serta mengnakan celana jins yang dipotong dan berbaju kaos tanpa lengan. Sambil berlutut ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di antara tanaman tomat, lalu membuang semuanya ke dalama ember. Wajahnya bermandikan keringat. Setelah penuh ia melemparkan isi ember tersebut ke sebuah kolam yang berada di samping gubuk. Keningnya tercoret tanah bercampur keringat. Tadi pagi ketika saya berpamitan untuk melihat-lihat suasana pasar dan wawancara ke ketua paguyuban dan ketua RW . Ia masih tidur-tiduran di atas sofa.

Saya berbaring di teras gubuk. Di dalam seorang pemuda bertubuh besar. Berambut pirang. Kaki dan tangannya penuh dengan tatoo, bermacam-macam gambar ia torehkan dengan tinta hitam, biru, dan merah. Empat buah anting-anting terbuat dari besi menempel di telinga sebelah kiri. Sebuah gelang melingkar di lengan kanannya.

Namanya Bagus. Usianya 25 tahun. Dia pernah bekerja sebagai penjaga villa selama satu tahun. Namun, dia dipecat oleh majikan yang tak menyukainya. Kini ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ia sering mangkal di depan pasar, menjajakan villa bersama Hermawan.

Secara diam-diam, mereka kerap memberikan petunjuk bagi lelaki yang ingin menyalurkan syahwat. “Setengah tahun yang lalu, gubuk ini biasa buat mangkal para ABG yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial. Para penghubung mengambil mereka di sini jika ada tamu yang memesan.” Bagus membuka pembicaraan.

“Bukankah dilarang menyediakan perempuan di sini?”
“Makanya sekarang di sini sepi. Kalau dulu, para pekerja seks komersial pernah ada yang menyewa villa selama satu bulan. Saya dan Hermawan yang kebagian mencarikan tamu, lumayan dapat dua puluh persen”

“ Kami sudah mendapat peringatan dari RW dan ketua paguyuban untuk ketiga kalinya. Jadi kami sudah tidak mengijinkan mereka untuk mangkal di sini lagi. Sekarang para Pekerja Seks Komersial itu mangkal di kos mereka masing-masing. Kalau mau makai ya harus menghubungi lewat telepon. Kos mereka nggak jauh kok dari sini.” Hermawan memberitahu

“Oh ya...kamar yang kamu sewa tadi malam sudah ada yang menempati” ujar Hermawan sambil melihat kearah saya.
“Dia juga minta dicarikan perempuan tapi short time-an.”
“Sudah kamu hubungin apa belum?” tanya Hermawan kepada Bagus
“Beres, katanya sebentar lagi. Masih dandan.”

Selang beberapa saat telepon gengam Bagus berbunyi. Ia langsung membuka pesan.
“Udah siap katanya, dia minta jemput. Sepeda motornya dipinjam teman. Tukang ojek juga tidak ada.”

Hermawan langsung mengambil kunci sepeda motor, dan pergi menjemput.
“Tidak buru-buru pulangkan?” tanya Bagus
Saya hanya menggelengkan kepala. “Perempuan itu bisa diajak ngobrol apa tidak?”
“Bisa, tapi habis kerja. Orangnya agak pendiam. Dia dulu pacar saya.”
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara sepeda motor memecah obrolan kami. Suara itu semakin mendekat. Dari balik pagar terlihat Hermawan dengan seorang perempuan sudah memasuki pekarangan rumah.

Postur tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu. Gincunya tidak terlalu tebal, sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, melihat ke arah kami. Penampilannya sama sekali tidak mengesankan sebagai Pekerja Seks Komersial.

Ia langsung menuju ke rumah, membuka pintu dan menutupnya kembali. Pintu itu ia kunci dari dalam.

Sedangkan Hermawan langsung merebahkan diri di samping Bagus, sambil memainkan telepon gengam dan berkata “tidak usah heran, di Songgoriti pelacuran sudah menjadi pemandangan sehari-hari bahkan sudah menjadi sumber nafkah bagi sebagian orang, termasuk saya. Meskipun dilarang pelacuran tetap marak di sini. Karena peraturannya tidak ketat. Selain itu, di sini dilarang menyediakan perempuan tapi kalau bawa sendiri boleh. Kan sama saja bohong.”
****
Memperbincangkan persoalan pelacuran tidak pernah ada kata selesai. Fenomena ini dapat disebut sebagai fenomena gunung es yang hanya tampak kecil pada permukaan sementara telah mengakar demikian kuat di kehidupan masyarakat.

Di Indonesia, Seperti ditulis Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones dalam buku Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Mengungkapkan bahwa Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita. Hingga menemukan bentuknya yang mutakhir karena didorong oleh faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan.

Dalam sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan, melekat sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755. Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Ketika itu, kekuasaan seorang raja tak punya batas.

Mereka menguasai segalanya. Tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahayanya. Di antara harta milik raja adalah selir-selir. Siapa pun, kala itu, berlomba-lomba mendekati kekuasaan dengan berbagai cara. Misalnya para bangsawan. Mereka tak segan menyerahkan putri-putrinya sendiri sebagai tanda kesetiaan. Kerajaan kecil tetangga juga mengirimkan upeti perempuan. Rakyat kelas bawah tidak kalah berpartisipasi. Mereka menyerahkan anak-anaknya dengan harapan keluarganya punya hubungan dengan istana.

Pemasok wanita yang tak punya stok juga berburu gadis sampai ke daerah lain. Sejak masa itu ada kawasan yang dikenal sebagai gudang perempuan cantik dan memikat. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.

Bahkan Kecamatan Gabuswetan, di Indramayu, dapat memenuhi kebutuhan selir untuk Istana Sultan Cirebon. Memang, tradisi itu belum mencapai segi komersialisasi sebagai industri seks dengan sistem germo dan pelacur profesional. Namun tradisi pada zaman feodal itu membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Yaitu nilai bahwa perempuan adalah komoditas yang diperjualbelikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki. Dan ini menjadi cikal bakal pelacuran modern

Nilai-nilai itu makin subur, ketika Belanda membentuk koloni baru. Hadirnya serdadu, pedagang, dan utusan yang dibawa pemerintah kolonial menghidupkan permintaan pelayanan seks--lebih daripada awalnya yang hanya di sekitar pelabuhan.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan

Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kota-kota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya-Surabaya. Fisik kota-kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat aktivitas pelacuran menjadi-jadi dan menjelaskan asal mula mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.

Surabaya, pada masa penjajahan Belanda, tumbuh sebagi kota pelabuhan terkemuka dan pangkalan angkatan laut. Ketika banyak kapal barang dan kapal angkatan laut memasuki pelabuhan, dengan segera kedatangannya disambut perahu-perahu kecil yang mengelilingi. Di perahu kecil itu terdapat para pelacur yang mencari langganan baru. Mereka dibawa dari rumah bordil. Menurut catatan sejarah Kota Surabaya, pada 1864, dari 18 rumah bordil, pelacurnya berjumlah 228 orang.

