Jumat, 30 Januari 2009

Kecil itu indah

Tatkala subuh datang, sebagian penduduk kota Malang mulai berbondong-bondong menuju suatu tempat. Tempat itu ramai, berdesak-desakan, semrawut, becek, lalu lintas tidak teratur, sampah membusuk dan berceceran dimana-mana hingga baunya menusuk hidung.

Itulah gambaran pasar Kebalen. Pasar yang terletak di sepanjang Jalan Zaenal Jakse, ujung timur kota Malang. Pasar itu memiliki luas 1. 313 M2 , berdiri pada tahun 1979, dengan jumlah bedak atau kios sebanyak 63 buah dan ditempati 1654 pedagang. Bangunan Pasar Kebalen mempunyai dua lantai, lantai bawah diisi oleh pedagang sayur dan ikan, sedangkan lantai atas diisi oleh pedagang pakaian.

Namun, area dalam pasar tersebut terlihat lenggang terutama lantai dua, sebagian besar pedagang lebih memilih jalan raya sebagai tempat berjualan. Hal ini disebabkan kapasitas bedak tidak sebanding dengan jumlah pedagang. Keinginan untuk lebih mudah menggaet pelanggan juga menjadi alasan mengapa banyak pedagang yang semula mempunyai bedak di dalam pasar pindah ke jalan raya. Melubernya areal pasar ke jalan raya ini tak urung mengakibatkan jalanan di depan pasar tersebut macet dan tampak semrawut. Karena separoh badan jalan terampas oleh para pedagang.

Kesan tak tertata dan amburadul akan semakin kuat ketika melihat kondisi pasar ini lebih jauh. Pasar yang didominasi oleh pedagang sayur dan ikan tersebut, tidak mempunyai ruang komoditi yang tertata. Antara pedagang sayur, buah, makanan, dan ikan terlihat menyatu dan saling bercampur. Area parkir juga tak nampak jelas, seakan menyatu dengan bedak-bedak pedagang. Fasilitas umum seperti mushola atau kamar mandi pun tak terlihat, yang nampak hanyalah tempat kumuh dan berantakan.

Kondisi yang sama bisa ditemui di Pasar Induk Gadang. Pasar yang terletak ujung selatan kota Malang dan berdiri pada tahun 1989 itu mempunyai karakter yang tak jauh beda dengan Pasar Kebalen. Kesemrawutan dan bau menyengat masih menjadi ciri khas pasar yang buka 24 jam dan mulai ramai ketika sore sampai pagi itu.

Pasar tersebut terpisah oleh jalan raya yang dilalui oleh truk-truk dan kendaraan besar pengangkut barang. Jalanan di sekitar area tersebut rusak, aspalnya mengelupas, tanahnya tampak gembur dan basah. Tidak hanya itu, jalanan pun terlihat becek karena para pedagang membuang sampah dan limbahnya ke area jalan raya. Bau dan becek tersebut semakin mencolok ketika hujan mengguyur pasar, layaknya sawah yang berbau.

Sebagian besar pedagang Pasar Induk Gadang memang mengaku telah tebiasa dengan kekumuhan itu. Namun mereka juga mengakui bahwa kekumuhan itu membuat mereka resah. Hj.Sulamah misalnya, salah satu pedagang Pasar Induk Gadang, mengatakan bahwa kotornya pasar itu kerap mengganggu kesehatannya. Lebih lanjut Sulamah juga mengatakan bahwa Pemerintah kurang bisa merespon keadaan tersebut.

”Selama ini Pemerintah hanya menarik retribusi dan membersihkan sampah seadanya saja, tanpa mau peduli dengan pembangunan dan perbaikan pasar”, katanya.

Hal senada dinyatakan oleh Markati. Pedagang yang berasal dari Kota Batu ini mengungkapkan bahwa selama ini Dinas Pasar yang diwakili oleh pasukan kuning hanya membersihkan sampah saja, untuk perbaikan dan pembangunan pemerintah kurang ikut andil.

