Selasa, 03 Februari 2009

KONTROVERSI ISLAMISASI SAINS

Diskursus Islamisasi Sains telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi dikalangan umat islam. Satu pihak menyambut antusias sebagai momentum revivalisme Islam, setelah sekian lama islam terkurung dalam kubangan peradaban modern. Pihak yang lain memandang pesimis dengan alasan hamparan islamisasi sains merupakan hamparan yang tidak memiliki dasaran ontologis dan epistemologis. Islamisasi sains adalah kicauan tak bernada.

Berawal dari argumentasi yang dilontarkan oleh Sayed Husein Nasr bahwa islamisasi sains adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern kedalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Kemudian Naquib al-Attas berujar bahwa islamisasi sain adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makan, ideologi dan prinsip-prisnsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah islam. Pengertian lebih tekhnis diungkapkan oleh al-Faruqi yang menjelaskan bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap dua sistem pengetahuan, Islam dan Barat.

Lain halnya dengan Sardar yang menolak asumsi diatas, yang menurutnya masih ada unsur pengaruh barat dalam pembentukan Islamisai Sains. Menurut Sardar isalmisasi sains tidak sekedar mempertemukan khazanah penegatahuan barat dan islam. Dalam hal ini Islamlah yang harus dikedepankan, pengetahuan barat (modern) yang harus direlevansikan dengan islam, karena Islam secara apriori bersumber dari wahyu Tuhan yang membawa kebenaran sepanjang masa sedangkan pengetahuan modern an sich hasil pemikiran manusia yang relatif yang jauh dari nilai-nilai islam alias sekuler.

Gagasan islam dengan sendirinya membuat lingkaran dalam ranah jagad pemikiran islam mutakhir. Tapi, tidak berarti semua umat Islam sepakat dengan ide isalmisai sains. Usep Fahrudin menolak islamisasi saian , karena menurutnya isalmisasi imu bukan termasuk kerja kreaif. Isalmisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau megambangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya. Sedang menurut Fazlur Rahman tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah Islam, tunduk dalam aturan sunnah Allah. Yang terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu dan mengerti tentang nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, sehingga mampu mengguanakan sains secara konstruktif dan posotif.

Terlepas adanya perbedaan dikalang umat islam sendiri dalam menyambut hadirnya islamisasi sains, namun dengan semangat revivalisme, islamisasi sains terus mencoba bertahan walupun harus dengan kegetiran-kegetiran diskursus yang dikembangkan. Bahwa alasan yang paling mendasar dari gerakan islamisasi sains adalah sebgaai bentuk perlawan terhadap hegemoni barat (orinetalisme) yang selama ini dianggap mengungkung dan mengucilkan peradaban islam. Islamisasi sains merupakan tawaran solusi untuk melawan sekulerisme dalam ilmu pengetahuan. Asumsi tersebut meniscayakan dua belahan sistem pengetahuan yang memiliki akar sejarah dan tradisinya masing-masing.

Lumpuhnya Dua Mitos Kebenaran
Dalam tradisi pengetahuan di Barat membentang tiga arus besar sistem pengetahuan. Pertama, Rasionalisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes yang melanjutkan senandung pengetahuan apriori yang dinyayikan oleh plato. Rasionalisme dalam sistem pengetahuananya berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada rasio. Walaupun tidak mengingkari pengalaman, tapi rasionalisme menempatkan pengalaman sebagai stimulan rasio. Dalam teori innate-nya, Descartes percaya bahwa akal manusia sejak lahir sudah memiliki norma-norma atau standar yang dapat membimbingnya mencapai kebenaran. Dengan kata lain, dalam rasio terdapat ide-ide yang dengannya seseorang dapat menemukan kebenaran tanpa harus menghiraukan realitas diluar rasio. Dengan doktrinnya, rasionalime kemudian mengembangkan sistem berpikir dari yang umum ke yang khusus (deduksi)
Kedua, Empirisme yang bertentangan dengan rasioalisme, menempatkan pengalaman sebagai sumber dari pengetahuan. Melanjutkan pengetahuan aposteriori yang dengungkan oleh aristoles, empirisme berkeyakinan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dengan indera sebagai perangkat intrumentalnya. Karena inderalah yang mampu menghubungkan kita dengan dunia diluar kita. John Locke (1704) sebagi salah satu tokoh utamanya mengatakan bahwa pada saat manusia dilahirkan, akal hanyalah merupakan tabula (a white papar). Di kertas putih itulah kemudian dicatat pengalama-pengalaman inderawi. “Pada akal tidak ada sesuatu sebelum sesuatu itu berada pada alat indera”. Bahkan Hume yang merupakan tokoh empirisme radikal mengatakan “Aku (cartesian) adalah khayalan”. Ia berkeyakinan bahwa pengalaman inderawilah yang jelas dan pasti. Empirisme kemudian mengembangkan sistem berpikir dari yang khusus ke yang umum (induksi).

