Selasa, 03 Februari 2009

PENCARIAN KEADILAN TUHAN VERSI KAUM HOMOSEKSUAL

Setiap 20.000 kelahiran pada laki-laki, satu diantara akan terindikasi menglami prilaku homoseksual. Lantas jika penduduk dunia saat ini berjumlah 6 Miliar berapa jumlah homoseksualnya dan yang lebih penting lagi bagaimana cara memperlakukannya. (INOVASI edisi:XXI)

Absrtaksi
Belanda adalah negara di dunia yang pertama kali melegalkan hubungan sesama jenis dan perkawinannya, hal itu juga di atur secara rinci dalam konstitusi kenegaraan, oleh karenanya bagi kamu homoseksual belanda merupakan sorga kehidupan hingga tak menutup kemungkinan para kaum homosek di negara lain berbondong untuk mecari legalitas identitasnya yang tidak didapati dinegara asalnya. Terobosan yang dilakukan Belanda kemudian disusul oleh swedia, dan di Asia diwakili oleh Taiwan walaupun masih dalam tahap pembahasan pemerintah.

Bagi masyarakat Indonesia legalitas homoseksual dalam konstitusi negara kemungkinan besar tidak akan pernah terwujudkan, mengingat cara pandang masyarakat saat ini hanya mengkategorikan realitas sosial dalam dua kategroi sederhana, jika ada baik maka ada buruk, jika ada wanita jelasnya akan ada laki-laki, dan jika ada normal lawannya tentu saja abnormal. Terkait dengan fenomea homoseksual tentunya streotif yang akan muncul terhadap prilaku ataupun komunitas ini termasuk pada kategori prilaku seksual menyimpang (abnormalitas seksual) stigma ini dilandaskan pada nilai norma sosial yang menganggap prilaku seksual yang normal adalah prilaku seks terhadap lawan jenis diluar itu tanpa bisa ditolerir adalah sesuatu yang dilarang.

Telaah prilaku homoseksual sendiri dalam dunia psikologi, prilaku tersebut termasuk dalam kategori prilaku seksual menyimpang pada jenis orientasinya walaupun dalam perkembangannya prilaku ini sudah menjadi prilaku normal. Karena secara fungsional fisiologis-psikologis tetap sesuai. Disamping itu alasan lainnya adalah faktor penyebab homoseksual sendiri yang menurut banyak tokoh dipengaruhi dua hal utama: 1) Hereditas 2) Lingkungan. Pada pengaruh lingkungan prilaku homosek ada kemungkinan untuk dirubah, namun pada aspek yang pertama ketika dalam diri seseorang terdapat kelebihan hormon Androgen pada laki-laki yang senestinya dimilki oleh perempuan dan Tertosteron pada perempuan yang merupakan hormon pria, para ahli medis sampai saat ini masih spekulatif dalam menyikapinya.

Bertolak dari beberapa argument di atas bagaimanakah agama dalam hal ini Islam memandang prilaku homoseksual, sebab yang menjadi permasalahan kasus-kasus homosekual tanpa bermaksud apologi seringkali banyak ditemukan di pondok pesantren. Tidakkah pondok pesantren telah menjadi sarang awal munculnya prilaku homoseksual.

Benarkah Agama melarang perilaku Homosek
Mencari pembenaran terhadap hubungan sejenis dalam teks-teks agama hampir tidak mungkin jika yang kita pahami teks agama disini adalah apa yang tersurat dalam kitab suci dan berbagai karya ulama yang selama ini menjadi referensi dalam kehidupan keagamaan umat. Islam dan Kristen, dua agama besar dunia, tegas-tegas mengutuk hubungan seks sejenis sebagai perilaku yang terlaknat dengan menyandarkan pada pelaknatan Tuhan atas Kaum Luth (Kisah Sodom-Gomorah).

Akan tetapi, pertanyaan awal yang bisa diajukan di sini adalah apakah agama, hanya karena sifat ketuhanannya, merupakan fenomena yang hadir di luar sejarah ataukah ia juga merupakan fenomena historis yang bisa dibaca dari perspektif kesejarahan? Terkait dengan ini, bagaimana kita membaca teks-eks keagamaan, baik kitab suci maupun karya-karya ulama?

