Jumat, 30 Januari 2009

TIDAK ADA YANG ABADI

LELAKI itu sering mengenakan baju tentara. Sebagian rambutnya telah memutih. Alisnya tebal. Kumisnya hampir menutupi bibir atas. Wajahnya tegar dan tirus. Guratan dan kerutan di wajahnya menandakan umurnya tidak muda lagi. 13 Agustus 2008 lalu adalah ulang tahunnya ke-82.
Nama lengkapnya Fidel Alejandro Castro Ruz atau lebih dikenal dengan Fidel Castro. Fidel Castro lahir tahun 1926 dari kalangan keluarga petani tebu yang kaya. Castro muda beralih ke politik revolusioner.

Pada 1959, lelaki yang lahir di Biran, Kuba Timur, itu memimpin 800 personel. Mengalahkan 30 ribu prajurit diktator Fulgencio Batista. Setelah melancarkan gerilya, dia menduduki Havana, mengusir Batista, lalu menjadi legenda. Pemberontakan itu didukung Amerika. Belakangan Fidel Castro menyatakan pemberontakan itu sebagai kemenangan komunisme.

Amerika yang merasa tertipu melakukan berbagai upaya untuk menjatuhkan Fidel Castro diantaranya: Embargo ekonomi dan rencana pembunuhan yang diorganisir oleh CIA. Semuanya gagal. Tampuk kekuasaan Fidel Castro tetap berjalan.

Pertengahan April 2003, Oliver Stone berkunjung ke Kuba dalam rangka membuat film dokumenter berjudul Looking For Fidel. Ia adalah sutradara kontroversial. Tiga pekan sebelum Pemilu Amerika Serikat yang dimenangkan Barack Obama, ia meluncurkan film berjudul W.

Film W menelusuri transformasi Bush dari seorang bocah istimewa yang suka minum-minuman menjadi relijius. Peningkatan kariernya dari Gubernur Texas hingga menjadi seorang presiden. Juga keputusannya beberapa pekan sebelum invasi Irak pada 2003. Cerita itu diambil dari buku yang ditulis oleh “orang dalam” yang pernah bekerja di Gedung Putih.

Looking For Fidel dirilis pada tahun 2004. Film itu dimulai dengan gambar Fidel Castro yang berpidato seraya mengacungkan jarinya ke atas, terpampang di sebuah papan reklame. Di bagian kiri papan itu tertulis--Intimidar Al Pueblo Es Imposible--yang artinya--tidak mungkin mengintimidasi orang-orang. Tulisan itu ditujukan pada Amerika.

Lalu, Fidel Castro muncul dan berujar kepada Oliver Stone, “aku menyadari bahwa takdirku yang sebenarnya adalah perang yang akan kulakukan melawan Amerika Serikat. Sayangnya hal itu sudah diramalkan.”

Hari itu, Oliver Stone mengenakan kemeja biru dibalut jas abu-abu. Dasi merah menjuntai menutupi kancing bajunya. Ia duduk berhadapan dengan Castro di sebuah ruangan. Sebelum percakapan diantara mereka dimulai. Dalam film itu, Oliver Stone menampilkan para oposan yang tidak setuju dengan pemerintahan Castro.

“Situasi pemberontak di Kuba saat ini sangat sulit. Karena kami terus menerus dibawah belas kasihan pemerintah kuba. Pemerintah kesatuan tidak boleh mengadakan perlawanan. Berkali-kali pemerintah Kuba berkata “Negara dalam bahaya” untuk membenarkan ketidakadilan terhadap rakyat,” ungkap beberapa oposan itu.

Kemudian, Oliver Stone membuka percakapannya dengan Castro. “Emosi memuncak. Amerika menduduki Irak. Tiba-tiba, setelah bertahun-tahun terlihat sepi. Ada ledakan aksi teroris yang oleh Amerika disebut pembajakan di Kuba. Ada 3 kejadian yang dilaporkan terjadi dalam waktu dua minggu. Dua kapal terbang, satu kapal laut.”

“Hampir sembilan tahun tidak terjadi sekalipun pembajakan. Lalu, dua jam sebelum permulaan perang di Irak dengan enam buah pisau terhunus ke leher mereka membajak pesawat. Itu berita yang kami dapatkan tentang enam orang tersisa,” Castro menanggapi.

Castro mengungkapkan bahwa pesawat ke dua dibajak tanggal 31 April. Tapi sebelum itu, telah tersebar berita bahwa seorang hakim di Miami telah setuju untuk membebaskan dengan tebusan ke enam pembajak pesawat pertama. Lalu menyusul, 24 jam kemudian pembajakan perahu penumpang di Havana, sampai detik terakhir mereka menyandera dua orang turis dengan pistol menempel ke kepala mereka.

“Ada persidangan tujuh hari yang cepat dimana mereka dinyatakan bersalah. Dan kabar yang kuterima 3 orang di antara mereka ditembak di hari ke-8,” tanya Oliver Stone sambil melemparkan pandangannya kearah Castro.
“Ya, kau benar,” jawab Castro singkat.

Oliver Stone mengungkapkan, dalam batas hukum internasional sangat jarang didapati tersangka ditembak segera setelah pengadilan secepat itu tanpa naik banding. Di Amerika sejahat apapun seseorang, ada proses panjang yang harus dilalui, proses naik banding. Orang tersebut bisa bertemu anggota keluarganya.

“Berapa kali kunjungan yang diberikan kepada hampir 800 orang yang dikurung di penjara khusus di pangkalan Guantanamo. Sudah hampir dua tahun mereka di sana. Dan tak satupun di antara mereka yang dikunjungi anggota keluarga mereka,” Castro balik bertanya.

Oliver terdiam sejenak.

Castro menjelaskan mengapa ketiga pembajak dihukum mati secepat itu. Ketiga pembajak itu bukanlah orang-orang yang berhubungan dengan masalah politik di Kuba. Mereka adalah orang-orang yang telah banyak melakukan kejahatan. Kepala pembajak kapal ferry pernah 28 kali diberi peringatan karena mengganggu turis asing.

“Menggangu turis?” Oliver Stone memotong penjelasan Castro.
“Mengikuti turis. Mengharapkan uang. Orang ke dua telah lima kali mencoba pelanggaran umum dan empat kali dihukum karenanya. Orang ke tiga telah mencoba dalam tujuh kasus termasuk salah satunya menyerang seorang pekerja bangunan dengan pisau. Akibatnya korban tewas. Mereka semua mempunyai catatan kriminal dan tidak ada hubungannya dengan pemberontak,” Castro melanjutkan penjelasannya.

Percakapan mereka berlanjut pada agen rahasia Kuba. Oliver Stone sering mendengar agen rahasia Kuba sangat hebat. Merupakan salah satu agen terbaik, seperti Mossad di Israel. Namun, mengapa masih ada aksi-aksi kejahatan di Kuba. Castro tidak setuju agen rahasia Kuba disamakan dengan Mossad.

“Mossad membunuh. Kuba tidak membunuh. Kukira CIA punya agen yang lebih baik dari Kuba dan mereka tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi pada menara kembar” ungkap Castro.

MENURUT penulis, film dokumenter garapan Oliver Stone ini cukup berimbang. Selain menggambarkan keberhasilan-keberhasilan Fidel Castro juga menampilkan komentar para oposan yang tidak nyaman dengan kepemimpinannya.

“Menurut laporan ini, pemerintah menggeledah 95 rumah pemberontak? Wartawan independen, pemilik perpustakaan independen, mengancam mereka, mengobrak-abrik rumah mereka 75—95 orang ditangkap, dan dihukum 15—17 tahun penjara,” tanya Oliver Stone sambil melihat dokumen-dokumen yang tertera di kertas.

“Itu yang kau dengar. Dari mana kau membacanya?” Castro balik bertanya.
“Aku baca di suatu tempat. Ada di internet. Di Eropa. Di Amerika.”

Akan tetapi, laporan-laporan itu menurut Castro, tidak mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang menerima sejumlah uang dari Amerika Serikat untuk melawan revolusi. Lalu Fidel Castro mengambil sebuah kertas dan mengatakan, pada tahun 2002 satu agen pemerintah Amerika mengirim uang US $ 2.240.709, agen itu bernama USAID. Ada lagi agen-agen Amerika lainnya yang mengirimkan uang melalui jalur lainnya.

Fidel Castro berhasil memimpin Kuba, meskipun diterpa embargo ekonomi dan ancaman pembunuhan yang dilancarkan Amerika Serikat, di antaranya:

Keberhasilah di bidang pendidikan
Dalam pidatonya, Fidel Castro mengungkapkan bahwa pendidikan dari pra-sekolah sampai lulus doktor tanpa membayar satu sen pun. Sebenarnya, kebijakan memajukan pendidikan di Kuba telah dicanangkan sebelum rejim Castro berkuasa. Pada 26 Juli 1953, Castro menyatakan ada enam problem yang harus sesegera mungkin diselesaikan secara bertahap yakni, masalah tanah, industrialisasi, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan.
Pada September 1960, di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Fidel Castro menyatakan bahwa 1 Januari 1961 akan dicanangkan kampanye besar-besaran dalam memberantas buta huruf. Tahun itu juga ditetapkan sebagai Tahun Pendidikan--The Year of Education.

Menurut Coen Husein Pontoh, salah satu aktivis PRD yang pernah ditahan oleh rejim Orde Baru, saat ini ia menetap di Amerika, mengukapkan bahwa sejak saat itu, dimulailah mobilisasi dan perencaan pembangunan sektor pendidikan. Para relawan yang diterjunkan ke lapangan membawa buku petunjuk dan bendera Kuba. “The people should teach the people” itulah slogan yang mereka kumandangkan untuk membrantas buta huruf. Di kantor-kantor, di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dan pabrik-pabrik juga dikumandangkan slogan, “If you know, teach; if you don’t know, learn.”

Sementara di radio dan televisi nasional, setiap saat diumumkan bahwa “Every Cuban a teacher; every house a school.” Di organisasi-organisasi massa, dipropagandakan kepada seluruh anggotanya bahwa penyair menulis puisi, artis melukis gambar dan mendesain poster, penulis lagu menulis lagu, pers memuat berita utama tentang kemajuan dan para fotografer berpartisipasi dalam kampanye melalui gambar. Seluruh bangsa turut berperan serta dalam gerakan revolusioner besar-besaran dalam bidang kebudayaan: penghapusan buta huruf.

Hasilnya, belum genap enam bulan seorang warga Kuba melayangkan sebuah surat pendek:

Kepada yang terhormat,
Perdana Menteri DR. Fidel Castro.
Saya menulis sedikit catatan kepada Anda, untuk menyatakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menulis atau membaca. Terima kasih kepada Anda, yang telah merealisasikan rencana melek huruf ke dalam praktek. Saya juga berterima kasih kepada para guru yang telah mengajari saya, sehingga membuat saya bisa membaca dan menulis. Saya adalah seorang miliciano dan saya bekerja di koperasi Rogelio Perea. Saya sangat senang jika Anda mau berkunjung ke koperasi ini.

Viva la revolucion socialista
Patria o Muerte
Venceremos
Salam,
Felix D. Pereira Hernandez

Surat yang ditulis Hernandez ini, adalah salah satu bentuk penghargaan rakyat Kuba terhadap Fidel Castro, atas kepemimpinannya dalam memajukan dunia pendidikan di Kuba. Sebagaimana ditulis Leo Huberman dan Paul Sweezy dalam buku mereka yang berjdul Socialism in Cuba, pendidikan di Kuba adalah salah satu contoh tersukses rejim Sosialis.

Lebih lanjut Coen mengungkapkan bahwa di negeri yang terkenal karena produk cerutunya itu, tingkat melek huruf penduduknya sangat tinggi, 97 persen dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97, 2 persen, sedangkan perempuan mencapai 96,9 persen.
Saat ini, Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif.

Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas selama masa karirnya. Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka saling mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tua, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan.

Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik seseorang, peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, dimana pendidikan sekaligus bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.

Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago seperti yang ditulis oleh Coen Husien Pontoh, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.

Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional.

Pada 2005, Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba mengungkapkan “everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree”. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.

Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All”. Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university.”
Melalui program ini seluruh rakyat Kuba meliputi tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau belum memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerja sama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi.

Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat.

Demikianlah, sejak program ini on-air pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.

Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin.

Keberhasilan di bidang kesehatan

Dalam pidatonya Fidel Castro mengungkapkan bahwa daerah timur yang merupakan daerah yang paling miskin dan terjepit. Sebelum dan sesudah kemenangan revolusi. Sebelumnya, kematian bayi lebih dari seratus bayi per seribu kelahiran. Sekarang 5,9 persen lebih sedikit dari Amerika Serikat.
Fasilitas kesehatan yang sebelumnya 46 sekarang menjadi 4006. Setiap anak di Kuba, terlepas dari pendapatan orang tuanya atau warna kulitnya dijamin mendapat pelayanan medis berkualitas tinggi yang sekarang semakin baik, dari lahir sampai meninggal.

Menurut Coen Husien Pontoh jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela.

Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat.

Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005.

Itulah keberhasilan-keberhasilan Fidel Castro selama memimpin rakyat Kuba. Sangat berbeda ketika dibandingkan dengan sebuah negara yang bernama Indonesia. Anda pasti sudah paham bagaimana pendidikan dan fasilitas kesehatan di Indonesia, meskipun tidak dijelaskan dalam tulisan ini bukan?

Pertengahan 2006, Castro jatuh sakit. Sejak itu ia tidak pernah tampil didepan umum. Tak ada yang abadi. Begitu juga penguasa Kuba, Fidel Castro dan kekuasaannya. Pada bulan Februari 2008 dia tak mau lagi dipilih sebagai Presiden Kuba pada sidang Majelis Nasional. Berita itu dirilis lewat situs berita resmi milik Partai Komunis Kuba, Digital Granma Internacional. “Saya tak akan menerima posisi sebagai Presiden Dewan Negara dan Panglima Militer.” Tampuk kekuasaannya digantikan oleh Raul Castro, adik kandung Fidel Castro.

Read more...

MENUNGGU BIMA PULANG

Dionyus Utomo Rahardjo, akrab dipanggil Tomo atau Pak Tomo. Rumahnya berada di tengah kota Malang, tidak jauh dari stasiun kereta api. Ia pernah menjabat sebagai ketua Rukun Tetangga. Warga sekitar mengenalnya dengan baik.

Suatu hari, Tomo dan Misiati berdiskusi panjang lebar dengan anaknya di sudut ruangan tamu. Saling menimpali satu sama lain. Misiati yang tidak tahu banyak aktivitas anaknya hanya mengingatkan agar kuliahnya tidak putus di tengah jalan. Tomo cemas dengan keselamatan anaknya. Namun Bima tetap pada pendiriannya.

“Yang kamu hadapi adalah tembok beton yang kerangkanya terbuat dari baja, apakah kamu mampu?” Sebuah penggambaran Tomo akan rejim Orde Baru yang begitu kokoh.

“Paling tidak akulah yang menabraknya,” jawab Bima
“Berapa temanmu?”
“Antara 30--50 orang.”

Tomo masih terus berfikir, bayangan menakutkan 4 B terlintas difikirannya. Buru, Bui, Buang, atau Bunuh. Ke empat hal yang selalu memburu para aktifis penentang Orde Baru. Bima adalah bagian dari ketakutan itu. Dan akan lebih menyedihkan dibandingkan dengan aksi-aksi sebelumnya yang pernah ia lakukan, hingga sempat membuat namanya mencuat.
Masih begitu jelas diingatan Tomo, saat gambar Bima dimuat Surabaya Pos dengan kepalanya yang bocor. Tomo melihat gambar anaknya dalam koran dengan perasaan haru. Ada sebuah kebanggaan disana. Melalui adik Bima, Tomo mengirimkan uang dan sebuah pesan yang ditulisnya di atas kertas karton “maju terus pantang mundur.”
Saat itu Bima sebagai anggota SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dan juga Komite Pimpinan Kota PRD (Partai Rakyat Demokratik) sedang melakukan aksi mogok makan bersama rekan-rekannya di depan gedung DPRD Surabaya. Kemudian sebuah organisasi yang tidak dikenal datang dan membubarkan aksi mereka. Bima terluka serius dan sempat dirawat di RS Adi Husada.

SMID berdiri sejak tahun 1992, tapi baru dideklarsikan secara terbuka pada 3 Agustus 1994. Tuntutan utamanya adalah menciptakan masyarakat sipil yang demokratik dan berwatak kerakyatan. SMID aktif dalam memperjuangkan hak-hak politik mahasiswa seperti Dewan Mahasiwa, kebebasan akademis, anti-komersialisasi pendidikan dan meliterisme di kampus.

Dari aktivitas politik kampus, SMID memperjuangkan kaum tertindas yaitu kaum buruh dan tani. Mereka juga menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang membungkam kebebasan orang untuk berpendapat dan berorganisasi.

Sedangkan PRD yang berafiliasi dengan Pusat perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER), dan SMID. Bersama-sama melawan rezim totaliter Suharto
Pada 1997 bima mendengar rekan-rekannya di PRD pusat tertangkap mereka adalah Budiman, Wilson, dan Jati. Akhirnya Bima memutusakan untuk pergi ke Jakarta. Setelah melewati diskusi selama empat jam, akhirnya Tomo dan Misiati melepas Bima pergi.

“Jika itu baik dan benar, bukan hanya untuk dirimu sendiri tapi juga untuk orang lain, orang-orang yang tertindas, tergusur dan teraniaya, maka berangkatlah.”

“Berangkatlah dan sekecil apapun imanmu asalkan jernih, maka kamu akan diselamatkan Tuhan.”

Bima meninggalkan kuliahnya yang sudah semester tujuh di jurusan komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

“Kuliah tak harus di bangku kuliah. Saya bisa belajar dari buruh, petani, dan orang-orang di perkampungan kumuh,” kata Bima kepada bapaknya.
Sesampainya di Jakarta Bima tidak berhenti kuliah. Dia melanjutkan kuliah di STFT Driyakarya. Tempat tinggalnya pun selalu berpindah-pindah, hanya terkadang dia memberi kabar melalui pejer milik saudaranya yang ada di Jakarta. Bima tidak pernah mengatakan dengan jelas posisinya di Jakarta, ia hanya selalu mengabarkan bahwa keadaannya baik-baik saja.

Maret 1997, Bima tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Bima mendekam di penjara selama dua bual karena terlibat pengorganisasiaan massa Megawati dan partai Islam, Partai Persatuan Pembangunan. Salah satu pengorganisasian PRD yaitu membuat satu platform bersama untuk menggerakkan kekuatan demokratik yang ada, salah satunya adalah penyatuan massa Megawati dan partai Islam. Mereka menemukan platform perjuangan yang sama, yaitu kecewa pada pemerintahan Soeharto. PRD menyatukan mereka dalam sebuah front perjuangan bersama, yakni Mega-Bintang-Rakyat. Dalam penjara, Bima pun menulis sebuah surat panjang untuk sahabatnya

“.……Benar adanya, yang kamu tulis itu, sobatku. Bahwa kita melakukan tugas masing-masing karena kita MENCINTAI HIDUP! Aku sepakat. Tapi mungkin ada sesuatu yang kurang, akan lebih gamblang bila kau gambarkan hidup seperti permainan “scrabble”(yang dulu sering kita mainkan bersama kawan-kawan).” Ujar Bima dalam suratnya

Lalu ia menjelaskan di dalam suratnya: “Dalam “scrabble” berapapun permainannya selalu ada awalan dan akhiranya. Si pemain tidak bisa memaksakan permainan harus terus berjalan, bila kotak sudah penuh dan poin abjadnya sudah habis. Permainan harus selesai dan mulailah dari awal, begitu seterusnya. Seperti kita dulu, ada seorang pemain yang harus kita akui kehebatannya dalam bermain, strategi, dan taktiknya jitu. Tapi kita tidak boleh langsung menyerah dan gentar menghadapinya. Keep on fight, main terus! Kalah atau menang itu tergantung usaha kita sendiri. Tidak jarang kita kalah dalam permainan itu. Kalaupun berhenti di tengah permainan, biasanya ada urusan yang penting dan gawat. Seingat ku, dulu kita tidak pernah menyerah meski terkena “gertak” dari pemain yang lebih jago. Karena, si pemain yang terhenti di tengah jalan karena silau dengan kekuatan musuh dan tak percaya dengan kekuatannya sendiri, itulah pecundang yang sesungguhnya.

Dalam suatu pertandingan semua punya tujuan yang sama yaitu menang. Bisa saja seorang pemain kalah (ketika ingin mencapai kemenangan) tapi dia sudah berusaha dan menghadapi lawan dengan keyakinannya. Satu kali kalah belum berarti selesai menjadi pemain, masih ada hari lain, dan permainan yang lain. Hari ini kalah besok harus menang, artinya harus lebih punya kekuatan, disiplin, cerdas dalam srategi dan taktik. Kemenangan bukan suatu impian jika syarat untuk menang dan mencapai kemenangan telah dimiliki…….”

Tomo dan Misiati tidak tahu kalau Bima dipenjara. Mereka mengetahui peristiwa itu setelah Bima dibebaskan.

MARET 1998, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugrah, dan Nezar Patria bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996, SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup mereka berubah. Mereka diburu aparat keamanan Orde Baru.

Mereka bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyamar sebagai pedagang buku atau lainnya. 13 Maret 1998 petualangan bawah tanah mereka terhenti. Sekitar pukul tujuh malam, Nezar baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Mengikuti rapat mahasiswa. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, Nezar menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima berpesan pulang agak larut.

Dari arah pintu rumah terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Nezar kaget lalu melongok ke arah jendela. Mereka berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah “tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai penutup wajah digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas.

“Mau mencari siapa?” tanya Nezar
“Tak usah tanya, ikut saja,” bentak seorang lelaki.
“Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit Nezar. Mereka digiring menuruni tangga. Nezar agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran Nezar bicara: saya diculik!

Di dalam mobil, mata Nezar ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala Nezar dengan kain. Ia juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan.
Dompet Nezar diperiksa. Mereka mendapat KTP dengan nama asli
“Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka.
Mata Aan dan Nezar masih tertutup rapat saat digiring masuk ke sebuah ruangan. Pendingin

Udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Nezar didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Darah mengucur dari bibir.

Setelah itu, Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi.

“Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang.

Nezar tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekatinya. Lalu, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!” Nezar berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal. Ia sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Ia merasa sangat lelah. Lalu terlelap.

Tiba-tiba Nezar mendengar suara alarm memekakkan telinga. Ia tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Ia juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia diculik sejam setelah ia dan Aan ditangkap. Hati Nezar berdebar mendengar Mugiyanto dihajar bertubi-tubi.
Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul mereka terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak mereka dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas Nezar berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional.
Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis Nezar

“Sudah siap mati?” bisik si penculik.
Nezar terdiam
“Sana, berdoa!”

Kerongkongan Nezar tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidupnya akan berakhir di situ. Ia pasrah dan berdoa agar jalan kematian tak begitu menyakitkan. Tapi eksekusi itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantaunya di mana saja.
Akhirnya Nezar, Aan, dan Mugiyanto dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana mereka bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt.

Sepekan kemudian, Andi Arief diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat rahasia, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya.

Mugiyanto, Aan Rusdianto, dan Nezar Patria, selain satu organisasi dengan Bima. Mereka bertiga adalah satu kontrakan. Namun, setelah peristiwa penculikan yang dialami oleh mereka. Tak satu pun yang tahu keberadaan Bima. Kapan dan oleh siapa ia diambil.

Mengapa ia tidak dikembalikan seperti kawan-kawannya lainnya?
Seperti dimuat sindikasi Pantau, 12 Desember 2007, “Bima pribadi yang berani, teguh dan disiplin dalam usaha merealisasikan idealismenya. Aku yakin betul karena semua itulah dia tidak dikembalikan oleh penculiknya,” kata Mugi panggilan akrab Mugiyanto, kini menjabat sebagai ketua IKOHI. Kantornya berada di kawasan Menteng Jakarta Selatan.

Jakarta 19 September 1998. Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati, said Alkatiri, Hj. Marufah, Eva Arnaz, Yuniarsih, serta Paian Siahaan dengan dorongan Munir mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia disingkat menjadi IKOHI. Disaksikan oleh Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, pada waktu itu.

Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati kehilangan Petrus Bima Anugerah, Said Alkatiri kehilangan Noval Alkatiri, Hj. Marufah kehilangan Faisol Riza, Eva Arnaz kehilangan suaminya Dedy Hamdun, Yuniarsih kehilangan putranya Herman Hendrawan, serta Paian Siahaan kehilangan putranya Ucok Siahaan.

Sejak didirikan IKOHI 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002. Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati beserta kawan-kawannya yang lain terus berjuang menuntut keadilan.
IKOHI mengantongi misi untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi bagi korban serta menggalang solidaritas antara korban pelanggaran HAM. Dari sana mereka meminta pertolongan kepada segenap instansi walaupun tidak ada satu pun yang merespon. Respon yang didapat adalah dari komnas HAM yang hanya akan menyampaikan rekomendasi dari berita acara kehilangan dari rumah-rumah kepada pemerintah. Baik itu Kejaksaan, Presiden, dan DPR.

“Kami tidak berharap lebih pada apa yang diperjuangkan komnas HAM,” ujar Tomo.

Mengingat mereka tidak akan menerima rekomendasi kasus pelanggaran HAM yang bagi mereka bukan merupakan pelanggarn HAM berat. Harapan pada pemerintah negeri ini pun terhenti sampai disitu. Dan pada akhir September Tomo diundang ke konfrensi PBB di Jenewa Swiss bersama Mugiyanto dan Bambang Wijayanto. Lagi-lagi harapan tipis sekali. Tomo menyapaikan kepada peserta konfrensi untuk datang ke Indonesia. Namun mereka menjawab, “selama Negara anda tidak mengundang kami, maka kami tidak akan bisa datang.”

“Sedangkan itu tidak akan mungkin. Tidak ada satu Negara pun yang akan membiarkan orang lain mengorek-orek boroknya sendiri,” ungkap Tomo kepada kami.

Pria berumur lebih dari setengah abad itu seolah menahan dorongan air mata yang hendak keluar dari kelopak matanya. Tatapan matanya lurus, menerawang. Tomo seolah meraba bagian demi bagian perjalanan hidup anaknya. Berawal dari keberangkatannya hingga kepergian yang tidak pernah dia ketahui. Bima berjanji kepada kedua orangtuanya akan pulang pada perayaan Paskah April 1998, seakan menjadi janji abadi. Karena sebelum itu Bima telah hilang.

“Itulah kebanggaan kami dulu,” ujar Tomo seraya memperlihatkan piagam-piagam yang diberikan atas dedikasi Bima. Ada duka di wajah tuanya.
“Sudah sepuluh tahun,” ujar Misiati dengan suaranya yang tertahan, ada air mata di sudut matanya. Terhitung sudah sepuluh tahun semenjak hilangnya Bima. Tomo dan Misiati, istrinya, tak pernah berhenti ataupun putus asa untuk memperjuangkan nasib anaknya.

“Selama Tuhan memberikan kesehatan jiwa dan raga, bapak dan ibu tidak akan putus asa. Entah sampai kapan, tapi kami hanya bisa pasrah menyerahkan jalannya pada penyelenggara hidup. Baik itu alternatif paling jelek.” Tomo berhenti sejenak, wajahnya terlihat gusar menghisap rokok dalam canting dan kembali meneruskan kata-katanya.

“Dia mati atau dia masih hidup. Karena ada dua pilihan, maka kalau dia masih hidup, dia ada dimana? Dan kalau sudah dilibas kapan dan dimana.” Tomo berhenti berkata-kata, seolah-olah tak mempercayai apa yang telah ia katakan.

“Kami hanya meminta kejelasan,” suara Misiati mengikuti.
“Kami tidak akan mungkin menelusuri seantero negeri ini untuk mencari Bima,” tambah Misiati.

Berbagai upaya telah mereka lakukan, mulai dari mengirimkan surat pernyataan kehilangan ke 13 instansi yang ada di negeri ini sampai dengan orasi di bundaran Hotel Indonesia dan di tempat-tempat lainnya. Tomo adalah orang yang paling banyak angkat bicara saat aksi memperjuangkan nasib Bima dan kawan-kawannya.

“Anda boleh tangkap bapaknya Bima tapi tolong kembalikan Bima!”
“Saat itu sebenarnya sudah tidak etis saya katakan seperti itu. Tapi pada saat itu saya masih sangat berani mengatakannya,” kenang Tomo.
“Karena itu saya dapat merasakan bagaimana mahasiswa sekarang dapat melakukan apapun yang dapat mereka lakukan untuk negaranya,” Misiati menambahkan.

Misiati menghapus air mata yang tak sempat jatuh di pipinya. Tangannya memegang selembar surat yang pernah dikirim Bima padanya. Dalam surat yang menceritakan ungkapan kasih sayang Bima pada ibunya.

“Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima memang sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih orang tuanya. Bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pekewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak......Ada saatnya yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang sama ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian keadaanya.”

“Bima enggak pengen jadi seperti kucing. Kucing itu dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapakan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup disitu saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting,…” tulis Bima.

“Bima pengen masa muda Bima betul-betul bermakna.”

Petrus Bima Anugerah, anak kedua dari empat bersaudara. Lahir di Malang 24 September 1973. Tinggi bandanya sekitar 170 Cm. Kulitnya kuning langsat. Ada tahi lalat di sudut luar bagian mata kanannya. Sejak hari selasa, 31 Maret 1998 tidak ada kabar dan ia pun tidak kembali ke rumah sejak itu dan sampai detik ini. Jika ia masih hidup kini ia telah berumur 35 tahun.

Read more...

Jalan Panjang Hadrah Kuntulan





















Kesenian tradisional Banyuwangi bertahan di tengah berbagai benturan

Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kcerdasanya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesnin yang unik dan has.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.

Awalnya adalah nama burung
Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenangungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.

Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.

Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambangan dari kerukunan masyarakat mengkontruksi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.

Nama kesenian yang diambil dari hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa kesenian di Banyuwangi Lainya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Babak sejarah Hadrah Kuntulan
Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya.

Walhasil, Raden Mas Alit sebagai bupati pertama beserta para punggawa yang diangkat sekitar tahun 1770-an oleh Belanda diharuskan memeluk agama Islam. Pesan misionaris agama bisa dilacak pula pada sejarah perjalanan kesenian gandrung yang awal-awalnya ditarikan atau dimainkan oleh orang laki-laki. John Scholte, salah seorang antropolog yang pernah meneliti Banyuwangi, menjelaskan bahwa para penari Gandrung setiap saat mengelilingi desa dengan membawa buntalan tas yang dibuat sebagai tempat beras hasil penampilan. Burda, selatun, wak aji, santri molih, tombo ati, ayun-ayun dan tembang lainnya adalah tembang bernuansa agama yang dibawakan. Dengan demikian, disamping membawa misi mempersatukan kembali rakyat Blambangan, Gandrung juga digunakan sebagai alat penyampaian dakwah.

Sekitar tahun 1950 kesenian hadrah muncul. Pada awalnya, Hadrah sangat kental nuansa Islam. instrument musik yang mengiringinya adalah Rebana dan Kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah baid-baid Burdah.

Pada masa bersamaan arus kesenian Banyuwangi mulai bermunculan, seolah-olah bangkit kembali dari tradisi yang sudah lama diwariskan oleh leluhur, seperti Angklung, Damarwulan, dan Rengganis.

Kebangkitan seni ditandai dengan berdirinya organisasi kesenian yang memberikan peluang dan tempat berapresiasi. Pada kepemimpinan presiden Soekarno, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) memberikan perhatian pada kesenian-kesenian rakyat sebagai muatan perpolitikannya. Seniman-seniman daerah yang bergabung dengan Lekra merasa mendapat angin segar. Mereka kemudian berbondong-bondong mengabdiakn dirinya dengan sejumlah karya seni masing-masing dengan mengusung unsur bahasa daerah sebagai ciri khas kesenian Lekra.

Kedekatan Lekra berdampingan dengan kesenian yang timbul dari masyarakat Banyuwangi tidak dibarengi oleh lembaga-lembaga kesenian lainnya. Lembaga Kesenian seperti LKN (Lembaga Kesenian Nasional), Lesbumi, dan yang lainnya tidak sekental apa yang telah dilakukan oleh para seniman Lekra.

Nasionalisme kedaerahan dengan mengusung bahasa daerah sebagai unsur utama merupakan visi dari seniman Lekra, puluhan lagu berbahasa daerah diciptakan oleh para seniman untuk merespon kondisi sosial saat itu.

Hadrah yang bernuansa Islam sebagai perwujudan dari kesenian agama yang dikembangkan kalangan santri, tidak terlalu mendapat simpati dihati masyarakat, dikarenakan bahasa daerah yang saat itu menjadi sentral perubahan sosial tidak diadopsi sepenuhnya oleh kalangan santri. Faktor lain yang menyebabkan seni Hadrah kurang diminati adalah pola eksklusif kaum santri dengan penduduk di luar golongan santri.

Masa kejayaan Lekra mulai pudar menyusul terjadinya tragedi G 30/S PKI tahun 1965. Tragedi ini tak pelak berimplikasi hebat pada seniman-seniman daerah yang bergabung dalam organisasi Lekra. Setelah peristiwa G 30/S PKI tersebut ketakutan dan kebimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Lembaga-lembaga yang bernuansa agama berada diposisi atas angin. Para aktivis seni yang keluar dari Lekra paska 1965 diinternalisasi oleh Lembaga Kesenian Nasional (LKN) untuk melanjutkan kembali apa yang pernah mereka lakukan di Lekra.

Peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) juga membawa dampak pada kesenian daerah. Jika pada masa Orla kesenian Banyuwangi lebih menonjolkan fisinya untuk mengkritisi kondisi sosial dan menjadi milik rakyat sepenuhnya, maka yang terjadi pada masa Orba adalah sebaliknya. Setelah tahun 1970-an kesenian daerah diupayakan pada politik estetik semata. Seni kemudian lebih banyak divisualisasi dalam bentuk gerak tari. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa kesenian akan mendapat medan artistiknya manakala peraga tubuh bisa dinikmati secara langsung oleh para penonton.

Kecenderungan estetika kesenian daerah ini mengarahkan massa untuk selalu menikmati kesenian daerah dimana tanpa sadar masyarakat yang menghadiri kesenian tersebut telah mengadopsi dan meyakini pendidikan pembangunan yang dilancarkan oleh kebijakan Orba.

Dengan demikian aparatus Negara dalam tujuannya mendisiplinkan masyarakat dengan seperangkat ideologi disusupkan pada kesenian daerah. Ironisnya pada masa ini kesenian juga mempunyai ketergantungan yang tingggi pada insentif pemerintah.

Sejarah Hadrah memasuki babak baru pada sekitar tahun 1980-an. Kesenian ini bertransformasi pada bentuknya yang baru yang disebut sebagai Hadrah Kuntulan. Nuansa islam-arabis yang terkandung di dalamnya berubah mengikuti alur komposisi kedaerahan, isinya pun 50-50 menyesuaikan minat dari masyarakat saat itu.

Bukan hanya komposisi isi saja, aransment musikalnya juga ditambahi dengan beberapa alat lainnya. Ada gendang, bonang Bali dan kluncing (triangle) memperjelas nuansa daerah dan agama dalam unsur kesenian kuntulan.

Metamorfosis Hadrah kuntulan masih terus berlanjut. Kundaran kepanjangan dari Kuntulan kang didadar (seni Kuntulan yang diperlebar) merupakan sebutan bagi perkembangan kuntulan pada tahap selanjutnya. Sebenarnya Kundaran hanya sebuah garapan artistik untuk menyempurnakan tampilan hadrah tersebut. “Kundaran itu seperti pertunjukan Jejer Gandrung yang merupakan bagian dari pertunjukan Gandrung. Jadi, Kundaran masih bersifat perbaruan gerak dan isi dari Kuntulan saja, belum bisa dikatakan kesenian tersendiri”, tutur Sayun salah satu orang yang memprakarsai munculnya hadarah Kuntulan.

Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan Kuntulan, mengusung kepentingan bagaimana agar kesenian tersebut makin dinikmati dan dimiliki oleh masyarakat sekaligus memperluas kesadaran beragama yang diapresiasikan pada kepemilikan kesenian itu sendiri.

