Jumat, 13 Maret 2009

KONSEP KELAS DAN PERJUANGAN KELAS

‘Dalam perjuangan kelas, satu-satunya problem “moral” ialah kemenangan kelas.’
(Gramsci dalam L’Ordine Nuovo, 7 Agustus 1921)

Dalam tulisan-tulisan Gramsci, tak ada definisi yang tegas dan jelas mengenai konsep kelas yang bisa dikritik oleh para sosiolog. Namun, konsep kelas ini merupakan konsep yang bersifat mendasar dalam seluruh karyanya, dan melandasi segenap pertimbangan taktis atau strategis dalam pemikiran Gramsci. Dalam seluruh karyanya, konsep kelas ini diterapkan dalam realitas perjuangan antar-kelas. Sebuah contoh mengenai hal ini ialah sebuah nukilan dari sebuah artikel dalam Il Grido del Popolo yang diterbitkan pada musim panas tahun 1918, ‘Sosialisme ada dalam kenyataan bukan karena Turati atau yang lainnya menginginkannya, namun karena ada kaum proletariat yang mencita-citakan pembentukan kediktatoran proletariat.’ Kalimat ini sudah dengan sendirinya membentangkan dengan cukup jelas nilai otonom dari konsep kelas tersebut yang bersifat mentransendensi individu-individu. Nada yang sama juga bisa dilihat dalam nukilan yang diambil dari artikel La rivoluzione contro il ‘Capitale’. ‘Jika kaum Bolsyewik menyangkal beberapa pernyataan yang ada dalam buku Capital, itu tidak berarti mereka menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan itu adalah sesuatu yang imanen dalam kenyataan. Namun, itu semata-mata karena mereka bukan “Marxis”. Mereka tidak sedang membangun sebuah doktrin superfisial yang tak terbantahkan dan penjelasan-penjelasan dogmatis atas karya-karya Sang Guru Besar. Mereka justru menghidupkan pemikiran Marxis, yang memang tak akan pernah mati, yang merupakan kelanjutan dari pemikiran idealistik Jerman dan Italia, dan yang telah berbaur dengan warna naturalistik dan positivis dari pemikiran Marx. Pemikiran Marxis tak akan pernah menganggap fakta-fakta ekonomi mentah sebagai faktor yang menentukan dalam sejarah, namun alih-alih manusia dan masyarakat manusia-lah, manusia-manusia yang saling berdampingan satu sama lain, yang lewat kontak-kontak ini membangun sebuah peradaban dan sebuah kehendak kolektif dan sosial, manusia-manusia inilah faktor penentu dalam sejarah. Manusia-manusia inilah yang memahami fakta-fakta ekonomi, dan menilainya serta mengarahkannya sesuai kehendak mereka, sehingga kehendak itu pun menjadi kekuatan motor penggerak ekonomi, penempa realitas obyektif yang sanggup menghidupkan, menggerakkan dan menguasai kodrat dari materi yang bisa diubah ke arah dan dengan cara sebagaimana seperti yang dikehendaki oleh kehendak manusia-manusia itu.’ Aspek voluntaristik (atau idealistik atau Bergsonian) dari nukilan pemikiran Gramsci ini tampak nyata sekali, namun adalah kesalahan fatal jika menilai nukilan itu di luar konteks historis dimana pernyataan itu muncul, sebagaimana adalah juga keliru fatal jika terlalu melebih-lebihkan arti pentingnya.
Biasanya, lewat perjuangan kelas-lah sejarah tercipta. Namun, dalam periode-periode pengecualian tertentu, relasi-relasi di antara dua kelas dalam dunia kapitalis itu berubah dan menjadi berbeda bentuk. Irama gerak perkembangan berdenyut dengan cepat. Kehendak yang terpencar-pencar akan bangkit dan bersatu, pada mulanya secara mekanis, dan kemudian ‘secara aktif dan spiritual.’ Di sisi lain, perjuangan kelas bukanlah sebuah tindakan yang semau-maunya sendiri, bukan sebuah aksi dari kehendak. ‘Perjuangan kelas adalah sebuah keniscayaan yang inheren dari rezim.’ Orang tak bisa menentang atau mengganggu gerak perkembangan alami dari perjuangan kelas dengan tindakan pengalihan perhatian yang kekanak-kanakan, dan sekaligus orang juga tak bisa mempengaruhi gerak perkembangan tersebut. ‘Cabutlah kesadaran kelas dari kaum proletariat: dan jadilah dia boneka, gerakan macam apa itu!’