Penelaahan kitab suci yang dimiliki agama-agama besar akan melahirkan satu kesan kuat bahwa manusia yang menjadi objek seruan Tuhan selalu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Seruan ini bisa kita lacak pada berbagai aturan keagamaan yang hanya mengatur dua jenis kelamin tersebut mulai peribadatan (ritual) sampai pada aturan-aturan kehidupan, termasuk hubungan seksual. Dengan catatan jenis kelamin yang kedua selalu menempati posisi subordinat. Wilayah antara, atau berbagai varian di antara spektrum laki-laki dan perempuan hampir merupakan wilayah vakum yang ditinggalkan oleh teks suci resmi.

Keadaan ini bisa memunculkan berbagai tafsir. Satu perspektif bisa memaknai ini sebagai tidak diakuinya berbagai varian seks dan gender di luar laki-laki dan perempuan. Perspektif ini memunculkan jenis tafsir keagamaan yang menafikan dan menegasikan berbagai orientasi seks dan gender di luar laki-laki (maskulin) dan perempuasn (feminin). Sementara, perspektif lain memaknai fenonmena vakum ini sebagai suatu wilayah bebas di mana manusia memiliki kebebasan penuh untuk mengkreasi dan mengkonstruksinya.

Di wilayah antara ini, lahir beberapa wacana keagamaan yang bisa digugat dan dipertanyakan ulang. Di dalam fiqh, misalnya, kita akan menemukan istilah khuntsa, yang kurang lebih merujuk pada manusia yang “berjenis kelamin antara”, baik bermakna memiliki kelamin ganda (hermaprodit) maupun keantaraan yang hanya ditandai oleh performance fisik luar (orang yang memiliki penis tapi berdandan seperti perempuan). Pengaturan terhadap khuntsa jelas-jelas merupakan kreasi bebas ulama karena tidak ditemukan di dalam kitab suci. Dalam arti bahwa aturan ritual sampai hubungan seksual tidak ditemukan dalam kitab suci, tapi merupakan kreasi ulma pada satu masa dan tempat tertentu dengan selalu melakukan analogi terhadap aturan-aturan hukm yang dikenakan pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ini memperlihatkan bahwa sebuah teks keagamaan yang sangat menentukan dalam kehidupan umat diproduksi leh suatu cara pandang tertentu tentang seks, gender dan seksualitas.

Sebagai wilayah abu-abu, maka teks-teks keagamaan yang diproduksi dari wilayah itu juga bersifat ambigu. Ambiguitas ini ditandai dengan beragamanya pendapat, bahkan oleh satu ulama. Imam Syafi’i, misalnya, salah satu tokoh terkemuka dalam aliran fiqh Islam, memiliki tiga pendapat tentang hukum orang yang melakukan hubungan sesama jenis, yaitu dihukum mati dengan cara dibakar, dihukumi seperti pezina, atau cukup diberi sanksi. Sementara dalam aturan peribadatan, hukumnya mengikuti secara analog kepada laki-laki atau perempuan. Dalam arti bahwa jika ia memiliki kecenderungan laki-laki, maka ia dihukumi seperti laki-laki, begitu juga sebaliknya.

Semakin terlihat di sini bahwa setiap paham keagamaan bersifat perspektifis. Dalam arti bahwa seluruh paham keagamaan dikonstruksi berdasarkan perspektif tertentu, dan itu berarti bersifat historis. Karena itu, maka tidak ada satu pun doktrin agama, termasuk kitab suci, yang berada di luar sejarah. Asghar Ali Engineer, seorang teolog pembebasan Muslim dari India, menyatakan bahwa seilahi apapun sebuh doktrin, ia tetap harus memijakkan kakinya di atas realitas kemanusiaan yang nyata jika ia ingin misi ketuhanannya (kemanusiaannya) berhasil. Begitu juga dengan berbagai tafsir atasnya. Konstruksi makna teks selalu dihasilkan dari berbagai lintasan kepentingan.