Meneguhkan posisi di tengah benturan

Posisi Kuntulan sebagai sebuah karya pun tak luput dari perdebatan, apakah Kuntulan denga perkembanganya kini, masih layak disebut kesenian islami atau tidak. Dan lebih jauh, apakah kesenian itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.

Bebebrapa kalangan, uatamanya kalangan pesantren menilai bahwa hadrah kuntulan dalam perkembanganya kini sudah tidak menjadi identitas dari kesenian islami lagi.

Bagi kalangan pesantren, hadrah yang lebih lekat dengan agama Islam atau masih bisa dikategorikan kesenian Islami terbagi atas dua macam. Yaitu hadrah aliran Pasuruan yang hanya menggunakan instrumen musik berupa rebana yang dalam masyarakat desa biasanya hanya diminati golongan santri tua.

Dan yang kedua, hadrah aliran Madura yang instrumen musiknya terdiri dari gendang dan rebana. Syair yang dibacakan pada pementasan kedua kesenian hadrah di atas bisa berupa Burda atau Al-Barjanji yang mengisahkan tentang tuntunan perjalanan Nabi Muhammad.

Kemudian, berkaitan dengan keberadaan Hadarah Kuntulan dikaitkan dengan ajaran atau kesesuaianya dengan hukum Islam, sebagian kalangan Islam menganggap Kuntulan sebagai hal yang masuk pada kategori sah-sah saja.

“Secara pribadi, kadang timbul rasa tidak setuju kalau hadrah Kuntulan dimasukkan dalam seni Islam, walau sebenarnya sedikit ada untungnya bagi Islam, sebagai media dakwah”,jelas KH. Daelani Ahmad pengasuh pondok pesantren Darul Ahsan, Banyuwangi.

Daelani juga berpendapat bahwa dakwah tidak harus ceramah, bisa lewat media seni budaya. Hal inilah yang menurut Daelani segi-segi positif dari kehadiran hadrah Kuntulan di tengah penyebaran Islam yang tidak diasdari oleh beberapa kalangan.

Sedangkan kalangan Islam lain, mempunyai pandangan negatif terhadap keberadaan kuntulan. Karena bagi mereka Hadrah Kuntulan telah diselipi budaya-budaya yang dihasilkan oleh agama di luar Islam.

Kesan erotis dan ditampilkan oleh penari perempuan dihukumi sudah keluar dari tatanan agama (Islam). Akibatnya, di berbagai kesempatan acara-acara Islam, hadrah Kuntulan sering dikesampingkan. Misalnya saja pada peringatan Isro’ Mi’roj dan Maulid Nabi Muhammad, Kuntulan jarang sekali ditampilkan. Jikalau diundang untuk tampil, grup Kuntulan hanya datang sebagian personel. “Acara maulid di Masjid cuman terbang saja yang diminta”, kata Rawin, pemilik hadrah Kuntulan asal Kertosari.

Berkaitan polemik seputar standar etik Islam ini, kalangan seniman mempunyai pendapat lain. Sobary Sopyan, seorang penata tarian Kuntulan, berpendapat bahwa beberapa unsur agama yang didapati dalam kesenian hadrah Kuntulan, membuka ruang pemaknaan yang holistik dari aspek moralitas keberagamaan. Baginya, memberikan pemaknaan pada unsur-unsur agama yang terkandung dalam kuntulan tidak hanya dimiliki oleh satu agama saja (Islam), namun beberapa pemaknaan tentang ritualistik dijalankan oleh agama yang lain.

Maka proses pemaknaan dari unsur agama yang terkandung di dalam seni Kuntulan menunjukkan nilai kearifan lintas agama. Karena sesungguhnya akar ritual yang dilakukan setiap agama adalah sama baiknya sesuai koridor tatanan agama masing-masing yang menjunjung kebajikan.

Benturan standar nilai yang menerpa Hadrah Kuntulan tidak hanya datang dari agama, namun juga benturan dengan tradisi wilayah tertentu. Misalnya tentang penggunaan alat musik Gong, yang dipergunakan dalam Kuntulan. Beberapa desa di Banyuwangi tidak memperbolehkan mengantung alat musik itu di desa mereka. Desa itu diantaranya adalah desa Penataban, desa Lukjaj, dan Lateng.

Kepercayaan yang bersumber dari logika mistis itu menjadi kuat berkat topangan mitos yang melingkupinya. Konon di desa Lukjaj, salah satu warganya yang menggelar hajatan, kepalanya tidak berhenti bergeleng-geleng menyerupai gerak gong yang ditabuh gara-gara ia dengan sengaja mengundang komunitas kesenian yang memakai gong dalam acara hajatanya tersebut.

Selain itu, hadrah kuntulan juga dihadapkan pada permasalahan yang datang standar moral-sosial kemasyarakatan yang ada. Hal itu disebabkan karena adalanya praktik-praktik negatif yang sering menyertai pertunjukan Hadarah Kuntulan, yang sebenarnya bukan bagian inhern dari pertunjukan tersebut. Seperti bentrok antar pemuda serta munculnya pesta miras (minuman keras) pada saat pertunjukan Hadrah Kuntulan. Akibatnya, streotip negatif yang dialamatkan pada kesenian ini menjadi semakin kuat.

Timbulnya penyakit sosial ini sebenarnya berawal dari dari kebiasaan yang terjadi pada pertunjukan kesenian modern seperti Karaoke, Orkes Melayu dan lainya. Kelompok pemuda yang menyimpan unsur konflik antar sesamanya bertemu kembali dipertunjukan kesenian tradisi. Dari fenomena sosial yang seperti inilah kalangan Islam menjustifikasi bahawa kesenian hadrah Kuntulan sudah keluar dari koridor agama, agen penimbul maksiat.

Menepis ekslusifitas Terlepas dari berbagai gesekan dan kontroversi yang mengiringinya, Hadarah kuntulan kini telah berkembang cukup luas, utamanya di Banyuwangi. “Dulu di Banyuwangi Selatan yang mayoritas masyarakatnya dari suku Jawa, hampir tidak ditemui kesenian hadrah Kuntulan, namun sekarang kondisi tersebut berbalik, wilayah seperti Gambiran dan Bango yang ditempati komunitas Jawa yang dulunya tidak memiliki kelompok kesenian tradisi, malah kemarin mendaftarkan 60 peserta pada festival tari. Songgon, daerah gunung mendaftarkan 300 peserta Kuntulan”, jelas Sayun.

Hal ini juga menandakan bahwa Hadrah kuntulan telah diterima oleh masyarakat diluar masyarakat asli Banyuwangi atau Osing. Memang hadarah kuntulan tidak di maksudkan sebagai kesenian eksklusif yang hanya diidentikan dengan daeah Banyuwangi atau suku Osing. Namun, diluar Banyuwangi, kesenian hadrah Kuntulan lebih dipresepsikan hanya sebagai milik suku Osing.

Bahkan pada sebuah acara di Jakarta, Aekanu Hariyono sebagai ketua dewan pariwisata Banyuwangi, sebagaimana di ceritakanya pada suatu rapat di Dewan Kesenian Blambangan (DKB), merasa perlu menegaskan bahwa kesenian hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi tidak semata-mata milik masyarakat Osing. Hanya kebetulan yang tampil kebanyakan keturunan Osing tapi bukan Osing mainded. Hadrah Kuntulan bisa dimainkan oleh lintas agama serta lintas etnik.

”Sewaktu penampilan hadarah Kuntulan di Jakarta kemaren komposisi penari sudah lintas agama dan mereka tidak risih, kata Aekanu.
Minim penghargaan
Meluasnya peminat perunjukan ini ternyata tidak dibarengi dengan penggelolaan dan manajemen pertunjukan yang profesional. Akibatnya, tak jarang terjadi hal-hal yang merugikan para pelaku pertunjukan Hadarah kuntulan ini secara finansial. Misalnya adanya pihak tertentu yang merekam suatu pertunjukan Hadrah dan dijadikan bentuk Compac Disc (CD), kemudian menjualnya tanpa memberi uang imbalan pada group itu.

Berkembangnya praktek pembajakan semacam ini tentu tak bisa dilepaskan dari pandangan para pelaku pertunjukan Hadrah tersebut terhadap kesenian dan berkesenian itu sendiri. Pada umumnya para pelaku hadrah mempunyai pandangan bahwa berkesenian pada dasarnya adalah bagian dari sarana aktulaisasi diri dan perjuangan mempertahankan tradisi.

Karena itulah dalam realitas yang terjadi sering ditemui kecilnya penghargaan dan nilai apresiasi dalam bentuk uang kepada para seniman Hadrah. Setiap kali tampil, kelompok kuntulan hanya minta uang untuk keperluan administrasi dan biaya akomodasi paling mahal 1,5 jt, setelah dibagi-bagi biasanya pengendang hanya mendapatkan honor Rp 7.000. Sebuah nilai yang tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan selama semalam suntuk, tetapi keadaan yang demikian ini mereka tepis dengan keenjoy-an mereka sebagai seniman, “makan bareng dengan teman-teman sesama penari di Tempayan (Loyang, piring besar) yang sama, sudah sangat senang mas”, kata Ari Prihatini E.M.S, mantan penari Kuntulan Kertosari.

Kesenangan lain yang mereka dapat dari sekedar kalkulasi uang adalah antusias masyarakat ketika menonton, itulah penghargaan yang paling didambakan. Pada tahun 1970-an kesenian hadrah Kuntulan muncul dengan keseniannya yang baru berupa Hadrah Kuntulan Caruk, yaitu dua kelompok grup hadrah Kuntulan saling bertemu dan berunjuk kebolehan, baik bidang tari, melatunkan syi’iran, dan permainan alat musiknya. Dari seni Caruk ini, kelompok mana yang dapat mengambil perhatian massa paling banyak, maka kelompok tersebutlah pemenangnya.

Prestasi hadrah Kuntulan telah mengharumkan Banyuwangi dan propinsi Jawa Timur. Tercatat dalam pentas kesenian nasional hadrah Kuntulan pernah menjadi pemenang dalam lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta. Sayangnya kelompok Hadrah Kuntulan tidak mendapat pandangan yang serius dari pemerintah.

Kesenian hadrah Kuntulan juga sudah menancapkan kukunya di tingkat internasional. Beberapa kali kesenian ini tampil di luar negeri. Beberapa waktu yang lalu, Hadrah Kuntulan tampil di Jepang dengan membawakan tembang rodad syi’iran, rodad tontonan dan berkolaborasi dengan Barongan

Read more...

BUKAN SEKEDAR KATA

Sebab menonjolkan kekuatan bahasa untuk memunculkan kedalaman makna, syi’ir atau puisi terkenal dan dianggap sebagai karya yang tidak saja memikat banyak orang, namun juga dipandang sebagai sesuatu yang tak lekang oleh zaman. Sebuah karya penyair, dapat menjadi perbincangan bahkan perdebatan selama bertahun-tahun lamanya. Demikian juga penafsiran terhadap syi’ir akan senantiasa bermunculan dan berkembang. Dengan kata lain, syi’ir tidak hanya cukup jika ditafsiri sekali atau dua kali. Namun, pemaknaan baru dan atau lain terhadap karya klasik tertentu, cukup ditemui dalam dunia literatur.

Bagimanapun, bait-bait syi’ir (dapat dikatakan) telah bermain lembut dalam ruang pengekspresian ide dan pikiran. Sang penyair kiranya ingin menunjukkan ide dan pikirannya kepada pembaca dan berharap pembaca akan meng-iakan, kemudian mengikuti ide dan pikiran penyair. Walau tidak semua pembaca bisa menemukan hakikat makna syi’ir tersebut. Ide dan pikiran penyair dimainkan dalam bait-bait syi’ir dengan berbalut bahasa indah. Sehingga, kadang kala, pembaca syi’ir tidak menyadari bahwa syi’ir telah mencoba mendoktrinnya.

Tak terkecuali sufisme, doktrin-doktrin Sufi banyak bermunculan dalam bentuk syi’ir. Bahkan, dari semua produk tradisi sufi, yang paling terkenal dan paling dianggap bernilai adalah warisan syi’ir sufi. Seiring dengan itu, pengkajian terhadap syi’ir-syi’ir sufi banyak dilakukan tidak saja oleh orang-iorang Islam tapi juga oleh sarjana-sarjana Eropa. Sehingga, tidak mengherankan apabila banyak sekali ditemui kegiatan penerjemahan syi’ir sufi oleh orang-orang Barat.

