Minggu, 22 Februari 2009

Epistemologi Teori Kritis

Pertama saya berbicara tentang seberapa individualkah seorang individu. Saya sudah diperingatkan untuk tidak terlalu berbicara filosofis padahal epistemologi adalah bagian dari diskusi filosofis. Untuk mendamaikan itu saya akan membuat beberapa contoh. Namun sebelum itu saya akan berbicara tentang latar belakang teori kritis dalam konstelasi teoritis yang berkembang di Eropa. Sejak awal zaman modern ketika munculnya ilmu pengetahuan dan munculnya teori kritis ini. Kalau kita perhatikan apa yang mendasari ilmu-ilmu sosial di Eropa, itu tak lain dari pada suatu sikap, pertama optimistis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua sebuah sikap romantis, dalam arti kritis terhadap perkembangan ilmu alam itu sendiri. Nah, sikap yang pertama ini berkembang sampai pada puncaknya pada abad 18, yaitu zaman pencerahan.

Pencerahan di tiga wilayah, Jerman, Prancis dan Inggris itu mempunyai satu kesamaan di samping juga perbedaanya yaitu melawan metafisika. Termasuk di dalam metafisika, tahayul-tahayul, mitos-mitos, agama dan segala macam bentuk abstraksi yang tidak mempunyai dasar empiris. Perbedaannya kalau di Prancis amat didasari oleh John Locke yang sangat empiristis, begitu juga di Inggris, namun ia sebenarnya mengembangkan pencerahannya sendiri yakni pengembangan tentang mekanisme. Maka di Inggris lebih mengacu pada paham deisme. Suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta ini, dia menganggur, membiarkan dunia bergerak menurut mekanismenya sendiri. Sedangkan di Jerman, motif pencerahan juga berbeda, ide yang tak pernah hilang dari filsafat Jerman adalah ide mentalitas. Oleh karena itu, menjadi mentalitas yang merasuki filsafat dan juga sastra di Jerman adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatu. Dalam hal ini juga, ilmu, mitos, iman dan seterusnya. Bagaimana itu menjadi bangunan yang koheren dan utuh. Oleh karena itu, pencerahan di Jerman tidak mencabik-cabik agama, melainkan memberikan pendasaran yang kokoh, rasional tentang apa itu agama.

Nah tapi apa yang menang dalam pencerahan itu. Yang menang adalah, tendensi-tendensi yang kuat empiristis. Yang dimaksud menang itu adalah yang dominan. Dan malah juga cenderung nihilistis. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh Nietzshe misalnya yang lahir pada abad ke 19 dan merupakan titik kulminasi dari abad modern itu sendiri. Dimana kalau orang mau konsekuan untuk menaklukan alam baik alam eksternal yaitu alam material yang kita lihat ini, maupun alam internal yaitu alam psikis manusia, bagian dalam dari diri manusia, pikirannya, instingnya, sikap batinnya, kepercayaannya, semua mau ditolakkan menurut mekanisme. Maka kalau itu semua bisa diketahui secara mekanistis, objektif, maka nilai pun diusir keluar. Karena nilai itu tidak obyektif. Ia masuk dalam lingkup kebebasan manusia. Seperti menafsirkan misalnya. Nah maka sebenarnya tendensi nihilistis boleh dikatakan jadi muara dari aufklarung.

Karl Marx tentu saja salah seorang yang cukup kritis terhadap aufklarung. Ia hidup pada abad ke 19. tetapi ia juga berdiri pada tradisi aufklarung. Kritis dalam arti apa. Ia melihat aufklarung itu terlalu memusatkan perhatiannya pada pencerahan individu yang universalistis tentu saja. Pengetahuan yang universal itu diraih secara individual. Dan apa yang secara invidual diraih secara mendalam itu merupakan sesuatu yang universal yang juga dipikirkan oleh individu-individu yang lain. Pencerahan ini adalah pencerahan borjuis. Seseorang bisa menjelaskan dengan teori ekonominya, teori sejarahnya, tapi ini semua berakar dari epistemologi Marxist itu sendiri yang sangat anti terhadap sebuah pemikiran epistemologis bahwa pengetahuan itu lepas dari konteks sejarah. Universalistis, transendental, yang dimaksud dengan transendental itu metahistoris, yang dimaksud metahisroris itu adalah, na ya kalau pada hari ini saya memberikan kepada anda semua mata Tuhan maka mata Tuhan itu kita-kira akan melihat akhir dunia dan awal dunia dalam satu keutuhan. Tidak dalam suatu dinamika melainkan dalam suatu keutuhan total. Nah itu adalah corak pengetahuan borjuasi. Epistemologi universalistis, individualistis yang dikritik oleh Marx. Orang yang mewakili cara pandang ini tentu saja Immanuel Kant, dengan pandangannya tentang rasio murni.

Lalu apa yang dilakukan oleh Marx. Yang dilakukan oleh Marx adalah sebagai anak zaman pencerahan juga yang kritis tentu saja. Ia ingin melakukan pencerahan jilid kedua. Yaitu memperlihatkan bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang bisa dicerahkan bukan alam misalnya saja seperti yang dilakukan oleh kaum borjuasi. Seperti Kant misalnya, atau banyak juga orang borjuasi pada masa itu bahkan memandang manusia oleh Hobbes. Memandang manusia secara alamiah dengan segala kepentingannya.

Menurut Marx, wilayah lain yang harus dicerahkan adalah hubungan-hubungan sosial. Dan hubungan sosial ini tidak melulu bersifat alamiah. Itu terdapat di dalam Marx muda. Terjadi kemerosotan tentu saja setelah Marx semjadi matang. Dia condong tidak filosofis lagi, melainkan menjadi sangat ilmiah dan positivistis. Nah ia ingin menjelaskan proses hubungan antar manusia itu, sebagai proses-proses yang bisa dirumuskan menurut hukum-hukum alam.

Maka dari itu, mekanisme-mekanisme sosial yang bersifat struktural itu bekerja seperti pada misalnya biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya bisa ditekan dan diprediksi. Katakanlah sebuah revolusi dapat diprediksi dengan ketepatan matematis. Kita dapat menganalisa tingkat kematangan kontradiksi pada basis ekonomi yang akan memuncak seperti air yang akan mendidih ada 100 derajat selsius dan kemudian akan menguap. Maka niscaya jika suhu itu dicapai akan mencapai pula titik orgastiknya. Nah ini seperti gerhana matahari yang bisa diramalkan oleh Tales misalnya. Persis terjadi sesuai dengan ramalan.

Dan itu menarik, Karl Marx yang semula humanis yang melihat manusia tidak sepenuhnya dapat dirumuskan, terakhir menjadi seorang ilmuan yang percaya akurasi dan objetivisme di dalam ilmunya. Dan akibatnya juga, ilmu yang disebut ilmu ekonomi politik dan marxisme ortodoks yang dianut oleh penganut-penganutnya itu tidak menghasilkan perubahan sosial karena pretensi hanya merumuskan hukum-hukum sosial. Padahal hukum sosial itu apa? Itu bukan hukum-hukum an sich yang ada di luar sana dan hanya tinggal ditemukan. Bukan, bukan seperti melainkan merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. mungkin Marx menyadari itu pula bahwa itu merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. Tetapi Marx melihat walaupun rekonstruksi individu di dalam suatu masyarakat tidak bisa lepas dari determinisme ekonomi misalnya.

Hal itu tampil misalnya di Bali. Dulu di Bali ketika turisme belum berkembang, ritus seperti barong, lalu keca itu kan murni ritual religius. Begitu pula sabung ayam yang diteliti oleh Clifford Geertz. Itu merupakan ritus murni juga sama seperti katarsis di dalam mekanisme pelepasan dari beban hidup manusia. Yang menurut Geertz kemudian ditafsirkan salah oleh pemerintahan orde lama karena dianggap judi. Yang sesat sebetulnya adalah polisi-polisi itu. Nah lalu terjadi perkembangan kapitalisme, turisme berkembang dan terjadi komersialisasi. Individu menjadi tidak berdaya dalam situasi seperti itu. Tidak ada kekuatan individu di dalamnya. Hendak protes bagaimana, itu hidup(eksis) kok! Lalu akhirnya agama Bali perlahan-lahan juga ditransformasikan menjadi sesuatu yang bersifat kapitalistis. Memang orang Bali masih patuh pada agamanya tetapi perlu dicek apakah di Kuta, Legian masih ada orang Bali yang cukup murni di dalam menghayati agamanya ketika mengadakan tari keca misalnya. Apakah performance murni ataukah yang sudah hilang nilai sakralitasnya. Nah itu bisa menjadi tema riset yang menarik melihat efek kapitalisasi pada agama.

Dan dalam konteks seperti itu, Marx sebenarnya telah memberikan sumbangan yang menarik, deterministis memang tertalu keras seperti hukum baja, seolah-olah yang sosial itu menentukan yang individual. Nah saudara-saudara kalau melihat konstelasi semacam ini lalu orang didorong oleh hukum Marx seperti Das Kapital, untuk menunggu revolusi. Tentu saja membuat tidak sadar orang-orang kritis. Yaitu di kalangan murid-murid Marx sendiri yang mengaguminya. Pengagum Marx itu ada dua, yang satu yang ortodoks yang justru memegang ajaran Marx yang deterministik tapi ada juga yang lebih moderat yang lebih kritis seperti di berbagai agama kan juga sering terjadi seperti itu. Seperti di katolik misalnya ada orang-orang seperti Opusdei misalnya di Roma, ultra-ortodoks, fundamentalistis, nah mereka itu memegang kitab suci itu tidak lebih. Tapi ada yang menafsirkan lebih supaya kehidupan beragama itu lebih enak dan cocok dengan situasi. Orang-orang ini juga kadang-kadang mencari buku-buku yang dilarang oleh vatikan misalnya. Seperti Injil Yudas, Injil Thomas. Sehingga orang menjadi kaya dengan penafsiran. Nah di kalangan marxisme ada tendensi ssperti itu. Buku yang menjadi tabu di kalangan marxisme yang semakin dominan yang dominasinya juga didorong oleh Marx sendiri untuk mempublikasikan Das Kapital dalam internasional kedua dan seterusnya. Yaitu buku dari manuskrip itu sendiri yang jarang disentuh sebetulnya. Ketika Marx masih muda, idealis dalam merumuskan pemikirannya.

Buku itu menjadi penemuan intelektual yang sangat berharga untuk kalangan marxisme kritis, maka muncul orang-orang seperti Gramschi, Lukacs dan akhirnya juga mazhab frakfurt ini, di sana Adorno dan Khorkheimer. Jadi intinya begini, orang-orang ini yang membaca manuskrip, apa yang mereka temukan disana. Yang mereka temukan disana adalah sebuah inspirasi yaitu bahwa apa yang disebut revolusi itu harus dibuat. Revolusi itu hasil dari suatu kehendak demikian juga apa yang disebut kesadaran kelas itu sangat penting, karena kalau tidak ada niscaya revolusi juga tidak terjadi. Justru orang-orang seperti Lukacs, Lukacs ini melihat permasalahan utama di dalam dunia perburuhan yang menjadi keprihatinan para penganut marxsisme adalah mengapa kaum buruh itu pasif, mereka tidak bertindak transformatif itu karena mereka mengalami reifikasi kesadaran. Katakan reifikasi itu semacam alienasi. Jadi sebetulnya, dasarnya juga dari Marx tentang pertisisme komoditas. Jadi bagaimana produk-produk itu juga menjadi berhala. Nah demikian juga pada buruh, kesadaran mereka itu bisa dipesonakan oleh sesuatu. Sedemikian rupa sehingga kesadaran itu tidak lagi kritis, tumpul. Nah hal ini tidak jauh berbeda dari Gramschi yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang beroperasi dalam masyarakat. Yaitu suatu struktur kognitif tertentu yang membuat individu-individu di dalamnya merasa nyaman dengan struktur kognitif itu, struktur yang plausibel yang kita memang hidup dalam universum seperti itu. misalnnya ambil contoh seni, pementasan drama, kemudian juga hukum lalu juga media masa, cara berbahasa, semuanya. Semua ini kan memuat dimensi-dimensi kognitif. Nah dimensi-dimensi kognitif ini dianggap kebenaran oleh individu-individu. Itu sudah pasti benar, plausibel, di situ kita hidup dan di situ kita berenang. Tapi menurut Gramschi, tanpa disadari oleh individu-individu, bahkan mereka membelanya. Itu sebetulnya hasil reproduksi kognitif dari borjuasi itu sendiri yaitu kelas yang dominan dalam kelas suatu masyarakat. Sedimikian rupa sehingga kedudukan mereka justru didukung oleh orang-orang itu. Bukan hanya didukung, bahkan pola hidup mereka itu dikehendaki oleh yang lain.Maka tidak ada revolusi karenanya.

Hegemoni reifikasi lalu kemudian teori kritis masuk, sebetulnya hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang ini sebetulnya membalikkan epiatemologi marxis yang mengatakan bahwa basis menentukan suprastruktur. Marxisme kritis termasuk di dalamnya teori keritis itu memperlihatkan bahwa determinisme seperti jelas tidak memadai untuk mesyarakat. Yang terjadi pada masyarakat adalah korelasi antara basis dan suprastruktur, bahkan kadangkala peranan suprastruktur juga amat besar dalam memberi format pada basis, basis ekonomi.