Menunggu keseriusan pemerintah
Para pedagang sebenarnya menginginkan agar pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam membangun Pasar Tradisional. Keluhan mereka adalah mengapa pemerintah selama ini hanya menarik retribusi setiap hari dan menarik uang kebersihan setiap bulan, sedangkan perhatian mereka tidak pernah ada dalam mengelola pasar dan memperbaiki manajemen serta fasilitas-fasilitasnyanya.

Pemerintah yang dimaksud oleh Markati dan pedagang lain tersebut tentu adalah Dinas Pasar. Karena dinas inilah yang berkoordinasi dengan kepala pasar secara langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasar. Benarkah pemerintah daerah tidak serius menggelola pasar tradisional?

Salah satu pejabat Pasar Kebalen menolak anggapan tersebut. Walaupun ia membenarkan kekumuhan dan semrawutnya tatanan pasar, utamanya pasar Kebalen, namun ia menolak statmen bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan tersebut.

”Relokasi sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu untuk mengatur agar pasar tidak ruwet. Pemerintah sudah membangun pasar alternatif, tapi para pedagang tidak mau menempati. Mereka memilih tetap di pasar Kebalen”, katanya.

Pasar pengganti pasar Kebalen tersebut bertempat di desa Kedung Kandang, sebuah desa yang berada di bagian selatan Kota malang. Lokasi bangunan yang sedianya disiapkan untuk pasar tersebut memang terbilang cukup sepi. Dengan alasan itulah para pedagang memilih untuk tetap bertahan di pasar Kebalen.

”Kami kembali lagi ke pasar kebalen, karena relokasi tersebut tidak tepat, pasar tersebut kurang strategis sebagai pasar” kata salah seorang Pedagang Pasar Kebalen.

Kegagalan relokasi pasar Kebalen tersebut menambah panjang daftar gambaran ketidakseriusan penggelolaan dan manajemen pasar tradisional, di kota dan kabupaten Malang. Relokasi yang diagendakan sebagai jalan keluar atas persoalan yang terjadi di pasar Kebalen terbukti tidak keluar dari kajian yang memadai, utamanya mengenai lokasi dan keingginan pedagang.

Pasca kegagalan relokasi tersebut praktis tidak ada usaha lain dari perintah untuk memperbaiki kodisi pasar kebalen. Akhirnya, hingga kini kondisi pasar tradisional itu tetap sama; kumuh, bau dan berantakan.

Untuk mengetahuai bagaimana sebenarnya penggelolaan dan manajemen pasar Kebalanen dijalankan dan sejauh mana kebijakan pemerintah daearah mengnai pengelolaan pasar tradisional di Malang, maka kami menemui pihak yang berwenang atas masalah tersebut, yaitu pejabat Pasar dan Dinas pasar di Pemkot Malang. Namun prosesnya ternyata sungguh sangat tidak mudah.

Kepala Pasar Kebalen selalu menolak menawab saat ditanya mengenai pengelolaan dan manajemen pasar lebih lanjut. Alasanya, saat itu kami tidak membawa surat izin dari Dinas Pasar, dan dia menyarankan agar minta surat izin terlebih dulu dari Kepala Dinas Pasar yang bertempat di kantor Pemerintahan Kota Malang.

Karena menurutnya itu adalah prosedur yang harus dilalui terlebih dahulu, supaya jawaban yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan kepada Kepala Dinas Pasar dikemudian hari bila terjadi permasalahan. Namun, saat surat izin tersebut telah didapatkan Kepala Pasar itu malah tidak pernah ada ditempat.

Hal yang sama terjadi ketika kami berusaha menemui Mardioko, Kepala Dinas Pasar kota Malang, untuk minta penjelasan mengenai pengelolaan pasar tradisional di Malang. Mardioko selalu menghindar dan enggan dimintai keterangan. Setelah didesak akhirnya ia menunjuk seorang dari bidang retribusi untuk melayani kami. Mardioko beralasan bahwa bidang retribusilah yang lebih tahu dan lebih paham mengenai perkembangan pasar.

Orang yang ditunjuk oleh Mardioko itu bernama Hartono, Kepala Bidang Retribusi. Hartono mengungkapkan bahwa Dinas Pasar telah melakukan pengembangan dan pengelolaan pasar dengan dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.