Penerjemahan syi’ir-syi’ir sufi tidak lain adalah sebuah kegiatan penafsiran. Karena kemampuan luar biasa penyair dalam menyuguhkan idenya, maka banyak bermunculan pula pembaca yang berbeda-beda dalam menyuguhkan idenya, banyak bermunculan pembacaan yang berbeda-beda dalam satu waktu. Hal inilah yang menyebabkan syi’ir terjemahaan dianggap tidak pernah sempurna dan dianggap dapat mereduksi pesan syi’ir dalam bahasa asli. Meskipun demikian, popularitas syi’ir sufi terjemahan sedikit banyak tetap mampu memaparkan kerangka besar ajaran sufi dan kekuatan bahasa ke dalam makna serta pesan syi’ir tetap dapat terbaca.
Siapa Jalaludin Rumi
Adalah Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia. Rumi yang bernama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al_Bakri - lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 H, atau tanggal 30 September 1207 M. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh.Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan

Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Bersama Syekh Hisamuddin, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Berpuisi dengan Jiwa

Kumpulan puisinya yang terkenal al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.

Works of the Great Philosopher, Poet, and Mystic, salah satu dari sekian banyak buku terjemahan syi’ir sufi yang menggunakan pilihan syi’ir-syi’ir Rumi dari karya besarnya, Masnawi. Membaca syi’ir-syi’ir Rumi dalam buku ini akan terlihat secara jelas bahwa Rumi tidak semata-mata memberi penjelasan tentang Sufisme, tapi syi’ir Rumi hadir lebih dalam rangka mengarahkan dengan cara yang sangat halus kepada pembaca agar memasuki dan menjalani sufisme. Hal ini disebabkan tidak saja oleh “apa” yang disampaikan Rumi, tapi juga oleh “bagaimana” Rumi menyampaikan dan “bagaimana” sang penerjemah, H. Whinfield mengalihbahasakan syi’ir-syi’ir Rumi ke dalam bahasa Inggris.

Dalam memaparkan sufisme, Rumi merupakan salah satu penyair yang sering bergaya anekdotis. Pun masih banyak ditemukan dalam syi’ir-syi’ir terjemahan versi bahasa Inggris ini. Salah satu ajaran Rumi yang tertulis dalam buku ini adalah bahwa dalam mengaruni kehidupan, manusia senantiasa berusaha keras namun tidak lupa menyerahkan segala sesuatuna kepada Sang Pengatur Takdir.

Voyage
When you plce goods upon a ship,
You do it int trust that the voyage will be prosperous;
You know not which of the two events will be fall you,
Wheter you will be drowned or come safe to land………(hal.12)

Dari penggalan syi’ir Rumi di atas, terlihat bahwa untuk mengungkapkan istilah “mengarungi kehidupan”, digunakan isilah “voyage” yang berarti pelayaran, sebagai perumpamaan. Kemudian, “senantiasa berusaha keras” disajikan dengan perumapamaan yang menyiratkan bahwa di atas kapal, kita harus mengemudikannya dengan sekuat tenaga agar mampu berlabuh di tempat tujuan.

Pola serupa juga ditemui dalam syi’ir lainnya:

Water
The eye of outward sense is a the palm of a hand,
The whole of the object is not grasped in the palm,
The sea itself ia one thing, the foam another;
Neglect the foam, and regard the sea whit your eyes
Wfes of foam rise from the sea night and day
Yaou look at the foam ripples and not the mighty sea
We, like boats, are tosses hither and thither (hal.16)

Melalui bait-bait puisi di atas, Rumi mencoba menjelaskan bahwa manusia seringkali merasa dapat mengerjakan segala sesuatu. Namun, pada kenyataannya, sekuat apapun manusia, masih ada yang lebih kuat dan kuasa dalam melakukan segala sesuatu. Bahkan, mungkin saja hal yang dipandang kecil sebenarnya mempunyai kekuatan besar sehingga mampu menghempaskan kekokohan.

Lagi-lagi, pesan tersebut hadir dengan perumpamaan. “the sea, “the palm”, “the foam”, dst. merupakan perumpaman-perumpamaan yang mewakili ajaran sufi Rumi. Perumpamaan yang dihadirkan semakin memperkuat betap arahan Rumi datang dengan jalan yang sangat lembut.

Tiga dimensi sufisme, yakni sejarah, thoriqoh, dan hakikat, juga diketengahkan dalam buku seleksi syi’ir-syi’ir Masnawi ini. Dalam bait syi’ir berjudul The Thirst and The Water, hal. 110 misalnya, yang berkisah bahwasanya segala sabda dan takdir Tuhan mencerminkan betapa kebijaksanaan Tuhan selalu menyertai manusia, dan merupakan ajaran syari’at Islam yang disampaikan Rumi dalam syi’irnya (hal.124)

Kemudian dalam syi’ir Food for The Soul tersirat bahwa manusia haruslah menempuh jalan yang benar meskipun sulit, sebab hal itu tidak akan membuat manusia menjadi orang-orang yang merugi. Bait-bait tersebut memuat dimensi thariqah sufisme di mana Rumi memberikan jalan yang ditempuh dalam mengamalkan syari’at.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

Bagi kelompok yang mengagung-agungkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Dimensi Rumi yang terakhir (hakikat) tercermin dalam The Believer’s Heart. Dia menekankan bahwa Tuhan sebenarnya bersemayam di hati orang yang percaya pada Tuhan memang ada. Tuhan tidak di atas, di bawah, di bumi, di langit, atau di surga, tapi tuhan adalah keyakinanmu. Ajaran ini merupakan hakikat yang dituliskan Rumi ke dalam syi’ir di mana keadaan batin serta maqam yang dapat dicapai dalam perjalanan menuju dan bersama Tuhan.

Kiranya tepat sebagaimana tertulis dalam sinopsisi buku ini, bahwa “Let your Soul Surrender to Rumi’s spiritual wisdom and prepare to be enlightened. Here are more than words; more than poem; here are sublim meditations.”

Read more...

Pasar intelektual

“ Penerbit buku adalah Industri intelektual ” teriak Ajib Risidi dua puluh tahun lalu, saat ia menjadi ketua IKAPI untuk menolak biae masuk untuk buku impor. Ya, buku adalah sumber pengetahuan dan identik dengan dunia intelektual, semua orang tahu itu. Tapi, semua orang juga tahu bahwa di negeri ini, buku termasuk barang mahal. Karena itulah kehadiran pasar buku bekas dan bajakan menjadi semacam surga bagi para pecinta buku berkantong tipis.

Di kalangan mahasiwa kota Malang, nama Pasar Buku Wilis telah akrab ditelinga. Namun tidak demikian dengan Pasar buku Sriwijaya. Kendati pasar buku ini juga memberikan tawaran menarik bagi pecinta buku, namun nama salah satu sentra buku alternatif ini masih belum banyak dikenal.

Pasar buku Sriwijaya sebenarnya berada ditempat yang cukup strategis. Letaknya yang berdekatan dengan pusat kota menjadikan kawasan ini cukup mudah ditemukan. Nama "Sriwijaya" diambil dari nama jalan tempat pasar buku itu berada, yaitu Jalan Sriwijaya. Jalan yang salah satu ujungnya berada di pojok pertigaan jalan depan Stasiun Kota Baru Malang. Papan nama jalan berada persis dibawah papan reklame Malang Pos yang terlihat mencolok dari Gerbang stasiun.

Jalan sriwijaya memang bukan jalan besar. Panjangnya hanya sekitar 100 meter, dan lebarnya kurang lebih 4 meter. Suasana nyaman sejuk akan langsung terasa bila kita masuk kawasan ini. Pohon-pohon besar nan rindang yang tumbuh di sekitar jalan terlihat bak payung raksasa. Menaungi bedak-bedak (kios) non permanen yang berjajar di sepanjang jalan itu.

Ada sekitar 60 bedak buku di kawasan tersebut. Berjajar rapat di sisi kiri dan kanan jalan. Di bedak-bedak kayu inilah para pedagang buku kaki lima menjajakan daganganya. Mereka umumnya buka dari jam 8 pagi dan tutup menjelang malam.

Klasik dengan harga antik
Seperti halnya Pasar buku Wilis, Pasar buku Sriwijaya juga berisi aneka macam buku dengan harga “bersahabat” bagi katong mahasiswa. Buku bekas, baru atau semi baru, ada disini. Namun tidak seperti Pasar Buku Wilis yang lebih banyak meyediakan buku-buku referensi perkuliahan, di Pasar Buku Sriwijaya kita dapat melihat buku-buku yang lebih fariatif. Bermacam-macam buku dalam berbagi bidang yang bebas dari ketegori keilmuan fakultatif disediakan disini.

Yang menarik, di bedak-bedak buku Sriwijaya ini kita juga dapat menemukan aneka macam buku klasik yang sudah tidak diterbitkan lagi, dan termasuk langka. Bahkan juga buku-buku yang pernah masuk dalam daftar “cekal” dan dikategorikan sebagai buku “berbahaya” oleh pemerintah.

Misalnya saja buku karya Moh. Hatta, Demokrasi Kita yang pernah dilarang pemerintah Orde Lama dapat ditemukan disini. Juga karya karya Ir. Soekarno seperti Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Dibawah Bendera Revolusi atau Sarinah yang pernah di larang Orde Baru juga bisa di buru disini. Selain itu di Pasar buku ini juga terdapat buku-buku yang ditulis para tokoh nasional di zaman kemerdekaan, seperti Tan Malaka, Sultan Shahrir, Ki Hajar Dewantoro, HB jassin dan tokoh-tokoh lainya.

Disini, kita juga dapat menemukan berbagai buku klasik terbitan luar negeri. Kebanyakan berbahasa Ingris dan Belanda. Bahkan tak jarang pula ditemukan karya besar para tokoh dunia yang namanya telah dikenal luas. Seperti misalnya buku karya Adam Smith yang menjadi rujukan konsep Kapitalisme dunia, Wealt of Nation.

Namun sayang, kebanyakan para pedagang di Pasar Buku Sriwijaya ini tidak mempunyai pengetahuan cukup untuk menyeleksi buku-buku yang bernilai dan tidak. Akibatnya, banyak buku yang sebenarnya sangat bernilai tapi diperlakukan seperti buku loakan dan di jual murah. Maka jangan terkejut jika menemukan karya-karya monumental penulis-penulis besar, semacam Romeo and Juliet karya W. Shakespeare terjepit diantara tumpukan novel berbau erotis karya Freddy S yang ditawarkan dengan harga 10.000
“ Saya kemaren malah dapat The Prince-nya Machiavelli dengan harga 7000,” kata Sodik, salah satu pelanggan Sriwijya yang mengaku telah menjadi pemburu buku klasik di tempat itu selama hampir setahun. Minimal sebulan sekali ia datang mencari “buruanya” di Sriwijaya.
Keunikan Sriwijaya tidak hanya sampai disitu. Kawasan Sriwijaya ternyata juga dikenal sebagai sentra benda dan buku “antikan”. Di bedak Pak Iko misalnya, kita dapat melihat bermacam-macam buku “Tempo doeloe” terbitan awal abad ke 20 yang masuk dalam kategori benda antik.

Diantaranya adalah buku-buku berbahasa belanda seperti Paraton Ken Arok karangan D.R N.J Krom terbitan ‘S Gravenage Maratinus Nijhof tahun 1920, Oud Soerabaya (sejarah perubahan Surabaya) karangan Ghevon Faber terbitan tahun 1931 dan Staatsspoor En Tramwegen In Nederlandssch Indie (perkeretaapian di Indonesia) yang terbit tahun 1925.

Soal harga jangan ditanya, namanya juga benda antik, harganya pun sudah pasti juga antik. Tengok saja, untuk buku-buku Belanda tadi pak Iko mematok harga diatas satu juta. Sedangkan untuk majalah-majalah kuno yang terbit zaman Jepang seperti “Panji Poestaka”no 6 Pebrueari ‘2603 (1943) dan majalah “Prajuerit” terbitan tahun 2605 (1945), dibandrol lebih dari seratus ribu. Demikian juga Koran “Djwa Baroe” (2603) tahun 1942 yang harga “ tempo doeloe”nya hanya 20 sen.