Di Jawa Timur, pada 1960-an sampai 1970-an tercatat 4.600 Pekerja Seks Komersial, tetapi diperkirakan di luar jumlah itu masih ada tambahan 1.000 orang lagi. Di Jawa Tengah ada 2.404 pelacur di 486 rumah pelacuran. Di Jakarta sendiri jumlahnya 6.500 orang.

Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, lowongan terbanyak berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai sepuluh kali lipat.

Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk gadis panggilan, dan paling mutakhir ABG yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan tempat-tempat pariwisata.

****
Dari dalam gubuk terdengar pintu rumah terbuka. Bagus mengintip dari celah-celah dinding papan. Perempuan itu baru saja selesai melayani tamu.
“Mas, minta rokoknya” celetuk perempuan itu.

Bagus menyodorkan bungkus rokok dan koreknya. Dia mengambil sebatang dan langsung dinyalakan. Diisapnya kuat-kuat sampai terlihat kedua pipinya mengempot. Buzz...buzz....asapnya diembuskan dan Uh…Uh… ia terbatuk-batuk. Ia meletakan rokoknya di atas asbak
“Kalau tidak bisa merokok, jangan sok-sokan bisa” teriak Bagus sambil tertawa.
Gadis berambut pendek dengan alis mata tebal itu sekira setahun yang lalu masih tercatat sebagai siswi salah satu Sekolah Menengah Atas di Malang, menginjak kelas tiga ia berhenti. Namanya Yuni

“Saya tidak betah tinggal di rumah, karena orang tua bertengkar terus. Akhirnya saya nekat pergi dari rumah. Saya punya niatan pergi ke Surabaya untuk mencarai pekerjaan. Tapi, saya tidak punya teman maupun saudara di sana, jadi niatan itu saya urungkan” ia diam sejenak

“Tapi niatan saya untuk pergi dari rumah sudah bulat, tanpa sepengetahun orang tua saya pergi ke Songgoriti. Di situ secara tidak sengaja saya berkenalan dengan Bagus. Setelah lama mengobrol akhirnya ia memberikan saya tumpangan untuk menginap di villa yang ia tunggu. Karena pada saat itu hari sudah malam” sambung Yuni

Semula Yuni menolak saat diminta menceritakan awal mulanya terjun ke dunia pelacuran.
“Sudahlah, nggak apa-apa ceritakan saja” Bagus mendesak
“Setelah satu minggu saya tidak pulang ke rumah, saya kehabisan uang, untuk makan saja tidak ada. Sedangkan tempat tidur saja saya masih menumpang di tempatnya Bagus. Akhirnya saya kepikiran untuk menjadi Pekerja Seks Komersial saja. Karena di Songgoriti sendiri banyak yang berprofesi seperti itu, setiap hari pasti ada tamu yang minta di carikan teman kencan”

“Biasanya tamu-tamu yang menyewa villa saya itu sudah bawa pasangan dari luar. Tapi tidak jarang juga tamu-tamu yang minta di carikan di sekitar sini. Malam minggu, saya lupa tanggalnya yang pasti, saat itu masih pertengahan bulan puasa. Saya kedatangan tamu dari luar Jawa Timur, dia minta di carikan cewek yang masih ABG. Saya langsung menghubungi nomor-nomor yang saya simpan di telpon gengam, tapi semuanya masih ada tamu. Akhirnya saya tidak punya pilihan lain selain menawarkan kepada Yuni. Yun kamu mau nggak melayani tamu? Ujar saya. Awalnya dia agak ragu-ragu, setelah berpikir agak lama akhirnya dia menganggukan kepalanya” ungkap Bagus sambil memandang ke arah Yuni

Pengalaman pertamanya menemani seorang tamu ia mendapat bayaran Rp. 750 ribu untuk satu malam. Mulai saat itulah ia menekuni profesi itu. Sebagai pekerja seks komersial yang masih tergolong ABG, ia biasa di-booking dengan tarif antara Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu, short time. Bila menginap, bayarannya bisa mencapai Rp 900 ribu.

Bagi Yuni menggeluti dunia pelacuran memang semata-mata karena butuh uang untuk hidup. Kini hidupnya lebih mapan. Ia sudah memiliki telepon genggam, pakaian yang bermerek dan sudah mampu untuk menyewa sebuah kos dari hasil keringatnya sendiri.

Menurut dia, sudah banyak pria yang mengajaknya kencan di berbagai hotel, kelas melati maupun berbintang. Ia menyebut beberapa hotel seperti yang terletak di Selecta. Soal tarif, bagi pria yang tidak begitu dikenalnya tidak ada kompromi. “Nginap bisa Rp 900 ribu. Kalau hanya satu sampai dua jam saja, Rp. 300 ribu sampai Rp 350 ribu. Tapi hanya satu kali main” ujar yuni polos

Kebanyakan pekerja seks komersial yang ada di Songgoriti berasal dari desa-desa terpencil di wilayah Jawa Timur. Sekalipun dari daerah terpencil wajah-wajah mereka tidak kalah dengan pekerja seks komersial dari kota. Menurut Hermawan sampai saat ini tercatat ada sekitar 70 pekerja seks komersial yang beroprasi di Songgoriti. Kebanyakan masih ABG, bahkan ada yang masih di bawah umur. Entahlah dari mana dia mendapatkan data tersebut.

Menyandang predikat pelacur bagi Yuni memang terkesan berat. Apalagi pelacuran sering mengusik ketenangan banyak orang. Kaum agamawan mencap mereka sebagai manusia kotor yang tidak bermoral. Sehingga mereka dijadikan objek penobatan. Pemerintah maupun tokoh masyarakat menjadikan pelacuran sebagai sesuatu yang meresahkan sehingga perlu ditertibkan. Saat-saat menjelang bulan suci agama para pelacur seringkali menjadi objek pembersihan aparat demi mendukung kekhusukan ibadah.

“Saya sering lihat di televisi para pelacur di tangkapi oleh Satuan polisi PP, dikejar-kejar seperti hewan, dan rumah-rumah yang dijadikan peraktik pelacuran digeledah. Bahkan tidak ketinggalan kalau menginjak bulan puasa banyak orang-orang berjubah putih-putih turun jalan dengan membawa pentungan. Mereka dengan sesuka hati menghancurkan tempat-tempat lokalisasi. Terus kalau begitu caranya dari mana mereka dapat uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, udah nggak ngasih solusi lagi!” seru Yuni kesal.

Atas nama moralitas agama, sebagian kelompok masyarakat sangat gampang menyerang dengan bengis tempat-tempat para perempuan penghibur seperti Yuni menjalankan profesinya. Tentu saja, beragam penggerbekan di beberapa lokalisasi dan tindakan kekerasan sebagian kelompok dengan dalih agama ini terasa menyeramkan di mata Yuni. “Untunglah di Songgoriti aman-aman saja” celetuk Hermawan

Model-model penggerbekan dan penyampaian pesan-pesan moral sebagaimana terjadi saat ini, pada kenyataannya jauh dari maksud sasaran, yaitu menjauhkan masyarakat dari tempat maksiat. Tapi menimbulkan seribu persoalan. Penggerbekan dan semacamnya hanya menimbulkan ketakutan bagi sesama.