”Secara intensifikasi yaitu selalu inten menarik potensi yang ada di pasar Malang dengan menarik retribusi sedangkan ekstensifikasi adalah dengan menumbuhkan Pasar Desa menjadi Pasar Daerah”, katanya.

Dalam prakteknya, penanganan pasar tradisional yang dilakukan pemerintah hanya berkisar pada pemaksimalan pemasukan retribusi kedalam kas daerah. Sedangkan persoalan pembenahan kondisi pasar dan pemberdayaan pedagang kecil di pasar tersebut tidak pernah dijalankan dengan serius. Pemerintah melalui Dinas Pasar hanya memikirkan bagaimanana agar retribusi yang ditarik setiap hari dari pedagang dapat memenuhi target yang telah dicanangkan.

Target tersebut harus terpenuhi karena rertribusi merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Anggaran Daerah) bagi Pemerintah. Seperti tahun 2006, pendapatan dari pasar telah sesuai dengan yang ditargetkan yaitu sebesar 2,3 milyar. Namun dari pendapatan tersebut, yang dialokasi untuk biaya pemeliharaan hanya sebesar 1,489 milyar, sisanya digunakan untuk gaji pegawai baik PNS, jasa non PNS dan biaya operasinal.

Pasar Kebalen dan Pasar Induk Gadang adalah selembar potret yang menggambarkan kondisi dan pengelolaan serta perhatian pemerintah terhadap pasar tradisional secara umum di kota Malang. Karena kondisi yang sama, walaupun dengan sekala yang berbeda, juga dialami oleh beberapa pasar tradisonal di Malang seperti Pasar Dinoyo, Pasar Mergan, dan pasar-pasar tradisional lainnya di kota Malang.

Image yang terbangun bahwa pasar tradisional itu kotor, kumuh, berantakan, dan sederet konsepsi negatif lainya memang tidak terlepas dari realitanya. Ironisnya realita tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan perbaikan. Dan pada giliranya kondisi tersebut dianggap wajar baik oleh pedagang maupun pelanggan yang kebanyakan berasal dari dari kalangan menengah kebawah.

Kondisi pasar tradisional dan kelangsungan hidupnya merupakan masalah sosial yang harus diperhatikan oleh banyak pihak, utamanya oleh Pemerintah. Karena pasar tradisional merupakan urat nadi perekonomian masyarakat kecil yang masih menjadi mayoritas di negeri ini. Dan keberadaanya menyangkut hajat hidup sekian juta nyawa.

Dr. Harsono, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Merdeka (UNMER) Malang, membenarkan pernyataan tersebut. ” Keadaan pasar seperti saai ini sudah seharusnya mendapat perhatian lebih. Karena jika dibiarkan, sektor ekonomi usaha kecil bisa habis, karena ditinggal oleh konsumen. Bagaimana tidak ? pasar radisional yang kumuh, becek, sampah di mana-mana, adalah keadaan tak memungkinkan untuk didatangi. Konsumen akan memilih belanja di tempat yang lebih bersih dan nyaman”, katanya.

Harsono menambahkan bahwa untuk menanggulanginya seharusnya pemerintah membuat kebijakan dengan memiliki Rencana Induk Pengembangan Pasar. Yaitu suatu rencana yang diwujudkan dalam bentuk dokumen, yang memuat perencanaan umum (master plan) pembangunan pasar secara berkelanjutan.

Dengan begitu pemerintah bisa punya ancang-ancang pembangunan pasar dari jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan jangka pendek seperti, penataan komoditi, ketertiban lalu lintas, kebersihan, lahan parkir, pengaturan jarak antara pasar tradisional dan pasar modern agar tidak saling mematikan.


Untuk jangka menengah seperti, masalah relokasi, pembangunan fisik jika ada yang perlu dibenahi. Juga apabila pasar sudah tak layak ditempati karena tak seimbang antara tempat dan pedagang yang terlalu banyak. Kalau bisa pasar harus ada unsur rekreasi, unsur kenyamanan terhadap pengunjung.