Bagi seorang sosialis, apakah yang direpresentasikan oleh Negara itu selain organisasi ekonomi-politik dari kaum borjuis? Negara berpretensi hendak memecahkan ‘konflik-konflik kelas dan friksi antar kepentingan-kepentingan dalam negeri yang secara hukum saling bertentangan’, padahal kelas menengah tidak berada di luar Negara. Pemerintahan Negara dikuasai oleh kelas menengah ‘yang berhak’ menguasainya karena kekuatan-kekuatan yang dimilikinya. Namun, lewat perjuangan kelas, atau perjuangan di tingkat internasional antara satu negara dengan negara lain, setiap manusia pun belajar dan menjadi terdidik. Jadi, konsep kelas bersifat dinamis. Individu-individu yang terus-menerus terlibat dalam perjuangan kelas bisa jadi ‘belum matang’; karena itu, mereka harus dididik mengenai hakekat perjuangan. Dan bahasa yang dipergunakan untuk kepentingan perjuangan tak bisa atau tak boleh selalu bersifat elementer karena kaum sosialis tak selalu harus memulai lagi dari awal. ‘Kaum proletariat merupakan sebuah konstruk praktis. Dalam realitas, ada individu-individu pekerja yang lebih atau kurang terdidik, lebih atau kurang matang untuk melakukan perjuangan kelas karena tingkat pemahamannya yang berbeda-beda terhadap konsep-konsep sosialis yang utama. Jadi, mingguan-mingguan sosialis memang harus beradaptasi diri dengan tingkat rata-rata kelompok pembaca mereka di level lokal. Namun, nada tulisan dan propaganda mereka harus selalu lebih tinggi ketimbang rata-rata itu, sehingga dengan begitu paling tidak sejumlah kaum buruh tak akan tertarik lagi dengan simplifikasi-simplifikasi yang kabur dan hampa dari pamflet-pamflet murahan. Pemahaman kaum buruh bisa terangkat ke visi sejarah yang lebih tinggi dan kaum buruh bisa paham visi dunia yang akan mereka wujudkan dan perjuangkan.’
Sebuah upaya pematangan intelektual, sebuah kesadaran kultural yang tidak lagi tercetak oleh ‘pamflet-pamflet murahan’ menjadi lebih penting lagi saat musuh-musuh kelas menggunakan segenap instrumen propaganda untuk menyebarluaskan berita-berita yang bertujuan untuk menyembunyikan atau mendistorsi kebenaran. ‘Kebenaran harus selalu dihormati apapun konsekuensinya,’ Gramsci menegaskan hal ini dalam sebuah catatan penting dalam Sotto la Mole pada bulan Februari 1916, ‘dan pendirian-pendirian seseorang, jika itu merupakan sebuah keyakinan yang hidup, haruslah tumbuh dalam dirinya sendiri, dalam logikanya sendiri, dan menjadi landasan bagi tindakan-tindakan yang menurut pertimbangannya harus dilakukan.’ Namun, adalah perlu untuk melindungi diri dari sebuah ‘demokrasi yang simplistik dan penuh gosip’ yang akan bisa menjinakkan perjuangan kelas lewat jalan penyebarluasan nilai-nilai ideal yang bersifat klise atau demagogis. ‘Atas dasar sedemikian banyak alasan inilah, demokrasi merupakan musuh terburuk kita. Kita harus siap melawannya karena demokrasi mengaburkan pemisahan kelas yang tegas. Demokrasi itu hampir mirip seperti fungsi yang dimainkan oleh suspensi pada sebuah kereta kuda. Dia berfungsi untuk mengurangi tekanan beban penumpang terhadap roda-roda dan untuk mencegah tercapainya tingkat goncangan tertentu yang akan bisa menjadikan terbaliknya kereta kuda.’