Mencari uang dengan menjual tubuh tidak lah nyaman. Tapi keadaanlah yang tidak pernah berpihak. Sehingga menjadi pelacur adalah sebuah pilihan yang paling menyakitkan. Penuh resiko, sebagaian orang mencibirnya, membenci karena alasan agama, tapi sebagian yang lain dengan malu-malu membutuhkannya

Atas alasan agama, para pekerja seks komersial, seperti Yuni harus menyandang gelar sampah masyarakat. Gelar yang amat berat bukan? Apalagi seusia Yuni. Sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku pelacuran itu dan berupaya untuk menghilangkannya.

Pandangan bahwa pelacuran merupakan perilaku kotor, tidak bermoral, dan penyakit sosial. Kehadiran pelacuran tidak hanya menjadi sebuah gambaran degradasi moral sejumlah wanita, namun juga mempertontonkan struktur masyarakat yang tidak sempurna adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan. Namun, penanganan pelacuran tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Pelacuran adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama.

Hal itu digambarkan secara lugas oleh Koentjoro melalui buku On The Spot:
Tutur dari Sarang Pelacur. Secara terang-terangan ia menunjukkan betapa pelacuran menjadi fenomena yang demikian terstruktur secara rapi dalam suatu masyarakat. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh Koentjoro, banyak aspek yang membuat seorang perempuan menjatuhkan pilihan untuk menjadi seorang pelacur.

Di antaranya adalah faktor ekonomi. Dalam arti lebih luas, faktor yang mengacu pada tumbuhnya nilai materialistik.. Uang memberi arti lebih dari sekadar penghargaan ekonomi. Uang menunjukkan materialisme dan sebenarnya inilah faktor pengaruh yang paling kuat. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pengaruh sistem yang berlaku di masyarakat dapat memaksa seseorang (khususnya perempuan) untuk menjadikan materi sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Ia akan meraih status sosial tertinggi pada sistem stratifikasi dalam masyarakat jika memiliki sejumlah besar materi.

Saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, jaring-jaring sosial yang cenderung berorientasi pada harta dan kesenangan, karena setiap manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki hasrat terus menerus mendapatkan kepuasan dalam jumlah besar. Dan kondisi demikian akan semakin menyuburkan keberadaan dunia pelacuran. Bukankah pelacuran akan menyediakan sarana bagi mereka yang berkelebihan materi untuk meraih kesenangan sepuasnya melalui seksualitas. Tuntutan untuk kepuasan lebih menuntut dunia pelacuran untuk lebih berkembang menciptakan dimensi-dimensi pelayanan baru. Sehingga variasi-variasi pelayanan seks diciptakan.

Selain itu, pelacuran sesungguhnya merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak pernah lepas dari sejarah peradaban manusia. Aktivitas pelacuran dan prostitusi telah belangsung lama, bahkan sejak masa awal peradaban manusia pelacuran sudah dikenal. Pelacuran di masa lampau bahkan tidak selalu dinilai buruk. Bahkan ada pelacuran bersifat suci sebagaimana diceritakan Herodotus, sejarawan Yunani, bahwa setiap perempuan Babilonia sekali dalam masa hidupnya dipaksa pergi ke kuil Ishtar dan menawarkan diri demi bayaran tertentu pada laki-laki yang menginginkannya sebagai bentuk pelayanannya terhadap Dewa. Prostitusi suci sedemikian juga ditemukan tumbuh subur di Mesir Kuno maupun Yunani Kuno.

Sayangnya, kelaziman di suatu tempat, kebenaran di suatu zaman, dan dikatakan normal oleh masyarakat tertentu, bisa menjadi ketidaklaziman ditempat lain, ketidakbenaran di zaman tertentu, dan abnormal bagi masyarakat lain.

Upaya menanggulangi pelacuran hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah. Di Songgoriti Yuni bebas melakukan apa saja. Tanpa harus takut dikejar-kejar oleh Satuan polisi PP. Orang-orang yang aktifitasnya dihabiskan dalam masjid pun mempunyai toleransi tinggi terhadapnya.

Sebuah kerukunan dan keharmonisan yang luar biasa bukan? Masing-masing bebas merayakan keyakinan dan kesenangannya. Di dalam masjid kehidupan normal dijalankan tanpa harus terganggu oleh jeritan-jeritan manja dari villa-villa di sekelilingnya.

Begitu juga para penyewa villa, Pekerja Seks Komersial dan pria hidung belang mereka bebas “merayakan abnormalitas”
****
Suara adzan magrib terdengar lantang. Bagus, Hermawan, dan Yuni, menghentikan pembicaraan. Mereka saling memandang sambil tersenyum.

Yuni berdiri seraya merogohkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Ia mengeluarkan dua lembar uang kertas lima puluhan.
“Ini bagianmu” ia melemparkan lembaran uang tersebut ke Bagus sambil tersenyum
“Ini bagianmu” kali ini lembaran uang itu ia lempar ke arah Hermawan.
Hari ini, dari pagi hingga sore Yuni sudah melayani tujuh tamu. “kalau badan lagi fit sanggup sampai sepuluh” ia tertawa

Di hari liburan seperti ini, Yuni dapat mengumpulkan uang sebesar dua juta dalam sehari. Sebuah penghasilan yang cukup besar, Hermawan harus menunggu satu bulan untuk mengumpulkan uang sebesar itu.

Wisata Songgoriti sudah menjadi berkah bagi Yuni, Bagus, Hermawan, Rudi, dan para pedagang serta pemilik Villa. Sebuah proses simbiosis mutualisme terjadi di sini yaitu suatu keadaan yang saling menguntungkan.

Dengan ramainya tetamu yang memakai jasa Yuni sebagai pekerja seks komersial, akan menguntungkan Bagus sebagai penghubung, Hermawan sebagai pemilik villa, dan para pedagang di sekitarnya.

Hari mulai gelap. Rintik hujan gerimis mulai membasahi rerumputan di halaman rumah. Yuni sedang menunggu tamunya yang kedelapan ketika saya pulang Bagus dan Hermawan mengantarkan saya sampai ke jalan raya.


Read more...