Nah Adorno, Khorkheimer, Marcuse adalah tokoh-tokohnya. Masing-masing memiliki minat yang berbeda-beda tapi semua dilihat dalam satu kesatuan minat. Apakah itu, tidak lain dari pada ingin membangun sebuah teori dengan maksud praktis. Lantas apa yang dimaksud dengan praksis. Selama ini, bahkan di dalam marxisme sendiri seperti yang ada di dalam das Kapital, teori itu mau menjadi demi teori itu sendiri. Jadi teori untuk teori. Atau praksis tanpa teori, tetapi diam-diam ada ideologi di dalamnya. Itu tidak dikehendaki. Kalau mau mengubah masyarakat, kita harus menemukan sebuah konstruksi teoritis tertentu. Sungguh-sungguh ilmiah dalam arti mereka bukan ilmiah dalam arti posotivisme. Sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memandang teori tersebut dengan analisisanalisisnya sehingga mencapai suatu insight kepada masyarakat. Nah inilah proyek mereka (teori kritis).

Proyek itu tidak selalu berhasil, misalnya apa yang dilakukan oleh Frans Neuman, dia memang terkenal di Indonesia ini. Bukunya De Hemot yang merupakan counter terhadap Leviathan. Dalam bukunya itu ia melukiskan bagaimana Nazi itu menurutnya bukanlah negara melainkan penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Ia lukiskan semuanya dengan penuh analisa dan sangat ilmiah sampai pada kesimpulan yang cukup koheren. Kalau orang membaca itu semua, orang bisa tahu bahwa penulisnya bukan bersenang-senang dengan teorinya itu melainkan mempunyai sebuah keprihatinan yang besar dengan menantang sebuah rezim. Maka buku setebal ini De Hemot merupakan kritik terhadap Nazi yang hingga saat ini menjadi bahan diskusi untuk fasisme.

Apa sebetulnya fasisme. Wacana ini disumbangkan oleh buku semacam itu. dalam hal ini Hanna Arendt banyak dipengaruhi juga oleh Frans Neuman. Tesis-tesis Hanna Arendt banyak bertumpu pada Frans Neuman. Setelah membaca Neuman ia membaca Heidegger yang juga kekasihnya. Walaupun bangunan teorinya agak lain tetapi sikap keritisnya tetap sama. Atau buku yang dihasilkan oleh mazhab Frankfurt yang sangat teoritis tetapi sebetulnya juga sangat praksis. Dialektika der Aufklarung, suatu buku klasik yang cukup monumental di abad 20 ini. Ditulis oleh dua orang, Adorno dan Khorkheimer, hanya esai-esai sebenarnya. Ada macam-macam teks di sana. Dan ditampilkan kurang lebih dengan gaya sastra, ada cerita, narasi kemudian juga ada analisa. Orang juga perlu membaca mitos misalnya mitos Odisei untuk mengerti sedikit apa yang dibicarakan disana. Mitos itu menceritakan tentang Odisei dari Ulises yang pulang dari perang di Troya ke kampung halamannya Itaka. Dalam perjalanannya ia digoda oleh bermacam-macam mahluk, misalnya Sirena, Siklop. Terutama Sirena mahluk cantik berupa ikan yang suaranya merdu sekali. Kemudian Odesei ini minta diikat supaya tidak menoleh karena bila menoleh ia akan menjadi batu. Tetapi apakah yang dimaksud dari cerita ini, ini adalah cerita tentang subjektifitas modern. Jadi untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan itu harus objektif, tidak ada perasaan sedikitpun. Dalam cerita tadi ada Sirena yang suaranya mendayu-dayu, maka ia tutup telinganya dengan lilin panas dan diikat. Dan praktek ilmu pengetahuan modern berasal dari situ.

Kalau anda ingin menjadi dokter yang mau membedah dan masih berpikir bahwa manusia yang dibedah adalah juga manusia seperti saya, maka ilmu dengan begitu tidak dapat berkembang. Semuanya dilihat sebagai alam objektif mekanisme. Dengan begitu ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan dalam meneliti seksualitas, gairah seks jangan muncul. Karena bila muncul sangat berbahaya sekali. Itu terjadi ketika kemampuan orgasme diukur. Dengan menggunakan kabel-kabel dan ada monitornya. Diukur ketinggiannya, semakin tinggi temperaturnya maka denyut jantung pun semakin meninggi. Mereka melakukan seks secara sungguh-sungguh tapi cukup dingin. Prosesnya biasa, tapi diharapkan sungguh-sungguh agar nanti orgasme dapat dihasilkan. Nah ini dilakukan secara dingin, coba bila ada pemikiran bahwa ini porno, ini dehumanisasi saya tidak tega melakukannya. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pada saat orgasme detak jantung sekian kali banyaknya. Suhu badan meningkat sekian, dan inisemua dijelaskan secara detail. Dan itu dilakukan tanpa rasa. Nah itu seperti Odises yang menahan diri dari subyektivitasnya. Tetapi, yang merupakan inti dari dialektika pencerahan, menahan diri semacam itu dia percaya pada mitos tertentu. Yaitu mitos tentang objektivitas, bahwa yang objektif itu yang benar. Sebagaimana dengan mitos yang lain tentu ada ritusnya.

Misalnya dapat kita lihat pada tulisan Khorkehimer dan Adorno, ketika ada orang yang berpikir matematis dan ada orang yang berpikir ritualistis. Yaitu mengulangi itu-itu terus, misalnya satu tambah satu hasilnya tidak bisa lain. Mengulangi lagi hanya repetisi, kemudian juga yang lain, misalnya partisipasi. Ini semua merupakan bagian dari mitos.n Bahkan bila kita bicara tentang aufklarung, maka itupun merupakan metafora mitologis. Dulu ada mitos tentang dua kekuatan, kekuatan terang dan kekuatan gelap. Nah sekarang yang menang adalah kekuatan gelap misalnya. Dan di akhir zaman akan dimenangkan oleh kekuatan terang. Sebetulnya aufklarung juga bergerak dalam skala mitologis semacam itu.

Nah sekarang tibalah aufklarung, ketika zaman terang mengalami kemenangan. Ketika banyak penemuan dan aufklarung masuk di dalamnya. Adorno dan Khorkheimer hidup dalam zaman kegelapan. Perang I dan II membuktikan bahwa aufklarung pencerahan tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Malah akhirnya objektivisme itu akhirnya dipakai oleh Nazi untuk menguasai. Apa yang disebut nazisme itu tanpa ilmu dan positivisme sulit dibayangkan keberadaannya. Karena mereka berkuasa lewat ilmu. Kebudayaan barat itu baru bisa percaya kalau sudah diyakinkan oleh ilmu. Maka segalanya harus dilakukan dengan tehnik. Membunuh manusia (seperti yang dilakukan oleh Nazi) harus dikerjakan dengan cara tehnik dan industrial serta efisien. Penembakkan secara konvensional itu masih menimbulkan suara. Dan teriakannya masih menimbulkan perasaan tak tega. Itu sama seperti Odises yang merasa terganggu dengan suara. Maka karena itu untuk mengantisispasi segalanya kemudian ditemukanlah siklon B, suatu gas yang cukup efisien sekali. Orang-orang dimasukan ke dalam suatu ruangan, gas dimasukan, tidak ada teriakan, beribu-ribu orang sekaligus bisa mati. Lalu tidak ada orang yang tahu. Sehingga identitas orang Yahudi betul-betul hilang. Mayat pada umumnya memiliki jenazah bahkan mayat biasa yang dikremasi masih dikelilingi oleh keluarga kemudian diletakan dan lalu dilarung. Identitas hilang namun ingatan masih ada. Namun pada orang-orang Yahudi semuanya hilang karena sejak awal mereka hanya diberi nomor bukan nama. Dan semuanya digunduli sehingga tidak ada perbedaan satu sama lain. Tidak ada individualitas.

Dibuang, dibakar manjadi abu, hilang, hilang kenangan. Semuanya betul-betul hilang. Dan itu tehnik. Orang-orang seperti Marcuse itu bergerak lebih jauh lagi. Bukan hanya nazi yang totaliter, di sana juga ada Amerika dengan budaya massanya. Ini juga salah satu bentuk totaliarisme yang patut diwaspadai. Caranya lebih halus karena ada demokrasi, ada kebebasan berbicara, toleransi, tapi toleransi yang represif. Karena dengan memberikan toleransi kekuasaan mereka semakin kuat. Nah lalu mengkritik tentang tehnik, cara berpikir yang monodimensi. Ia juga cukup terkenal dengan freudianismenya, dengan memperlihatkan libido pada masyarakat. Di mana terjadi erotisasi di dalam masyarakat. Nah buku-buku semacam ini bukan sekedar ilmu untuk menjelaskan tentang masyarakat, melainkan di dalamnya ada semacam anjuran untuk mengubah masyarakat. Tapi anjurananjuran seperti ini masih kedengaran moralistis. Hendaknya begini dan begitu kalau mau.

Untuk masyarakat barat dan masyarakat ilmiah sulit menerima kalau anjuran itu bersifat moralistis. Hal seperti itu bukan bagian dari tugas seorang ilmuan melainkan seorang ulama, pastor, kyai dan seterusnya. Namun bagi seorang ilmuan apalagi ilmuan sosial yang harus dimiliki adalah ketajaman analisis.

Dan disitulah muncul Jurgen Habermas yang bertolak dari kemacetan teori kritis itu sendiri dengan dialektika pencerahan bahwa ternyata pencerahan itu adalah mitos. Menurut Habermas tidak seperti itu. pencerahan harus jalan terus. Masalahnya pada teori kritis yang lama, mereka juga terobsesi dengan paradigma positivistis. Yaitu bahwa rasio itu adalah penaklukan atas alam maka sebetulnya apa yang disebut ktitik oleh mazhab Frankfurt yang lama itu bahwa kritik itu sebetulnya adalah penaklukan atas yang dikritik tentu saja. Seperti di manakah tempat kritikus sosial dalam suatu masyarakat. kalau menurut Adorno dan Khorkheimer, dia adalah pemegang kebenaran karena dia adalah yang paling tahu. Inilah jalan yang benar. Kalau menurut Adorno, teruslah berpikir dialektis, negasi secara terbuka terus menerus. Dan itu namanya kritis. Apakah semua orang mau berpikir seperti itu belum tentu.

Orang-orang ini berpikir bahwa seorang kritikus adalah seorang pemegang kebenaran. Itukan mewarisi kesalahan orang yang dikritik juga yakni melakukan dominasi. Nah Habermas menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan moralitas melainkan juga kedudukan kritikus itu. Haruslah ditemukan sebuah ilmu kritis menurut dia, kritikusnya tidak lebih penting dari pada yang dikritik. Dia berada dalam kedudukan yang sama dengan orang-orang yang dikritik. Jadi bagaimana mewujudkan kesamaan. Jadi semacan demokrasi. Caranya adalah dengan membedakan praksis menjadi dua. Yakni komunikasi dan kerja. Nah kalau praksis kerja itu disebut dominasi. Seorang pencangkul itukan mendominasi atas tanah. Kita tidak bisa mencangkul manusia yang lain. Dan komunikasi maksudnya adalah adanya saling pemahaman timbal-balik. Dalam komunikasi harus ada kesejajaran di mana kritikus itu hanya memberikan sumbangan pada momen komunikasi tertentu, agar komunikasi itu bisa berjalan secara terus-menerus. Sumbangan itu tentu bisa diterima juga bisa ditolak. Tentu saja pada permulaannya Habermas sempat terperosok di dalam gaya-gaya seperti pendahulunya. Kenapa proyek Knowledge and Human Interest tidak diteruskan, ia hanya diam. Dan itu menarik karena bila seorang teoritikus membungkam itu bisa ditafsirkan dengan beberapa kemungkinan. Misalnya bungkam karena merasa sudah benar, kemungkinan yang kedua karena terdapat kekeliruan di dalamnya. Dan saya melihat kebungkamannya dikarenakan ada yang keliru di dalamnya.
Kekeliruannya disini ketika Ia memakai paradigma psikoanalisis untuk teori kritis. Dan itu memang sudah dilakukan oleh mazhab Frankfurt sebelumnya. Apa itu psikoanalisis, orang sakit jiwa datang kepada seorang terapeutis dan menyatakan bahwa saya punya masalah semacam ini dan saya ingin sembuh. Nah keinginan untuk sembuh adalah kehendak emansipatoris dari penindasan, penindasan internal. Lalu terapeut melakukan dialogdialog sokratis. Yaitu pencerahan. Sekarang persoalannya adalah model semacam itu. Apakah hak seperti seorang terapeut itu dimiliki oleh seseorang di dalam masyarakat. Kalau dalam konteks klinis itu dimungkinkan, tapi bagaimana bila seorang kritikus sosial disamakan dengan seorang terapeut. Dan ini problematis karena konsekuansinya adalah bahwa kita semua adalah orang gila hanya terapeut yang sehat.

Ini adalah prioritas bagi seorang terapeut atau kritikus-kritikus. Maka menurut Habermas ini tidaklah konsekuen. Dalam buku pertamanya, Habermas masih cukup demokratis namun dalam buku keduanya kok dia masuk kesini. Ia terpukau oleh para pendahulunya. Nah setelah ini ia masuk dalam analisa bahasa, teori ekonomi dan juga hukum. Maka dari situ dia berada di jalan yang cukup simpatik. Disitu dia mengintegrasikan dari cara berpikir. Mungkin saja di dalam masyarakat ada yang disebut sakit. Tapi boleh ko berkomunikasi asal mau berkomunikasi. Kaum fundamentalis di dalam masyarakat dengan mengatakan bahwa inilah yang paling benar. Oh tapi tunggu dulu mari kita berkomunikasi.