Dengan pemikiran ini jugalah kita bisa mengerti mengapa sekalipun di dalam al-Qur’an ada pengutukan terhadap Kaum Nabi Luth, tapi di berbagai pesantren ditemukan hubungan sejenis dengan istilah mairil. Mairil adalah hubungan antara laki-laki dengan laki-laki, di mana yang menjadi subjek dalam hubungan sejenis ini biasanya adalah santri senior dan yang menjadi objek adalah santri laki-laki muda yang berusia sekitar 15 tahun.

Mungkin sementara orang mengira bahwa perilaku mairil di pesantren semata-mata karena pesantren merupakan asrama yang hanya dihuni satu jenis kelamin sehingga sangat rentan terjadi hubungan sejenis, sebagaimana asrama-asrama lain. Memang benar bahwa banyaknya hubungan sejenis yang ditemukan di pesantren karena pesantren merupakan asrama yang hanya dihuni oleh satu jenis kelmin. Dalam pengertian ini, maka mairil sesungguhnya bukan tipikal pesantren, tapi bisa ditemkan di semua komunitas sejenis yang hidup besama dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, pertanyaannya adalah kalau memang hubungan sejenis secara tegas dilarang bahkan dikutuk oleh Tuhan, mengapa di pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam terkesan permisif terhadap praktek seperti itu? Tidak ada jawaban jelas. Tapi lacakan kepada teks-teks keislaman akan segera memberi jawaban yang mengejutkan karena ancaman Tuhan di dalam al-Qur’an bisa sangat mudah “disiasati”.

Kalau praktek mairil dianggap sebagai zina, maka definisi zina yang ada dalam teks-teks keislaman tidak bisa menjerat praktek mairil. Di dalam teks-teks keislaman, zina selalu didefinisikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikah yang syah menurut hukum Islam (ata al-mar’ata bi ghoyri aqdin syar’iyin). Dari definisis zina ini, maka praktek mairil tidak bisa dihukumi zina karena definisi zina berkarakter heteroseksual, sementara mairil jelas-jelas homoseksual. Kalau merujuk pada praktek kaum Nabi Luth, maka di dalam kitab fiqh hal itu merujuk pada praktek hubungan sejenis secara anal yang diistilah dengan liwath. Sehingga, pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth tidak bisa digunakan untuk menjerat praktek mairil karena secara umum praktek mairil dilakukan dengan memanfaatkan pangkal paha (penis dijepit di antara pangkal paha yang sudah dilumuri dengan pelembab, biasanya memakai ludah).

Dari sini, akan muncul banyak pertanyaan dan kesadaran baru. Betapa teks-teks keagamaan tidak seperti yang diperkirakan selama ini, berada di luar sejarah dan berbagai relasi kepentingan, tapi sebaliknya, ia lahir di dalam sejarah. Mengapa, misalnya, zina selalau didefinisikan secara heterosekusialis sehingga hubungan sejenis tidak masuk di dalamnya, dan mengapa kisah homoseksualitas Kaum Luth dimaknai semata-mata analseks, sehingga teknik hubungan seksual sejenis di luar anal tidak masuk kriteria pelaknatan? Pertama, kebanyakan penyusun kitab-kitab agama adalah kaum laki-laki dengan orientasi seksual heteroseks sehingga rumusan-rumusan yang muncul berspektif laki-laki dan heteroseksual. Kalau kaum homoseksual diuntungkan karena wilayahnya tidak tersentuh, mungkin karena sang ulama yang hetero tersebut lupa atau tidak menyadari tentang kemungknan adanya hubungan seksual sejenis, maka kaum perempuan banyak dirugikan dalam hal ini karena hampir rumusan-rumusan keagamaan selalau menempatkan perempuan menjadi objek seksual laki-laki. Dan, kalau sang ulama menyadari bahwa hubungan sejenis (laki-laki dengan laki-laki) tidak hanya anal seks, tapi bisa mengeksplorasi seluruh bagian tubuh, maka bisa jadi devinisi liwath tidak sesempit dan seteknis itu.