Ketiga, kritisisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant dengan mensitesiskan pengetahuan apriori dan aposteriori. Menurut Kant dasar ilmu pengetahuan adalah umum dan mutlak serta memberi pengetahuan yang baru (sintesis apriori). Dengan kata lain, ilmu penegtahuan adalah pengalaman yang dihasilkan berdasarkan pengamatan inderawi yang kemudian disitematisir berdasarkan kategori-kategori yang dimiliki oleh akal. Oleh karena itu kerja akal adalah mengatur data-data indrawi dengan mengemukakan putusan-putusan sisntesis apriori yang merupakan wilayah kebenaran ilmu pengetahuan.

Tiga arus epistemogi dalam percaturan filsafat diatas membentang di sepanjang jalan sejarah pemikiran umat manusia. Namun dalam langkah sejarah yang terus bergerak tanpa lelah, terpatri keniscayaan pergulatan diskursus epistemologi yang menobatkan dominasi dan peminggiran epistemologi. Dan sejarahpun mencatat dominasi empirisme dalam pergulatan pemikiran dengan peran besar anak tunggalnya yang bernama positifisme. Bendera positifisme pertamakali dikibarkan oleh August Comte dengan mengenduskan doktrin bahwa pengetahuan yang benar-benar absah hanyalah pengetahuan yang observible, pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan metode observasi atau eksperimentasi. Dengan berdasar pada kemajuan dalam ilmu-ilmu alam yang pesat, Comte melakukan generalisasi dengan mereplikasi metode ilmu alam dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan terlebih ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial).

Lahirnya positifisme sebagai raksasa mampu menapakkan otoritasnya dalam sistem pengetahuan modern. Untuk memperkokoh dominasinya, postifisme membuat prosedur-prosedur ilmiah dalam sistem pengetahuannya. Dalam asas epistemologi positifistik, pengetahuan haruslah objektif, bebas nilai dan universal. Asas pengetahuan positifistik tersebut kemudian menjadi topeng untuk melegitimasi kuasa pengetahuannya. Cengkraman kuasa positifistik membaptis dirinya menjadi Tuhan dalam jagat pengetahuan modern. Cengkaraman kuasa posoitifisme bagai terali besi yang mengurung ketat sistem kognisi dalam masyarakat pengetahuan modern, yang berimbas pada penyeragaman metodologis dalam praksis pengetahuan. Metodologi yang didasarkan pada satu perspektif yang diatur dengan prsedur-prosedur ilmiah yang dianggap dapat menghasilkan pengetahuan yang objektif dan bebas nilai serta universal.

Dalam penjelasan Budi Hadirman ada bebarapa pengandaian yang menjadi basis dalam sistem pengetahuana positifistik. Pertama, seorang ahli fisika, bilogi atau kimia mengamati benda jatuh, sel, atau larutan asam dalam laboratoriumnya dengan sikap berjarak, menghadapi proses-proses alamiah itu sebagai objek belaka. Peneliti ini mengambil sikap distansi penuh. Kedua, dengan distansi penuh, ia harus menghadapi objeknya itu sebafai “fakta netral”, yaitu data yang bersih dari unsur-unsur subjektifnya, seperti keinginan-keinginan, mimpi, nafsu, penilaian-penilaian moral dan seterusnya. Dengan jalan itu, ketiga, ia dapat memanipulasi objeknya dalam eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model “sebab akibat”. Keempat, hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya.misalnya, jika asam dicampur, jadilah garam; jika air dipanaskan sampai 100 derajat Celcius, maka akan mendidih. Rumusan-rumusan lingustitis macam itu disebut sebagai rumusan deduktif-nomologis (bila....., maka.......).Kelima, teori dihasilkan merupakan sebuah pengetahuan yang bebas dari kepentingan (disinterested), dapat diterapakan secara instrumental, secara universal. Pengandaian-pengandaian tersebut kemudian menjadi prosedur-prosedur ketat dalam pengetahuan modern yang kemudian menjadi standart bagi sah dan tidaknya sebuah pemikiran untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan.