Gramsci sadar betul akan problem mendasar dari perjuangan kelas, yaitu upaya tiada henti dari kelas menengah untuk menjadikan dirinya sebagai bangsawan di kalangan buruh dan menjadikan hal tersebut sebagai tujuan hidupnya agar mereka bisa menumpulkan kekuatan-kekuatan revolusioner untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu yang lama. ‘Ini tidak berarti bahwa kemenangan-kemenangan secara demokratis tidak diinginkan, namun hal tersebut hanyalah sekedar sarana dan sebuah jalan menuju perkembangan yang lebih cepat, dan bukan sebagai tujuan akhir dari sejarah. Ringkasnya, kemenangan-kemenangan tersebut haruslah menjadi instrumen-instrumen dari perjuangan kelas dan bukan menjadi dalih untuk memperlunak diri dan untuk menjadi akrab dengan siapa saja.’ Dengan kata lain, perjuangan kelas merupakan sebuah perjuangan yang bersifat revolusioner dan tak boleh dirukunkan dengan upaya-upaya reformasi yang berwatak ‘demokratis’ kecuali untuk sementara waktu saja. Perjuangan kelas, kata Gramsci, harus berwatak revolusioner bukan hanya di Italia, namun juga di semua negara Eropa dan dunia. ‘Konsepsi perjuangan kelas yang menjadi karakter dari Internasional Ketiga, yang menyerukan agar perjuangan kelas tersebut harus diarahkan kepada pembentukan kediktatoran kaum proletariat, haruslah melampaui ideologi demokratis dan harus tersebar luas secara nyata di kalangan massa.’ Perjuangan kelas memiliki sebuah tujuan tunggal, yaitu untuk membentuk sebuah tatanan relasi produksi dan distribusi yang baru dalam medan ekonomi, ‘di atas landasan yang tak memungkinkan masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas.’ Perjuangan kelas bahkan berjuang menuju penghapusan lebih jauh lagi atas kekuasaan Negara dan berjuang demi ‘penghapusan secara sistematis organisasi politik yang berwatak defensif dari kelas proletarian, yang tak akan lagi menjadi sebuah kelas, namun menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusiawi.’
Sebuah kelas merupakan sebuah kesatuan individu yang tak lagi hidup dalam individualitasnya, namun dalam sebuah kesadaran kelas di bawah tekanan kejadian-kejadian besar dan bersifat eksternal. Bagi Gramsci, kelas buruh sangat berbeda dengan ‘plebe di Spanyol, yang bersifat individualistik dan sama seperti halnya semua kumpulan individu lainnya, tak pernah mengalami pengalaman menderita bersama karena dieksploitasi secara intensif oleh industrialisme.’ Sesuai dengan kondisi-kondisi politik yang menjadi konteksnya, perjuangan kelas itu bisa jadi berlangsung secara sederhana, atau kompleks, atau bahkan tak bisa ditebak. Aliansi-aliansi paling ganjil akan dilakukan oleh kelas menengah untuk mempertahankan supremasi Negara yang selalu mereka percayai sebagai hak milik mereka. ‘Sebagaimana di Rusia dan Jerman, demikian pula di Italia, perjuangan kelas diidentikkan dengan sebuah perjuangan dimana di dalamnya polisi borjuis dan para pembunuh bayaran yang berpihak kepada kapitalis, bersama dengan kaum sosial-demokrat berupaya untuk menjinakkan serikat buruh dan organisasi-organisasi politik kelas buruh.’ Namun, lanjut Gramsci, sejak momen revolusi Bolsyewik berhasil menang di Rusia, relasi-relasi kekuatan antara satu Negara dengan negara lain, juga sangat mengubah relasi internal dari kekuatan-kekuatan antara satu kelas dengan kelas yang lain, dan membuka cakrawala baru bagi perjuangan kaum proletariat. ‘Mungkin saja bahwa perjuangan kelas akan diakhiri di beberapa negara dengan tindakan intervensi dari kekuatan baru dalam medan persaingan sejarah, yaitu Rusia, yang dengan jalan memikat para buruh yang paling cakap, akan menentukan tahap terakhir dari keruntuhan kaum kapitalis dengan jalan menciptakan kondisi-kondisi inferioritas teknis yang tak bisa diperbaiki dalam dunia industri di Barat.’
