Jumat, 30 Januari 2009

Pasar intelektual

“ Penerbit buku adalah Industri intelektual ” teriak Ajib Risidi dua puluh tahun lalu, saat ia menjadi ketua IKAPI untuk menolak biae masuk untuk buku impor. Ya, buku adalah sumber pengetahuan dan identik dengan dunia intelektual, semua orang tahu itu. Tapi, semua orang juga tahu bahwa di negeri ini, buku termasuk barang mahal. Karena itulah kehadiran pasar buku bekas dan bajakan menjadi semacam surga bagi para pecinta buku berkantong tipis.

Di kalangan mahasiwa kota Malang, nama Pasar Buku Wilis telah akrab ditelinga. Namun tidak demikian dengan Pasar buku Sriwijaya. Kendati pasar buku ini juga memberikan tawaran menarik bagi pecinta buku, namun nama salah satu sentra buku alternatif ini masih belum banyak dikenal.

Pasar buku Sriwijaya sebenarnya berada ditempat yang cukup strategis. Letaknya yang berdekatan dengan pusat kota menjadikan kawasan ini cukup mudah ditemukan. Nama "Sriwijaya" diambil dari nama jalan tempat pasar buku itu berada, yaitu Jalan Sriwijaya. Jalan yang salah satu ujungnya berada di pojok pertigaan jalan depan Stasiun Kota Baru Malang. Papan nama jalan berada persis dibawah papan reklame Malang Pos yang terlihat mencolok dari Gerbang stasiun.

Jalan sriwijaya memang bukan jalan besar. Panjangnya hanya sekitar 100 meter, dan lebarnya kurang lebih 4 meter. Suasana nyaman sejuk akan langsung terasa bila kita masuk kawasan ini. Pohon-pohon besar nan rindang yang tumbuh di sekitar jalan terlihat bak payung raksasa. Menaungi bedak-bedak (kios) non permanen yang berjajar di sepanjang jalan itu.

Ada sekitar 60 bedak buku di kawasan tersebut. Berjajar rapat di sisi kiri dan kanan jalan. Di bedak-bedak kayu inilah para pedagang buku kaki lima menjajakan daganganya. Mereka umumnya buka dari jam 8 pagi dan tutup menjelang malam.

Klasik dengan harga antik
Seperti halnya Pasar buku Wilis, Pasar buku Sriwijaya juga berisi aneka macam buku dengan harga “bersahabat” bagi katong mahasiswa. Buku bekas, baru atau semi baru, ada disini. Namun tidak seperti Pasar Buku Wilis yang lebih banyak meyediakan buku-buku referensi perkuliahan, di Pasar Buku Sriwijaya kita dapat melihat buku-buku yang lebih fariatif. Bermacam-macam buku dalam berbagi bidang yang bebas dari ketegori keilmuan fakultatif disediakan disini.

Yang menarik, di bedak-bedak buku Sriwijaya ini kita juga dapat menemukan aneka macam buku klasik yang sudah tidak diterbitkan lagi, dan termasuk langka. Bahkan juga buku-buku yang pernah masuk dalam daftar “cekal” dan dikategorikan sebagai buku “berbahaya” oleh pemerintah.

Misalnya saja buku karya Moh. Hatta, Demokrasi Kita yang pernah dilarang pemerintah Orde Lama dapat ditemukan disini. Juga karya karya Ir. Soekarno seperti Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Dibawah Bendera Revolusi atau Sarinah yang pernah di larang Orde Baru juga bisa di buru disini. Selain itu di Pasar buku ini juga terdapat buku-buku yang ditulis para tokoh nasional di zaman kemerdekaan, seperti Tan Malaka, Sultan Shahrir, Ki Hajar Dewantoro, HB jassin dan tokoh-tokoh lainya.

Disini, kita juga dapat menemukan berbagai buku klasik terbitan luar negeri. Kebanyakan berbahasa Ingris dan Belanda. Bahkan tak jarang pula ditemukan karya besar para tokoh dunia yang namanya telah dikenal luas. Seperti misalnya buku karya Adam Smith yang menjadi rujukan konsep Kapitalisme dunia, Wealt of Nation.