Setelah dengan gagah positifisme mampu menancapkan hegemoninya dalam jagad pengetahuan, seiring roda sejarah terus berputar dan niscayanya takdir sejarah ilmu pengetahuan yang terus memunculkan dialektika pemikiran yang tak pernah lelah. Seperti yang dungkapkan oleh Thomas Kuhn dalam Revolusi paradigmanya, yang menyerang positifisme, bahwa ilmu yang berkembang secara evolusi atau komulatif, menurutnya adalah mitos yang harus dibuang. Perjalanan ilmu pengetahuan dalam liku-liku perjalanan sejarah pengatehuan manusia ditentukan oleh paradigma yang oleh Kuhn diebut sebagai landasan dalam produksi pengetahuan manusia. Dalam rentangan sejarah, positifsme ahirnya mencapai titik nadir sebagai satua-satunya paradigma dalam percaturan ilmu pengetahuan.

Sekitar abad 19, kritik dan reaksi terhadap positifisme mulai bertebaran yang disebabkan oleh ketidakpuasan terahadap dominasi positifisme yang naturalistik dan deterministik. Diawali Nietzsche dengan sabda Zarahustranya “Tuhan telah mati” yang menjungkirbalikkan jagat pemikiran umat manusia mampu memperlihatkan ketimpangan-ketimpangan dalam anggapan “kebenaran mutlak” yang diyakini orang sebelumnya, telebih asas dan nilai-nilai positifisme yang menjadi ruh dalam ilmu pengetahuan modern. Dan disusul munculnya Neo Kantian, seperti Schleiermacher (1768-1834), Windelband (1848-1915), Heindrich Ricket (1862-1936), Wilhem Diltey (1833-1911), yang mempersoalkan metodologi positifisme yang reduktif dalam ilmu pengetahuan, yang hanya terbatas pada fenomena yang (dianggap) alamih. Mereka menolak sifat naturalistik pada ilmu pengetahuan dengan memberikan dasaran pada metode intropeksi dan refleksi.

Ilmu pengetahuan yang diyakini bebas nilai (kepentingan) diperlihatkan oleh Habermas, bahwa semua proses dalam penelitian ilmiah didorong oleh suatu kepentinga kognitif tertentu yang disebutnya “kepentingan tekhnis. Dengan kepentingan tekhnis penelitian bertujuan untuk mengontrol proses-proses alamiah demi kelangsungan hidup manusia sebagai spesies. Dalam proses ini, seorang ilmuwan tidak bisa tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sangat spesifik untuk penelitian, yakni tindakan-tindakan instrumental. Tindakan ini bersifat kontrol dan manipulatif dan dilakukan bukan hanya dengan kepala dingin tapi juga dengan berdarah dingin. Orientasinya adalah mencapai sukses dalam mengantispasi, mengarahkan, meramalkan, mengoperasikan proses-proses alamiah itu secara tekhnis. Tindakan instrumental ini merupakan sebuah praksis, yang disebut praksis kerja.

Kesahihan yang bersifat universal yang mejadi metananarasi dalam ilmu pengetahuan dalam pandnagan Lyotard telah kehilangan legimasinta. Universaliats tidak lain adalah kisah-kisah agung yang hanya ada dalam ruang imaji. Hal ini dalam pandangan Lyotard merupakan ketidak percayaan terhadap metanarasi, yakni tidak adanya metanarasi yang layak digunakan untuk menilai segala kebenaran universal. Bagi Lyotard, kita harus melawan teror meyeluruh terhadap dogma esmacam itu untuk kemudian merayakan perbedaan-perbedaan dari dalam rezim penegtahuan tertentu. Pandangan tersebut hampir sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Focoult, pertama, bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, transendental ataupun universal. Ia bersifat spesifik pada ruang dan waktu tertentu. Kedua, pengetahuan bersifat perspektitival. Tidak mungkin ada pengetahuan total yang mampu memahamikarakter objektif dunia ini. Namun, kita memiliki dan memerlukan berbagai sudut pandang atau kebenaran yang kita gunakan untuk menginterpetasikan eksistensi heterogen manusia yangkompleks. Ketiga, pengetahuan tidak dipandang sebagai suatu cara memahami yang netral atau murni, ia terlibat dalam rezim kekuasaan.