Terlepas dari lemahnya definisi-definisi tersebut, ini menyadarkan bahwa teks agama diproduksi oleh kepentingan dan sudut pandang tertentu. Tidak ada satu teks pun, sekalipun ia disebut sacred text, yang pemaknaannya melintasi batasan ruang dan waktu. Karena itu, sangat terbuka kemungkinan untuk memaknai ulang teks-teks agama sesuai dengan tingkat peradaban manusia.

Setiap agama selalu mengklaim bahwa relevansinya melintasi ruang dan waktu. Di Islam juga ada adagium yang sangat terkenal menyangkut relevansi Islam ini, al-Islam sholih likulli zaman wa al-makan (ajaran Islam sesuai untuk setiap masa dan tempat). Akan tetapi, apa makna relenvansi tersebut jika agama tidak sanggup menyelesaikan persoalan manusia dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan derajat manusia.

Agama bukanlah sebuah patung batu yang sekali pahat selesai. Agama, sebagai fenomena kemanusiaan yang lain, harus terus bergulat mengiringi peradaban manusia yang terus berjalan. Oleh karena itu, agama tidak bisa dimaknai seperti sekumpulan naskah di dalam museum, di mana realitas hendak diukur dan diadili sesuai dengan kekunoan teks-teks tersebut. Keabadian agama terletak pada kesanggupannya untuk tetap mendorong kebaikan dan penghormatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Di titik ini juga patut kita renungkan sebuah pertanyaan, untuk siapakah agama itu, untuk Tuhan ataukah untuk manusia? Jika memang agama diturunkan Tuhan untuk manusia, maka agama harus merelakan dirinya diukur dari kaca mata manusia. Jika sebuah agama dengan meneriakkan kata-kata Tuhan menebar teror kemanusiaan, maka sesungguhnya ia telah kehilangan alasan keberadaannya.

Dengan mempertimbangkan pandangan Engineer di atas, kita bisa “menyoal ulang” pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth. Dengan memandang bahwa setiap doktrin agama memiliki konteks kesejarahannya masing-masing, maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah apa maksud pelaknatan Tuhan terhadap praktek hubungan sejenis yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Jawabannya tentu saja harus dilihat di dalam konteks sosial yang terjadi saat itu.

Kita bisa membaca pelaknatan Tuhan terhadap kaum Nabi Luth seperti Sebagaimana pelaknatan Tuhan (di dalam al-Qur’an) terhadap tindakan nusyuz (pembangkangan istri terhadap suami dengan tidak mau melakukan hubungan seksual). Alasan hukum pelarangan nusyuz sesungguhnya ada pada masalah reproduksi. Tuhan melarang nusyuz karena ketika istri tidak mau melakukan hubungan seksual dengan suami, maka yang terjadi adalah mandegnya reproduksi dan regenerasi yang saat iu sangat dibutuhkan ketika jumlah orang Muslim sangat sedikit. Maka, ketika komunitas Muslim tidak lagi kekurangan dalam hal kuantitas, maka pelaknatan nusyuz harus dimaknai ulang. Pembangkangan istri terhadap suami bahkan memiliki nilai positif jika itu digunakan untuk menghentikan kekuasaan mutlak laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Alasan hukum kemudian berubah, tidak lagi tentang reproduksi, tapi tentang relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Tafsir yang sama juga bisa diberlakukan kepada pelaknatan hubungan sejenis. Perjuangan Nabi Luth tentu saja membutuhkan banyaknya pengkikut yang itu berarti fungsi reproduksi perempuan harus dimaksimalkan. Hubungan sejenis dianggap mengganggu dalam hal reproduksi ini. Namun ketika dunia sudah berada di ambang batas kemampuannya untuk menampung jumlah manusia, maka pelarangan hubungan sejenis bisa berubah. Logika ini persis dengan pembolehan dan bahkan sokongan para tokoh agama (Islam) terhadap program keluarga berencana sekalipun jelas-jelas ada sebuah hadits Nabi yang menyuruh untuk memperbanyak anak.