Karena menghilangkan berkomunikasi sangat berbahaya bagi masyarakat. Nah lalu mereka berkomunikasi. Maka yang disebut ilmu kritis lama-kelamaan berkembang dari keinginan untuk membangun konstruksi teoritis dan konstruksi itu transformatif untuk berubah lamakelamaan berubah menjadi teori tentang diskursus. Jadi merumuskan bagaimana tipe tipe diskursus yang ada di dalam masyarakat dapat menentukan proses legitimasi institusi sosial masyarakat. Dan bagaimana dengan legitimasi semacam itu maka konstruksi total masyarakat dimungkinkan. Nah itu bermuara ke sana.

Dan kebetulan di tangan kita sudah ada contoh kasus-kasus yang saya buat. Pengantar teori kritis tadi mungkin ada gunanya untuk memberi tahu bahwa teori kritis itu sangat kompleks. Tetapi supaya kita tidak dipusingkan oleh hal itu, sekarang saya sodorkan sesuatu yang praksis. Ada tiga kasus di sini, kasus pertama sangat terkenal yakni kasus Pavlov dengan anjingnya yang dibuat lapar kemudian dimasukan di dalam kotak. Dipancing dengan makanan maka keluar air liur dari mulutnya dan dimediasi dengan lonceng. Dan ini dilakukan beberapa kali sehingga satu waktu lonceng dibunyikan tanpa makanan dan air liur tetap keluar. Kasus yang kedua adalah tentang riset seorang psikolog untuk meneliti bagaimana mekanisme pasar. Perilaku konsumen terhadap buku anak-anak. Bagaimana reaksi mereka, buku manakah yang lebih menarik, yang ada gambarnya atau yang tidak. Tentu saja yang ada gambarnya. Lalu divariasikan dengan bonus-bonus dan yang tidak, tentu saja mereka cenderung dengan yang ada gambar dan bonusnya. Nah menanjak lagi dengan variasi diadakan forum bersama mereka dan yang tidak maka mereka akan memilih yang plus forum. Oleh karena itu kesimpulan dari riset ini adalah bahwa buatlah model yang terakhir itu. Perhatikan baik-baik dalam dua kasus ini ada kesamaannya atau tidak? Nah pada kasus ini sebetulnya bertolak dari sebuah ide yakni mekanisme. Bahwa perilaku dari organisme dapat diprediksi. Lalu juga bisa ditingkatkan kira-kira reaksinya seperti apa. Tentu pada mediasi seperti bel yang terjadi pada anjing. Bel pada anjing, pada manusia dapat dimediasi dengan makna, gambar, interaksi dengan teman-teman yang lain lalu manisnya acara dalam forum itu. Jadi sebetulnya analisa pasar itu tidak mungkin bila manusia itu unpredictable. Manusia memiliki lapisan-lapisan yang dapat diduga, yaitu nalurinya, hasrat, kebutuhan. Ini nyaris mekanis dan oleh karena itu juga sukses. Karena kapitalisme dengan ilmu pengetahuan borjuasi itu adalah sebagai ide alam. Yakni menaklukan alam. Nah riset yang kedua ini adalah salah satu contoh bagaimana penaklukan alam internal itu dalam model kecil berhasil dan terjadi. Dan inilah yang disebut ilmiah. Tanyalah kepada profesor-profesor di Indonesia atau ahli pengajar bila kita menulis disertasi. Mereka kalau menulis tanpa statistik tapa angka atau determinasi lalu tidak ada kesimpulan yang bersuat objektif, impersonal maka karya ini bukan dianggap penelitian ilmiah. Karena dalam penelitian ilmiah jangan sekali-kali mengatakan “saya berpendapat”, itu merupakan pelecehan akademis.

Anda bisa bayangkan bila suskes-sukses dari kasus yang saya berikan itu diaplikasi dalam semua bidang kehidupan. Bagaimana bila diterapkan dalam bidang konsumsi, sosial, agama, tentu sangat mengerikan sekali. Kalau anda perhatikan kasus yang ketiga menimbulkan alergi bagi para profesor-profesor positivistis. Di sebuah negara bagian India ada sebuah perkampungan kumuh yang berdampingan dengan real estate. Anak-anak dari perkampungan ini berpenyakit dan angka kematian di daerah ini cukup tinggi. Orang-orang dewasa bersikap pasif dengan keadaan dan hanya tinggal menerima nasib. Sementara orang-orang kaya yang ada disampingnya ingin berbuat sesuatu. Maka kemudian dibuatlah sebuah riset objektif. Riset pertama menyimpulkan bahwa ini adalah masalah fasilitas. Maka kemudian diubah namun kemiskinan tetap tidak berubah. Meskipun orang diberi dana secara tetap. Nah sekarang muncul orang LSM. Membuat metode wawancara, agak terlibat dengan keprihatinan mereka sedikit, ada kepentingan juga untuk mendongkel partai politik tertentu. Tapi demi membebaskan situasi yang buruk dari masyarakat di sana. Maka disimpulkan bahwa masalah kemiskinan di sana adalah masalah weltanschauung, cara berpikir masyarakat yang ada di sana. Bukan hanya soal fasilitas, oke mungkin soal fasilitas juga benar. Tapi sikap fatalistik, dan taraf pendidikan yang sangat rendah juga faktor-faktor asing yang menyebabkan kemiskinan di kampung itu dan partai-partai politik di sana juga senang dengan kondisi seperti itu. Karena dengan begitu mereka tetap memperoleh suara. Hasilnya dipublikasikan dan ternyata menimbulkan kontroversi. Kalau ada riset seperti itu ia masuk dalam kategori ilmiah atau tidak.

Kalau hal ini dilihat dari metodologi yang tradisional (positivistis) maka riset ini tidak ilmiah. Dan ini patut dicurigai. Karena ada kepentingan di dalamnya. Jelas, tetapi riset yang kedua ini tentu juga sangat mencurigai riset yang pertama. Dengan mengatakan bahwa yang obyektif adalah seperti itu sebetulnya dia sedang melestarikan status quo. Berarti ada kepentingannya juga walaupun dia mengatakan bahwa tidak ada kepentingan di dalamnya. Kehendak untuk menghilangkan kepentingan adalah sebuah kepentingan demikian kata Fichte. Fichte adalah filusuf idealis yang mempengaruhi juga Jurgen Habermas dan Hegel. Oleh karena itu sulit untuk mengatakan sebuah riset ilmiah tanpa kepentingan. Lalu apakah sebuah riset harus dengan kepentingan atau membiarkan diri diseret dengan kepentingan-kepentingan, tentu saja tidak. Nah disinilah teori kritis masuk. Anda bisa lihat teks saya. Teks ini berbicara bahwa kalau anda hendak mengenal epistemologi dari teori kritis, epistemologinya itu begini, epistemologi klasik tradisional, yang disebut tradisional adalah positivisme, itu adalah pengetahuan yang dipeoleh secara kontemplatif, memandang, memotret kenyataan maka teori kebenaran yang ada di dalamnya adalah teori kebenaran sebagai korespondensi bahkan juga sebagai koherensi. Sedangkan teori kritis mempunyai epistemologi yang lain. Dia mengatakan kita tidak bisa mengetahui sesuatu kalau tidak menyadari kepentingan kita. Tidak mungkin kontemplasitanpa kepentingan. Kontemplasi mempunyai kepentingan. Tatapi untuk mencapai “objetivitas” ia tidak mau mengatakan ini namun inilah yang disebut keilmiahan, nyatakanlah sejujurnya kepentingan itu bahkan capailah kepentingan itu lewat konstruksi teoritisnya.

Nah kepentingan dalam riset sosial adalah kepentingan praksis untuk membebaskan masyarakat dari penindasan, ketidakadilan dan sebagainya. Sedangkan kepentingan dalam ilmu-ilmu alam, walaupun objektif ada kepentingannya yaitu menaklukan. Apa yang salah dilakukan oleh positivisme adalah (seperti behaviorisme) mencampur adukan bahkan mengganti kepentingan untuk saling memahami dengan kepentingan untuk menguasai. Jadi kepentingan untuk menguasai itu kan ada pada ilmuilmu alam sekarang dipakai secara metodologis di dalam ilmu-ilmu sosial. Akibatnya apa, ya rekayasa sosial. Ini sebetulnya adalah wilayah untuk kepentingan praksis untuk saling pamahaman, kok diganti dengan kepentingan untuk saling menguasai seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu alam. Jadi dengan menerapkan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu sosial suatu kepentingan untuk menguasai itu luar biasa dahsyat dan efektifnya secara sangat tersembunyi merasuk dalam bentuk keilmiahan tertentu. Itulah positivisme dan bahayanya. Mungkin kita akan memperdalam lagi tentang epistemologi teori kritis di dalam diskusi.

Read more...

Sabtu, 14 Februari 2009

PUNISHMENT



Punishment Theory and Practice
Mark Tunick
UNIVERSITY OF CALIFORNIA PRESS
Berkeley · Los Angeles · Oxford
© 1992 The Regents of the University of California









Currently there is a debate about whether we should allow our prisons to be owned and operated privately. One opponent of private prisons argues, "What are the core purposes of government? Foreign affairs and domestic defense. I count corrections and detention as among the latter, and I don't think our government should contract out its core reason for being." But an internal auditor for Texas's Department of Corrections isn't persuaded: "I'm an old state bureaucrat…. I don't have any philosophies. If they can do it cheaper than the state can, more power to them" (New York Times , March 27, 1990). To the hard-nosed Texas auditor concerned with what works most efficiently, the theorist who appeals to a philosophy of what's morally right is too taken with abstractions and high-sounding principles to confront the tough choices and uncomfortable truths of the real world. The tension in this confrontation is well known, perhaps inevitable, but nevertheless disturbing; it is the tension between the theorist who stands on the "outside" talking of ideals and principles, and the practitioner who is "inside" and needs to get things done. This is a book of theory about one of the most troubling of our social practices, legal punishment.


This book is a work of theory because it holds up ideals to the reality of our criminal justice system; but it is a work of theory also because it considers whether we should have the practice of legal punishment at all, an issue not often raised by practitioners such as judges, defense attorneys, and prosecutors, whose preoccupations inside the practice afford them little opportunity to step back and reflect on such a heady question. Addressing the question "Why punish at all?" is not a mere philosophical and intellectually edifying exercise. The answer matters practically. For if we have a compelling interpretation of why we punish, of the purpose of the practice, then from this account we might derive principles and standards that determine how we resolve the problems engaging those practitioners.



Read more...

Kamis, 05 Februari 2009

PLULARITAS VERSI PINGGIRAN

Sebuah kegaduhan yang biasa. Tiga puluhan anak berdesakan keluar dari pintu sebuah masjid. Sebagian langsung menuju tangga tempat sandal-sandal mereka ditinggalkan, sebentar kemudian anak-anak itu telah berjalan memenuhi badan jalan di depan bangunan itu dengan membentuk kelompok-kelompok kecil.

Sebagian yang lain masih terlihat memadati serambi dengan kerumunan-kerumunan kecil. Dari sinilah keriuhan sore itu terdengar. Suara tawa, teriakan dan jeritan ceria berbaur dengan bunyi tapak kaki yang beradu dengan lantai, menciptakan kegaduhan yang khas.

Mereka adalah anak-anak yang mengaji di masjid itu. Mengaji adalah sebutan yang biasa ditujukan untuk aktivitas belajar membaca al-Qur’an atau ilmu-ilmu Islam. Biasanya dilakukan dalam lembaga pendidikan nonformal, seperti di Masjid, surau atau pesantren.

Setelah pelajaran usai sekitar jam 4 sore, anak-anak itu biasa menghabiskan waktu dengan menggelar berbagai permainan di teras masjid hingga menjelang magrib. Mulai dari main bola sampai main kuis-kuisan dengan cara meniru acara kuis di televisi dengan kreatifitas khas mereka. Tidak jarang mereka juga bermain ala kuis super deal 2 milyar atau super rejeki 1 milyar.

Seorang anak laki-laki berlari berjingkrak melewati kerumunan-kerumunan kecil sumber kegaduhan itu menuju belakang masjid. Anak itu bernama Yoga, salah satu murid atau santri di masjid itu. Tubuhnya sedikit kurus. Yang membuat dia terlihat menonjol adalah warna kulit dan tinggi tubuhnya. Warna kulitnya lebih cerah dari kebanyakan temanya, ia juga lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya di masjid itu.

Sore itu ia tak ikut bermain lama. Setelah ikut bermain bola sebentar dengan teman-temanya, ia bergegas menuju belakang Masjid. Di sanalah sepeda mininya biasa di parkir, bersandar pada dinding kolam penampungan air yang berfungsi sebagai tempat wudlu.

Yoga baru saja menarik sepedanya dari sandaran saat terdengar suara memanggilnya, suara yang sudah sangat dikenalnya, suara Pak Bashori, guru ngajinya di masjid itu, “Yog, kemarin kok tidak ngaji, kemana?”

Yoga menoleh ke arah sumber suara itu. Dilihatnya gurunya itu telah berada sejajar dengan bahunya, beberapa meter dari tempatnya. Ia tidak menjawab. Anak laki-laki itu hanya tersenyum. Wajahnya menunduk Matanya memandang jari-jari roda depan sepedanya

“Kemana yog? Ikut bapakmu ke Pura ya?” tanya Pak Bashori dengan senyum lebar.
Yoga tetap diam. Tersenyum. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Ia tampak semakin salah

tingkah saat gurunya itu mendekat. Tanganya yang sedari tadi diam kini mulai mempermainkan kemudi sepedanya kekanan dan kekiri, hingga terdengar suara gesekan roda sepeda itu dengan kerikil–kerikil kecil di bawahnya.