Seperti halnya sejarah pemikiran di Barat, dalam tradisi pemikiran Islam juga dipenuhi oleh perseteruan-persetaruan yang mnelibatkan beberapa perspektif.Dalam tradisi pengetahuan (nalar) Islam ada tiga kategori epistemologi,yang mewarnai tradisi dan sejarah dalam pergulatan umat Islam seperti yang dijelaskan oleh al-Jabiri dalam proyek Krtik Nalar Arabnya. Pertama, Bayani yakni sistem pengetahuan yang didasarkan pada teks-teks suci. Walaupun pada perkembangan dalam epistemologi bayani memunculkan prosedur-prosedur yang beragam, namun pada penerapannya tidak dapat lepas dari frame teks-teks suci, karena teks-teks sucilah yang yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran dan rasio hanya berfungsi sebagai penyangga dari kemapanan otoritas teks suci tersebut. Syafi’i yang merupakan salah satu tokoh bayani sekaligus dikenal sebagai peletak dasar yurespendensi Islam, menegaskan bahwa bayani merupakan sistem pengetahuan yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) yakni al-Qu’an, Sunnah dan Qiyas, serta perkembangan makna-makna yag kemudian disebut furu’ (cabang) yakni ijma’.

Kedua, Irfani yaitu sistem pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung atas realiatas pengalaman keberagamaan. Khudhori Sholeh dalam bukunya “Wacana Baru Filsafat Islam” menjelskan lebih lanjut bahwa irfani secara terminologis diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah nurani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Berkebalikan dari epistemologi bayani yang eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik, yakni apa yang ada dibalik teks. Pengungkapan makna teks pada sistem penegtahuan irfani juag tidak didasArkan pada analisa teks atau keruntutan logika, tetapi dengan olah rohani ,dimana dengan kesucian hati, Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Perkembangan sitem pengetahuan irfani kemudian melahirkan ajaran tasawwuf dalam sejarah perkembanagn Islam.

Ketiga, Burhani yang menyandarkan diri pada kekuatan rasio dengan logika sebagai instrumennya. Secara sederhan burhani (demonstratif), bisa diartikan sebgai suatu aktifitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik. Al-jabiri menjelaskan bahwa pada dasarnya prisnsip-prinsip burhani pertamakali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan metode analitik, yakni suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi kategori (hamliyah) atau proposisi hipotetis (syartiyah) dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek kajiannya; kuantitas, kualitas, ruang atau tempat, waktu dan seterusnya.

Seperti halnya perjalanan sistem pengetahuan dibarat, tradisi pemikiran di Arab juga mengalami pergolakan yang tidak jarang menjadi perang paradigma dari berbagai bagunan epistemologi yang ada, khsusnya antara epistemologi bayani dan burhani. Pada awal-awal sejarah perkembangan Islam konstruk pengetahuan dalam Islam masih didominasi oleh sitem pengetahuan bayani, epistemologi bayani menjadi aktor utama dalam panggung sejarah pengetahuan Islam. Walaupun pemikiran-pemikiran rasionalis mulai bermunculan, terutama yang berkaitan dengan teologi dan hukum. Misalnya teologi rasional Mu’tazilah yang dibangun oleh Washil ibn Atha’ (699-748 M) Pemikiran-pemikiran rasional itulah yang kemudian mendukung diterimanya filsafat dari Yunani. Masuknya Filsafat Yunani yang dilakukan dengan perjemahan secara besar-besaran karya-karya agung para filosof Yunani membuka ruang pada sistem pengetahuan burhani untuk tidak hanya berperan sebagai aktor figuran dalam pentas pengetahuan Islam.

Masuknya pemikiran Yuani dalam ranah kognisi peradaban Islam telah melahirkan kaum intelektual progresif pada waktu itu. Lahirlah al-Kindi, yang dalam catatan sejarah merupakan filosof muslim pertama. Kemudian ar-Razi yang juga dikenal dengan nama razes di Barat, yang berhasil menulis eksiklopedia ilmu medis dan juga sebuah buku tentang ilmu kimia yang diterjemahkan ke bahasa latin dikemudian hari, Ibnu Syina yang di Barat dikenal Avicenna, yang berhasil menulis buku-buku kedokteran Dan yang tak kalah pentingnya adalah al-Farabi yang dikenal sebagai penerjemah ajaran filsafat aristoteles dalam dunia Islam. Sehingga jika Aristoteles dikenal sebagai guru pertama, maka al-Farabi dikenal sebagai guru kedua. Dan Ibnu Rusyd, yang dikenal dibarat dengan nama Averros, seakan menjadi penutup dari sistem pemikiran buryani sebelum sistem pengetahuan bayani kembali dominan, bahkan lebih hegemonik daripada sebelumnya. Serta tokoh-tokoh intelektual lainnya yang mampu membawa peradaban Islam mencapai superioritasnya.