Kamis, 19 Juni 2008

Holcomb terletak di dataran tinggi kansas barat, sebuah kawasan sepi yang disebut penduduk Kansas yang lain sebagai “nun jauh di sana”. Sekitar tujuh puluh mil di perbatasan Colorado, di pedesaan, dengan langit biru tua dan udara padang pasir yang cerah, beratmosfir lebih menyerupai Far West dari pada Middle West. Aksen lokal dihiasi dengan sengau peternakan ala gurun pasir, dan para prianya, banyak diantara mereka yang memakai celana pendek berujung ketat, topi Stetson, dan sepatu bot berhak tinggi dengan ujung tajam...” (hal 2)
Ditempat sepi itulah, Herbert William Clutter bersama istri dan kedua anaknya tinggal. Sedangkan kedua anaknya yang lain yaitu Eveanna, anak pertama. Tinggal di Illinois Timur bersama suaminya. Sedangkan Beverly, anak kedua, berada di Kansas City, belajar menjadi seorang perawat.
Herbert Clutter adalah petani kaya lulusan Universitas Kansas dan menjabat sebagai ketua Konfrensi Organisasi Pertanian Kansas. Selama pemerintahan Eisenhower ia menjadi anggota Dewan kredit Pertanian Federal. Kendati tidak semakmur Mr. Taylor Jones-orang terkaya di Holcomb. Namun ia adalah orang yang paling dikenal di Holcomb maupun Garden City, tempat ia mengepalai komite pembangunan First MethodisT Chruch, bangunan senilai delapan ratus ribu dolar.
Pada suatu pagi yang sepi dan tenang, pertengahan November 1959. Empat tembakan senapan merenggut nyawa Herbert Clutter; istrinya, Bonnie; dan kedua anaknya Nancy dan Kenyon.
Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh pembunuh, bagaikan asap yang mengepul di udara yang kemudian hilang tanpa jejak. Sehingga pihak yang berwajib setempat sulit melacaknya. Bagi masyarakat sekitar, kejadian ini tampak tidak masuk akal. Terutama karena Keluarga Clutter adalah tipe keluarga harmonis yang tidak memiliki musuh.
Sekitar 6 minggu kemudian, pembunuhnya tertangkap di Las Vegas. Mereka adalah Perry Smith dan Dick Hickock, para residivis yang sedang dalam masa pembebasan bersyarat. Dikisahkan, Dick Hickock dan Perry Smith adalah dua orang yang masing-masing tidak berguna, namun akhirnya mereka bersama menjadi penjahat yang kejam.
In Cold Blood yang diterjemahkan dari judul aslinya: In Cold Blood: A True Account of a Multiple Murder and Its Consequences, tak sekadar mengisahkan pembunuhan empat keluarga petani di Holcomb, Kansas. Namun ada sentuhan-sentuhan emosional yang membuat kita digiring untuk tak segera meletakkan buku ini sebelum melahap halaman demi halaman. Ada pula “sengatan-sengatan” kecil yang membuat kita selalu terkejut. Sungguh sebuah kisah klasik yang ditulis dengan gaya luar biasa. Intrik, motivasi pembunuhan, alur cerita, dan gaya bahasa Capote akan mengikat kita terus-menerus. Bahkan meskipun tebalnya mencapai 476 halaman, kita akan menikmati untuk membacanya.
Novel In Cold Blood adalah kisah nyata, Non fiksi. Namun ketika membaca novel tersebut seakan-akan membaca novel fiksi. Semuanya mengalir dan penuh dengan detail. Baca misalnya pada halaman 149 “Mobil itu diparkir di sebuah semenanjung tempat Perry dan Dick singgah untuk berpiknik. Saat itu tengah hari. Dick memindai pemandangan melalui sepasang keker. Pegunungan. Elang-elang berputar-putar di langit yang putih. Sebuah jalanan berdebu menggelinding ke dalam dan ke luar desa yang putih berdebu….”
Gaya berceritanya sangat objektif serta berdasarkan observasi dan wawancara langsung, justru bisa membuat kita bersimpati kepada pihak-pihak yang terlibat. Ditambah lagi, Truman Capote menyajikan cerita ini dari berbagai sudut pandang, bahkan orang-orang lain yang tampak tidak memiliki hubungan dengan pembantaian tersebut. Dengan kata lain, dalam karya yang disebutnya sebagai novel non-fiksi ini, semua orang adalah Para Tokoh Utama.
Awal mulanya, peristiwa tersebut dimuat di The New York Times. Artikelnya pendek, lebih sebagai berita sekilas, jauh dari kesan bombastis, jauh dari tampilan judul-judul peristiwa kriminal yang biasa kita lihat Intinya, hari itu menurunkan berita kecil pembunuhan, ada yang mati.
Capote membaca berita tersebut. Bagi Capote, inilah saatnya mengabadikan peristiwa pembunuhan itu. Dia ingin, seperti ucapannya, membikin sebuah karya baru, dalam bentuk novel-nonfiksi, memakai gaya sastra namun berdasarkan kejadian sesungguhnya dengan meliput kejadian tersebut. Inilah kelahiran In Cold Blood yang legendaris itu. Sebuah karya monumental. Sebuah genre baru dalam jurnalisme.
New Yorker mendanai proyek liputan Capote ini. Saat itu William Shawn adalah redaktur pelaksana New Yorker. Dia menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang Harold W. Ross. Ross adalah orang yang pertama membidani kelahiran New Yorker. Dia meninggal 5 Desember 1951. Shawn menggantikan posisi Ross pada 21 Januari 1952.
Capote adalah seorang kontributor New Yorker yang paling kreatif dalam sejarah panjang riwayat majalah tersebut. Capote kemudian menghubungi Harper Lee untuk membantu liputan tersebut. Di sinilah awal bagaimana Harper Lee menjadi asisten Capote untuk kelahiran In Cold Blood.
Namun In Cold Blood adalah karya yang panjang usianya dibanding umur si penulisnya. Ada perdebatan, kabar angin, pandangan baru, di samping kesuksesan yang mengikutinya. Ada juga tanggapan dari Harper Lee. Kita menemukan ini pada biografi Lee karya Shields.
Shields mengulas fakta yang berkembang, suatu desas-desus, bahwa Lee marah ketika Capote membagi persembahan In Cold Blood pada Jack Dunphy, setelah kontribusinya yang cukup besar atas lahirnya buku tersebut. Lee pasangan kerja yang amat membantu Capote. Lee tak sekadar memerlancar jalan Capote mengetahui detail atmosfer suasana persidangan kasus pembunuhan itu, yang digelar di Pengadilan Finney County, Garden City, Kansas, dari 22 sampai 29 Maret 1960. Bagaimanapun Lee paham betul seluk-beluk peradilan meski dia tak sampai menamatkan studi hukumnya.
Capote memberi pujian pada Lee yang “amat membantu” dalam “menjalin hubungan dengan para istri dan orang-orang yang saya temui untuk liputan In Cold Blood”. Seratus lima puluh halaman catatan yang dikerjakan Lee dari Kansas diperlihatkan pada Capote. Lee mengatur wawancara liputan ini dan Capote sendiri meneliti langsung rumah korban keluarga petani tersebut.
Lee berani menawarkan agar Capote mengambil sudut pandang yang lebih gelap terhadap keluarga Clutter, sebelum Capote memulai terjun sendiri ke lokasi liputan. Lee meyakinkan Capote bahwa keluarga Clutter orang-orang yang sulit; Bonnie, ibu keluarga ini, “salah seorang wanita yang paling menyedihkan”, gugup, obat-obatan generik telah merusaknya, sudah tak memiliki perasaan lagi dengan suaminya saat di tempat tidur. Sementara kedua anak mereka, terutama Nancy Clutter, gadis remaja yang perfeksionis tapi juga memiliki kepribadian kaku dan tamak serta kesan yang tertutup.
Namun Capote, dalam penulisannya, lebih mengupas kehidupan dua pelaku pembunuhan tersebut. Membedah semacam misteri psikologis kedua pembunuh itu. Di sisi berlawanan, Capote tak banyak menjelaskan keluarga Clutter, lebih sebagai keluarga petani yang ideal dan sejahtera. Intinya, Capote menempatkan posisi In Cold Blood sebagai kisah pergelutan antara baik dan jahat, menjadikan peristiwa pembunuhan ini sebagai masalah yang sederhana.
Dalam penulisannya, Capote lebih mengupas kehidupan dua pelaku pembunuhan tersebut. Membedah semacam misteri psikologis kedua pembunuh itu. Di sisi berlawanan, Capote tak banyak menjelaskan keluarga Clutter, lebih sebagai keluarga petani yang ideal dan sejahtera. Intinya, Capote menempatkan posisi In Cold Blood sebagai kisah pergelutan antara baik dan jahat, menjadikan peristiwa pembunuhan ini sebagai masalah yang sederhana.
In Cold Blood, dimuat di majalah The New Yorker, sebagai cerita bersambung. Novelnya diterbitkan pada tahun 1966, setahun setelah Perry dan Dick dihukum gantung. Novel yang ditulis oleh Truman Capote ini memberikan sumbangan besar bagi dunia jurnalisme.