Perjuangan kelas juga memunculkan sejumlah problem ke hadapan kelas buruh. Kaum buruh saat ini, kata Gramsci, memiliki ‘sebuah konsepsi dunia yang didasarkan pada perkembangan historis dari perjuangan kelas. Namun perjuangan ini haruslah berakhir dengan perwujudan sebuah masyarakat yang tak lagi terbelah, dimana di dalamnya kelas buruh akan lenyap dan menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusiawi; dan kaum buruh sadar betul akan tujuan ini... Namun, jika kelas-kelas telah dihapuskan, dan perjuangan kelas telah usai, apakah perkembangan sejarah tak ada lagi, apakah mesin kemajuan akan berhenti? Jawabnya sangat sulit, dan inilah problem yang tampaknya mencemaskan banyak buruh dan menjadi ‘problem metafisis’ buat mereka. Lebih dari itu, orang bisa berkata bahwa ‘problem-problem metafisis’ ini hanya akan menjadi problemnya kaum proletariat karena kaum borjuis tak bisa dan tak mungkin mengajukan problem semacam itu: Apa yang akan datang setelah terhapusnya kelas? Namun ada sebuah jawaban yang mungkin, bahkan dalam kondisi-kondisi perkembangan historis dan sosial saat ini. Begitu perjuangan kelas telah dihapuskan, akan masih ada ‘perjuangan melawan kekuatan-kekuatan buta dari alam’, yang akan berkembang dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya, dan yang akan sepenuhnya mengubah karakteristik alam dan manusia yang terlibat dalam perjuangan tersebut karena perjuangan ini bukan lagi sebuah perjuangan ‘dari makhluk hidup yang satu melawan makhluk hidup yang lain.’
Perjuangan kelas akan tetap ada bahkan meski kaum borjuis dan para intelektualnya, yang merupakan ‘tentara-tentara bayaran’ kaum borjuis, menyangkal keberadaannya. Justru karena penyangkalan inilah, kaum borjuis dan para intelektualnya berada di luar sejarah dan tak sanggup memahami esensi atau hakekat unik dari proses historis. ‘Karena itu, mereka dikutuk tak sanggup memahami gerak perkembangan sejarah dunia dan gerak perkembangan sejarah nasional yang terlingkupi oleh sistem dunia dan tunduk pada tekanan-tekanan kejadian internasional.’ Mengapa kaum borjuis dan para tentara bayarannya menyangkal perjuangan kelas, menyangkal eksistensi dari perjuangan antar kelas? Sayangnya, sangkalan tersebut didasarkan pada sejarah masa lalu tampaknya membenarkan penyangkalan ini dengan sejumlah peristiwa, pada adanya rasa takut, rasa ngeri, kebodohan dan ketidakterorganisiran dalam diri kelas buruh. Ada momen-momen ketika kelas buruh mengalami disorientasi sehingga sepanjang momen itu, ‘kaum proletariat tak sanggup memanifestasikan diri dalam bentuk apapun selain dari menjadi borjuis rendahan baru yang tak jelas posisinya dan tak memiliki sebuah tujuan historis yang nyata.’
Perjuangan kelas yang harusnya meletakkan fondasi bagi sebuah negara proletarian, ‘terpencar-pencar dalam berbagai aksi yang terfragmentasi dan tindakan-tindakan merusak’, sehingga menjadikan kaum borjuis rendahan yang terpencar-pencar dan berserakan bisa memulihkan diri dan mengorganisir diri kembali. Dan sekarang, kaum borjuis ‘yang telah melihat bahwa perjuangan kelas tak sanggup berkembang dan muncul, sekali lagi menyangkal keberadaannya, sekali lagi menyebarluaskan pandangan bahwa perjuangan kelas tak lebih dari kejahatan, barbarisme dan ketamakan yang menumpahkan banyak darah.’ Bukan hanya itu, penghakiman yang sederhana oleh kaum borjuis ini dibarengi dengan sebuah reaksi, yaitu pertahanan bersenjata kaum borjuis. Ini aneh karena justru ketika mereka menyangkal eksistensi dari perjuangan kelas, mereka malah menantang munculnya perjuangan kelas sebagai sebuah jawaban atas problem-problem yang belum lagi dimulai oleh kaum proletariat. ‘Reaksi ini, sebagai sebuah psikologi yang kacau, merupakan buah dari ketiadaan pemahaman. Elemen-elemen dari psikologi ini ialah rasa takut yang sangat dan kebejatan moral yang paling dasariah.’ Kaum borjuis membuat kaum proletariat harus membayar mahal atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan kaum proletariat itu sendiri, kelemahan yang ditunjukkanya karena rasa takut, tak tegas, dan kepengecutannya entah besar atau kecil. Smentara, kaum borjuis sendiri tak pernah terbelah, tak pernah menunjukkan rasa takut dalam menyerang, dalam bereaksi terhadap serangan-serangan yang dilancarkan terhadap dirinya. Kaum proletariat sebenarnya juga bisa belajar untuk menggunakan persenjataan yang sama, untuk menjadi tegas dan bersatu. ‘Ya, slogan kita terhadap manusia-manusia ini, terhadap sistem-sistem ini, terhadap kepengecutan moral ini, terhadap banjir kebebalan dan sikap kompromi yang memuakkan ini, terhadap pertunjukan kebodohan yang sangat mandul ini, terhadap elemen-elemen keruntuhan dan kehancuran ini, ya, slogan kita ialah: “hancurkan”.’