Namun kecanggihan para inetelektual (filosof) muslim tersebut tidak hanya berhenti disitu, mereka juga memandang agama dengan mensintesakan filsafat Yunani dengan tardisi pemikiran Islam. Sehingga memperkaya pandangan keberagamaan (Islam) pada waktu itu. Perkembangan pemikiran kegamaan yang mendasarkan rasio sebagai instrumennya mulai mendapatkan penetangan dari para pemikir Islam ortodoks. Ibn Hanbal (780-855), salah seorang mazhab fiqh beserta yang sejalan dengannya, menunjukkan sikap tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Penentangan-penentangan kalanga ortodoks tersebut disebabkan, salah satunya adalah adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat pada umat Islam terhadap Tuhan. Ini mengandaikan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki rasa hormat kepada Tuhan melebihi yang lain. Dan ajaran-ajaran merekalah yang paling sesuai dengan jalur-jalur yang ditetapkan Tuhan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai otoritasnnya.

Serangan demi serangan secara beruntun, dan puncaknya yang dilakukan oleh al-Ghaali yang juga dinobatkan sebagai “Guru Utama” (al-Syaikh al-Rais). Meski pada prinsipnya al-Ghazali tidak menolak filsafat, tulisannya Tahfut al-Falasifah yang diperkuat dalam al-Munqid min al-Dlalal, al-Ghazali masih mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran agama. Namun al-Ghazali juga menyerang para filosof muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi yang pemikirannya dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran agama bahkan menjurus pada kekafiran. Dan dengan melihat suasana historis masyarakat muslim pada waktu itu, menurut penilaian Nur Kholis madjid, bahwa argumentasi al-Ghazali merupakan penyelesaian yang begitu hebat, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Karena dilihat dari kemampuan dan penguasaan filsafat dan teologi, al-Ghazali diasumsikan memiliki kemampuan diatas rata-rata masyrakat muslim pada waktu itu.

Kontribusi agung al-Ghazali dalam sejarah pemikiran Islam, melahirkan dogma yang hegemonik dengan megkafirkan para para pemikir yang berbeda dengannya, telah meninabobokkan umat Islam, seakan-akan apa yang diajarkan al-Ghazali adalah final. Umat muslim sakan-akan tidak lagi membutuhkan pemikiran-pemikiran baru dalam keberagamaan. Al-Ghazali kemudian menjadi corong bangkitnya kembali nalar bayani, dan menjadi mesin pembunuh bagi sistem pengetahuan burhani. Walaupun pada masa itu masih memiliki Ibn Rusyd yang mampu memberikan wacana tandingan terhadap wacana dominan yang dimotori al-Ghazali. Namun taqdir sejarah selalu menampilkan relasi timbal balik antara kekuasaan dan pengetahuan. Sejak saat itulah bayani mendapatkan kembali dominasinya dalam tradisi pemikiran Islam (Arab).

Dominasi nalar bayani dengan proedur-prosedur dogmatiknya mampu menutup ruang bagi lahirnya pemikiran-pemikiran baru dalam keberagamaan, pintu ijtihat ditutup rapat-rapat. Prosedur-prosedur dalam menetapkan hukum diperketat. Kalupun ada permasalah baru dikemudian hari yang tidak ada sebelumnya, dalam penetapan hukumnya hanya diqiyaskan (analogi) dengan hukum tentang persoalan yang ada sebelumnya, yang pada dasarnya berbeda sama sekali, baik objek (persoalan) maupun konteks yang melingkupinya. Realitas (konteks) yang selalu bergerak dinamis harus disesuaikan dengan teks yang stabil.Dominannya nalar bayani tidak hanya membekukan sistem nalar yang lain dalam melihat ralitas keberagamaan. Dengan pelarangan-pelarangan pemikiran filsafat yang lahir tidak di dunia islam, benar-benar membekukan olah pikir mayoritas umat Islam. Dan ini menegaskan bahwa sistem pengetahuan bayani adalah model pengetahuan yang memiliki kebenaran tunggal yang memiliki kesahihan universal.