Read more...

SERAT DARMAGANDUL :SASTRA ORANG TERTINDAS DAN WACANA POSKOLONIAL*

Kita tidak mungkin melupakan tradisi, karena telah berabad-abad lamanya ia menemani kehidupan manusia, juga tidak mungkin melupakan dunia modern, karena ia sudah ada di depan mata.

Kehadiran modernitas membuat kita menjadi semacam perangkat pemeriksaan terhadap apa saja. Artinya, segalanya mau dikait-kaitkan dengan, dan dilihat dari kaca mata modernisme. Sedangkan segala sesuatu yang masih berbau tradisi dianggap aus. Bagi kita, tradisi dan modern adalah dua dunia yang bertentangan, modern adalah antitesis dari tradisi, yang secara hitam putih dipertentangkan. Pengertian modern selalu dihubungkan dengan modernisasi, yakni memodernkan masyarakat yang dianggap primitif, masyarakat yang masih percaya pada hal-hal yang mistik dan tahayul.

Begitu juga dengan dunia sastra, sastra modern. Sastra modern adalah hasil proses modernisasi. Ia berjalan seiring dengan modernisasi, mengutamakan telaah ilmiah yang mengedepankan demitologisasi, rasionalitas, dan materialitas. Sehingga jelas ia menolak mistifikasi, fetis, dan mitos-mitos, seperti halnya sastra-sastra Jawa yang terkesan membius para pendengarnya. Namun pembongkaran karya lama bukan saja memunculkan wajah baru, juga menjadikannya bagian kehidupan kini. Karya yang sebelumnya dilihat sebagai karya bebas dosa, kini muncul sebagai karya subversif, yaitu penuh dengan unsur subversif, bukan hanya mensubversi seluruh sistem budaya, melainkan juga memaksa kita untuk membongkar kemapanan yang pernah mencirikan sebuah karya, seperti serat Darmagandul.

Serat Darmagandul adalah salah satu dari sekian banyak peninggalan kesusastraan kebesaran Jawa, di mana dunia mitos dan kepercayaan telah menggeser dunia nyata. Serat Darmagandul menceritakan bagaimana Islam tersiar di pulau Jawa hingga runtuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali. Peralihan kekuasaan dari keraton Majapahit ke tangan keraton Demak Bintara menimbulkan ekses sosial, politik, dan keagamaan yang saling kontradiksi.

Runtuhnya kerajaan Majapahit oleh Demak Bintara seperti yang termaktub dalam serat Darmagandul, merupakan rekaman dari realitas yang dihadirkan kembali oleh Ki Kalam Wadi sebagai kecaman terhadap kesewenag-wenangan Sunan Bonang dan para laskar serta prajurit Demak Bintara. Narasi dimulai dengan dialog antara Ki Kalam Wadi dan Darmagandul didasarkan pada kesaksian-kesaksian lisan yang diartikulasiakan pada sebuah teks yang nantinya akan menstrukturkan sebuah realitas. Oleh karena itu, membaca suluk Darmagandul sama halnya membaca sebuah realitas yang distrukturkan oleh teks. Hal pertama yang akan teramati oleh pembaca adalah bagaimana kisah diletakkan dalam adegan-adegan yang berurutan. Adegan-adegan ini biasanya bersesuaian dengan kejadian nyata.

Posisi: Subjek-Objek
Retorika dualitas hitam-putih, penindas-tertindas, gambaran yang men-genaralisir dan merendahkan sekaligus menyiratkan posisi hirarkis yang memandang terhadap objek pandangannya, bukanlah barang baru dalam kesusastraan, seperti protes Buto Locoya dalam serat Darmagandul tentang kesemena-menaan sunan Bonang, “Mengapa paduka mengganggu anak cucu adam, menyabdakan orang sini sulit mendapat jodoh, menjadi perawan tua dan jaka (joko, Jawa) tua, serta mengganti nama kota Gedah, memindahkan aliran sungai Brantas sehingga menerjang dusun, hutan, sawah, dan membuat banyak kerusakan, ini karena kutukan paduka. Selamanya susah air dan sumurnya kering. Paduka menganiaya, tidak tahu tata krama, menghukum tanpa perkara”.
Sunan Bonang berkata, “Mengapa di sini aku ganti namanya kota Gedah, karena orang di sini agamanya tidak hitam dan tidak putih tetapi agama abu-abu yaitu agama Kalang. Mengapa aku kutuk sulit air, karena aku minta air tidak diberi, kemudian sungainya aku pindah alirannya dan aku kutuk susah air. Adapun aku mengutuk perawan tua dan perjaka tua, karena yang ku mintai air tidak memberi, itu adalah seorang perawan”.

Dialog antara Buto Locoya dan sunan Bonang telah menyiratkan relasi subjek-objek, memandang-dipandang. Sunan Bonang sebagai subjek penutur bersikap superior, menempatkan diri lebih tinggi, lebih memiliki pengetahuan yang memberikannya otoritas untuk menggambarkan atau menerangkan objeknya. Stigmatisasi yang dilontarkan hanya untuk mencari sebuah alat legitimasi kebenaran dengan proses dialektika yang menempatkan perbedaan dalam posisi yang tidak seimbang, sehingga selalu ada supremasi “subjek” sebagai penutur yang merepresentasikan “objek” yang akhirnya membunuh keberadaan objek.

Ketegangan antara subjek-objek tersebut akhirnya melahirkan stereotipe-stereotipe. Pendefenisian orang-orang Jawa yang belum memeluk agama Islam sebagai agama Kalang, menyembah berhala adalah kafir-kufur lahir batinnya sesat. Pendefinisian sesat oleh Sunan Bonang itu adalah bentuk stereotipe, umumnya negatif dan merendahkan. Ini adalah suatu cara mencari alat pembenaran untuk mengontrol sekaligus menjinakan objek stereotipnya. Sejauh mana penggunaan stereotipe itu terlihat dalam wacana tentang orang-orang yang perlu dikontrol dalam teks sastra.