Tentu saja bahwa tafsir ini pun bisa dibantah. Akan tetapi, ini semakin menunjukkan bahwa sebuah ayat tidak bersifat satu suara (monovoice), tapi selalu mengandung banyak tafsir (multiintepretable). Yang perlu dilakukan adalah membuka berbagai realitas kemanusiaan, termasuk fakta tentang hubungan sejenis dengan berbagai variannya, untuk didialogkan dengan komunitas berbasis iman. Bisa jadi, yang ada selama ini adalah mandegnya dialog yang memungkinkan adanya upaya-upaya kreatif untuk melahirkan jenis tafsir keagamaan yang lebih humanis dan emansipatoris.

Dialog juga bisa mengerem ambisi agama untuk menjadi penguasa tunggal. Tidak bisa diungkiri, bahwa ketika agama sudah melembaga, misalnya Islam dan Kristen, ia selalu berambisi untuk menjadi penguasa tunggal. Dia selalu berkeinginan untuk mengadili komunitas lain. Relasi we-other ini juga menjadi penyakit yang menghinggapi agama-agama besar yang terlembaga (the big organized religion). Penyakit inilah yang seringkali memunculkan ketidakrahaman agama terhadap berbagai tradisi dan kearifan lokal dengan tuduhan menyimpang dan sesat. Ironisnya, negara yang semestinya menjadi ruang di mana keragaman mendapatkan pengakuan yang setara, seringkali bersekutu dengan agama-agama besar untuk menindas dan menyingkirkan komunitas-komunitas pinggiran yang dianggap menyimpang ini.

Tidak ada salahnya bagi kita untuk bersekutu dengan komunitas berbasis iman dalam memperjuangkan pengakuan atas keberadaan dan hak-hak komunitas LGBT (whatever with the terms). Paling tidak, ada dua keuntungan yang bisa dipetik. Pertama, membuka kebekuan pandangan kalangan agamawan terhadap komunitas lesbi, gay, waria, dsb. sehingga akan melahirkan teks-teks keagamaan yang tidak lagi hanya berisi tuduhan dan hujatan terhadap komunitas ini. Kedua, adanya tokoh-tokoh yang sensitif terhadap peminggiran komunitas LGBT. Keberadan tkoh-tokoh ini akan memudahkan bagi perjuangan berikutnya, baik ketika berhadapan dengan agama maupun negara. Kurang lebih, inilah cara yang selama ini dilakukan oleh teman-teman gerakan perempuan di Indonesia. Sekalipun sampai saat ini masih sangat mudah ditemukan teks-teks keagamaan dan reglasi-regulai negara yang diskriminitatif terhadap perempuan, namun sudah ada perubahan yang sangat signifikan dalam menyelesaikan problem perempuan. Saat ini juga bisa sangat mudah ditemukan kiyai-kiyai (kebanyakan muda) yang membela hak-hak perempuan. Tentu saja kita bisa berharap (semoga tidak hanya mimpi) kelak kita akan menemukan kiyai-kiayi atau pastor dan pendeta yang membela hak-hak komunitas “ambang pintu” ini, baik dalam menghadapai rekan sejawatnya maupun keangkuhan birokrasi negara.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. Tej. Kreasi wacana, 2004. Jakarta: Kreasi Wacana.

Butler, J. 1990. Gender Trouble. New York and London: Routledge.

Clarke, J. 1976. “Style”. dalam S. Hall dan T. Jefferson (eds.). Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain. London: Hutchinson.

Danandjaja, James. 2003. “Homoseksual atawa Heteroseksual?” Srinthil. Oktober 2003. Depok: Kajian Perempuan DESANTARA.

Kendrik, Karmen, 1999. Counterpleasures The Suni Series And Postmodern Culture. Terj. Sudarmaji, 2002. Counterpleasures Risalah Kenikmatan dan kekerasan seksual. Yogyakarta: Qalam.

Majalah Desantara, 2004. Seksualitas Multi Tafsir, Jakarta: Desantara.

Psiko Media, 2004 Psikologi orang-orang tertinndas Balerung Yogyakarta.

Sulistyowati,. 2003. “Psikologi Abnormalitas.”. Oktober 2003. UIN Malang

INOVASI, Edisi 21, 2004. “Realitas Gay di Kota Malang”.



Bookmark & Share:

1 komentar:

Anonim,  28 Februari 2009 pukul 21.16  

tulisan anda sangat luar biasa

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.