Nalar bayani yang menjadi satu-satunya kebenaran dalam sistem pengetahuan islam, mulai mengalami resistensi, seperti yang dilakukan oleh Arkoun yang melihat “akal Islam” yang didominasi oleh akal bayani. Dalam pandangan Arkoun, dalam khazanah tafsil Islam dengan segala macam madzhab serta lairannya, sesungguhnya al-Qur’an hanya merupakan alat untuk membangun teks-teks laian yang dapat memnui kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya al-Qur’an itu sendiri. Semua tafsir al-Qur’an ada dengan sendirinya, dan untuk dirinya sendiri. Tafsir-tafsir tersebut merupakan karya intelektual dan produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarbelakanginya. Karena seluruh literatur tafsir tersebut siproduksi oleh akal manusia, maka harus dilakukan analisis terhadap mekanisme dan struktur akal tersebut.

Hassan Hanafi yang juga merupakan salah satu tokoh yang menggugat sistem nalar Islam mengatakan bahwa sistem pengetahuan dalam Islam (khusunya teologi) tidak ilmiah dan membumi. Berangkat dari kecenderungan pemahaman umat Islam yang selama ini cenderung tekstual dalam memahami agama, Hanafi mengusulkan agar pemahaman tersebut tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong. Melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motifasi tindakan manusia.

Sedangakan al-Jabiri melihat bahwa sistem pengetahuan Islam yang lebih didominasi oleh nalar bayani ,yang dimotori oleh al-ghazali merupakan penyebab awal dari kemunduran dalam sistem nalar Islam (Arab).

Islamisai Sains : Mengail Ikan di Laut Mati
Kapal besar positifsitik Oleng dalam samudera pengetahuan postmodern dan sistem pengetahuan bayani ortodoks terhuyung-huyung diterpa badai kritik nalar Islam (Arab) dan sejenisnya. Dua dogma yang mengklaim dirinya masing-masing sebagai jalan menuju gelapnya goa kebenaran dengan narasi agungnya, luluh oleh pemberontakan yang dilakukan oleh para penganutnya masing-masing. Dua jalan kebenaran yang paradoks dengan kamapanan prosedurnya masing-masing retak dalam bentangan sejarah yang semakin erotis meliukkan zaman. Namun dalam ungkapan Feyerebend ada kecenderungan dalam epistemologi, dimana epistemologi yang mapan berusaha bertahan dalam kemapanannya sedang yang lain berusaha untuk menyingkirkan kemapanan tersebut. Nalar positifistik yang menjadi basis nalar dalam ilmu pengetahuan modern yang dengan sisa-sisa tenaga terus-menerus berusaha bertahan secara sporadis dalam kancah pertarungan pengetahuan, walaupun secara substansif sudah kehilangan daya magis epistemologinya, begitu juga dengan sistem pengetahuan islam yang coba terus menggeliat ditengah arus globalisasi sistem pemikiran memunculkan sepihan-serpihan paradoksal dalam pemikiran islam sendiri.

Salah satu serpihan yang muncul dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer adalah terhembusnya isu Islamisasi Sains. Dengan logika yang hampir seragam bahwa kemunculan isalamisasi sains sebagai usaha untuk kebangkitan peradaban Islam dari hegemoni peradaban barat. Dengan alasan yang lebih bersifat ideologis tersebut sebagian umat (intelektual) Islam berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam bisa eksis dengan berkaca pada romantisme kemajuan peradaban islam tempo dulu.

Apa yang ditampilkan dalam teks-teks yang berbau spirit revivalisme dengan islmisasi saian sebagai perangkatnya dengan melihat sejarah kegemilangan peradaban islam menampakkan inkonsitensi pada sejarah itu sendiri. Retakan-retakan sejarah yang ditampilkan hanyalah potongan-potongan dari agungnya sejarah yang dibanggakan. Sejarah yang ditampilkan demi mengusung islamisasi sains penuh dengan kontradiksi-kontradiksi. Kemajuan pemikiran intelektual Islam terdahulu dibangun diatas beragam paradigma yang saling berdialektika. Tidak pada satu paradigma tunggal yang melahirkan satu razim kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan cita-cita islamisasi sain mengahadirkan impian untuk membangun imperium baru dalam ranah ilmu pengetahuan dengan membentuk rezim kebenaran yang didasarkan pada satu paradigma yang didasakan pada otoritas teks-teks suci yang diyakini memiliki kebenaran universal.