Namun sayang, kebanyakan para pedagang di Pasar Buku Sriwijaya ini tidak mempunyai pengetahuan cukup untuk menyeleksi buku-buku yang bernilai dan tidak. Akibatnya, banyak buku yang sebenarnya sangat bernilai tapi diperlakukan seperti buku loakan dan di jual murah. Maka jangan terkejut jika menemukan karya-karya monumental penulis-penulis besar, semacam Romeo and Juliet karya W. Shakespeare terjepit diantara tumpukan novel berbau erotis karya Freddy S yang ditawarkan dengan harga 10.000
“ Saya kemaren malah dapat The Prince-nya Machiavelli dengan harga 7000,” kata Sodik, salah satu pelanggan Sriwijya yang mengaku telah menjadi pemburu buku klasik di tempat itu selama hampir setahun. Minimal sebulan sekali ia datang mencari “buruanya” di Sriwijaya.
Keunikan Sriwijaya tidak hanya sampai disitu. Kawasan Sriwijaya ternyata juga dikenal sebagai sentra benda dan buku “antikan”. Di bedak Pak Iko misalnya, kita dapat melihat bermacam-macam buku “Tempo doeloe” terbitan awal abad ke 20 yang masuk dalam kategori benda antik.

Diantaranya adalah buku-buku berbahasa belanda seperti Paraton Ken Arok karangan D.R N.J Krom terbitan ‘S Gravenage Maratinus Nijhof tahun 1920, Oud Soerabaya (sejarah perubahan Surabaya) karangan Ghevon Faber terbitan tahun 1931 dan Staatsspoor En Tramwegen In Nederlandssch Indie (perkeretaapian di Indonesia) yang terbit tahun 1925.

Soal harga jangan ditanya, namanya juga benda antik, harganya pun sudah pasti juga antik. Tengok saja, untuk buku-buku Belanda tadi pak Iko mematok harga diatas satu juta. Sedangkan untuk majalah-majalah kuno yang terbit zaman Jepang seperti “Panji Poestaka”no 6 Pebrueari ‘2603 (1943) dan majalah “Prajuerit” terbitan tahun 2605 (1945), dibandrol lebih dari seratus ribu. Demikian juga Koran “Djwa Baroe” (2603) tahun 1942 yang harga “ tempo doeloe”nya hanya 20 sen.

Itu baru buku, benda-benda yang dianggap antik harganya lebih antik lagi. Di salah satu bedak ada sebuah peta Jawa kuno yang di tawarkan seharga tuju juta rupiah. Pak agus sebagai pemilik bedak itu juga memiliki lukisan hasil karya pelukis Belanda bernama Lemayeur yang di buat tahun 1940-an yang harga jualnya sekitar dua ratus limapuluh juta rupiah.

Pasar ini biasanya rame dikunjungi pada awal ajaran nbaru. Pada saat ramai seperti itu para pedagang bisa memperoreh pendapatan sampai 350 ribu sehari. “ tapi kalau hari-hari biasa, paling 25 ribu,” kata Pak Munir, salah satu pedagang.

Namun, menurut Munir, pengunjung yang datang tahun ini semakin menurun dari tahun sebelumnya. padahal beberapa usaha promosi telah dilakuakan. “ Untuk tahun ini kita sudah banyak melakukan promosi dengan cara mengikuti even-even bazaar seperti Frestifal Malang Kembali bulan kemaren” terang Pak Iko. “Dengan adanya promosi ini para masyarakat kota malang diharapkan semakin mengenal Sriwijaya. Sehingga pengunjung semakin rame”, kata Iko menambahkan.

Ikon seni dan budaya
Keistimewaan kawasan Sriwijaya ini akan tampak kian jelas jika dihubungkan dengan peranya dalam dinamika dan pembangunan dunia kesenian dan kebudayaan Kota Malang. Bahkan, kawasan ini dapat dikatakan sebagai salah satu penyangga dunia seni dan budaya di Kota Bunga ini.

Beberapa orang yang peduli pada dunia seni dan budaya di Kota Malang menjadikan Kawasan ini sebagai tempat untuk menggelar berbagai aktifitas seni dan budaya yang kemudian dinamakan “Kampung Budaya Malang”.