Revolusi atau reaksi, tak ada jalan untuk lari dari dilema historis yang tragis ini. Kaum borjuis, menurut Gramsci, memiliki kekuatan yang memadai untuk memberikan sebuah solusi terhadap kelas buruh. Kelas buruh sendiri tak tahu bagaimana merebut kekuasaan dan menggulingkan musuh-musuhnya, maupun untuk terus tabah menghadapi konsekuensi-konsekuensi tragis dari ketidaktegasannya, dari kelemahannya. ‘Fase perjuangan kelas yang sekarang di Italia,’ tulis Gramsci dalam semangat profetik dalam L’Ordine Nuovo pada tanggal 8 Mei 1920, ‘merupakan fase awal: baik bagi tindakan pengambilalihan kekuasaan politik di pihak kaum proletariat revolusioner dalam rangka untuk menciptakan perubahan dalam cara-cara berproduksi dan distribusi yang baru yang akan memungkinkan dipulihkannya produktivitas; atau bagi tindakan reaksioner yang luar biasa di pihak kelas yang memiliki hak milik dan kasta yang berkuasa.’
Namun, kemudian perjuangan politik di Italia menjadi memburuk. Fasisme, yang didukung oleh para tuan tanah, oleh ‘kasta yang berkuasa,’ dan oleh kekuatan-kekuatan penjaga ketertiban, menyebar luas, dan dari Po Valley, sedikit demi sedikit, fasisme menaklukkan seluruh Italia. Tahun 1921 merupakan sebuah tahun yang krusial. Sementara, setelah keberhasilan pendudukan pabrik-pabrik pada bulan September tahun sebelumnya, kaum proletariat menjadi tak tahu bagaimana harus bereaksi, bagaimana mengorganisir diri, dan bagaimana menjawab kekerasan tersebut. Serikat buruh dan para pemimpin politik dari kelas buruh telah memutuskan untuk menyerah dan tidak melanjutkan perjuangan. Inilah yang menyebabkan perpecahan di tubuh Partai Sosialis Italia di Leghorn pada bulan Januari 1921, dan yang menjadikan pembentukan Partai Komunis Italia menjadi perlu. Setelah perpecahan itu, para pemimpin politik dan serikat buruh sosialis sekali lagi merasa cenderung bergeser ke kanan, untuk ‘membela diri mereka’ dari musuh-musuhnya di kiri, untuk menyerang bekas kamerad-kameradnya di masa lalu dalam kolom-kolom koran-koran mereka. ‘Baldesi1 memandang semua ini sebagai “problem-problem moral.” Fasisme bagi Stenterello merupakan sebuah problem moral. G.M. Serrati2 mungkin harus memberinya pamflet yang agak murahan berisi propaganda dasar, sehingga Stenterello bisa belajar bahwa dalam perjuangan kelas, satu-satunya problem “moral” ialah kemenangan kelas.’
Fasisme kemudian naik ke tahta kekuasaan, dan setelah beberapa bulan, fasisme menghapuskan sekecil apapun kehidupan konstitusional dan membangun sebuah kediktatoran. Perjuangan politik pada tahun 1921 dan pada tahun 1922 telah memaksa Gramsci dan kaum komunis untuk mendebat secara keras Partai Sosialis, namun waktu telah berubah. Pilihan-pilihan baru, aliansi-aliansi baru merupakan keniscayaan. Salah satu garis yang harus diperjuangkan (seperti yang dimuat dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Gramsci kepada Scoccimarro dan kepada Togliatti pada tahun 1924) ialah ‘perjuangan menentang aristokrasi buruh, yaitu kaum reformis.’