Serentetan usaha untuk mencapai impian isalmisasi sains pun digelar. Seperti similirisasi atau ayatisasi terhadap apa yang telah ditemukan dalam ilmu pengetahuan. Landasan logikanya, bahwa islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan begitu juga dengan ilmu penegtahuan juga pada dasarnya tidak pernah bertentangan dengan Islam. Dengan model ayatisasi ini, Islam kemudian tidak berkepentingan untuk “ngoyo” menemukan sesuatu yang baru dalam ranah pengetahuan manusia, namun Islam hanya memberikan nilai-nilai etis terhadap apa yang telah ditemukan oleh ilmu pengetahuan, bagaimana produk dari ilmu pengetahuan hanya dicocokkan dengan ayat-ayat al-Qur’an., bahkan jika tidak cocok sekalipun harus dipaksakan untuk cocok. Model tersebut menjadi modus operandi dari pembajakan pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Usep Fakhrudin.

Usaha yang lain adalah dengan membentuk padangan hidup (world vew) yang didasarkan pada nilai-nilai islam. Seperti yang dilantunkan oleh Sardar bahwa untuk mewujudkan agenda islamisasi sains yang harus dibangun pertamakali adalah Islamic worldview, yang didukung oleh pendapat Hamid Fahmi Zakarsyi dalam majalah Islamiya (Th 11 No.5/April-Juni 2005), bahwa worldview Islam tidak bisa dilepaskan dari kandungan al-Qu’an dan penjelasan dari Nabi. Bahwa didalam islam memiliki pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup barat tempat lahirnya sains.

Pentingnya membentuk wordview sendiri didasarkan pada struktur pengetahuan yang tidak bisa dilepaskan pada struktur worldview tertentu yang dipengaruhi oleh srtruktur budaya dimana worldview itu lahir. Dengan melihat sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dipengaruhi oleh worldview sekulerisme, maka worlview Islam memiliki urgensi dalam mengembangkan islamisasi saian. akan mustahil Islamisasi Sains akan terwujud jika tidak dimulai dengan pembangunan worldview Islam. lebih lanjut, Zakarsyi menjelaskan bahwa asas Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Penjelasan Nabi mampu melahirkan berbagai disiplin Ilmu. Karena asas Islam tersebut diyakini memiliki universalitas yang dapat diterapkan dimanapun dan kapanpun. Artikulasi dari Universalitas adalah Islam sebagai agama yang sudah sempurna dan sesuai dengan segala zaman yang terus berubah dengan cepat serta sesuai dengan segala kondisi budaya diseluruh tempat dimuka bumi dengan sedikit penafsiran yang tidak keluar dari teks-teks suci yang sudah ada. Sehingga tidak perlu lagi adanya peninjauan ulang kembali terhadap teks-teks tersebut walaupun teks itu lahir di masa lalu yang sudah jauh ditinggal oleh sejarah serta teks-teks itu juga lahir disuatu tempat dan kondisi budaya tertentu (Arab) yang memiliki ciri khas budaya sendiri diantara keberbedaan dan keragaman budaya yang ada dimuka bumi.

Konstruk worldview terebut menjadi asas dalam bagunan ilmu pengetahuan Islam yang diderevasikan dalam struktur epistemologi Islam. Rumusan epistemologi dilandaskan pada Tauhid yang telah digariskan dalam teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta pendapat Ulama terdahulu yang dianggap sudah sempurna. Islamisasi sains menolak bangunan epistemologi barat yang (dianggap) jelas-jelas sekuler. Konsepsi tersebut mengandaikan bahwa sistem pengetahuan Islam yang diwarisi dari para pendahulu sudah sempurna dengan bukti bahwa hasil pemikiran intelektual masa lalu telah membawa dunia Islam menjadi pusat berkembangnya ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan menjadi peradaban yang paling tinggi pada zamannya. Menurut Dr. Syamsudin Arif (Isalamiya, Th 11 no.5/April-Juni 2005) menjelaskan dengan berangkat dari formulasi diskursus filsafat, yakni How to knowleg posible? Menurut beliau, jawabnya adalah dengan proses akal sehat (rasionalisasi dan pengalaman inderawi), melalu informasi yang benar dan proses intusi hati. Titik tekan dari ketiga instrumen untuk mengetahui tersebut adalah melalui informasi yang benar (khabar shadiq). Hal ini dijelaskan dengan dalil-dalil (informasi ) yang berasal dari al-Qu’an sebagai legitimasi dari ketiganya. Dan al-Qur’an adalah yang utama dan puncak dari hirarki khabar shadiq, setelah itu penjelasan Nabi (Hadits) dan kesepakatan ulama (ijma’).