“Nggak!” jawab yoga sambil tetap tersenyum.
“Ah, masak! Kata Karis kamu kemarin ke Pura sama bapakmu.” Senyum Bashori bertambah

lebar. Tampaknya ia sengaja menggoda Yoga.

“Ngga’! Karis bohong!”
“Lha, kemana kemarin kog nggak ngaji?”
Yoga tidak menjawab. Tanganya masih bermain-main dengan setir sepedanya.
“Ya sudah, besok ngaji ya!”
“Iya” jawab yoga.
“Janji, ya!”

Yoga mengangguk. Bashori melangkah meninggalkan Yoga, menuju rumahnya yang hanya berjarak beberap meter di belakang masjid. Di depan pintu rumahnya Bashori membalikan badan, menatap yoga yang pergi mengayuh sepedanya dan sesaat kemudian menghilang dibalik pagar masjid. Ia yakin yoga akan menepati janjinya.

“Saya memang sering menggodanya begitu, kalau dia bolos”, ungkap Bashori, “mungkin karena malu, setelah saya goda begitu besoknya pasti dia masuk”.

Yoga adalah salah satu santri di masjid itu yang anggota keluarganya tidak beragama Islam. Selain Yoga ada tiga anak lagi di masjid itu yang anggota keluarganya bukan muslim.

Ayah yoga memang bukan muslim. Ia beragama hindu. Namun, tidak demikian dengan ibunya. Ibu Yoga seorang muslim. Dua tahun yang lalu ia menyatakan diri untuk memeluk agana Islam.

Pada awalnya semua keluarga Yoga beragama Hindu. Dia, Ayah dan ibunya mengikuti agama hindu karena faktor keturunan dan lingkungan. Maklum, ayah dan ibu yoga mempunyai orang tua yang juga pengganut Hindu. Demikian juga kakek buyutnya, mereka penganut Hindu secara turun temurun. Hindu adalah agama leluhur mereka.

Tempat tinggal Yoga juga berada di lingkungan Hindu. Tetangga kiri kananya mayoritas pemeluk Hindu. Bahkan, rumah Yoga berdekatan dengan Pura. Pura itu berada di sebelah balai dusun Umbulan. Balai dusun inilah yang memisahkan rumah Yoga dengan Pura yang merupakan satu-satunya rumah ibadah bagi pemeluk Hindu di desa itu.

Tiga tahun lalu, saat Yoga masih duduk di kelas dua SD, ia menggikuti ajakan teman-teman sekelasnya untuk pergi ke masjid pada sore hari sepulang sekolah. Yoga tertarik dan ikut ke masjid dengan teman-temanya. Dengan satu alasan, di sana ia dapat bermain dengan teman-temanya.

"Di sana (masjid) enak. Banyak mainannya. Nyanyi-nyanyi pakai mic (pengeras suara) juga ada. Pokoknya enak!" ujar Yoga.

Dari ikut-ikutan inilah Yoga mulai kenal dengan huruf-huruf Arab dan ajaran-ajaran Islam. Walaupun ia ke masjid hanya untuk bermain, tapi mau tidak mau ia pun harus menggikuti aktifitas anak-anak di masjid itu, belajar mambaca al-Qu'ran dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman.

Orang tua Yoga tidak melarang anaknya pergi ke masjid, walaupun mereka tahu di sana yoga tidak hanya bermain, tapi juga diajari ngaji. Mereka malah cenderung lebih senang jika anaknya tiap sore ke masjid.

“Yoga itu kan anaknya nglitis (aktif), sukanya main sampai jauh. Kadang pulangnya sampai malam. Saya sering kawatir.” kata Ibu Yoga. “Kalau dia di Masjid, kan pasti ada yang ngurus. Dan tempatnya juga jelas. Jadi saya dan bapaknya tidak susah-susah untuk mencarinya, tidak kawatir.”

Orang tua Yoga bukan saja tidak keberatan jika anaknya ke Masjid, mereka bahkan rela menyisihkan uang belanjanya untuk membeli keperluan Yoga untuk beraktifitas di Masjid itu. Seperti baju taqwa, kopyah dan buku.

Entah kapan persisnya, Yoga mulai menyadari bahwa orang tuanya mempunyai identitas agama yang berbeda dengan dirinya. Yang jelas, mulai tahun kedua yoga mengaji, ia mulai merengek agar ayahnya mau ke Masjid seperti kebanyakan orang tua teman-temanya. Yoga juga sering mengeluh bahwa ia malu dengan teman-temanya karena orang tuanya tidak pernah ikut kegiatan di masjid.

“Dia merengek terus, kadang ngrundel sendiri, gitu“ kata ibu Yoga.
Akhirnya untuk menyenangkana hati anaknya, ibu yoga memutuskan untuk masuk Islam.

Sedangkan ayahnya tetap memilih beragama hindu

“Saya mikirnya gampang saja. Biar anak senang dan saya juga enak dengan orang-orang. Karena di Masjid itu kan si Kacung (begitu ibunya memanggil Yoga) sering ada kegiatan yang melibatkan orang tua. Misalnya sembahyang hari raya atau kumpulan apa gitu! Lha, saya yang sering menemani si Kacung. Biar enak dengan orang-orang di sana. Ya, saya sekalian Islam saja. Biar tidak ewuh pakewuh (canggung)" kata Ibu Yoga.


Saudara dan orang tua Ibu Yoga memang sempat meminta penjelasan tentang keputusanya berpindah agama itu. Namun setelah mereka mendengar panjelasan Ibu Yoga, akhirnya mereka setuju.

“Bapaknya kacung sih, tidak ada masalah,” kata Ibu Yoga saat ditanya teantang pendapat suaminya. “Biar kacung seneng, katanya”


Ya, dirumah itu ada dua agama. Islam dan Hindu. Tapi tidak ada yang berubah. Keluarga itu tetap menjalani kehidupannya dengan damai dan harmonis. Mereka saling mengerti dan menghargai. Perbedaan identitas agama bukan penghalang dalam menjalani hidup bersama. Bagi mereka perbedan agama adalah realitas hidup yang biasa. Biasa dalam arti benar-benar wajar atau telah benar-benar menyatu dengan realitas keseharian mereka.

Keluarga Yoga dan pola kehidupan keberagamaanya ibarat sebuah cermin kecil. Cermin yang memantulkan gambaran realitas kehidupan keberagamaan sebuah masyarakat. Masyarakat dimana Yoga dan keluarganya menjadi salah satu bagian di dalamnya. Sebuah dusun di bagian selatan Kabupaten Malang bernama Umbulan.

Masyarakat Umbulan memang tidak mengenal istilah Pluralisme agama, tokoh-tokoh penggagas, pendukung atau penentang pluralisme. Apalagi memperdebatkanya berdasarkan landasan teori atau konsep-konsep yang dipungut dari lembaran-lembaran buku atau ceramah-ceramah pada forum ilmiah. Namun realitas kehidupan yang mereka jalani sehari-hari kurang lebih dapat menjelaskan bagaimana konsep Pluralisme agama itu menemukan bentuk kongkritnya.

Masyarakat di dusun sudah sangat terbiasa dengan perbedaan agama dalam keseharianya. Tetangga yang mempunyai agama berbeda, teman yang beragama lain, kerabat, saudara bahkan orang tua atau anak yang berdeda keyakinan adalah realitas hidup yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka tidak lagi menganggap istimewa perbedaan identitas agama di antara mereka. Maka tak heran jika terdapat fenomena dua atau tiga agama di dalam satu rumah dianggap hal yang benar-benar lumrah.

Keluarga Yoga hanyalah satu dari sekian deret daftar keluarga plural di dusun itu. Jika dalam keluarga Yoga ada dua agama, di keluarga Pak Parlan lebih plural lagi. Ada tiga agama dalam keluarga itu.

Pak Parlan dan istri serta ibunya yang tinggal serumah denganya beragama Hindu. Anak pertamanya, Poniran, beragama Katolik. Sedangkan anak keduanya masuk Islam. Pak.Parlan sebenarnya punya satu anak lagi, tapi ia tidak tinggal bersama keluarganya di desa. Ia kini bekerja sebagai TKW di Arab. Anak terakhir Pak Parlan ini beragama Islam.

“Saya lupa kapan si Poniran ngomong kalau ikut (agama) katolik.” kata pak Parlan mulai bercerita tentang anaknya. ”Pokoknya setelah dia ikut kerja di Kedung Rampal”

Kedung Rampal adalah nama dusun di sebelah utara Sidomulyo. Mayoritas penduduknya memang beragama Katolik. Dan satu-satunya Gereja di Desa Sidodadi juga terletak di dusun itu.

Tentang anaknya yang kedua, pak Parlan bercerita, ”Kalau adiknya poniran ikut kerja nyopir di toko pak Midi di pertigaan atas sana”, pak Parlan menunjuk ke pertigaan dekat masjid yang memang terletak di dataran agak tinggi. ”Dia Islam mungkin agar enak dengan daoke-nya (majikanya). Daokenya Islam”.

“Bapak tidak keberatan?”

Pak Parlan tersenyum. Diam sebentar lalu menjawab, ”Mereka itu kan sudah dewasa, sudah bisa milih dan mikir. Kalau mereka rasa itu baik bagi mereka, mengapa keberatan?”

Pak Parlan justru kawatir akan berselisih dengan anak-anaknya jika ia melarang mereka untuk pindah agama. ”Saru!” katanya. ”Masak ribut dengan anak hanya karena agama. Apalagi sampai congkrah dengan keluarga”.

Pandangan pak Parlan ini memang sejalan dengan pandangan masyarakat sidomulyo umum umumnya. Masyarakat dusun ini cenderung menilai bahwa perselisihan antar keluarga gara-gara pebedaan agama adalah hal yang memalukan atau tak pantas. Karena bagi mereka ikatan keluarga lebih utama daripada ikatan agama.

Tumpang tindih simbol agama
Dusun Umbulan adalah salah satu dusun yang ada di wilayah desa Sidodadi, kecamatan Gedangan. desa ini bisa di kategorikan sebagai desa terpencil. karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan dan masih buruknya infrasruktur jalan menuju desa. Untuk sampai ke desa ini kendaraan harus menempuh jaran sekitar 66 Km dari kota Malang. dengan kondisi jalan yang jauh dari kategori baik. Jalan beraspal hanya sampai sekitar kota kecamatan, sedangkan untuk sampi ke desa ini kendaraan harus rela merayap di jalan berbatu selama kurang lebih satu jam. Dusun Umbulan merupakan bagian paling selatan dari desa Sidodadi. Dusun ini berbatasan langsung dengan desa Gajahrejo yang hanya berjarak sekitar 2 kilo dari Pantai Bajul Mati.

Penduduk desa Sidodadi mayoritas beragama Islam. Tujuh belas persenya adalah pemeluk agama hindu, jumlahnya sekitar 1200 orang. Sedangkan sisanya beragama katolik, tujuh persen dari total penduduk Sidodadi yang berjumlah 7236 orang.

Pemeluk agama Islam menyebar di semua dusun yang ada di desa itu. Sidodadi bagian utara bisa dikatakan homogen dalam hal agama. Pemeluk agama selain Islam hanya ada beberapa orang saja. Sedangkan Sidodadi bagian selatan lebih plural. Tiga agama ada di sana. Pemeluk kristen terkonsentrasi di dusun Kedung Rampal, sedangkan pemeluk hindu di dusun Umbulan yang berada tepat di selatan dusun Kedung Rampal.

Di dua desa inilah ketiga agama itu bertemu melaui interaksi sosial pemeluknya. Dan akhirnya melahirkan realitas keberagamaan yang plural. Pluralitas yang di praktikkan masyrakat di dusun ini kerap kali memunculkan realitas yang menurut sebagian orang dipandang sebagai hal unik atau aneh. Utamanya berkaitan dengan praktik keagamaan maupun simbol-simbol identitas keagamaan yang tumpang tindih. Baik dalam ruang publik maupun privat.

Misalnya dalam hal perayaan hari raya keagamaan. Di dusun Umbulan ini, hari raya umat Islam, seperti Idul Fitri maupun Idul Adha tidak hanya dirayakan oleh umat Islam saja. Kabanyakan warga Sidomulyo yang beragama hindu maupun Kristen juga merayakanya. Memang, mereka tidak ikut takbir atau sembayahng Idul Fitri, tapi soal serba serbi tradisi lebaran, mereka tidak ketinggalan.

Mempercantik rumah, membeli baju baru, dan membuat kue lebaran menjadi kesibukan utama menjelang lebaran.Tidak hanya itu, masyarakat Sidomulyo, dari agama apa saja, juga melakukan tradisi silaturrahmi. Saling mengunjungi dan meminta maaf antar keluarga dan tetangga, tidak perduli apa agamanya.

Seperti halnya tradisi umat islam yang mengaap umur lebaran sama dengan dengan umur bulan Sawwal, masyarakat hindu di Umbulan juga masih menyediakan kue lebaran di ruang tamu mereka hingga satu bulan.

Awal November lalu, saat saya berkenjung ke rumah Pak Parlan, Kue lebaan itu juga masih ada. Karena pada hari itu bulan Sawwal baru berjalan sepuluh hari.