Analisis terhadap kelas dan perjuangan kelas dalam karya Prison Notebooks tidak terlalu terdefinisikan secara jelas, bahkan dalam pemilihan katanya, sebagaimana halnya dalam kasus pemilihan kata kelompok sosial sebagai ganti dari kata kelas. Namun, dan hal ini cukup tepat dan bisa dipahami, tulisan-tulisan dalam Notebooks lebih luas dan lebih ‘umum’, dan karena itu bernilai penting sebagai bahan refleksi. Dalam Il Risorgimento, misalnya, kita menemukan beberapa konsep fundamental. ‘Supremasi dari sebuah kelompok sosial ditunjukkan dalam dua cara, yaitu dalam bentuk “dominasi” dan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Sebuah kelompok sosial mendominasi musuh-musuhnya ketika dia cenderung “melenyapkan” atau menaklukkan musuh-musuhnya dengan berbagai cara termasuk dengan penggunaan kekuatan bersenjata, dan kelompok sosial itu menjadi pemimpin dari kelompok-kelompok yang bersekutu dan memiliki hubungan dengannya. Sebuah kelompok sosial bisa dan harus memimpin sebelum bisa merebut kekuasaan pemerintahan. (Bahkan, ini merupakan salah satu dari prasyarat esensial bagi pengambilalihan kekuasaan.) Setelah itu, saat kelompok sosial menjalankan kekuasaannya dan bahkan saat kelompok sosial itu menjalankan kekuasaannya secara ketat, kelompok itu harus mendominasi sekaligus tetap menjalankan kepemimpinannya. Itulah mengapa kaum moderat bisa terus memimpin Partizio d’Azione bahkan setelah tahun 1870.’
Karena itu, sebuah kelas harus menjalankan fungsi hegemonik bahkan sebelum pengambilalihan kekuasaan karena ‘adalah perlu untuk tidak hanya bergantung pada kekuatan material dari kekuasaan untuk bisa menjalankan sebuah kepemimpinan yang efektif’. Sementara kelas-kelas ‘yang berkuasa’ bersatu dalam Negara, kelas-kelas ‘yang tersubordinat’ tak akan menyatu dan tak akan bisa menyatu jika mereka tidak menguasai Negara dan mengambilalih kekuasaan. Sebelum pengambialihan itu berlangsung, mereka akan selalu tunduk pada prakarsa kelompok-kelompok dominan, bahkan dalam momen-momen pemberontakan, revolusi, perlawanan. ‘Hanya sebuah kemenangan “yang permanen” yang bisa menghancurkan subordinasi mereka, dan bahkan penghancuran itu pun tak bisa berlangsung dengan cepat.’
Gramsci juga membahas secara mendalam problem hegemoni dalam Passato a presente. Kelas-kelas yang tersubordinat, kata Gramsci, harus memiliki kesadaran akan eksistensi mereka dan akan kekuatan mereka sendiri. Namun, mereka akan berhasil memiliki kesadaran tersebut sejauh mereka sanggup mengamati dan mengevaluasi eksistensi dan kekuatan kelas yang mendominasi. ‘Kelas yang lebih rendah, yang secara historis bersifat defensif, hanya bisa menjadi sadar akan dirinya melalui negasi-negasi, melalui kesadaran akan kepribadian dan batas-batas kelas dari musuh mereka. Namun proses ini masih baru pada tahap awal, paling tidak pada skala nasional.’ Konsep kelas selalu kurang lebih terkait dengan konsep Negara, sebagaimana juga konsep perjuangan antar kelas terkait dengan konsep pengambilalihan kekuasaan. ‘Konsep-konsep revolusi dan internasionalisme, dalam artian modern dari kata tersebut, berhubungan dengan konsepsi Negara dan kelas. Pemahaman yang tidak memadai terhadap konsep Negara akan berarti lahirnya kesadaran kelas yang tak memadai pula. Dan pemahaman terhadap apa itu Negara harus ada bukan hanya ketika seseorang membelanya, namun juga ketika seseorang menyerangnya dengan tujuan untuk menggulingkannya.’