Dari paparan tersebut jelas, bahwa sunan Bonang mempunyai kepentingan untuk mengubah dan menciptakan strategi kontrol terhadap orang-orang Jawa. Bersamaan dengan itu, ditunjukan pula keadaan orang-orang Jawa yang dieksploitir oleh sunan Bonang, pemberian ini menempatkan Buto Locoya sebagai tokoh yang tertindas, yang menjadi objek dan fokus sorotan.

Akan tetapi penggunaan stereotipe tersebut dengan mudahnya memancing pihak yang tidak setuju dengan penggambaran itu untuk melemparkan stereotip balasan. “Tidaklah masuk akal, jika seorang diperlakukan baik, ia membalas dengan kejahatan. Ia menyalahi kitab pegangan orang Jawa, karena orang Jawa mengerti mana yang kasar dan halus. Orang Jawa yang diperlakukan dengan tidak baik, tentu ia akan membalas dengan tidak baik pula. Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas dengan jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka, mereka menyebut nama Allah, Ala (jahat, jelek) hati orang Islam. Mereka halus lahirnya saja, pada hakikatnya hatinya jahat. Amat beda dengan zikir orang Budha, mereka menyebut dewa agung jagad (dunia). Jagad (dunia) itu badannya sendiri, Dewa”.

Antagonisme antara dua kubu yang saling kontradiksi tidak lagi menampilkan objek sebagai satu-satunya yang tertindas dan subjek sebagi penindas. Tetapi lebih dari pada itu; si tertindas sekaligus menindas, dimana posisi objek sebagai tertindas pada waktu yang bersamaan ditampilkan oleh Ki Kalam Wadi sebagai subjek, menindas. Dari dipandang balik memandang, didefenisikan balik mendefenisikan. Kekuasaan dan penguasaan tidak datang dari satu arah, tetapi secara bersamaan bisa dimiliki oleh satu pihak: dan tersusun oleh kondisi-kondisi yang kompleks.
Sehingga menghasilkan ranah-ranah yang saling bertumpang tindih dan bersaing, merupakan pandangan yang menarik. Dengan demikian, untuk melihat keterlibatan dan keterkaitan di dalam proses sejarah sebagai pertarungan kolektif—bukan pertarungan yang dimenangkan oleh subjek yang mencoba memahami seluruh sejarah dengan segala kompleksitasnya, melainkan sebuah pertarungan kolektif dimana berbagai kepentingan berinteraksi memperebutkan situs-situs yang memilki intensitas dan ranah-ranah yang bersaing.

Menyenangkan sekali membaca tulisan Ki Kalam Wadi (serat Darmagandul) yang merupakan tanggapan balik terhadap kesemena-menaan Sunan Bonang dan para laskar Demak Bintara.Tulisan Ki Kalam Wadi dalam Serat Darmagandul-nya cukup berhasil membedah logika orang-orang Islam yang diwakili oleh tokoh sunan Bonang, sunan Giri dan Raden Patah, logika yang bertumpu pada superioritas yang ia sebut sebagai akar kekerasan manusia, lengkap dengan atributnya yang berupa ketertindasan orang-orang Jawa yang beragama Budha.
Akan tetapi, bukankah kontradiksi dan pemeliharaan setereotip-setereotip akan menimbulkan kekerasan, penguasaan, dan ketertindasan secara berkelangsungan?
Mengurai Logika dualistik
Semangat yang berlebihan, ketergesa-gesaan menarik kesimpulan, kegemaran melakukan generalisasi, dan terutama sekali keterperangkapan pada logika dualistik, menjadi penyebab-penyebab munculnya kontradiksi dan kerancuan di atas. Khususnya menyangkut logika dualistik, sebagai kecenderungan umum yang memang sering terjadi pada pemikiran kolonialisme
Logika dualistik itu bisa dilihat pada kecenderungan memposisikan Islam versus Budha, Arab versus Jawa, Logika yang kemudian gampang sekali mengakibatkan ketergelinciran mengambil kesimpulan, bahwa semua orang Islam dengan sendirinya bersifat: agresif, menyukai perang dan kekerasan; sementara semua orang Jawa dengan sendirinya bersifat: pasifis, anti-perang, dan penghancur perdamaian. Sesuatu yang secara faktual menyesatkan.

Namun, dominasi logika dualistik itu tidak muncul seketika. Logika dualistik itu adalah salah satu anak kandung modernisme. Anak kandung paradigma Cartesian-Newtonian yang sejak awal memang bersifat atomistik, mekanistik, dan reduksionistis. Lihatlah bagaimana modernisme dan ilmu pengetahuan modern meng-oposisikan tubuh dan jiwa, laki-laki dan perempuan, manusia dan alam, akal budi dan perasaan, teori dan praksis. Oposisi-dualistik yang membuat kita sering kali mengingkari interdependensi dan koeksistensi antarkategori di atas.

Di tengah kondisi masih dominannya logika dualistik, termasuk dalam kesuastraan, maka postkolonialisme bisa menjadi salah satu alternatif yang mencerahkan. Berusaha melepaskan diri dari logika dualistik itu, dengan menunjukkan tinjauan kritisnya tepat pada salah satu pilar utama modernisme, yakni paradigma Cartesian-Newtonian di atas.

Wacana (Post) kolonial
Seperti halnya istilah-istilah mutakhir misalnya post-strukturalisme dan postmodernisme, postkolonial juga suatu terminologi yang bermasalah, semua istilah yang berawal dengan post, tidak mengacu pada dirinya sendiri tetapi pada isme lain yang ingin didobrak dan dilampauinya. Maka ia selalu mengaitkan pada isme lama tersebut. Dan lebih menyiratkan suatu fase transisi dari pada suatu isme yang baru. Istilah dengan awal post cenderung menjadi sebuah penanda yang mengambang.

Secara sederhana, Postkolonial adalah pendekatan postruktural. Pendekatan postrukturalis adalah pendekatan yang mempertanyakan pertentangan dualitas antara kutub-kutub yang bertolak belakang seperti baik-buruk, hitam-putih dan dialog antara Buto Locoya dan Sunan Bonang yang saling bertolak belakang. Namun, apakah pendekatan postkolonial terpaku pada pembakuan kutub penjajah-terjajah, barat-timur, penindas-tertindas?
Bagi sejumlah kritikus postkolonial, usaha mendekonstruksi, menelanjangi idiologi yang terselubung di balik wacana dominan, masih dirasakan perlu. Tentu saja di sini letak sumbangan Edward Said, melalui bukunya yang monumental, Orientalism.. Bertolak dari konsep wacana Foucoult yang mencakup bukan hanya teks verbal, tetapi akumulasi konsep idiologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga, dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan. Said membongkar muatan idiologis di balik konsep timur atau orient yang dihasilkan oleh Barat.