Sedangkan untuk jangka panjang adalah perbaikan pembinaan pedagang, penghidupan koperasi pedagang, kerjasama pedagang dengan pusat-pusat comoditi, seperti holty cultural, petani dan lain-lain.

Jika pemerintah memiliki Rencana Induk Pengembangan Pasar, maka pembangunanya bisa teranggarkan dan bisa lebih terarah. Dengan demikian, perhatian pemerintah dan pengembangan sector ekonomi usaha kecil bisa bisa lebih terjamin.

Sayangnya pemerintah kota Malang tidak memiliki Rencana Induk Pengembangan ini. Hartono, yang mewakili kepala Dinas Pasar mengakui hal tersebut. Jadi wajar kalau pengembangan pasar di kota Malang terabaikan. Kalupun ada usaha penembangan, hal tersebut hanya merupakan tindakan insindentil yang minim kajian. relokasi pasar Kebaeln yang gagal seperti disinggung di atas merupakan salah satu bukti.

Lebih jauh, Harsono menyatakan bahwa membangun pasar tradisional yang ideal bukan tidak mungkin. Pasar tradisional yang ideal adalah pasar yang bersih, luas, bangunan dan pembagian comoditi yang dijual oleh pedagang tertata dengan baik.

”Artinya, pasar tersebut tertata sesuai dengan jenis barang. Misalnya, bagian pedagang buah di kelompokkan sendiri, sayur mayor juga demikian, ikan ada penempatan tersendiri dan sebagainya. Sehingga, konsumen pun tak bingung-bingung untuk mencari mana pedagang buah dan sayur”, katanya.

Selain itu, sebuah pasar yang baik juga juga harus dilengkapi dengan menegemen parkir dan pembuangan sampah yang baik. Fasilitas umum, seperti toilet dan musholla juga harus memadai.

Hari depan pasar tradisional
Jika kondisi pasar tradisional di kota Malang yang tak kunjung membaik tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin pada akhirnya ia akan ditinggalkan oleh konsumen. Gambaran dari kemungkinan ini akan semakin terang jika melihat apa yang terjadi pada pasar tradisional di beberapa kota besar di Indonesia. Utamanya ketika pasar tradisional harus dihadapkan pada persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern.

Kondisi pasar tradisional yang tak kunjung membaik di satu sisi dan perkembangan pasar modern yang kian pesat di sisi lain menjadi alasan utama terancamnya keberadaan pasar tradisional tersebut. Karena seiring dengan perubahan zaman, pola pikir dan gaya hidup masyarakat juga akan akan semakin condong pada paradigma modernitas. Salah satu bentuknya adalah konsumen akan cenderung menilai interaksi sosial-emosional yang selama ini menjadi jiwa dalam setiap transaksi dalam pasar tradisonal sebagai suatu yang tidak penting. Sebagai gantinya, pola-pola transaksi fungsional praktis dan instan yang ditawarkan pasar modern akan semakin diminati. Penilaian bahwa pasar modern lebih baik, nyaman, bersih dan bisa dijadikan tempat rekreasi bagi keluarga juga merupakan alasan tersendiri bagi konsumen untuk meninggalkan pasar tradisional.

Persaingan tidak seimbang akan terjadi manakala komoditas yang ditawarkan pasar modern sama dengan yang di jajakan pedagang pasar tradisional. Apalagi dengan besarnya modal yang dimikinya, tak jarang pengelola pasar modern dapat menawarkan harga dibawah harga normal yang ada dipasar tradisisonal. Hal ini dapat dilihat di supermarke-supermarket bermodal besar dan memiliki jaringan luas semacam Carefour, MAKRO atau HERO. Persaingan tidak seimbang anatara pasar modern dan tradisional ini telah terjadi di Jakarta dan kota-kota besar laianya.