Itu baru buku, benda-benda yang dianggap antik harganya lebih antik lagi. Di salah satu bedak ada sebuah peta Jawa kuno yang di tawarkan seharga tuju juta rupiah. Pak agus sebagai pemilik bedak itu juga memiliki lukisan hasil karya pelukis Belanda bernama Lemayeur yang di buat tahun 1940-an yang harga jualnya sekitar dua ratus limapuluh juta rupiah.

Pasar ini biasanya rame dikunjungi pada awal ajaran nbaru. Pada saat ramai seperti itu para pedagang bisa memperoreh pendapatan sampai 350 ribu sehari. “ tapi kalau hari-hari biasa, paling 25 ribu,” kata Pak Munir, salah satu pedagang.

Namun, menurut Munir, pengunjung yang datang tahun ini semakin menurun dari tahun sebelumnya. padahal beberapa usaha promosi telah dilakuakan. “ Untuk tahun ini kita sudah banyak melakukan promosi dengan cara mengikuti even-even bazaar seperti Frestifal Malang Kembali bulan kemaren” terang Pak Iko. “Dengan adanya promosi ini para masyarakat kota malang diharapkan semakin mengenal Sriwijaya. Sehingga pengunjung semakin rame”, kata Iko menambahkan.

Ikon seni dan budaya
Keistimewaan kawasan Sriwijaya ini akan tampak kian jelas jika dihubungkan dengan peranya dalam dinamika dan pembangunan dunia kesenian dan kebudayaan Kota Malang. Bahkan, kawasan ini dapat dikatakan sebagai salah satu penyangga dunia seni dan budaya di Kota Bunga ini.

Beberapa orang yang peduli pada dunia seni dan budaya di Kota Malang menjadikan Kawasan ini sebagai tempat untuk menggelar berbagai aktifitas seni dan budaya yang kemudian dinamakan “Kampung Budaya Malang”.

Aktifitas utama Kampung Budaya adalah diadakanya sebuah panggung dan forum jalanan yang kemudian disebut “komunitas 28-an”. Dinamakan “28-an” karena memang panggung dan forum jalanan ini digelar sebulan sekali, pada tiap malam tanggal 28. Di malam 28-an ini para seniman diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk mengapresiasikan karyanya.

“ Tidak ada ketentuan siapa saja dan kesenian apa yang boleh tampil, semua seniman dan hasil karyanya boleh tampil di situ (28-an) “, kata M. Nashir, salah satu pemrakarsa komunitas ini.

Selain pagelaran seni, acara yang diadakan pertama kali pada Bulan Februari 2005 ini juga di isi dengan obrolan atau diskusi dengan tema yang telah ditentukan sebelumnya. Tema yang diangkat dalam diskusi itu selalu berganti setiap bulan. Tema-tema tersebut umumnya bekaitan dengan dunia seni dan budaya. Namun tak jarang pula diskusi ini membahas tema-tema seputar masalah sosial - politik yang sedang berkembang.

Selain Kampung Budaya, di kawasan yang selalu sejuk ini juga terdapat komunitas pelukis yang menamakan diri komunitas SABAK. Para pelukis tersebut biasanya berkumpul di bedak milik Pak Agus, yang memang mempunyai berbagai macam literatur mengenai lukisan baik yang yang klasik maupun kontemporer. Beberapa kegiatan seni pernah diprakarsai oleh komunitas ini. Seperti halnya pameran lukisan bersama dan juga penerbitan jurnal kebudayaan.

Dengan berbagai keistimewaan dan kekhasan ini, wajar jika pasar bukui ini didatangi oleh pengunjung yang mempunyai latar belakang beragam. Mulai dari siswa, mahsiswa, guru, dosen, kolektor benda antik, sampai seniman. Bahkan, beberapa tahun yang lalu, WS Rendara, penyair kenamaan negeri ini, pernah singgah di salah satu bedak di pasar buku ini.

“ Rendara ke sini karena mendengar nama kampung budaya” Kata Nashir, pemilik bedak yang pernah disinggahi Rendara ini.

Dari Ade Irma lalu kemana lagi..?
Pasar buku Sriwijaya ini pada awalnya bertempat di Jl Ade Irma Soeryani, mulai tahun 1883. Setelah 7 tahun menempati Ade Irma, dengan alasan kerapian dan ketertiban kota, pasar buku ini kemudian dipindahkan ke Jl. Majapahit.

Relokasi kembali terjadi pada tahun 1998. Kebijakan pemerintah mengharuskan para pedagang buku kaki lima ini untuk pindah lagi. Kali ini di Jl. Sriwijaya, sampai sekarang. Selesaikah aksi pindah memindah ini?

Ternyata tidak. Munir, salah seorang pedagang yang dianggap senior di Sriwijaya ini menuturkan bahwa akan ada relokasi lagi.

“ Kabarnya, kami akan di pindah di Jl. Kediri, dekat Jl. Wilis.” Kata Munir.” Tapi kapan relokasi itu akan dilaksanakan, masih belum jelas,” tambahnya.

Pada dasarnya para pedagang setuju dengan relokasi tersebut. “ Asalkan ada ganti tempat yang memadai, bangunan bedak yang permanen misalnya,” tutur Munir mengemukakan syarat.

Pasar buku Sriwijaya sekilas memang hanya berisi pedagang buku kaki lima. Namun, tak seharusnya bila keberadaanya dipandang sebelah mata, utamanya oleh Pemerintah Kota. Karena di tempat inilah puluhan orang menggantungkan hidunya. Dan yang pasti di tempat ini pula para pecinta buku di Kota pendidikan ini menemukan berbagai tawaran alternatif.

Jika kita sepakat bahwa buku adalah sumber pengetahuan dan intelektual, maka istilah serba hebat ala Ajib Rosidi dapat pula kita teruskan dengan konteks pasar buku ini. Bila Ajib mengistilahkan penerbit sama dengan industri intelektual, maka kita bisa saja menyebut pasar buku bekas seperti Sriwijaya sebagai “Pasar intelektual”. Dengan demikian para pedagang buku di Pasar itu bisa saja menyebut dirinya “Agen intelektual”. Hebat bukan ? Ajib pasti iri mendenga ini

Read more...

Kecil itu indah

Tatkala subuh datang, sebagian penduduk kota Malang mulai berbondong-bondong menuju suatu tempat. Tempat itu ramai, berdesak-desakan, semrawut, becek, lalu lintas tidak teratur, sampah membusuk dan berceceran dimana-mana hingga baunya menusuk hidung.

Itulah gambaran pasar Kebalen. Pasar yang terletak di sepanjang Jalan Zaenal Jakse, ujung timur kota Malang. Pasar itu memiliki luas 1. 313 M2 , berdiri pada tahun 1979, dengan jumlah bedak atau kios sebanyak 63 buah dan ditempati 1654 pedagang. Bangunan Pasar Kebalen mempunyai dua lantai, lantai bawah diisi oleh pedagang sayur dan ikan, sedangkan lantai atas diisi oleh pedagang pakaian.

Namun, area dalam pasar tersebut terlihat lenggang terutama lantai dua, sebagian besar pedagang lebih memilih jalan raya sebagai tempat berjualan. Hal ini disebabkan kapasitas bedak tidak sebanding dengan jumlah pedagang. Keinginan untuk lebih mudah menggaet pelanggan juga menjadi alasan mengapa banyak pedagang yang semula mempunyai bedak di dalam pasar pindah ke jalan raya. Melubernya areal pasar ke jalan raya ini tak urung mengakibatkan jalanan di depan pasar tersebut macet dan tampak semrawut. Karena separoh badan jalan terampas oleh para pedagang.

Kesan tak tertata dan amburadul akan semakin kuat ketika melihat kondisi pasar ini lebih jauh. Pasar yang didominasi oleh pedagang sayur dan ikan tersebut, tidak mempunyai ruang komoditi yang tertata. Antara pedagang sayur, buah, makanan, dan ikan terlihat menyatu dan saling bercampur. Area parkir juga tak nampak jelas, seakan menyatu dengan bedak-bedak pedagang. Fasilitas umum seperti mushola atau kamar mandi pun tak terlihat, yang nampak hanyalah tempat kumuh dan berantakan.

Kondisi yang sama bisa ditemui di Pasar Induk Gadang. Pasar yang terletak ujung selatan kota Malang dan berdiri pada tahun 1989 itu mempunyai karakter yang tak jauh beda dengan Pasar Kebalen. Kesemrawutan dan bau menyengat masih menjadi ciri khas pasar yang buka 24 jam dan mulai ramai ketika sore sampai pagi itu.

Pasar tersebut terpisah oleh jalan raya yang dilalui oleh truk-truk dan kendaraan besar pengangkut barang. Jalanan di sekitar area tersebut rusak, aspalnya mengelupas, tanahnya tampak gembur dan basah. Tidak hanya itu, jalanan pun terlihat becek karena para pedagang membuang sampah dan limbahnya ke area jalan raya. Bau dan becek tersebut semakin mencolok ketika hujan mengguyur pasar, layaknya sawah yang berbau.

Sebagian besar pedagang Pasar Induk Gadang memang mengaku telah tebiasa dengan kekumuhan itu. Namun mereka juga mengakui bahwa kekumuhan itu membuat mereka resah. Hj.Sulamah misalnya, salah satu pedagang Pasar Induk Gadang, mengatakan bahwa kotornya pasar itu kerap mengganggu kesehatannya. Lebih lanjut Sulamah juga mengatakan bahwa Pemerintah kurang bisa merespon keadaan tersebut.

”Selama ini Pemerintah hanya menarik retribusi dan membersihkan sampah seadanya saja, tanpa mau peduli dengan pembangunan dan perbaikan pasar”, katanya.

Hal senada dinyatakan oleh Markati. Pedagang yang berasal dari Kota Batu ini mengungkapkan bahwa selama ini Dinas Pasar yang diwakili oleh pasukan kuning hanya membersihkan sampah saja, untuk perbaikan dan pembangunan pemerintah kurang ikut andil.

Menunggu keseriusan pemerintah
Para pedagang sebenarnya menginginkan agar pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam membangun Pasar Tradisional. Keluhan mereka adalah mengapa pemerintah selama ini hanya menarik retribusi setiap hari dan menarik uang kebersihan setiap bulan, sedangkan perhatian mereka tidak pernah ada dalam mengelola pasar dan memperbaiki manajemen serta fasilitas-fasilitasnyanya.

Pemerintah yang dimaksud oleh Markati dan pedagang lain tersebut tentu adalah Dinas Pasar. Karena dinas inilah yang berkoordinasi dengan kepala pasar secara langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasar. Benarkah pemerintah daerah tidak serius menggelola pasar tradisional?

Salah satu pejabat Pasar Kebalen menolak anggapan tersebut. Walaupun ia membenarkan kekumuhan dan semrawutnya tatanan pasar, utamanya pasar Kebalen, namun ia menolak statmen bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan tersebut.

”Relokasi sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu untuk mengatur agar pasar tidak ruwet. Pemerintah sudah membangun pasar alternatif, tapi para pedagang tidak mau menempati. Mereka memilih tetap di pasar Kebalen”, katanya.

Pasar pengganti pasar Kebalen tersebut bertempat di desa Kedung Kandang, sebuah desa yang berada di bagian selatan Kota malang. Lokasi bangunan yang sedianya disiapkan untuk pasar tersebut memang terbilang cukup sepi. Dengan alasan itulah para pedagang memilih untuk tetap bertahan di pasar Kebalen.

”Kami kembali lagi ke pasar kebalen, karena relokasi tersebut tidak tepat, pasar tersebut kurang strategis sebagai pasar” kata salah seorang Pedagang Pasar Kebalen.

Kegagalan relokasi pasar Kebalen tersebut menambah panjang daftar gambaran ketidakseriusan penggelolaan dan manajemen pasar tradisional, di kota dan kabupaten Malang. Relokasi yang diagendakan sebagai jalan keluar atas persoalan yang terjadi di pasar Kebalen terbukti tidak keluar dari kajian yang memadai, utamanya mengenai lokasi dan keingginan pedagang.

Pasca kegagalan relokasi tersebut praktis tidak ada usaha lain dari perintah untuk memperbaiki kodisi pasar kebalen. Akhirnya, hingga kini kondisi pasar tradisional itu tetap sama; kumuh, bau dan berantakan.