” Kenapa ya..? ya, ikut saja. Masyarakat disini sudah biasa begitu. Sungkan kalau tidak ikut. Toh, itu (tradisi lebaran) juga baik.” kata Pak Parlan saat saya bertanya mengapa ia dan keluarga ikut merayakan lebaran. ”Lha wong setahun sekali saja.” tambahnya.

Dalam hal pakaian, tumpang tindih simbol agama ini juga terlihat. sarung dibanyak tempat di anggap sebagai simbol identitas Islam. Ahmad Baso, seorang intelektual Islam, bahkan menyebutnya lebih sempit lagi. Baso dalam bukunya, Plesetan lokalitas, menyebut sarung sebgai simbol Islam tradisional.

Tapi di Umbulan anggpan bahawa yang bersarung dan berkopyah adalah orang muslim tidak saja kurang tepat, tapi juga menyesatkan. Karena di dusun ini yang memakai kopyah tidak hanya orang Islam, tapi juga masyarakat non islam yang ada di dusun itu, Hindu dan Kristen.

Orang Hindu di sidomulyo tidak meanggap sarung sebagai simbol agama. Sarung menurut mereka hanya pakaian santai yang biasa di pakai selepas kerja atau berkumpul dengan keluarga sepanjang malam.

Mereka memakainya dengan cara sama seperti kebanyakan orang islam. Sebagai pengganti celana yang menutup pinggang sampai betis. Tidak seperti masyarakat tengger yang memakai sarung untuk selimut penahan dingin.

Sedangkan kopyah di mata mereka menjadi semacam pakaian resmi untuk menghadiri acara-acara yang bersifat formal. Misalnya menghadiri acara acara pertemuan desa atau semacamnya.

Untuk menghadiri undangan selamatan atau kenduri tetangga atau keluarganya yang beragama Islam, mereka biasanya juga memakai kopyah dan sarung, sama seperti kebanyakan umat Islam.

”Tidak bisa dibedakan. Mana Islam asli dan mana yang bukan” kata Pak Bashori, salah satu pemuka Islam di dusun itu.

Terkadang, menurut Bashori, orang Hindu malah lebih necis dan mentereng dibanding umat Islam pada saat mengahdiri kenduri. Karena selain memakai kopyah dan sarung yang lebih bagus, mereka juga memakai baju koko yang modelnya sedang tren. Seperti misalnya baju koko model ”UJ” (Ustad Jefri) yang kala itu sedang naik daun bersamaan dengan naik daunya sang da’i.

”Biar seperti yang di TV-TV, kata mereka”. Cerita Bashori yang diakhiri dengan tawa.

Sekali Roma tetap Roma
Fenomena menarik juga saya temui saat berinteraksi dengan para pemuda di dusun itu. Tiap kali saya melintas di jalan sekitar Balai Dusun, yang merupakan kawasan Hindu, di waktu pagi, keadaaan yang saya temui selalu sama. Udara di sepanjang jalan sekitar balai dusun itu dipenuhi suara lagu yang di putar Kencang-kencang dari beberapa rumah di di tepi jalan.

Uniknya, lagu-lagu yang diputar itu berjenis dan bercorak sama. Karena lagu-lagu itu ternyata dinyanyikan oleh satu orang. Seorang musisi dan biduan dangdut yang terkenal dengan lagu-lagunya yang banyak bernuansa dakwah, Si Raja Dangdut; Roma Irama. Padahal, kawasan sekitar balai dusun itu adalah wilayah yang dihuni oleh mayoritas Hindu.

Satu pagi, seperti biasa, setelah melewati pertigaan depan balai dusun, saya meneangkap suara yang tak asing lagi. Sekitar empat lagu yang dinyanyikan Roma dengan judul berbeda diputar bersamaan dengan suara kencang. Pendengaran saya dipenuhi suara lagu-lagu Roma Irama yang sahut menyahut dan saling tumpang tindih

Saya mendatangi salah satu sumber suara itu. Sebuah rumah kayu yang letaknya lebih tinggi dari jalanann. Untuk sampai di halamanya saya harus naik semacam tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi.Tapi kemudian saya urung memasuki halaman. Ada anjing sedang menyusui anaknya di depan pintu rumah itu. Saya takut anjing.

Masyarakat dusun Umbulan memang gemar memelihara binatang ini. Satu keluarga bisanya mempunyai minimal satu ekor anjing. Bahkan, menurut salah satu santri yang mengaji di tempat P. Bashori, tetangganya ada yang punya anjing lebih dari 15 ekor.”Diternak, dijual di Sitiarjo, disembelih” katanya.

Untung saja, tidak ada anjing yang terlihat disekitar rumah di seberang jalan, rumah yang juga ikut andil dalam kegaduhan pagi itu. Dari rumah itu lagu Roma juga terdengar, tapi tidak sekeras tetangga-tetangganya. Suara biduan itu kalah oleh suara orang yang menirukan lirik lagunya.

Ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki yang duduk berjongkok di pintu depan rumahnya. Bertelanjang dada. Membiarkan sinar matahari menerpa tubuhnya. Matanya terpejam tampak menghayati benar lagu yang ditiruknaya. Sesekali tanganya bergaya seperti memainkan gitar.

”La...ila...ha illallah...//Tiada Tuhan selain Allah...//Katakan... Tuhan itu satu..// Tuhan tidak beranak....”

Suara itu berhenti. Si empunya suara ternyata menyadari bahwa saya telah ada di depanya. Setelah basa basi sebentar ia mempersilahkan saya masuk.

Meja dan kursi panjang mengisi ruangan tamu. Sebuah alamanak bergambar wanita berpose diatas motor gede tergantung di tembok yang belum di lapisi kulit semen, batu bata penyusun tembok itu masih terlihat jelas.

Sebuah sound system seukuran tiga susun kardus mie instan berdiri di lantai plester dekat pintu masuk. Sebuah tape rakitan berbentuk persegi panjang beserta amplifiernya berada di atas sound itu. Dari alat inilah lagu Roma yang tadi saya dengar di putar.


Pemuda itu bernama Maryo.Berumur 27 tahun. Ia anak pertama dari dua beraudara. Adiknya masih duduk di kelas 2 SMA. Dirumah itu ia tinggal bersama ibu dan adiknya. Bapaknya telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sehari-hari Maryo bekerja di tambak udang di Desa Gajah rejo, dekat pantai Bajul Mati. Pagi itu ia mendapat giliran jaga pagi. Kalau jaga pagi biasanya ia berangkat ke tambak sekitar jam 8 dan pulang jam 5 sore.Yang mengagetkan ternyata Maryo dan keluarganya beragama Hindu.

Lantas, mengapa dia suka lagu-lagu Roma yang berbau dakwah? Dan mengapa dia terlihat begitu mengahyati lagu dengan lirik kalimah tauhid (la ilahallah) itu? Maryo menjawab,”lha, orang seneng itu kan urusan hati tho, mas. Tidak ada urusanya dengan agama. Masak karena saya hindu saya tidak boleh suka lagunya Roma? Saya suka lagunya Roma ya..karena suka saja.Tidak tau kenapa. (karena) enak di dengar mungkin ya ?”

Maryo juga mengatakan bahwa tetangganya yang tiap pagi memutar lagu-lagu Roma itu juga kebanyakan bukan Islam.” Kalau malam, di gardu itu pasti rame orang-orang njagong (duduk-duduk santai). Gitaran. Nyayinya ya, kebanyakan lagunya Roma”, kata Maryo sambil menunjuk sebuah tempat seperti pos jaga desa atau pos kamling di seberang jalan.

”Tahu artinya lirik lagu tadi...(la..ilaaha illa llah)? tanya saya.
”Tahu. Tiada tuhan selain Allah, kan?”
”Tidak takut di marahi orang tua atau pemangku (pemuka Hindu)?
”Tidak. Orang mereka juga tahu itu hanya lagu”
”Tapi kan liriknya kan mengandung Islam-islamnya?” saya mengejar.
” Lha, mau gimana lagi...? itu sudah syairnya (liriknya). Masak mau diganti.” Maryo tersenyum. ”diganti apa ya..? Masak hong...wilaheng ....gitu? ya tidak enak!”
”Ha ha ha........” kami tertawa.

Hindu, Kristen, eh...Islam,deh!
Pria kurus yang bicara blak-blakan itu menerima saya di ruang tamunya. Sebuah ruangan berlantai tanah, berisi meja kayu yang diapit dua kursi panjang juga dari kayu. Sebuah pembersih meja yang terbuat dari segenggam batang padi yang diikat tergeletak diatas meja, disebelah kendi tanah.

Karjo Kemal nama orang itu. Sehari-hari ia bekerja di sawah. Dalam umurnya yang hampir setangah abad itu Kemal telah tiga kali berpindah agama. Sejak lahir ia beragama hindu mengikuti orang tuanya. Ia masuk Islam saat menikah. Karena Istrinya adalah orang Islam. Bisa dibilang Kemal masuk Islam hanya formalitas saja, untuk kemudahan proses pernikahan dan pengurusan surat nikah.

” Enaknya jadi orang islam itu, kalau kawain (nikah) surat kawinya bagus. Lha, kalau yang lainya (agama lain) paling hanya dapat lembaran (sertifikat) tok.” katanya.

Beberapa bulan setelah menikah, Karjo kembali lagi ke Hindu. ” Tidak apa-apa, istri saya tetap Islam,” jawab karjo saat ditanya mengenai istrinya saat ia kembali beragamama hindu.

Karjo kembali meyatakan diri memeluk Islam setelah lingkunganya menjadi kawasan Muslim. Daerah sekitar rumah Karjo yang sebelumnya merupakan lahan kosong, lambat laun banyak ditempati orang-orang Islam yang kemudian menjadi tetangganya. ” Rumah-rumah di kanan kiri ini baru saja ada. Sekitar sepuluh tahunan, lah. Dulu tidak ada”, kata Karjo. Para tetangga baru Karjo itu berasal dari Sidodadi utara yang memang mayoritas Islam. Interaksi Karjo dengan bayak orang Islam itulah yang menjadikan karjo masuk Islam, untuk kedua kalinya.

” Yang seperti itu biasa disini, ” Kata Bashori, saat menaggapi cerita saya tentang Karjo Keman. Lelaki yang kerap di sebut Kiai oleh masyarakat Umbulan ini bahkan mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Umbulan pernah merasakan pindah agama.

” Seperti orang binggung, lah,” kata Bashori. ” Sekarang Islam, tahun depanya Hindu, e...tau-tau minta nikah cara Islam,”

Basori juga bercerita bahwa sering pindah-pindah agama tersebut tidak terjadi pada orang berpendidikan rendah saja. ” Gitu itu tidak peduli pendidikan. Wong Pak Kepala Desa yang sarjana saja juga ’orang bingung’. Pak Parman itu dulu Hindu terus Islam, sekarang hindu lagi.”

Pengalaman merasakan berbagaia agama memang telah menjadi lumrah di Umbulan. Tak jarang pula mereka pindah agama karena ikut-ikutan. Pendi misalnya, pemuda yang baru lulus SMA ini mengaku telah ”mencoba” semua agama yang ada di Sidodadi. ” Hindu pernah, Kristen juga pernah, mas” katanya.

Sembari nongkrong di Gardu perempatan jalan bersama teman-teman sebayanya, Pendi bercerita bahwa awlanya dia Hindu. Sekitar tiga tahun lalu ia banyak bergaul dengan teman-teman di SMA - nya yang beragama Kristen. ” Mereka semua akrab sama saya, saya diajak maen kemana-mana. Yang sering ke Siti arjo, katanya. ”Sering juga, kita maen sampai ke Malang (kota malang), mas”.

Entah kapan tepatnya Pandi kemudian ”iseng” ikut ke gereja. ” Waktu itu ke gereja di Siti Arjo. Gerejanya besar, tidak seperti di Kedung Rampal,” kata Pandi. Beberapa kali Pandi ikut ke geraja dengan teman-teman Kristenya, hingga akhirnya ada salah seorang Jama’ah Gereja yang menawarinya, dan dua orang temnya yang Hindu, untuk masuk Kristen. Pandi dan dua temanya setuju.” Sebenarnya saya mau ya..ikut teman –teman aja. Dan juga karena sungkan. Mereka orangnya baik-baik. Saya sering dikasih barang dan kadang juga kerjaan” katanya.

Pergaulan Pandi dengan teman-teman Kristenya mulai berkurang saat ia sibuk membantu kakanya yang bekrja sebagi sopir truk pengangkut batu di Gajah Rejo. Kakaknya ini beragama Islam. Sejak itu, Pandi kemudian bergaul dengan orang-orang Islam yang ada di Gajah Rejo dan akhirnya ia didesak kaknya untuk sering ke masjid. Awalnya ia malas, tapi karena terus didesak akhirnya Pandi aktif juga mengikuti kegiatan Masjid walau hanya sebatas Sholat Jum’at. Dan itu artinya Pandi menjadi orang Islam.

Mudah berpindah agama memang lumrah di desa umbulan dan sekitarnya. Mereka pindah pada umumnya bukan karena ada gerakan terencana seperti yang sering dibayangkan orang seperti kristenisasi atau islamisasi. Mereka pindah agama rata-rata karena pengaruh interaksi dengan orang di dekat mereka. Teman, keluarga atau orang di tempat kerja.

” Orang sini itu lucu,” kata P. Bashori. ” Kadang pindah agama dengan alasan sepele. Mungkin karena orang sini itu kebanyakan orang awam, ya? Istilahnya abangan mungkin? Jadi, Islam ya..Islam abangan, Kristen ya..Kristen abangan dan Hindu juga abangan.”

