Jumat, 30 Januari 2009

Ber (Agama) Oedipus Complex

Sebelum memulai tulisan, muncul anggapan bahwa tulisan ini hanyalah sebuah review atau kliping yang memalukan dan tidak layak dibaca. Siapapun bisa membacanya sendiri tanpa harus disajikan ulang. Namun, bagaimanapun bentuk tulisan, di dalamnya terdapat pemahaman yang siap diadu dan dipertanggung jawabkan. Atas dasar itulah tulisan ini tetap disajikan.

Pembahasan agama yang dilakukan Freud bisa ditemukan dalam karyanya Totem and Taboo, The Future of an Illusion, Civilization and Its Discontents, dan Mose and Monotheism. Pada karya-karya tersebut Freud menyajikan uraian-uraian yang berbeda walaupun intinya sama. Untuk memudahkan pemahaman, maka uraian Freud tentang agama akan dibagi dalam tiga item yang tersebar dalam literatur berbeda.

Tuhan dan Pengobat Rasa Bersalah
Freud mengawali konsentrasinya tentang agama sejak persinggungannya dengan Animisme yang ditemukan pada suku-suku primitif. Freud melihat proses-proses animasi pada suku-suku primitif, yaitu memiliki jiwa yang bisa meninggalkan tempatnya dan memasuki makhluk lain. Jiwa ini adalah pelaku aktivitas spiritual. Namun, Freud menyangkal bahwa Animisme adalah agama, Animisme masih merupakan prakonsisi-prakondisi bagi terciptanya agama.

Berdasarkan penelitian yang ditekuni, Freud menghasilkan daftar aturan-aturan yang diterapkan oleh suku-suku primitif. Freud merangkum aturan-aturan itu menjadi dua, yaitu larangan membunuh binatang totem (binatang yang dianggap nenek moyang yang melindungi) dan larangan perkawinan sedarah (inses). Pelanggaran terhadap aturan pertama harus ditebus dengan upacara-upacara tertentu. Jika terjadi peperangan dan terjadi pembunuhan musuh, maka mayat musuh harus diberi penghormatan dengan upacara-upacara khusus. Upacara tidak lain sebagai bentuk penyesalan dan penebusan dosa pembunuhan. Pembunuhan terpaksa harus dilakukan sebagai upaya mempertahankan diri agar tidak terbunuh oleh musuh.

Demikian pula dengan apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran atas aturan kedua. Suku-suku primitif memiliki pembagian-pembagian klan tersendiri untuk menentukan mana yang boleh dinikahi dan yang terlarang. Pelanggaran terhadap aturan ini berakibat fatal bagi pelakunya, yaitu berupa hukum cambuk, larangan keluar dan lain sebagainya. Melalui karyanya, Totem and Taboo Freud menyimpulkan mengapa suku-suku primitif menerapkan aturan-aturan sangat ketat terhadap kedua obyek tersebut, tidak lain sebagai usaha menghindari pembunuhan ayah dan terjadinya perkawinan sedarah. Keduanya dilarang karena dianggap sebagai tindakan jahat dan wajib direpresi melalui aturan-aturan dan hukuman. Seperti tindakan-tindakan sebelumnya, Freud menghubungkan sistem yang berlaku pada suku-suku primitif dengan Oedipus Complex masa kanak-kanak. Kebutuhan memiliki (dalam pengertian untuk menyalurkan libido inses) dan agresivitas masa kanak-kanak ini berpengaruh besar “dan utama” dalam kehidupan psikis seseorang (dan kolektif). Sampai pada saat ditemukan dimana suku-suku primitif mengenal dewa-dewa, Freud tetap menghubungkannya dengan Oedipus Complex. Namun, pada tulisan ini, keterangan Freud tentang agama tidak hanya ditujukan pada penelitiannya terhadap suku-suku primitif, tetapi lebih luas sampai pada masyarakat modern. Pada masa kanak-kanak seseorang (anak laki-laki) berkeinginan memiliki ibu secara penuh, tetapi keinginan itu tidak secara tiba-tiba terpenuhi, sebab ada sosok ayah. Ayah adalah sosok yang menakutkan, memiliki kekuatan untuk mengebiri anak, sehingga anak memiliki ketakutan untuk dikebiri (Castration Complex). Untuk memenuhi keinginannya, maka anak harus membunuh ayahnya (pengertian membunuh di sini adalah membenci). Namun demikian, tindakan ini tetap menyebabkan munculnya perasaan bersalah luar biasa pada anak. Sebagai konsekuensinya anak mencari pengobat perasaan bersalahnya, sekaligus mencari pengganti ayah (father substitute) untuk melindungi diri si anak. Kelemahan emosi dan ancaman-ancaman dari dunia luar, berupa rasa sakit, tidak menyenangkan menuntut anak mendapatkan father substitute.