Untuk mengetahuai bagaimana sebenarnya penggelolaan dan manajemen pasar Kebalanen dijalankan dan sejauh mana kebijakan pemerintah daearah mengnai pengelolaan pasar tradisional di Malang, maka kami menemui pihak yang berwenang atas masalah tersebut, yaitu pejabat Pasar dan Dinas pasar di Pemkot Malang. Namun prosesnya ternyata sungguh sangat tidak mudah.

Kepala Pasar Kebalen selalu menolak menawab saat ditanya mengenai pengelolaan dan manajemen pasar lebih lanjut. Alasanya, saat itu kami tidak membawa surat izin dari Dinas Pasar, dan dia menyarankan agar minta surat izin terlebih dulu dari Kepala Dinas Pasar yang bertempat di kantor Pemerintahan Kota Malang.

Karena menurutnya itu adalah prosedur yang harus dilalui terlebih dahulu, supaya jawaban yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan kepada Kepala Dinas Pasar dikemudian hari bila terjadi permasalahan. Namun, saat surat izin tersebut telah didapatkan Kepala Pasar itu malah tidak pernah ada ditempat.

Hal yang sama terjadi ketika kami berusaha menemui Mardioko, Kepala Dinas Pasar kota Malang, untuk minta penjelasan mengenai pengelolaan pasar tradisional di Malang. Mardioko selalu menghindar dan enggan dimintai keterangan. Setelah didesak akhirnya ia menunjuk seorang dari bidang retribusi untuk melayani kami. Mardioko beralasan bahwa bidang retribusilah yang lebih tahu dan lebih paham mengenai perkembangan pasar.

Orang yang ditunjuk oleh Mardioko itu bernama Hartono, Kepala Bidang Retribusi. Hartono mengungkapkan bahwa Dinas Pasar telah melakukan pengembangan dan pengelolaan pasar dengan dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.

”Secara intensifikasi yaitu selalu inten menarik potensi yang ada di pasar Malang dengan menarik retribusi sedangkan ekstensifikasi adalah dengan menumbuhkan Pasar Desa menjadi Pasar Daerah”, katanya.

Dalam prakteknya, penanganan pasar tradisional yang dilakukan pemerintah hanya berkisar pada pemaksimalan pemasukan retribusi kedalam kas daerah. Sedangkan persoalan pembenahan kondisi pasar dan pemberdayaan pedagang kecil di pasar tersebut tidak pernah dijalankan dengan serius. Pemerintah melalui Dinas Pasar hanya memikirkan bagaimanana agar retribusi yang ditarik setiap hari dari pedagang dapat memenuhi target yang telah dicanangkan.

Target tersebut harus terpenuhi karena rertribusi merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Anggaran Daerah) bagi Pemerintah. Seperti tahun 2006, pendapatan dari pasar telah sesuai dengan yang ditargetkan yaitu sebesar 2,3 milyar. Namun dari pendapatan tersebut, yang dialokasi untuk biaya pemeliharaan hanya sebesar 1,489 milyar, sisanya digunakan untuk gaji pegawai baik PNS, jasa non PNS dan biaya operasinal.

Pasar Kebalen dan Pasar Induk Gadang adalah selembar potret yang menggambarkan kondisi dan pengelolaan serta perhatian pemerintah terhadap pasar tradisional secara umum di kota Malang. Karena kondisi yang sama, walaupun dengan sekala yang berbeda, juga dialami oleh beberapa pasar tradisonal di Malang seperti Pasar Dinoyo, Pasar Mergan, dan pasar-pasar tradisional lainnya di kota Malang.

Image yang terbangun bahwa pasar tradisional itu kotor, kumuh, berantakan, dan sederet konsepsi negatif lainya memang tidak terlepas dari realitanya. Ironisnya realita tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan perbaikan. Dan pada giliranya kondisi tersebut dianggap wajar baik oleh pedagang maupun pelanggan yang kebanyakan berasal dari dari kalangan menengah kebawah.

Kondisi pasar tradisional dan kelangsungan hidupnya merupakan masalah sosial yang harus diperhatikan oleh banyak pihak, utamanya oleh Pemerintah. Karena pasar tradisional merupakan urat nadi perekonomian masyarakat kecil yang masih menjadi mayoritas di negeri ini. Dan keberadaanya menyangkut hajat hidup sekian juta nyawa.

Dr. Harsono, Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Merdeka (UNMER) Malang, membenarkan pernyataan tersebut. ” Keadaan pasar seperti saai ini sudah seharusnya mendapat perhatian lebih. Karena jika dibiarkan, sektor ekonomi usaha kecil bisa habis, karena ditinggal oleh konsumen. Bagaimana tidak ? pasar radisional yang kumuh, becek, sampah di mana-mana, adalah keadaan tak memungkinkan untuk didatangi. Konsumen akan memilih belanja di tempat yang lebih bersih dan nyaman”, katanya.

Harsono menambahkan bahwa untuk menanggulanginya seharusnya pemerintah membuat kebijakan dengan memiliki Rencana Induk Pengembangan Pasar. Yaitu suatu rencana yang diwujudkan dalam bentuk dokumen, yang memuat perencanaan umum (master plan) pembangunan pasar secara berkelanjutan.

Dengan begitu pemerintah bisa punya ancang-ancang pembangunan pasar dari jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan jangka pendek seperti, penataan komoditi, ketertiban lalu lintas, kebersihan, lahan parkir, pengaturan jarak antara pasar tradisional dan pasar modern agar tidak saling mematikan.


Untuk jangka menengah seperti, masalah relokasi, pembangunan fisik jika ada yang perlu dibenahi. Juga apabila pasar sudah tak layak ditempati karena tak seimbang antara tempat dan pedagang yang terlalu banyak. Kalau bisa pasar harus ada unsur rekreasi, unsur kenyamanan terhadap pengunjung.

Sedangkan untuk jangka panjang adalah perbaikan pembinaan pedagang, penghidupan koperasi pedagang, kerjasama pedagang dengan pusat-pusat comoditi, seperti holty cultural, petani dan lain-lain.

Jika pemerintah memiliki Rencana Induk Pengembangan Pasar, maka pembangunanya bisa teranggarkan dan bisa lebih terarah. Dengan demikian, perhatian pemerintah dan pengembangan sector ekonomi usaha kecil bisa bisa lebih terjamin.

Sayangnya pemerintah kota Malang tidak memiliki Rencana Induk Pengembangan ini. Hartono, yang mewakili kepala Dinas Pasar mengakui hal tersebut. Jadi wajar kalau pengembangan pasar di kota Malang terabaikan. Kalupun ada usaha penembangan, hal tersebut hanya merupakan tindakan insindentil yang minim kajian. relokasi pasar Kebaeln yang gagal seperti disinggung di atas merupakan salah satu bukti.

Lebih jauh, Harsono menyatakan bahwa membangun pasar tradisional yang ideal bukan tidak mungkin. Pasar tradisional yang ideal adalah pasar yang bersih, luas, bangunan dan pembagian comoditi yang dijual oleh pedagang tertata dengan baik.

”Artinya, pasar tersebut tertata sesuai dengan jenis barang. Misalnya, bagian pedagang buah di kelompokkan sendiri, sayur mayor juga demikian, ikan ada penempatan tersendiri dan sebagainya. Sehingga, konsumen pun tak bingung-bingung untuk mencari mana pedagang buah dan sayur”, katanya.

Selain itu, sebuah pasar yang baik juga juga harus dilengkapi dengan menegemen parkir dan pembuangan sampah yang baik. Fasilitas umum, seperti toilet dan musholla juga harus memadai.

Hari depan pasar tradisional
Jika kondisi pasar tradisional di kota Malang yang tak kunjung membaik tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin pada akhirnya ia akan ditinggalkan oleh konsumen. Gambaran dari kemungkinan ini akan semakin terang jika melihat apa yang terjadi pada pasar tradisional di beberapa kota besar di Indonesia. Utamanya ketika pasar tradisional harus dihadapkan pada persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern.

Kondisi pasar tradisional yang tak kunjung membaik di satu sisi dan perkembangan pasar modern yang kian pesat di sisi lain menjadi alasan utama terancamnya keberadaan pasar tradisional tersebut. Karena seiring dengan perubahan zaman, pola pikir dan gaya hidup masyarakat juga akan akan semakin condong pada paradigma modernitas. Salah satu bentuknya adalah konsumen akan cenderung menilai interaksi sosial-emosional yang selama ini menjadi jiwa dalam setiap transaksi dalam pasar tradisonal sebagai suatu yang tidak penting. Sebagai gantinya, pola-pola transaksi fungsional praktis dan instan yang ditawarkan pasar modern akan semakin diminati. Penilaian bahwa pasar modern lebih baik, nyaman, bersih dan bisa dijadikan tempat rekreasi bagi keluarga juga merupakan alasan tersendiri bagi konsumen untuk meninggalkan pasar tradisional.

Persaingan tidak seimbang akan terjadi manakala komoditas yang ditawarkan pasar modern sama dengan yang di jajakan pedagang pasar tradisional. Apalagi dengan besarnya modal yang dimikinya, tak jarang pengelola pasar modern dapat menawarkan harga dibawah harga normal yang ada dipasar tradisisonal. Hal ini dapat dilihat di supermarke-supermarket bermodal besar dan memiliki jaringan luas semacam Carefour, MAKRO atau HERO. Persaingan tidak seimbang anatara pasar modern dan tradisional ini telah terjadi di Jakarta dan kota-kota besar laianya.

Di Surabaya misalnya, perkembangan pasar modern akhir-akhir ini sangat pesat. Sampai akhir tahun 2005 pasar modern di Surabaya sudah mencapai 228 buah. Terdiri dari 43 super market, 10 depertemen store, 27 factory outlet dan 148 minimarket. Dengan banyaknya pasar modern yang muncul, pasar tradisional terancam terpinggir bahkan mulai tinggalkan oleh konsumen. Sehingga kemudian muncul ide untuk membatasi keberadaan pasar modern di kota tersebut. (kompas Jatim,7/6/2006)

Di Jakarta, persaingan tidak seimbang antara pasar tradisional dan pasar modern telah sedemikian parahnya, hingga memakan korban. Tak sedikit pedagang pasar tradisional yang gulung tikar akibat persaingan tersebut. Menurut Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI), sekitar 400 toko di pasar tradisional tutup usaha tiap tahun akibat persaingan tersebut.

Keadaan seperti di Surabaya dan Jakarta tidak mustahil akan erjadi pula di kota Malang. Kemungkinan ini nampaknya akan semakin mendekati kenyataan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sampai saat ini pemerintah Kota Malang masih belum menunjukan keberpihakanya pada pasar Tradisional.

Dan sebaliknya, tren kebijakan Pemerintah Kota malah menunjukan sikap yang sangat berpihak pada pengelola pasar modern. Menjamurnya pusat perbelanjaan modern di Kota Malang dan tetap berdirinya Malang Town Square (MATOS), yang konon merupakan swalayan terbesar di Jawa Timur, ditengah penolakan sekian elemen masyarakat Kota Malang mengisyaratkan tren tersebut. Terus berjalanya proyek Malang Olympic Garden (MOG) beserta paket mall atau plaza didalamnya yang seakan tak memperdulikan polemik yang menyertainya juga merupakan bukti yang lain.

Bila keadaan ini terus berlanjut, maka kepunahan pasar tradisional di Kota Malang tinggal menunggu waktu. Akibatnya, nasib sektor perekonomian kecil akan semakin terpinggirkan. Dan yang pasti, kelangsungan hidup sekian ribu orang yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan pasar tradisional tersebut akan semakin terancam.

Karena pasar tradisional tidak hanya merupakan tulang punggung sektor ekonomi mikro, tapi lebih dari itu ia juga adalah ujung dari serangkaian rantai ekonomi. Sebuah hubungan ekonomi yang terjalin mulai dari sektor hulu sampai hilir yang melibatkan sekian banyak pihak. Maka segala kemungkinan yang terjadi pada pedagang di pasar tradisional imbasnya tidak hanya akan dirasakan oleh pedagang itu sendiri, tapi juga oleh piha-pihak yang terlibat dalam rantai ekonomi dibelakangnya.