Beberapa tahun yang lalu banyak masyarakat Umbulan yang masuk Islam gara-gara menuruti anaknya. Ceritanya, Bashori pernah mengajak murid-muridnya untuk menagadakan kegiatan di luar rumah. ” Semacam kemah santri gitu... Tapi saya buat semeriah mungkin,” Kata Bashori.

Para nggota jamah tahlil diminta membuat obor dari bambu, Satu orang membuat tiga. Dan Obor itu ditaruh di kanan kiri jalan mulai dari masjid sampai ke lokasi perkemahan. Jaraknya sekitar dua kilo. ”Karena dulu masih belum ada listrik, jadi ya kelihatan betul meriahnya. Sepanjang jalan dari sini sampai Kedung Rampal jadi semarak kayak perayaan, gitu. Wah, santri dan orang tuanya seneng betul waktu itu,” kata Bashori.

Karena acara itulah banyak anak kecil sekitar umbulan dan Kedung Rampal yang minta ngaji ke Masjid. Dan bayak pula orang tua yang akhirnya masuk Islam gara-gara anaknya ngaji di masjid itu. ”Mungkin waktu kemah itu syi’ar-nya terlihat betul ya,” kata Bashori.

Agama berbasis kenyataan
Pola keberagamaan adalah cerminan dari pemahaman dan keyakinan seseorang mengenai agama. Keyakinan dan pemahaman itu terbangun melalui pengalaman dan realitas kehidupanya yang panjang dan penuh dinamika. Karena itulah semua orang berhak dan bebas untuk memaknai agama yang diyakninya dalam rangka melihat dan menghadapi kenyataan hidupnya.

Prilaku keberagamaan Masyarakat Umbulan, dengan demikian, adalah cerninan dari pandangan dan pemahaman mereka tentang agama.


Pada umumnya masyarakat Umbulan berpandangan bahwa yang terpenting dalam hidup itu adalah ketentraman dan keselamatan. Caranya adalah dengan hidup rukun, damai dan saling membantu sesama


”Agama itu ibarat lampu, supaya bisa melihat jalan. Lampu untuk menuntun hidup. Agar hidup selamat dan tentram. Agama apa saja baik, yang penting bisa membawa hidup jadi lebih baik,” kata Karjo Kemal. ” Orang sini itu yang dilihat bukan agamanya, tapi bagaiman prilaku orangnya. Kalau orangnya baik lakune , ya akan di turut. Sebaliknya, kalau ga’ bener, apapun agamanya ya..tidak digugu (di percaya).”

Hubungan keluarga dan hubungan bermasyarakat dihargai lebih dari ikatan agama. ” Buat apa beragama kalau malah membuat tidak rukun dengan keluarga atau dengan tetangga”, kata Pak Parlan, yang ketiga anaknya mempunyai agama berbeda. ” Toh, kalau ada kesulitan atau kita minta bantuan pasti larinya ke teangga atau keluarga. Jadi tidak ada gunanya congkrah dengan tetangga dan keluarga gara-gara beda agama.”

Pemahaman masyarakat Umbulan ini, menurut Bashori adalah perpaduan dari pemahaman pas-pasan mereka mengenai ilmu agama dengan berbagai realitas sosial yang dihadapi dalam kehidupan keseharianya. ”Masyrakat sini mayoritas adalah Gakin (keluarga miskin), ini mungkin salah satu sebab mengapa mereka mempunyai pemahaman agama yang aneh, pindah agama dengan alasan dikasih pekerjaan misalnya.”

Bashori juga menuturkan bahwa relitas kemiskinan yang dihadapi kebanyakan masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan agama, atau oleh orang -orang yang dianggap mempunyai pemahaman agama yang lebih. ” Makanya, selama ini saya selalu berusaha berda’wah dengan mengupayakan agar masyarakat sini bisa lebih baik ekonominya. Tapi selalu saja terbentur modal.”

Yang dihadapi masyrakat Umbulan adalah kemiskinan. Dan ini adalah masalah riil, solusinya seharusnya juga riil. ” Tidak cukup dengan menganjurkan beriman dan bertakwa, tok , ” kata Bashori. ”Gakin butuh perbaikan ekonomi. Sholat dan pengetahuan agama memnag penting, tapi isi perut lebih penting....setidaknya bagi mereka.”

Perkataan Bashori ini mengingatkan saya pada tulisan Mohammad Sobary, yang mengutip perkataan seorang Haji yang menjadi responden dalam penelitianya. Bahwa Orang shaleh menurut Haji itu adalah orang yang menyeimbangkan anatara Ushali dan Usaha. Dan jika harus memilih, pilihan kedua lebih baik. Ketika Sobary bertanya, ”mengapa?”, orang itu menjawab, ” karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawaban kongkrit : kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari usaha.”
”Do’a mah kaga enak dimakan,” kata haji itu.

Prilaku keagamaan dan pemahaman agama masyarakat Umbulan tersebut mungkin tidak lazim bagi kita. Namun bagaimanapun hal itu adalah produk dari proses sosial historis yang mereka hadapi. Apapun yang mereka pahami mengenai agama adalah benar dan sah semata. Karena pada dasarnya setiap pemeluk agama mempunyai nalar dan cara pandang sendiri yang independen, dan otentik mengenai agama yang diyakininya.

Masyarakat Umbulan dan sekitarnya memang bukan orang-orang yang mampu bicara banyak mengenai agama. Pemahaman mereka seringkali dikalaim sebagai ”pinggiran” dalam lingkaran pemikiran keagamaan. Hanya karena mereka bukan golongan elit agama atau agamawan, yang diposisikan sebagai ”pusat” yang merasa harus dijadikan tempat rujukan dalam memahami agama. Namun, bukan berarti pandangan dan keyakianan mereka tentang agama tersebut lebih rendah kadar kebenaranya daripada pandangan para elit agama yang banyak tahu tentang agama.

Karena bagaimanapun pemahaman terhadap agama yang mereka pegang adalah buah dari pengalaman dan realitas hidup yang mereka hadapi. Realitas dan pengalaman hidup yang otentik, yang seringkali berbeda dengan yang dialami oleh orang atau kelompok masyarakat lain, termasuk juga dengan pengalaman para elit agama.

Hidup penuh kesejukan dan kedamaian ditengah sanak kerabat dan tetangga yang berbeda agama, suasana yang kuat rasa solidaritas dan kolektifitas dan kemiskinan yang menghimpit adalah beberapa hal dari sekian banyak realitas hidup yang harus dihadapi masyarakat Umbulan. Sebuah kenyataan hidup yang tidak ada disetiap tempat.

Karena itu, memandang dan menakar pemahaman masyarakat Umbulan dengan kacamata kita yang mempunyai realitas dan pengalaman berbeda, seringkali akan melahirkan berbagai penghakiman dan terkadang juga pemaksaan.

Sebab, tidak ada hirarki dalam kebenaran agama. Dengan demikian, nilai kebenaran agama yang dimiliki elit agama seperti kiai, pastur, atau agamawan lain, tidak lebih tinggi dari kebenaran versi orang-orang seperti tukang becak, buruh, petani atau yang lain yang sering dikalim sebagai ”pinggiran” dalam persoalan agama.

Karena kebenaran yang ada pada manusia bukanlah sesuatu yang tunggal dan terpusat, tapi menyebar dan bersifat indivual atau mungkin kolektif. Mengingat kebenaran sebenarnya adalah kontruksi manusia, bukan sesuatu yang terberi. Makanya ada kebenaran versi ini dan versi itu atau kebenaran menurut orang per orang. Dengan demikian, pemahaman model apapun yang dipegang masyarakat Umbulan tersebut menurut saya adalah benar semata, setidaknya bagi mereka. Anda boleh tidak setuju!

Read more...

Selasa, 03 Februari 2009

SEMIOTIKA AL QUR’AN

Diskursus seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupakan diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran.

Dalam khazanah ilm Al-Qur’an ada dua cara untuk memahami Al-Qur’an, yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Disini teks dikatakan “subjek”. Sedangkan takwil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat di sebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks, sebagai “objek”.1 kajian takwil kurang diminati oleh banyak kalangan karena anggapan dari studi mainstrem studi keislaman yang sudah berjalan bahwa ilmu-ilmu Al-Qur’an telah matang dan baku. Maka tidak perlu mengotak-atiknya. Dan disini kita akan mencoba menguak semiotika Al-Qur’an yang lebih banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun.

Semiotika Al-Qur’an disini akan lebih banyak mengetengahkan tentang analisa semiotika teks. Yang mana teks (yang dianggap sakral,baku) itu perlu dikaji ulang. Karena bahasa Al-Qur’an secara umum dan khusus terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol, yang mana sifatnya arbriter konvensional.

Dengan demikian dapat dipahami Al-Qur’an merupakan paradigma transformasi budaya. Tranformasi jika menurut kuntowijoyo, mula-mula berawal dari sentimen kolektif berdasarkan iman dan nilai tauhid yang memunculkan suatu komunitas yang disebut jama’ah atau lebih besar lagi ummah, yang sifatnya kepemimpinan2. Dengan demikian, proses transformasi itu mengikuti alur kausalitas yang berawal dari struktur budaya yang berlanjut ke struktur sosial dan akhirnya berjuang pada struktur teknis.

Dari sini pasti akan menimbulkan anomali. Maka perlu ada segi yang dapat dipahami dan alasan yang masuk akal bagi pernyataan itu. Menanggapi hal ini maka yang harus dijelaskan adalah bagaimana menampakkan fakta sejarah dan interaksi yang diciptakan teks Al-Qur’an dengan realitas sosial budaya saat itu. Dan kemudian mencoba menyadari akan adanya pluralitas ma’na yang dilahirkan oleh teks tanpa ada intervensi dari apapun.

Sehingga diperlukan tinjauan kritis tentang Al-Qur’an yang selama ini ummat Islam hanya membebek atau mengganggap baku teks Al-Qur’an yang dianggap sakral itu, yang kemudian enggan untuk mendongkrak kepercayaan yang sifatnya beritage (warisan).

Fakta Sejarah dan Interaksi yang Diciptakan Teks Al-Qur’an
Dalam semiotika ilmu tentang tanda (sign) atau ilmu yang mempelajari perkembangan sign dalam masyarakat3,Arkoun berusaha untuk menunjukkan fakta sejarah tentang bahasa Al-Qur’an dan kandungannya. Begitu juga Nasr Hamid mengungkapkan bahwa terlepas dari sumber illahiyahnya, teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan yang kolektif yang melatarinya, yaitu Bahasa arab 6 M. sehingga Al-Qur’an dapat dikatakan terdiri atas kata-kata yang mengacu pada figur sejarah tertentu. Sehingga akan muncul pertanyaan bagaimana kita bisa berhubungan dengan hal yang sakral, spiritual, transendental dan ontologis, ketika kita wajib untuk memperhatikan bahwa semua kosa kata yang berhubungan dengan hal tersebut yang seharusnya mengacu pada nilai-nilai stabil dan immaterial, tunduk pada dampak fakta sejarah. Dan praktek-praktek umum yang mengutip Al-Qur’an hari ini hanya memanipulasi semiotika dan fundamentalis, karena hal tersebut membantu kaum muslim mengisolasikan Al-Qur’an dari sosio historis dan linguistik secara sengaja membentuk konteks mereka sendiri untuk membuat Al-Qur’an relevan.

Dalam arti ini, teks Al-Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari semiotika sosial, yang berlaku pada zamannya dan mendapat pegertian disana. Begitu juga teks Al-Qur’an dipahami sebagai pengungkapan individual “parole” dari sistem kebahasaan kolekif, bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya, tetapi juga mengubah dan mentranformasikannya. Dari sini dapat digambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realita sosial budayanya, yakni pertama ketika teks Al-Qur’an membentuk dan merekontruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, dimana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya. Dan inilah yang disebut Abu Zayd sebagai periode keterbentukan (marhalah at-tasyakkul) yang menggambarkan keberadaan teks sebagai “Produk Budaya”. Kedua, ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya, dan kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain. Dan ini disebut sebagai pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.

Padahal teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula dimana dia diproduksi dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. untuk lebih jelasnya dari aspek diatas dan kaitannya dengan sistem budayanya dapat di gambarkan dalam bagan berikut ini:
Sistem sosial budaya teks Sistem sosial budaya
Subjek -------------------------> Objek (2)
(1)Subjek -------------------------> Objek.
Dari sini jelas, teks pada satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem sosial budaya dimana ia bergabung di dalamnya, di sisi lain teks merupakan subjek yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan. Sehingga teks sangat dahsyat mampu menimbulkan perubahan dahsyat pada kebudayaannya. Dan perubahan ini dimulai dari perubahan kode bahasa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mengguncang konsepsi budaya yang kemudian di bidang sosial politik dan ekonomi.4

Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai. Dalam semiatika struktural kode adalah cara bagaimana tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-makna konvensional yang sudah ada. Dan disini, tidak ada tempat bagi permainan kode-kode berkaitan dengan eksistensi sebuah kode, Umberto ECO mengungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis, bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut berdasarkan relasi antar penanda dan petandanya5 . Adapun tanda-tanda yang digunakan dan bagaimanapun cara ia dikombinasikan lewat kode-kode, makna-makna tertentu harus diasumsikan dari pengombinasian kode-kode tersebut. Dan yang menarik pula Al-Qur’an yang berupaya menjadikan bahasa induk sebagai bahasa agama. Walau belum bisa terealisir secara mapan melalui transformasi makna.