Mendesaknya kebutuhan pengobat rasa bersalah dan kebutuhan father substitute, maka Tuhan muncul (dimunculkan). Tuhan hadir sebagai pengganti ayah yang mampu melindungi dengan ke-maha kuasaannya. Dengan nalar tersebut psikoanalisis dengan pasti menegaskan bahwa Tuhan hanyalah ayah yang “ditinggikan” atau dalam literatur berbeda disebut sebagai ayah angkat. Freud menggunakan istilah Tuhan paternal untuk menyebutnya. Dalam konteks ini analisis Freud mungkin sesuai untuk menjawab mengapa sering kali dalam andaian sosok Tuhan sering kali muncul dengan ciri-ciri dan karakter laki-laki.

Dalam penjelasan yang lebih konkrit, Freud mengambil contoh dalam mitos Kristen. Dia menyebutkan bahwa manusia memiliki beban dosa asal karena melawan Allah Bapa. Untuk menebus dosa tersebut, maka Kristus mengorbankan nyawanya. Contoh di atas tidak lebih dari perasaan bersalah Kristus atas perbuatan manusia yang telah melawan Allah Bapa. Sampai sekarang pun umat kristiani tetap menanggung dosa asal sebagai akibat perlawanannya terhadap Allah Bapa.

Perasaan Ke-samudera raya-an
Freud sebagaimana sampai saat ini terus mendapat perhatian bagi banyak orang di seluruh dunia. Saat menyinggung permasalahan agama, dia banyak mendapatkan surat sebagai sarana diskusi tentang agama. Salah satu pengakuan yang dieksplornya adalah perasaan ke-samudera raya-an. Korespondennya mengaku memiliki perasaan yang disebutnya sensasi keabadian, perasaan tentang sesuatu yang tanpa batas, dan tak terhingga.

Freud menyatakan bahwa koresponden tersebut sedang terancam oleh penyatuan dengan dunia luar (sesuatu yang tanpa batas dan tak terhingga). Dia mengalami keterikatan dengan dunia luar. Dalam hal ini berarti kekacauan struktur psikologis telah terjadi. Normalnya, antara ego dan dunia luar memiliki garis yang jelas, namun dalam perasaan ke-samudera raya-an garis antara ego dan dunia luar menjadi kabur. Padahal kerancuan struktur psikologis ini adalah penyebab patologi. Penderita patologi tidak akan dapat membedakan egonya dengan dunia luar, bahkan persepsi, pikiran dan perasaannya sendiri menjadi sesuatu yang asing.

Nalar struktur psikologis yang diungkapkan oleh Freud menjadi alasan kuat mengapa perasaan tentang adanya sesuatu yang seolah-olah seperti samudera raya dianggap sebagai patologi.