Khabar shadiq menjadi narasi agung yang didalamnya terdapat kebenaran-kebenaran yang validitasnya tidak tersanggahkan dengan mensyaratkan prosedur-prosedur ketat yang telah dibakukan dengan ijma’. Dan sistem pengetahuan khabar shadiq yang prosedural tersebut tidak lain merupakan sistem pengetahuan yang dilandaskan pada sistem pengetahuan bayani, sistem pengetahuan yang dominan dalam pemikiran tradisioanal islam. Yang dianggap sebagian intelektual muslim kontemporer sebagai salah satu sebab terjadinya stagnasi dalam perkembangan pemikiran Islam.

Pencanangan worldview Islam yang menjadi tiang penyangga dalam sistem pengetahuan Islam yang digadang-gadangkan, membentuk limit antara pengetahuan barat dan Islam. Islam adalah “kita” sedang barat adalah “mereka”. Dari limit ini memanifestasikan sikap yang mencitrakan sistem pengetahuan Islam lebih unggul dari pengetahuan barat. Dengan landasan argumentasi bahwa kebenaran agama mendahului kebenaran ilmu penegtahuan. Untuk itulah dalam islamisais sains, bukan agama yang mengikuti sains namun sainlah yang harus mengikuti agama. Hal ini dengan melihat realitas perkembangan ilmu pengetahuan yang acapkali dianggap tidak bermoral dan jauh dari nilai-nilai relegisius dan terlalu materialistis. Jika worldview yang diingini diderivasikan dengan model epistemologi bayani, yang dalam rentangan sejarahnya hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat dogmatik. Praksis metodologi Khabar Shodiq yang dijadikan sumber pengetahaun hanya akan bersifat referensial (qiyasi), yang seringkali tidak relevan dengan realitas. Hal ini terjadi jika penafsiran-penafsiran yang ada, dan sudah merupakan ijma’ dianggap final dengan metode penafsiran yang seragam seragam sesuai dengan prosedur-prosedur ketat yang dimapankan.

Sedangkan pada sisi yang lain, ilmu pengetahuan yang selama ini berbasiskan nalar positifistik yang dogmatik telah mengalami resistensi dari pengikunya sendiri. Asumsi-asumsi kebenarannya kabur oleh kesangsian akan kebenaran yang diciptakannya sendiri. Ilmu pengetahuan bukan dogma yang tidak akan pernah mencapai kebenaran yang final. Kebenaran tentang ilmu pengetahuan hanyalah asumsi-asumsi sementara, yang setiap saat bisa digugat. Jika islamisai pengetahuan bertujuan untuk membangun ilmu pengetahuan yang didasarkan pada islamic worldview dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul sebagai landasannya, yang dianggap memiliki kebenaran mutlak. Maka akan meunculkan bererapa asumsi. Pertama, islamisasi sains akan menyeret kembali diskursus ilmu pengetahuan menjadi dogmatik. Islamisasi sains akan melahirkan ilmu pengetahuan yang tertutup karena al-Qur’an dan Sunnah Rasul dinaggap memiliki kebenaran yang mutlak dan sudah final. Dan ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu membuka ruang dialektika, asumsi kebenarannya adalah temporal. Konsekwensi dari islamisasi sains hanya akan membuat alur mundur dari perkembangan ilmu pengetahuan kekinian, asumsi-asumsi dogmatisnya akan mengembalikan spirit nalar positifstik-yang sudah usang ditelan sejarahnya sendiri- dalam rumusan islamisasi sains.

Kedua, islamisasi sains dengan islamic worldview-nya yang menjadikan al-Qur’an dan Hadits dan sumber-sumber yang lainnya sebagai sumber utamanya, maka al-Qur’an dan Hadits atau sumber yang lain harus disejajarkan dengan kitab pengetahuan yang lain, yang keabsahannya atau kebenarannya bisa saja gugur. Dan ini mau tidak mau akan meunculkan asumsi bahwa islam manjadi sub dari ilmu pengetahuan, bukan sebalikanya ilmu pengetahuan yang menjadi sub dari islam. Dan hal tersebut pada dasarnya akan kembali menjadi pure saintisme, pembahasaannya tidak lagi “islamisasi sain”, tapi akan menjadi seperti yang disebut kuntowijoyo sebagai “ilmuisasi islam”. Islam tidak dilihat sebagai agama yang dogmatik, akan tetapi islam harus menerima kenyataan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang relatif.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.