Dengan demikian menurut Abu Zayd ada dua segi yang perlu dijelaskan: 1. Struktur teks. 2. Proses resepsi teks oleh pembaca. Dari segi pertama Struktur teks Al-Qur’an mentransformasikan semua tradisi keagamaan sebelumnya menjadi tanda yang menunjukkan cara yang berbeda-beda pada kebenaran tunggal yang absolut dan universal.

Tradisi kebahasaan disini adalah bahasa sebagai sistem tanda yang didalamnya terkandung unsur “penanda” dan “petanda” sebagai 2 segi dari 1 kenyataan. Disini semua sistem kebahasaan adalah “penanda”, untuk sistem budaya “petanda”. Dalam struktur teks sistem budaya “petanda’ yang tercermin dalam linguistik dalam sistem bahasa “penanda” beralih menjadi tanda-tanda semiotik inilah yang dimaksud proses semiosis, yaitu perubahan sistem bahasa menjadi tanda-tanda semiotik di dalam sistem yang lain.


Ma’na Baru Dapat Dilahirkan Oleh Teks Tanpa Ada Intervensi dari Apapun.
Secara umum dan khusus bahasa Al-Qur’an terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat, yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan (Objeknya), tidak terkecuali B. arab sebagai bahasa Al-Qur’an dalam hal ini. Artinya, mengacu pada pembahasan yang awal bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya. Artinya teks-teks Al-Qur’an terbentuk dalam realita dan budaya selama kurang lebih 20 tahun. Al-Qur’an jelas menggunakan B. Arab, dan tidak mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari relitas masyarakat dan budayanya.

Dengan demikian dampaknya, tidaklah mungkin berbicara tentang teks al qur’an terlepas dari realitas dan budaya masyarakat ketika itu. Sehingga pula mempengaruhi pada metode penafsiran yang menggunakan pendekatan historisitas budaya. Padahal ketika kajian historisitas di gunakan, maka akan dipengaruhi pandangan, metode dan ideologinya. Sebab ketika mengaplikasikan metode ini ia akan terpaksa memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan sebagian fakta-fakta lain. Seorang sejarawan tidak mngkin menampilkan semua fakta sejarah.

Dari sini terdapat gambaran bahwa selain upaya mengungkapkan ma’na teks dalam konteks historisnya, pembacaannya harus diupayakan menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat di tarik dari ma’na historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks pertama, dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya, kedua meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, ketiga interaksi ma’na historis teks pada kedua aspeknya ini dengan pembacaan kontemporernya memugkinkan untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, keempat signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk malakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa henti. 6

Tinjauan Kritis; Asumsi Akhir Sementara
Dalam melakukan kajian terhadap teks (al qur’an) tidak akan bisa terlepas oleh historis sosiologis ontologis. Sebab munculnya al qur’an yang mampu menggetarkan kalangan umat islam lebih-lebih mampu membius atau menjadikan umat islam tunduk takluk tanpa mampu mempertanyakannya. Karena paten bahwa teks alqur’an adalah kalam alloh yang baku dan dilarang keras untuk mengotak-atiknya. Namun disini kita sebagai (yang dikatakan) insan kritis mencoba menguak teks yang terkandung dalam alqur’an melalui metode semiotika.

Seperti yang telah dibahas di awal bahwa aspek historis sangat urgen disini. Sebab fakta tentang kita dan bukan kita adalah dalam sejarah. Dan ini bersifat ontologis bukan aksidental. Perantara atau kendaraan untuk menelusuri sejarah yang digunakan untuk memindahkan dari masa lampau ke masa sekarang kemudian kemasa depan adalah bahasa. sehingga kesentralitas bahasa dan sejarah menimbulkan pertanyaan bagaimana teks yang diwahyukan pada masa dan tempat yang jauh dari masa dan tempat kita sekarang dapat digunakan untuk mengatur orang yang hidup dalam sebuah konteks yang begitu jauh dan berbeda dari asal teks tersebut?dengan kata lain bagaimana seseorang dapat memahami tentang apa yang diyakini itu kekal (kitab suci) dalam sejarah yang selalu berubah-ubah?

Pertanyaan ini pasti menimbulkan anomali tersendiri. Dalam semiotika (ilmu yang mengulas tentang tanda (sign) atau yang mempelajari sign dalam masyarakat itu bersifat arbitrer konvensional. Artinya teks itu tidak lepas dari tanda-tanda yang kemudian dikonvensionalkan, akhhirnya tersusun dalam 1 mushaf yang kita yakini kebenaranya. Jika kita mencoba tidak mengelak bahwasanya menurut Umberto Eco ilmu semiotika itu digunakan untuk berdusta. Secara implisit bahwa bila sebuah teori kedustaan, maka sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan teori kedustaan. Dan kaitanya dengan terminilogi semiotika terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda(sign) dan refresinya pada realitas (referent). Konsep (concept), isi (contens), atau makna (meaning) dari apa yang ditulis atau dibicarakan tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan.Dengan demikian kita sekarang mencoba untuk mendustakan teks.yang secara implisit membenarkan teks. Al qur’an turun bersifat langue bukan parole. Dan nabi muhammad seorang ummi bukan penerima pasif wehyu tetapi juga mengolah redaksi al qur’an , sesuai kondisinya sesuai manusia biasa. Namun ini memang menjebol konsep dasar yang diyakini umat islam bahwa nabi adalah ma’sum dan sebagai penerima pasif yang tidak mengurangi atau manambah apa yang diwahyukan. Seperti dalam surat al haqqoh ayat 44-46, alloh memberikan ancaman pada Nabi Muhammad.
”seandainya dia (muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya kami pegang dia pada tangan kananya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
Maka teks al qur’an memang dalam bahasa arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya tetapi alqur’an tidak tunduk pada budaya ketika itu. Tetapi al qur’an yang merombak membuat inovasi baru pada budaya saat itu. Namun dengan menempatkan muhamad sebagai pengarang al qur’an dan menyebutkan alqur’an sebagai cultural product, artinya menurut nasr hamid bahwa teks apapun bentuknya adalah produk budaya. Al qur’an terbentuk dalam realita dalam kurun waktu 20 tahun dan pasti memakai bahasa arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dan hal ini berdampak pada metode penafsiran yang sifatnya historisitas budaya. Metode dan pola pikir apa untuk memahami sejarah. Dan ini sulit keluar dari subyektifitas, yang pasti dia akan memilih sebagian fakta-fakta dan meninggalkan fakta-fakta yang lain. Yang tidak terlepas dari pola pikir, metode dan ideologinya.

Sehingga dari sini kami sabagai penulis mohon maaf apabila terdapat kelancangan bahasa yang kami berikan menyinggung perasaan para pembaca. Dan ini adalah karya kami yang mencoba menerapkan mata kuliah semiotika yang terhiasi dari kadar kritis kami yang mungkin pasti tidak terlepas dari kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Piliang, Yasraf Amir. Tanpa tahun. Hipersemiotika “Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Ma’na. Yogyakarta: Jala Sutra
Putra, Heddi Shri Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Galang Press
Syamsudin, Sahiron. Dkk. 2003. Hermeneutika Al Qur’an: Madzab Yogya. Yogyakarta. Islamika-Forstudia.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Tanpa tahun. Isykaliyyat-al qiro’at wa aliyyath at ta’wil. Terjemahan oleh Moh Mansur dan khorian Nadhiliyyin. 2004. Hermeneutika Inklusif. Jakarta Selatan: ICIP

Read more...

Sejarah Islamisasi Sains

“ Al Islam ya’lu wa la yu la alayhi “ (Islam adalah unggul dan tidak terungguli oleh yang lain)

Itulah adagium dalam bahasa arab yang selama berabad-abad umat muslim betul-betul memahami secara taken for granted. Artinya sejak lahirnya Islam ditanah arab pada abad ke delapan dengan kekuatan yang luar biasa serta menakutkan sehingga menyapu bersih kepercayaan sebelummya yang kemudian terbukti suprioritasnya sampai abad modern sebagai pemegang supremasi dunia. Peradapan Islam sebagai zaman keemasan Islam yang muncul ada abad kedua belas tumbuh menjadi peradapan yang tidak tertandingi dan menjadi pusat kesejahteraan yang luar biasa.

Peradaban ini ditandai dengan kemajuan di segala bidang pengetahuan dan tehnologi, sains, kesusastraan dan filsafat, seperti abu bakar ar razi yang didunia barat dikenal dengan razes menulis sebuah eksklopedia tentang ilmu medis dan sebuah buku tentang ilmu kimia yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa latin, atau Ibnu sina atau Avecina pengarang buku medis yang kemudian dikenal oleh dokter-dokter Eropa hingga abad ketujuh belas atau juga Abu Raihan al-Biruni selaku tokoh yang mengembangkan metode luar biasa dalam menentukan posisi matahari dan bahkan menyempurnakan dasar-dasar pengetahuan tentang garis bujur serta garis lintang jauh sebelum sebagian besar penduduk dunia mengetahuinya dan masih banyak hal lagi yang dilahirkan oleh Islam walaupun masih belum begitu dinikmati oleh umat Islam atau non Islam secara global. Namun hal ini sudah menjadi nilai tersendiri. sehingga umat Islam menyakini itulah adi kuasanya. Subtansiasi ini terutama bisa dilihat dalam sejarah keilmuan Islam

Namun kegemilangan peradaban umat Islam kemudian hanya menjadi artefak yang menyimpan sejuta nostalgia keindahan sejarah. Peradaban yang gilang gemilang dengan segala kecanggihan keilmuannya terlelap dalam ayunan sejarah. Faktor yang menjadi musabab susutnya peradaban umat Islam bagai dua bilah pisau yang menyayat kokohnya peradaban. Pertama, kekalahan umat Islam dalam perang salib III sehingga konsekwensi yang harus diterima adalah hancur (dibumi hanguskan) dan hilangnya (dirampas) ruh peradaban (misalkan karaya-karya keilmuan). Kedua, Umat Islam yang terpesona oleh anggunnya pemikiran para intelektual mutahir pada waktu itu yang menyebabkan mandegnya dilektika nalar.

Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di perancis pada paruh kedua abad delapan belas itu merupakan awal lahirnya zaman “modern’ yang juga seringakali disebut sebagai masa renaisance (pencerahan). Yang diikuti secara kontradiktif dalam perdaban (umat) Islam yang mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dalam alur peradabannya. Barat seakan berlari dengan cepat meninggalkan waktu, sedangkan umat Islam mundur tearatur dan larut dalam kegetiran sejarah yang tak lagi bersahabat. Barat mencapai sukses luar biasa dengan tekhnologi masa depannya. Sedangkan umat Islam hanya menjadi penonton bahkan “terbuai” oleh kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan tekhnologinya.

Sejarah gemilang peradaban Islam pada zaman pra modern (yang juga dianggap sebagai pembuka gerbang zaman modern) tidak mampu membangkitkan hasrat dikalangan umat Islam untuk meretas sejarah melawan angkuhnya peradaban modern (barat). Keterputusan “masa” juga menjelma menjadi keterputusan “spirit” keilmuan dikalangan umat Islam. Eloknya sejarah hanya menciptakan pemuasan hasrat dalam ruang imaji yang tak mampu tersalurkan, terepresi oleh mesin-mesin produksi pengetahuan modern yang mampu menciptakan fantasi-fantasi kecil dalam akar kognisi umat Islam. Fantasi yang hanya membuat umat Islam berejakulasi dini.

Barat dengan kuasa ilmu penegtahuanya mampu menjinakkan seluruh lapisan dunia dengan segala konteks peradaban yang menyertainya. Termasuk peradaban (umat) Islam. Umat islam hanya menjadi objek dari proyek moderinisasi. Dan naifnya umat Islam tidak sadar atau bisa dikatakan tertidur dalam menikmati kolonialisme itu. Hal ini akibat lemahnya pengetahuan dan pemahaman terhadap Islam sekaligus materialisme barat sehingga umat semakin tergantung pada barat. Mereka (baca umat Islam) mempelajari sains barat tanpa menyadari kaitan tali temali histories barat dan ilmu-ilmu barat, sehingga bangsa-bangsa Islam jatuh kedalam hegemoni barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradapan Islam semain runtuh (tak berdaya). Imprealisme cultural barat berkembang menjadi apa yang disebut kolonialisme peradaban.

Kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan barat pada non barat khusunyai Islam. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Maka menurut Al Faruqi yang perlu dilakukan pertama adalah revitalisasi peradapan (pengetahuan) melalui Islamisasi pengetahuan (baca sains). Gagasan islamisasi pengetahuan akhirnya benar-benar lending dengan mendapatkan dukungan yang cukup luas dari kalangan intelektual Muslim seperti al-Attas, Sardar dan para intelektual Islam lainnya. Yang mana program Islamisasi pengetahuan ini dianggap mendapat tempat yang istimewa dalam gerakan kebangkitan Islam abad kelima belas Hijriyah.