Dan sekali lagi, dalam Note sul Machiavelli, kita menemukan sebuah analisis yang tajam dan dramatis terhadap perjuangan kelas seperti yang berlangsung di Italia selama tahun-tahun dimana fasisme berhasil merebut kekuasaan. Kelas buruh, menurut Gramsci, memiliki metode-metode perjuangannya sendiri dan tidak bisa meniru begitu saja metode-metode kelas menengah. Merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal jika berpandangan bahwa adalah mungkin untuk menggunakan satu bentuk cara ilegal untuk berjuang melawan pihak musuh dan jika membayangkan secara keliru bahwa Negara akan berada di luar pertarungan antar-kelas dalam jangka waktu yang lama. Negara akan cenderung mengambil posisi dalam kerangka hukum yang ada selama mungkin, bahkan meski itu berarti dia melestarikan fungsi dominan dari kelas yang memegang kekuasaan. ‘Elemen lain harus mempertimbangkan hal ini: dalam perjuangan politik, adalah tidak mungkin untuk menirukan metode-metode perjuangan dari kelas-kelas yang dominan tanpa beresiko dengan mudah jatuh ke dalam sergapan musuh. Dalam gerak perjuangan kelas saat ini, fenomena ini sering terjadi. Organisasi Negara yang melemah tak ubahnya seperti tentara yang melemah. Arditi, yaitu organisasi-organisasi bersenjata partikelir, kemudian masuk ke arena dengan dua tugas: yaitu menggunakan cara-cara ilegal di saat Negara masih berada dalam batas-batas legalitas yang ada, dan untuk menggunakan cara-cara itu untuk mereorganisasi Negara. Adalah bodoh untuk mempercayai bahwa orang bisa menentang aktivitas ilegal dengan aktivitas yang serupa lainnya, yaitu melawan terorisme dengan terorisme. Hal ini sama artinya dengan percaya bahwa Negara akan terus-menerus bersifat diam saja dan bersifat netral. Hal itu tak akan pernah ada dalam kenyataan. Kodrat kelas itu sendirilah yang menimbulkan sebuah perbedaan fundamental: sebuah kelas yang harus bekerja secara reguler setiap hari tak akan bisa memiliki organisasi-organisasi penyerangan yang permanen dan terspesialisasi sebagaimana yang sanggup dilakukan oleh sebuah kelas yang memiliki aset-aset keuangan yang besar dan yang anggota-anggotanya tidak terikat dengan sebuah pekerjaan reguler.’3
Dalam karya Gramsci, terdapat sejumlah besar paragraf-paragraf yang membahas mengenai kelas dan perjuangan kelas. Banyak dari paragraf-paragraf itu yang hanya bisa sepenuhnya dipahami dalam relasinya dengan tema-tema dan problem-problem lain yang akan kita bahas kelak. Tema tentang kelas dan perjuangan kelas itu menarik perhatian Gramsci selama periode dimana terjadi kebingungan ideologis dan intrik-intrik politik yang berupaya untuk atau telah berhasil dalam mengarahkan kelas buruh ke jalur yang salah, untuk menjauh dari perjuangan yang bersifat revolusioner, untuk menjinakkan kekuatannya dan energi-energinya, untuk memecah dan menghancurkan kohesivitasnya, untuk menghancurkan kesadarannya sebagai sebuah kelas yang akan menjadi tuan di masa depan. Kesadaran kelas ini tak pernah lenyap dari Gramsci, entah dalam artikel-artikel awalnya, dalam surat-suratnya, dalam catatan-catatan penjaranya, atau dalam perjuangan politik sehari-hari. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam laporan mengenai pandangannya dalam Dewan Perwakilan pada tahun 1925: ‘Kami yakin bahwa kami mewakili mayoritas penduduk, bahwa kami mewakili kepentingan-kepentingan utama dari mayoritas masyarakat Italia. Karena itu, kekerasan kaum proletarian bersifat progresif dan tak bisa sistematis. Kekerasan Anda-lah yang bersifat sistematis dan sewenang-wenang secara sistematis karena Anda mewakili sebuah minoritas yang ditakdirkan untuk lenyap.’ Tentu saja, yang dimaksud dengan Anda di sini ialah wakil kaum borjuis dan fasis yang duduk dalam Dewan tersebut.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.