Di Surabaya misalnya, perkembangan pasar modern akhir-akhir ini sangat pesat. Sampai akhir tahun 2005 pasar modern di Surabaya sudah mencapai 228 buah. Terdiri dari 43 super market, 10 depertemen store, 27 factory outlet dan 148 minimarket. Dengan banyaknya pasar modern yang muncul, pasar tradisional terancam terpinggir bahkan mulai tinggalkan oleh konsumen. Sehingga kemudian muncul ide untuk membatasi keberadaan pasar modern di kota tersebut. (kompas Jatim,7/6/2006)

Di Jakarta, persaingan tidak seimbang antara pasar tradisional dan pasar modern telah sedemikian parahnya, hingga memakan korban. Tak sedikit pedagang pasar tradisional yang gulung tikar akibat persaingan tersebut. Menurut Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI), sekitar 400 toko di pasar tradisional tutup usaha tiap tahun akibat persaingan tersebut.

Keadaan seperti di Surabaya dan Jakarta tidak mustahil akan erjadi pula di kota Malang. Kemungkinan ini nampaknya akan semakin mendekati kenyataan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sampai saat ini pemerintah Kota Malang masih belum menunjukan keberpihakanya pada pasar Tradisional.

Dan sebaliknya, tren kebijakan Pemerintah Kota malah menunjukan sikap yang sangat berpihak pada pengelola pasar modern. Menjamurnya pusat perbelanjaan modern di Kota Malang dan tetap berdirinya Malang Town Square (MATOS), yang konon merupakan swalayan terbesar di Jawa Timur, ditengah penolakan sekian elemen masyarakat Kota Malang mengisyaratkan tren tersebut. Terus berjalanya proyek Malang Olympic Garden (MOG) beserta paket mall atau plaza didalamnya yang seakan tak memperdulikan polemik yang menyertainya juga merupakan bukti yang lain.

Bila keadaan ini terus berlanjut, maka kepunahan pasar tradisional di Kota Malang tinggal menunggu waktu. Akibatnya, nasib sektor perekonomian kecil akan semakin terpinggirkan. Dan yang pasti, kelangsungan hidup sekian ribu orang yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan pasar tradisional tersebut akan semakin terancam.

Karena pasar tradisional tidak hanya merupakan tulang punggung sektor ekonomi mikro, tapi lebih dari itu ia juga adalah ujung dari serangkaian rantai ekonomi. Sebuah hubungan ekonomi yang terjalin mulai dari sektor hulu sampai hilir yang melibatkan sekian banyak pihak. Maka segala kemungkinan yang terjadi pada pedagang di pasar tradisional imbasnya tidak hanya akan dirasakan oleh pedagang itu sendiri, tapi juga oleh piha-pihak yang terlibat dalam rantai ekonomi dibelakangnya.

Selain itu, ruang sosial yang terbentuk melalui interaksi dalam transaksi yang berjalan di pasar tradisional juga akan menjadi masa lalu, jika pasar tradisional ditinggalkan konsumen. Seperti diketahui, pasar tradisional tidak hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli yang kosong dari hubungan sosial dan emosional.

Lebih dari itu, pasar tradisional juga merupakan sarana interaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat yang pada giliranya akan menimbulkan hubungan-hubungan sosial. Sebuah pola interaksi yang tidak akan ditemui di pusat perbelanjaan modern yang berjiwa individualistik. Pertukaran informasi dan pengetahuan praktis mengenai ekonomi juga terjadi disini. Dan yang tak kalah penting adalah dalam interaksi tersebut juga akan tersemai nilai-nilai kebersamaan dan unitarian. Sebuah nilai yang di dalam alam modernitas-kapitalistik ini menjadi semakin menjadi langka.

Selanjutnya, yang perlu diinggat juga adalah kemungkinan effek domino yang akan muncul akibat gulung tikarnya pasar tradisional tersebut. Angka pengangguran yang meningkat yang kemudian disusul dengan munculnya permasalahan-permasalahan sosial ditengah masyarakat menjadi hal yang sudah dapat diprediksi secara logis.

Akhirnya, keseriusan pemerintah dalam mengelola pasar tradisisonal dan komitmen untuk memberdayakan rakyat kecil layak untuk kembali ditegaskan. Agar pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian kecil tatap menjadi suatu yang menawan. Seperti yang di katakan E.F. Schumacher, seorang ahli ekonomi politik Inggris kelahiran Jerman, dalam bukunya mengenai unit usaha kecil ; ” Kecil itu indah”.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.