Untuk mendukung proyek besar islamisasi pengetahuan, langkah awal yang dilakukan adalah dengan membentuk lembaga Pemikiran Islam (The International Institute of Islamic Thought or IIIT) yang berpusat di wangsington DC Amerika tahun 1981. Prof.Dr.Ismail Raji’ al-Faruq yang tak lain adalah direktur utama IIIT dimana dia adalah seorang yang berdimensi dua dunia. Barat dan timur. Ia mempunyai semangat Islam yang tinggi manakala ia mengamati dan membandingkan keadaan barat dengan masyarakat Islam. Bahkan ketika ia berdomisili di amerika akibat terusir dari Pakistan (ketika jatuh bangunnya perang salib) acapkali mengeluh amerika yang selalu berlaku tidak adil terhadap Islam, apalagi ketika ia melihat sifat sentimenya yang luar biasa dengan mengkampanyekan bahwa umat Islam adalah sekelompok makhluk liar yang hanya bisa melakukan kejahatan dan sebagai penghambat peradaban kristen, sedangkan orientalis menambahkan bahwa ajaran Islam tidak lain adalah serpihan-serpihan perjanjian lama. Sementara kondisi ilmu-ilmu sosial yang diajarkan di universitas hanya menjadikan dunia Islam sebagai obyek perencanaan kebijakan

Sebagai gebrakan awal setelah IIIT diresmikan pendiriannya pada tahun 1981, adalah dengan membuat pagelaran seminar tentang islamisasi penegtahuan bekerjasama dengan Universitas Islamabad Pakistan yang juga dikenal dengan The First International Conference Thought and Islamization of Knowle (1981). Forum tersebut dihadiri oleh kalangan intelektual muslim yang ada di berbagai penjuru dunia. Peserta seminar sepakat bahwa displin-displin ilmu penegtahuan modern pada prinsipnya berlandaskan pada pembawaan dan tabiat Barat. Ia berkembang dalam lingkungan kebudayaan barat dan ditujukan untuk memuaskan hasrat-hasrat, harapan, pikiran dan kehidupan barat. Dengan demikian pada dasarnya ilmu pengetahuan yang lahir di Barat bias idologis, tidak bebas nilai seperti yang diagung-agungkan.

Objektifitas, Universalitas dan Bebas nilai yang menjadi asas penegtauhan modern mengalami goncangan setelah sekian lama berada diatas singgasana kuasa pengetahuan. Positifistik yang menjadi satu-satunya oaradigma dalam ilmu pengetahuan mengalami krisis, tidak mampu lagi mempertahankan dominasi dalam jagat ilmu pengetahuan. Yang memunculkan berbagai paradigma yang saling bertarung dalam arena peperangan pardigma seperti yang digambarkan oleh Thomas Kuhn. Disinilah Islamisasi sains menggeliat untuk ikut berpartispasi dalam pertarungan paradigma. Tapi sayang masuknya islamisasi sains dalam arena perag paradigma hanya bersenjatakan romatisme sejarah masa lalu. Layaknya berjihad dengan bekal terikan “Allahu Akbar” sebagai simbol katauhidan.

Catatan Hitam Sejarah Sains dan Agama
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosila politik di Perancis sebagai momentum lahirnya zaman modern melahirkan babak baru dalam drama persinggungan antara agama dan pengetahuan (filsafat). Persinggungan yang cenderung dikotomik dan sulit untuk didamaikan dan selalu menampilkan kontradiksi-kontradiksi dalam menghadirkan nilai-nilai kebenaran dalam memahami kehidupan. Gereja yang sebelumnya merupakan otoritas yang fatwa-fatwanya tidak terbantahkan harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan dari kalangan ilmuan seperti Copernicus dan Galileo yang merupakan ahli astronomi teori-teroinya menentang asumsi-asumsi tentang alam semesta yang dibuat oleh gereja yang didasarkan pada Alkitab. Dalam sebuah dialog yang paling terkenal menurut Wallace, antara Galileo dan Bellarmine dimulai bisasi-biasa saja pada tahuan 1615, tetapi berakhir dalam konflik pahit pada 1633, ketika Galileo dipaksa untuk menyerah pada Inkuisisi. Dengan teleskopnya yang baru disempurkan, Galileo menumukan hal-hal yang tampaknya bertentangan dengan Alkitab. Dan Galileo berucap “kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran untuk itulah tafsirkan kembali firman-firman dalam kitab suci sehingga sesuai dengan kitab suci”. Namun pada waktu itu sains yang diwakili Galileo harus menerima kekalahan dari agama, dan Galileopun diancam dengan siksaan dan hukuman mati.

Walupun Galileo mengalami kekalahan, bukan berarti menyurutkan nyali para ilmuwan untuk mengungkap segala misteri kehidupan. Dua ratus tahuan kemudian, Darwin menerbitkan The Origin of species pada tahuan 1859. Buku tersebut menguncang dunia ilmiah dan agama. Dalam buku tersebut Darwin menyatakan bahwa kehidupan berkembang tidak seperti yang diceritakan oleh para ruhaniawan di Gereja. Manusia bukan lagi keturunan nabi yang ditempatkan di surga. Ia tidak turun dari langit. Ia turun dari monyet. Walaupun Darwin ahirnya menjadi ateis dan tidak mau melakukan dialog terbuka dengan gereja, Huxley mewakilinya dan berhadapan dengan Wilberforce. Dialog tersebut membuat hadirin terkesima yang diwarnai dengan salah seorang perempuan terkemuka, Lady Browster yang jatuh pingsan. Sebagimana Galileo takluk di depan pengadilan gereja, Wilberforce tewas dihadapan pengadilan ilmiah. Sains menang dan agama kalah.

Sejak saat itu, sains dikenal sebagai pemberontak terhadap otoritas gereja. Berpikir bebas menjadi senjata ampuh untuk menolak berpikir apriori yang dikembangkan oleh gereja dengan Alkitab sebagai legitimasi otoritasnya. Perkembangan saians melaju cepat sehingga gerjapun tidak sanggup untuk menghentikannya. “Kebebasan berpikir” yang dikembangkan waktu itu melahirkan sejumlah filsafat sekuler. Yang mencapai puncaknya dengan lahirnya positfitik sebagai satu sistem filsafat ilmu yang melahirkan bangunan ilmu pengetahuan modern. Bahkan Comte memproklamasikan ilmu pengetahuan sebgai agama baru untuk menggantikan kedudukan gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran. Yang disebutnya juga sebagai agama kemanusiaan dengan ilmuwan sebagai pendetanya.

Seiring dengan perjalanan waktu yang terus melaju dengan cepat, ilmu pengetahuan yang berpijak dari masa renaisance juga berkembang pesat. Kobaran api sekulerisasi menyebar tak terkendali ke seluruh dunia. Origin of Species-nya Darwin memberikan mekanisme keberadaan manusia tanpa sang Maha Pencipta. Psikoanlisinya Freud menghilangkan kredibilitas rasa keberagamaan, perasaan beragama hanya merupakan perasaan kenak-kanakan yang membutuhkan perlindungan dari seorang ayah. Marx yang dianggap ateis karena menbarkan statemen Tuhan adalah Candu. Serta banyak ilmuwan lainnya yang meragukan bahkan menolak Kuasa Tuhan (Agama) atas alam semesta. Positifisme dengan prinsip fisikalisme yang mencoba membersihkan semua rujukan kepada apapun yang tidak bersifat fisik dari kamus ilmu pengetahuan. Ahirnya ilmu pengetahuan benar-benar menyucikan diri dari agama yang dianggap tidak bisa dibuktikan secara rasional empirik.

Perkembangan pesat sain membuat masyrakat dunia terpesona dan tanap tersadari ilmu pengatahuan telah menjadi Tuhan baru bagi umat manusia. Dengan segala kecanggihan tekhnologinya sains mampu menampilkan pesona tersendiri dalam kehidupan masyarakat modern. Agama tradisonal yang dinaut berabad-abad oleh manusia hanya menjadi aksesoris dlam mesium kehidupan masyarakat modern. Agama tidak lagi menjadi satu-satunya otoritas dalam kehidupan. Bahakan tidak jarang juga agama dianggap sebgai penghalang atau hambatan kemajuan umat manusia.

Pertentangan-pertentangan antara agama dan ilmu penegtahuan dalam sejarah peradaban manusia telah melahirkan keprihatiana tersendiri, seperti yang dirasakan oleh kaum intelektual Islam. Sehingga digagsalah ide perpaduan agama dan sains yang kemudian dikenal dengan islamisasi sains. Dalam sejarah peradaban Islam (yang lebiah didominasi oleh peradaban Arab) perkembangan ilmu penegtahuan (filsafat) mencapai masa yang gilang gemilang dengan lahirnya sejumlah pemikir yang handal bahkan radikal. Perkembangan pemikiran dalam Islam tidak lepas dari perkawinan silang antara tradisi filsafat Yunani dengan tradisi pemikiran lokal. Hasil perkawainan silang tersebut mampu mereproduksi sistem pemikiran yang benar-benar orsinil sebagai sebuah karya agung yang juga dipercaya sebagai pembuka pintu gerbang pemikiran modern.

Layaknya sebuah sejarah pemikiran yang selalu menghadirkan aroma kontradiksi-kontradikasi yang tak pernah putus, dalam sejarah peradaban Islam juga terjadi pergolakan-pergolakan pemikiran yang melibatkan pemikiran (filsafat) dengan agama. Namun dalam pergolakan peikiran dalam peradaban Islam memiliki keberdaan dengan sejarah pemikiran yang muncul dibarat yang mengkerdilakan agama dalam sistem kehidupan. Para intelektual Islam, walaupun mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang fenomenal dalam ranah keilmuan, tetapi tidak serta merta menolak agama. Bahkan dengan perangkat filsafat mereka mampu memodifikasi warisan ajaran keagamaan agar sesuai dengan perkembangan zaman yang juga diikuti oleh perkembangan nalar manusia yang bergerak dinamis.

Namun karena menggunakan metode filsafat dalam memahami ajaran agama, para ilmuwan (fiosof) tersebut mendapat tentangan-tentangan dari para ulama ortodoks. Bahkan mereka dinobatkan sebagai perusak akidah, bahkan kafir. Filsafat yang bersal dari Yunani dinaggap sebagai sistem pengetahuan yang menyesatkan dan bisa menjerumuskan umat islam pada kekafiran. Puncak penyingkiran pemikiran filsafat dalam masyarakat penetahuan Islam merupkan titik balik dari pesatnya perkembanga ilmu penegtahuan di dunia Islam pada wakt itu. Walupun tidak bisa dilihat secara semena-semena bahwa pelarangan terhadap filsafat merupakan satu-satunya penyebab kemunduran peradaban Islam. Namun pelarangan terhadap filsafat seakan menjadi konsensus bersama dikalangan ulama yang dominasinya yang hegemonik pada masyarakat Islam.

Setelah larut dalam keterpurukan peradaban yang begitu panjang, umat Islam (khusunya yang menobatkan/dinobatkan sebgai intelektual Islam) ingin membangun kembali reruntuhan peradaban yang salah satu idenya adalah islamisai pengetahuan. Tokoh-tokoh seprti al-Faruqi, Sardar dan masih banyak lagi, begitu antusias untuk untuk membangun kembali peradaban Islam dengan jalan mewujudkan islamisai sains sebagai pilarnya.

Maka dari sini bisa dikatakan bahwa gagasan ihkwal sains Islam mencoba untuk melihat sains dari versi Islam. Sehingga kita akan meletakkan posisi Islam dan melihat kinerjanya pada batas-batas Islam. Karena pada prinsipnya Islam dan semua agama menegaskan perlunya menafsirkan segenap aspek kehidupan selaras dengan keimanan. Tidak bisa orang membahas seakan-akan sains berdiri sendiri tanpa ada pertalian dengan agama. Artinya sains sekuler perlu disetarakan dengan agama, walaupun dari satu sisi bahwa sains bersifat berubah-ubah sedangkan agama ditafsirkan sebagai gudang kebenaran yang abadi. Begitu juga Al Attas menjelaskan seyogianya harus membersihkan unsur-unsur yang menyimpang, sehingga pengetahuan yang ada benar-benar Islami dengan kata lain perlu menghasilkan suatu sistem ilmu pengetahuan berbasis Islam

Isu yang dibangun dalam mewujudkan islamisasi pengetahuan adalah gerakan yang mereka kembangkan memiliki tujuan untuk menerapkan kembali semangat keislaman dalam ranah ilmu pengetahuan, yang memiliki orisinilitas dan mengakar pada teradisi Islam sendiri. Upaya ini diletakkan sebagai pra syarat menghadirkan kembali pada nilai-nilai dalam ilmu pengetahuan yang didasarkan pada al-Qur’an dan As Sunnah yang diyakini memilki kebenaran mutlak. Spirit islamisasi pengetahuan yang dibangun atas gemilangnya tradisi pemikiran Islam pada masa lalu yang juga sebenarnya dibangun diatas kontrdiksi-kontradiksi

Diakui atau tidak dalam catatan secarah, yang seringkali disembunyikan, menggambarkan betapa sejarah pemikiran Islam seingkali tidak berpihak pada llmu pengetahuan. Persandingan filsafat dengan tradisi pemikiran lokal Umat Islam disngkirkan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Padahal bangunan superioritas peradaban beridri diatas pengaruh filsafat dalam tradisi pemikiran Islam yang berhasil melahirkan para Intelektual Muslim yang disegani hasil kreasi nalarnya. Namun para intelektual yang telah berhail membangun pilar-pilar peradaban harus tesingkir dengan perlarangan-pelarangan yang dilakukan oleh sebagian intlektual yang hanya tahunya dalam bidang ilmu keagamaan. Naifmya, kalmi-klaim pemurtadan dan pengkafiran sampai saat ini masih mengakar pada umat Islam. Sehingga menutup diri terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap menyesatkan.

Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.