Menurut Said berbagai pengetahuan tentang “timur” diciptakan Eropa untuk memproyeksi mimpi buruk dan sisi dirinya sendiri (timur) yang tidak diinginkan; “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Lebih jauh lagi, mitos dan stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan others. Jadi yang disebut dengan kenyataan itu sendiri bagi kritikus postkolonial – mengikuti asumsi teori “postmodernisme”, merupakan bangunan yang tersusun oleh berbagai narasi.

Teori poskolonial bisa menjadi kaku, dan bahkan paranoid jika dijadikan formula hanya untuk mencari kesalahan wacana kolonial Eropa atau Barat, tetapi pendekatan ini bermanfaat jika kita bisa menarik pelajaran dari metodologi kritikus postkolonial dalam membaca asumsi normatif-subjektif wacana. “Kesalahan-kesalahan” cara memandang dan membingkai others yang mendasari orientalisme dan wacana kolonial maupun postkolonial dapat dipakai sebagai pembanding agar kita mawas terhadap wacana sendiri.

Penggunaan Representasi
Representasi, atau lebih tepatnya tindakan merepresentasikan dengan mereduksi others, hampir selalu melibatkan kekerasan tertentu terhadap subjek yang direpresentasikan, yang mau tidak mau melibatkan kekerasan, dekontekstualisasi, miniaturisasi, dan lain sebagainya, hingga pada titik yang tertentu. Tindakan atau proses merepresentasikan sesuatu selalu berimplikasi kekuasaan, akumulasi, pemenjaraan, dan semacam pengasingan atau disorientasi tertentu yang dilakukan oleh pihak yang merepresentasikan, adalah salah satu ciri wacana kolonial yang sangat menonjol.

Dalam hal-hal tertentu, representasi-representasi adalah salah satu bentuk yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, dan diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam pengertian tertentu, antara masyarakat. Jadi tidak ada cara untuk melepaskan reperesentasi-representasi karena repersentasi sama mendasarnya dengan bahasa, yang harus dihapuskan adalah sistem representasi yang membawa serta semacam otoritas yang bersikap represif, karena otoritas itu tidak mengizinkan adanya atau tidak menciptakan ruang bagi dilakukanya intervensi-intervensi oleh pihak-pihak yang direprentasikan. Pada hakikatnya merupakan wacana tentang representasi others yang secara epistemologis didefinisikan sesuatu yang luar biasa inferior, entah itu dengan cara diberi cap primitif, atau terbelakang, atau others (sesuatu yang lain) begitu saja.

Sehingga representasi karya sastra ini menggambarkan kedua tokoh tersebut akhirnya merasa puas dengan hanya menyalin begitu saja gagasan-gagasan yang mereka sukai dari cerita lisan ke atas kertas, pengetahuan tidak perlu diterapkan pada realita; pengetahuan hanya lewat dan membisu, tanpa komentar dari satu naskah ke naskah lainnya. Gagasan-gagasan tersebut dipropagandakan dan disemaikan secara anonim, gagasan tersebut diulangi tanpa penisbatan; secara harfiyah mereka menjadi ide-ide yang telah diterima; yang penting adalah bahwa gagasan-gagasan tersebut ada untuk diulang-ulang, digemakan, dan digemakan secara membuta.

*Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Mahasiswa INOVASI, UIN Malang. Edisi XXIV Tahun 2007

Read more...

Senin, 16 Juni 2008

Postmetaphysical History


Nothing but History

Reconstruction and Extremity after Metaphysics
David D. Roberts
UNIVERSITY OF CALIFORNIA PRESS
Berkeley · Los Angeles · Oxford
© 1995 The Regents of the University of California




Over the past century or so, cultural changes centering on the erosion of foundationalist metaphysics have called forth an ever more explicit effort to specify the contours of a postmetaphysical culture. That effort has encompassed earlier thinkers like Friedrich Nietzsche, Benedetto Croce, and Martin Heidegger, and it has brought hermeneutics, deconstruction, and neopragmatism to center stage in recent decades. All the strands in our culture, from philosophy and science to literature and politics, have been at issue in this discussion, but the place of "history" has been central—and especially elusive. Sometimes explicitly, often only implicitly, thinkers prominent in this cultural reassessment have thought anew about what is historical and about the role of historical inquiry and understanding. Taking for granted the waning of metaphysics, this study examines its implications for the place of history, as one competing cultural strand.

As Richard Rorty has emphasized, the foundationalist assumptions of our tradition have been gradually eroding for the last one hundred fifty years, as philosophers have chipped away at such notions as "self-validating truth," "transcendental argument," and "principle of the ultimate foundation of all possible knowledge." After Nietzsche, Heidegger, John Dewey, Ludwig Wittgenstein, W. V. Quine, and Donald Davidson, there are few foundationalists to be found on either side of the notorious divide between Continental and Anglo-American philosophy. And because our whole philosophical tradition has been fundamentally metaphysical, what is apparently unraveling is not simply a delimited philosophical genre but also epistemology and any possibility of privileged methods or decision procedures affording access to certain, suprahistorical truth. But what is left, and how do we make our way in the world that remains to us?

This change in the intellectual landscape has had implications for history in both its customary senses—as res gestae, the past, the stuff that historical inquiry seeks to apprehend, and as historia rerum gestarum, the past as related or conveyed, the historical account. At issue, in fact, have been broad questions about the human relationship to a world that sometimes seems fundamentally historical in a new, radically post-Hegelian sense. But whereas some of the answers seem to portend an expanded cultural role for history, others seem to undermine even the role—modest by some measures, grandiose by others—that history came to play by the late nineteenth century. Indeed, assaults on "history" have been central to a number of the cultural responses to the eclipse of metaphysics, and history itself is sometimes assumed to be ending along with foundationalist philosophy.

Even the terminology surrounding history has become ever more complex and uncertain as the wider intellectual framework has changed। The term "historicism" has remained central to humanistic discussion, even taking on yet another lease on life by the latter 1980s as "the new historicism" became a catchphrase in literary studies, then spilled over to influence historiography. What historicism might entail proves crucial to any effort to assess the status of history after metaphysics, yet even within the same intellectual camp, some refer to it approvingly, others disparagingly. Those seeking to place our situation in historical perspective often refer to an earlier "crisis of historicism," yet they do not seem to understand the crisis in the same way, or even to date it at the same time.

Among thinkers responding to the waning of metaphysics, the now-familiar sequence of Nietzsche, Heidegger, Michel Foucault, and Jacques Derrida has been especially influential. Their efforts, taken together, constitute a culture of extremity, as Allan Megill showed in his influential Prophets of Extremity , published in 1985. Although some found the extremes nihilistic in implication, many embraced them as liberating from the authoritarianism of our metaphysical tradition. Also prominent, by the 1980s, was a more general aestheticism that similarly contested metaphysically grounded approaches, though its relationship with the extremes was complex. This aestheticism affected readings of Nietzsche and Heidegger, gave a certain spin to deconstruction, and led to a particular recasting of the hermeneutic and pragmatist strands within our tradition. The understanding of postmetaphysical possibilities that resulted from the combination of extremity and aestheticism seemed to have unfavorable implications for history.