Aktifitas utama Kampung Budaya adalah diadakanya sebuah panggung dan forum jalanan yang kemudian disebut “komunitas 28-an”. Dinamakan “28-an” karena memang panggung dan forum jalanan ini digelar sebulan sekali, pada tiap malam tanggal 28. Di malam 28-an ini para seniman diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk mengapresiasikan karyanya.

“ Tidak ada ketentuan siapa saja dan kesenian apa yang boleh tampil, semua seniman dan hasil karyanya boleh tampil di situ (28-an) “, kata M. Nashir, salah satu pemrakarsa komunitas ini.

Selain pagelaran seni, acara yang diadakan pertama kali pada Bulan Februari 2005 ini juga di isi dengan obrolan atau diskusi dengan tema yang telah ditentukan sebelumnya. Tema yang diangkat dalam diskusi itu selalu berganti setiap bulan. Tema-tema tersebut umumnya bekaitan dengan dunia seni dan budaya. Namun tak jarang pula diskusi ini membahas tema-tema seputar masalah sosial - politik yang sedang berkembang.

Selain Kampung Budaya, di kawasan yang selalu sejuk ini juga terdapat komunitas pelukis yang menamakan diri komunitas SABAK. Para pelukis tersebut biasanya berkumpul di bedak milik Pak Agus, yang memang mempunyai berbagai macam literatur mengenai lukisan baik yang yang klasik maupun kontemporer. Beberapa kegiatan seni pernah diprakarsai oleh komunitas ini. Seperti halnya pameran lukisan bersama dan juga penerbitan jurnal kebudayaan.

Dengan berbagai keistimewaan dan kekhasan ini, wajar jika pasar bukui ini didatangi oleh pengunjung yang mempunyai latar belakang beragam. Mulai dari siswa, mahsiswa, guru, dosen, kolektor benda antik, sampai seniman. Bahkan, beberapa tahun yang lalu, WS Rendara, penyair kenamaan negeri ini, pernah singgah di salah satu bedak di pasar buku ini.

“ Rendara ke sini karena mendengar nama kampung budaya” Kata Nashir, pemilik bedak yang pernah disinggahi Rendara ini.

Dari Ade Irma lalu kemana lagi..?
Pasar buku Sriwijaya ini pada awalnya bertempat di Jl Ade Irma Soeryani, mulai tahun 1883. Setelah 7 tahun menempati Ade Irma, dengan alasan kerapian dan ketertiban kota, pasar buku ini kemudian dipindahkan ke Jl. Majapahit.

Relokasi kembali terjadi pada tahun 1998. Kebijakan pemerintah mengharuskan para pedagang buku kaki lima ini untuk pindah lagi. Kali ini di Jl. Sriwijaya, sampai sekarang. Selesaikah aksi pindah memindah ini?

Ternyata tidak. Munir, salah seorang pedagang yang dianggap senior di Sriwijaya ini menuturkan bahwa akan ada relokasi lagi.

“ Kabarnya, kami akan di pindah di Jl. Kediri, dekat Jl. Wilis.” Kata Munir.” Tapi kapan relokasi itu akan dilaksanakan, masih belum jelas,” tambahnya.

Pada dasarnya para pedagang setuju dengan relokasi tersebut. “ Asalkan ada ganti tempat yang memadai, bangunan bedak yang permanen misalnya,” tutur Munir mengemukakan syarat.

Pasar buku Sriwijaya sekilas memang hanya berisi pedagang buku kaki lima. Namun, tak seharusnya bila keberadaanya dipandang sebelah mata, utamanya oleh Pemerintah Kota. Karena di tempat inilah puluhan orang menggantungkan hidunya. Dan yang pasti di tempat ini pula para pecinta buku di Kota pendidikan ini menemukan berbagai tawaran alternatif.

Jika kita sepakat bahwa buku adalah sumber pengetahuan dan intelektual, maka istilah serba hebat ala Ajib Rosidi dapat pula kita teruskan dengan konteks pasar buku ini. Bila Ajib mengistilahkan penerbit sama dengan industri intelektual, maka kita bisa saja menyebut pasar buku bekas seperti Sriwijaya sebagai “Pasar intelektual”. Dengan demikian para pedagang buku di Pasar itu bisa saja menyebut dirinya “Agen intelektual”. Hebat bukan ? Ajib pasti iri mendenga ini

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.