Proyeksionis Agama
Sejak lahir manusia memiliki dorongan kesenangan. Namun, pencapaian kesenangan tidak serta merta dapat terpenuhi. Untuk memenuhinya bayi harus berhadapan dengan ayah yang sangat menakutkan. Pada saat dewasa manusia terus mengalami ketakutan-ketakutan terhadap kekuatan yang mematikan, yaitu alam. Pada masa kanak-kanak, ketidakberdayaan bayi terbantu oleh ayah yang mahakuat. Lain halnya dengan masa dewasa, perlindungan pada masa kanak-kanak tidak ditemukan lagi. Sebagai pengganti ayah, manusia lalu memproyeksikan adanya wujud Tuhan yang akan menjadi pelindung menghadapi kekuatan alam yang mematikan. Kekuasaan Tuhan akan memberikan kenyamanan saat menghadapi kematian dan memberikan pahala karena telah menaati aturan-aturan yang dipaksakan. Setelah mati, manusia akan hidup bersama Tuhan.

Itulah yang disebut Freud sebagai ilusi. Manusia mempercayai agama karena sangat menginginkan semuanya menjadi benar. Jadi agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, apalagi dibuktikan secara ilmiah, tetapi ide-ide yang ciri utamanya adalah bahwa manusia menginginkan kebenaran dari ajaran tersebut. Dengan ketakutan-ketakutan, manusia menggantinya dengan keinginan kebenaran tersebut. Ilusi-ilusinya membuat manusia rela menunaikan rutinitas irrasional dengan tujuan mendapatkan pahala dan menghindari dosa. Sama seperti Oedipus Complex pada masa kanak-kanaknya, semua orang merepresi dorongan-dorongan kesenangan dengan menaati rambu-rambu agama. Penjelasan Freud tentang proyeksionis agama ini banyak terinspirasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach yang menyatakan bahwa agama hanyalah alat psikologis yang digunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-ideal kepada wujud “Tuhan”.

Diakhir, Freud menjawab pertanyaan penting dari kedua teman yang karyanya banyak dikutip, Tylor dan Frazer. Keduanya mempertanyakan, mengapa orang-orang masih saja sibuk mempertahankan agama yang jelas-jelas mengada-ada dan irrasional ? Dengan cerdas Freud menjawab dengan keahliannya, psikoanalisis bahwa agama bukanlah perkara rasional, tetapi perkara alam bawah sadar. Agama muncul dari konflik psikologis masa kanak-kanak yang berada di bawah kenormalan dan rasionalitas. Agama hanya muncul sebagai respon terhadap konflik yang sudah ada sejak masa kanak-kanak dan kelemahan emosional yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu tidak ada gunanya mengharapkan orang-orang beriman berhenti dari neurosisnya. (apa neurosis dalam bahasan ini)

Secara sederhana Freud ingin menyampaikan bahwa agama muncul dari ketidakharmonisan kehidupan psikis yang sudah ada sejak lahir. Dorongan kesenangan dan ketakutan yang tidak dapat dipertemukan sedemikian hebatnya menentukan kehidupan manusia. Agama memaksa dorongan kesenangan untuk menghuni alam bawah sadar yang terus menerus direpresi dengan aturan-aturannya. Alam bawah sadar dijaga secara ketat agar tidak terluap dalam kesadaran sampai pada akhirnya dorongan-dorongan tampak tidak pernah ada.
Lebih lanjut Freud mengharuskan peradaban (yang salah satunya dibangun oleh agama) sebagai kekuatan yang harus bertanggung jawab terhadap terjadinya neurosis-neurosis. Peradaban tumbuh dengan jalan merintangi dorongan-dorongan dari diri manusia. Namun, yang menjadi kesulitan, jika dorongan itu dilepaskan, maka peradaban tidak akan tumbuh dan jika tidak ada peradaban maka manusia tidak akan hidup. Freud tidak seperti sosiolog yang menjelaskan bagaimana peradaban itu, hanya secara implisit yang dapat difahami, Freud mengatakan peradaban adalah keteraturan dalam masyarakat.



Sumber tulisan ini diambil dari literatur Freud yang sudah diterjemahkan: Totem and Taboo (2002), Civilization and Its Discontents (2002), Mose and Monotheism (2003), Sigmund Freud: Pemikiran dan Kritik Agama (2003) karya Joachim Scharfenberg dan Seven Theories of Religion (2001) karya Daniel L. Pals.



Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.