However, some who welcomed the postmetaphysical turn sought an alternative response, though their efforts were disparate and their alternative hard to characterize. In one sense, it was to be "moderate"—no longer metaphysical, and thus not "authoritarian," yet eschewing the extremes at the same time. But though moderate in this sense, such an alternative might prove more radical than the extremes, which, despite their apocalyptic quality, seemed to some to undermine the scope for any politically significant radicalism. At the same time, those seeking this moderate alternative were leery of aestheticist tendencies and clung to the scope for truth. Rather than accent personal edification, they played up the human role in the ongoing reconstruction of the world in history. And the approach they envisioned seemed to entail an enhanced cultural role for empirical historiography.

The outcome of the waning of metaphysics has so far been a kind of field of forces, including an array of extreme responses, not all of them compatible, a generically aestheticist tendency, and a quest for a moderate, constructive alternative. In my view, there is value, or at least plausibility, to a great many of these impulses, including extremes that some find merely nihilistic. But the sources of these diverse responses, their implications and the connections among them, have not been well understood. Moreover, uncertainty regarding the baggage that "history" must carry has produced confusion and excess. As a result, our understanding of postmetaphysical cultural possibilities has been prejudicial and limiting.




Read more...

Althusser: The Social Formation as a Totality of Instances


In Reading Capital , Althusser and Balibar define a social formation as a "totality of instances articulated on the basis of a determinate mode of production" (Althusser and Balibar, 1970, 207). Let us take this definition as our point of departure and, for the moment, concentrate on the social formation as a "totality of instances." The "instances" to which Althusser and Balibar refer are themselves distinct structural levels of social relations and "practices," each possessing a functional unity and composed of more specific structures. Practice is central to the concept of every instance—"all levels of social existence are the site of distinct practices" (Althusser and Balibar 1970, 58)—but Althusser makes no hard and fast distinction among social structures, relations, and practices. Social relations are concrete actualizations or empirical manifestations of social structures, while social structures are realized, reproduced, and transformed through rule-bound yet open-ended practice , a term Althusser defines simply as "transformations effected by a determinate human labor using a determinate means (of 'production')" (Althusser 1969, 166). It is therefore pointless to speak of an opposition between "impersonal" structures and "human" practices within Structural Marxism. The thrust of Althusser's thinking is not to oppose the human and the inhuman; rather, it is to comprehend the contradictions between and within the structured relations and practices that constitute human beings as social subjects and constitute places, positions, and roles as the social space within which all human practice necessarily occurs. The predominance attributed to practice does not imply that human beings are the autonomous subjects of such practices—a position Althusser rejects—but it does firmly situate all social practices within the field of human activity.

Social formations are a complex hierarchy of functionally organized institutions or instances whose unity can be neither ignored altogether nor reduced to a single closed system. In principle, the number of instances is open rather than closed, and the specification of distinct practices is a heuristic rather than an axiomatic process. Initially, Althusser specifies three instances, economic, political, and ideological, as designating practices necessary to the concept of a social formation insofar as they refer to functions without which human social existence cannot be conceived. Economic practice refers to the transformation of nature into socially useful products, political practice to the reproduction and administration of collective social relations and their institutional forms, and ideological practice to the constitution of social subjects and their consciousness. Of course, Althusser and others have offered extended treatments of other types of practice—theoretical, aesthetic, and so on—that may have greater or lesser predominance depending on the particular type of society we are talking about.

All practices are viewed by Structural Marxists as unevenly developed or "contradictory." Although there are variations among different writers, we may fairly summarize the contradictions within each of the instances in the following fashion:

1. In economic practice, contradictions exist between relations of cooperation and exploitation within the labor process (the forces of production) and economic ownership (the relations of production). These contradictions are expressed as the antagonistic class interests and capacities of laborers and non-laborers with respect to control over the means and results of production.

2. In political practice, contradictions exist within and between relations of representation and relations of hegemony expressed in the antagonistic interests of the "power bloc," those classes or fractions of classes that effectively control the institutions of collective social organization, and the "masses," other classes or social groups within the social formation lacking such control.

3. In ideological practice, contradictions exist within and between relations of qualification (relations that empower and enable individuals as social subjects) and relations of subjection (relations that restrict individuals to specific roles and capacities).

To avoid another common misunderstanding of the Structural Marxist problematic, it is essential to keep in mind the distinction between the universality of economic, political, and ideological functions and the variety of determinate institutional forms within which these functions may be located historically. In particular, we must avoid the mistaken notion that there exists a single institutional form within every social formation that will correspond to the European concept of the market, the state, or the church. On the contrary, one or more of these functions may be exercised by different social institutions and manifested in relations particular to a specific social formation or mode of production. The historical specificity of functions (or combinations of functions) does not, however, negate the applicability of general concepts for each function (any more than the general concept of a social subject is negated by the fact that a particular human being may combine distinct attributes or functions—mother, worker, citizen, and so on). While each function is material in that it exists in and through concrete material apparatuses, any concrete apparatus may combine a variety of functions and thus have an effectivity in more than one instance. Finally, it is important to recognize that there are different degrees of abstraction and specificity within the Structural Marxist problematic. For example, the general concept of a social formation as "a totality of instances articulated on the basis of a determinate mode of production" in no way implies that a particular social formation, say an African tribe or a European nation-state, can be deduced from general concepts (any more than it can be objectively built up from data "uncontaminated" by conceptual presuppositions). While there are real, qualitative differences between, for example, economic relations in lineage-based agricultural societies and industrialized capitalist states, there is also a level of generality and abstraction at which we can refer to both of these social formations as having economic relations.

The multiplicity of distinct practices exists always and only in the "complex unity" of a determinate social formation (another heuristic term applicable to forms of integration as diverse as a tribal territory and the global economy). At the level of analysis of the social formation, the economic, political, and ideological instances exist as a system of interrelated, interdependent practices and institutions to which Althusser refers as an "articulation," a unity of relations of domination and subordination. Althusser calls this simultaneous unity of distinct and unequal modes of determination "structural causality." At the same time, however, Althusser also insists on other, "regional" levels of analysis at which the "relative autonomy" of the instances must be acknowledged. Each instance, he maintains, has its own distinct rhythms of development internal to itself such that the social formation is always "unevenly developed," always a constellation of multiple contradictions whose ultimate outcome cannot be predicted. Althusser refuses any move that would "resolve" the tension between structural causality and relative autonomy in the direction of mechanistic determinism or pluralistic indeterminacy. Although each instance has its own relative autonomy, this autonomy exists only as a "specific effectivity" within the structured whole of the social formation, that is, as the historical product of the unequal, distinct, and simultaneous effectivities of the complex unity of instances. Each instance, in other words, has a relative autonomy that is particular to itself but that has nevertheless been assigned a place and function within the complex unity of the social formation by the social formation itself (the historical matrix or condition of existence of each and every instance). By insisting on a structured hierarchy of determinations embodied in distinct and relatively autonomous institutions and practices, Althusser declares that the social formation cannot be understood either as a functional-pluralist organism in which everything causes everything else or in terms of a reflectionist-essentialist totality in which every practice may be understood as a microcosm of the whole.


Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.