Selain itu, ruang sosial yang terbentuk melalui interaksi dalam transaksi yang berjalan di pasar tradisional juga akan menjadi masa lalu, jika pasar tradisional ditinggalkan konsumen. Seperti diketahui, pasar tradisional tidak hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli yang kosong dari hubungan sosial dan emosional.

Lebih dari itu, pasar tradisional juga merupakan sarana interaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat yang pada giliranya akan menimbulkan hubungan-hubungan sosial. Sebuah pola interaksi yang tidak akan ditemui di pusat perbelanjaan modern yang berjiwa individualistik. Pertukaran informasi dan pengetahuan praktis mengenai ekonomi juga terjadi disini. Dan yang tak kalah penting adalah dalam interaksi tersebut juga akan tersemai nilai-nilai kebersamaan dan unitarian. Sebuah nilai yang di dalam alam modernitas-kapitalistik ini menjadi semakin menjadi langka.

Selanjutnya, yang perlu diinggat juga adalah kemungkinan effek domino yang akan muncul akibat gulung tikarnya pasar tradisional tersebut. Angka pengangguran yang meningkat yang kemudian disusul dengan munculnya permasalahan-permasalahan sosial ditengah masyarakat menjadi hal yang sudah dapat diprediksi secara logis.

Akhirnya, keseriusan pemerintah dalam mengelola pasar tradisisonal dan komitmen untuk memberdayakan rakyat kecil layak untuk kembali ditegaskan. Agar pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian kecil tatap menjadi suatu yang menawan. Seperti yang di katakan E.F. Schumacher, seorang ahli ekonomi politik Inggris kelahiran Jerman, dalam bukunya mengenai unit usaha kecil ; ” Kecil itu indah”.

Read more...

Ber (Agama) Oedipus Complex

Sebelum memulai tulisan, muncul anggapan bahwa tulisan ini hanyalah sebuah review atau kliping yang memalukan dan tidak layak dibaca. Siapapun bisa membacanya sendiri tanpa harus disajikan ulang. Namun, bagaimanapun bentuk tulisan, di dalamnya terdapat pemahaman yang siap diadu dan dipertanggung jawabkan. Atas dasar itulah tulisan ini tetap disajikan.

Pembahasan agama yang dilakukan Freud bisa ditemukan dalam karyanya Totem and Taboo, The Future of an Illusion, Civilization and Its Discontents, dan Mose and Monotheism. Pada karya-karya tersebut Freud menyajikan uraian-uraian yang berbeda walaupun intinya sama. Untuk memudahkan pemahaman, maka uraian Freud tentang agama akan dibagi dalam tiga item yang tersebar dalam literatur berbeda.

Tuhan dan Pengobat Rasa Bersalah
Freud mengawali konsentrasinya tentang agama sejak persinggungannya dengan Animisme yang ditemukan pada suku-suku primitif. Freud melihat proses-proses animasi pada suku-suku primitif, yaitu memiliki jiwa yang bisa meninggalkan tempatnya dan memasuki makhluk lain. Jiwa ini adalah pelaku aktivitas spiritual. Namun, Freud menyangkal bahwa Animisme adalah agama, Animisme masih merupakan prakonsisi-prakondisi bagi terciptanya agama.

Berdasarkan penelitian yang ditekuni, Freud menghasilkan daftar aturan-aturan yang diterapkan oleh suku-suku primitif. Freud merangkum aturan-aturan itu menjadi dua, yaitu larangan membunuh binatang totem (binatang yang dianggap nenek moyang yang melindungi) dan larangan perkawinan sedarah (inses). Pelanggaran terhadap aturan pertama harus ditebus dengan upacara-upacara tertentu. Jika terjadi peperangan dan terjadi pembunuhan musuh, maka mayat musuh harus diberi penghormatan dengan upacara-upacara khusus. Upacara tidak lain sebagai bentuk penyesalan dan penebusan dosa pembunuhan. Pembunuhan terpaksa harus dilakukan sebagai upaya mempertahankan diri agar tidak terbunuh oleh musuh.

Demikian pula dengan apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran atas aturan kedua. Suku-suku primitif memiliki pembagian-pembagian klan tersendiri untuk menentukan mana yang boleh dinikahi dan yang terlarang. Pelanggaran terhadap aturan ini berakibat fatal bagi pelakunya, yaitu berupa hukum cambuk, larangan keluar dan lain sebagainya. Melalui karyanya, Totem and Taboo Freud menyimpulkan mengapa suku-suku primitif menerapkan aturan-aturan sangat ketat terhadap kedua obyek tersebut, tidak lain sebagai usaha menghindari pembunuhan ayah dan terjadinya perkawinan sedarah. Keduanya dilarang karena dianggap sebagai tindakan jahat dan wajib direpresi melalui aturan-aturan dan hukuman. Seperti tindakan-tindakan sebelumnya, Freud menghubungkan sistem yang berlaku pada suku-suku primitif dengan Oedipus Complex masa kanak-kanak. Kebutuhan memiliki (dalam pengertian untuk menyalurkan libido inses) dan agresivitas masa kanak-kanak ini berpengaruh besar “dan utama” dalam kehidupan psikis seseorang (dan kolektif). Sampai pada saat ditemukan dimana suku-suku primitif mengenal dewa-dewa, Freud tetap menghubungkannya dengan Oedipus Complex. Namun, pada tulisan ini, keterangan Freud tentang agama tidak hanya ditujukan pada penelitiannya terhadap suku-suku primitif, tetapi lebih luas sampai pada masyarakat modern. Pada masa kanak-kanak seseorang (anak laki-laki) berkeinginan memiliki ibu secara penuh, tetapi keinginan itu tidak secara tiba-tiba terpenuhi, sebab ada sosok ayah. Ayah adalah sosok yang menakutkan, memiliki kekuatan untuk mengebiri anak, sehingga anak memiliki ketakutan untuk dikebiri (Castration Complex). Untuk memenuhi keinginannya, maka anak harus membunuh ayahnya (pengertian membunuh di sini adalah membenci). Namun demikian, tindakan ini tetap menyebabkan munculnya perasaan bersalah luar biasa pada anak. Sebagai konsekuensinya anak mencari pengobat perasaan bersalahnya, sekaligus mencari pengganti ayah (father substitute) untuk melindungi diri si anak. Kelemahan emosi dan ancaman-ancaman dari dunia luar, berupa rasa sakit, tidak menyenangkan menuntut anak mendapatkan father substitute.

Mendesaknya kebutuhan pengobat rasa bersalah dan kebutuhan father substitute, maka Tuhan muncul (dimunculkan). Tuhan hadir sebagai pengganti ayah yang mampu melindungi dengan ke-maha kuasaannya. Dengan nalar tersebut psikoanalisis dengan pasti menegaskan bahwa Tuhan hanyalah ayah yang “ditinggikan” atau dalam literatur berbeda disebut sebagai ayah angkat. Freud menggunakan istilah Tuhan paternal untuk menyebutnya. Dalam konteks ini analisis Freud mungkin sesuai untuk menjawab mengapa sering kali dalam andaian sosok Tuhan sering kali muncul dengan ciri-ciri dan karakter laki-laki.

Dalam penjelasan yang lebih konkrit, Freud mengambil contoh dalam mitos Kristen. Dia menyebutkan bahwa manusia memiliki beban dosa asal karena melawan Allah Bapa. Untuk menebus dosa tersebut, maka Kristus mengorbankan nyawanya. Contoh di atas tidak lebih dari perasaan bersalah Kristus atas perbuatan manusia yang telah melawan Allah Bapa. Sampai sekarang pun umat kristiani tetap menanggung dosa asal sebagai akibat perlawanannya terhadap Allah Bapa.

Perasaan Ke-samudera raya-an
Freud sebagaimana sampai saat ini terus mendapat perhatian bagi banyak orang di seluruh dunia. Saat menyinggung permasalahan agama, dia banyak mendapatkan surat sebagai sarana diskusi tentang agama. Salah satu pengakuan yang dieksplornya adalah perasaan ke-samudera raya-an. Korespondennya mengaku memiliki perasaan yang disebutnya sensasi keabadian, perasaan tentang sesuatu yang tanpa batas, dan tak terhingga.

Freud menyatakan bahwa koresponden tersebut sedang terancam oleh penyatuan dengan dunia luar (sesuatu yang tanpa batas dan tak terhingga). Dia mengalami keterikatan dengan dunia luar. Dalam hal ini berarti kekacauan struktur psikologis telah terjadi. Normalnya, antara ego dan dunia luar memiliki garis yang jelas, namun dalam perasaan ke-samudera raya-an garis antara ego dan dunia luar menjadi kabur. Padahal kerancuan struktur psikologis ini adalah penyebab patologi. Penderita patologi tidak akan dapat membedakan egonya dengan dunia luar, bahkan persepsi, pikiran dan perasaannya sendiri menjadi sesuatu yang asing.

Nalar struktur psikologis yang diungkapkan oleh Freud menjadi alasan kuat mengapa perasaan tentang adanya sesuatu yang seolah-olah seperti samudera raya dianggap sebagai patologi.

Proyeksionis Agama
Sejak lahir manusia memiliki dorongan kesenangan. Namun, pencapaian kesenangan tidak serta merta dapat terpenuhi. Untuk memenuhinya bayi harus berhadapan dengan ayah yang sangat menakutkan. Pada saat dewasa manusia terus mengalami ketakutan-ketakutan terhadap kekuatan yang mematikan, yaitu alam. Pada masa kanak-kanak, ketidakberdayaan bayi terbantu oleh ayah yang mahakuat. Lain halnya dengan masa dewasa, perlindungan pada masa kanak-kanak tidak ditemukan lagi. Sebagai pengganti ayah, manusia lalu memproyeksikan adanya wujud Tuhan yang akan menjadi pelindung menghadapi kekuatan alam yang mematikan. Kekuasaan Tuhan akan memberikan kenyamanan saat menghadapi kematian dan memberikan pahala karena telah menaati aturan-aturan yang dipaksakan. Setelah mati, manusia akan hidup bersama Tuhan.

Itulah yang disebut Freud sebagai ilusi. Manusia mempercayai agama karena sangat menginginkan semuanya menjadi benar. Jadi agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, apalagi dibuktikan secara ilmiah, tetapi ide-ide yang ciri utamanya adalah bahwa manusia menginginkan kebenaran dari ajaran tersebut. Dengan ketakutan-ketakutan, manusia menggantinya dengan keinginan kebenaran tersebut. Ilusi-ilusinya membuat manusia rela menunaikan rutinitas irrasional dengan tujuan mendapatkan pahala dan menghindari dosa. Sama seperti Oedipus Complex pada masa kanak-kanaknya, semua orang merepresi dorongan-dorongan kesenangan dengan menaati rambu-rambu agama. Penjelasan Freud tentang proyeksionis agama ini banyak terinspirasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach yang menyatakan bahwa agama hanyalah alat psikologis yang digunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-ideal kepada wujud “Tuhan”.

Diakhir, Freud menjawab pertanyaan penting dari kedua teman yang karyanya banyak dikutip, Tylor dan Frazer. Keduanya mempertanyakan, mengapa orang-orang masih saja sibuk mempertahankan agama yang jelas-jelas mengada-ada dan irrasional ? Dengan cerdas Freud menjawab dengan keahliannya, psikoanalisis bahwa agama bukanlah perkara rasional, tetapi perkara alam bawah sadar. Agama muncul dari konflik psikologis masa kanak-kanak yang berada di bawah kenormalan dan rasionalitas. Agama hanya muncul sebagai respon terhadap konflik yang sudah ada sejak masa kanak-kanak dan kelemahan emosional yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu tidak ada gunanya mengharapkan orang-orang beriman berhenti dari neurosisnya. (apa neurosis dalam bahasan ini)

Secara sederhana Freud ingin menyampaikan bahwa agama muncul dari ketidakharmonisan kehidupan psikis yang sudah ada sejak lahir. Dorongan kesenangan dan ketakutan yang tidak dapat dipertemukan sedemikian hebatnya menentukan kehidupan manusia. Agama memaksa dorongan kesenangan untuk menghuni alam bawah sadar yang terus menerus direpresi dengan aturan-aturannya. Alam bawah sadar dijaga secara ketat agar tidak terluap dalam kesadaran sampai pada akhirnya dorongan-dorongan tampak tidak pernah ada.
Lebih lanjut Freud mengharuskan peradaban (yang salah satunya dibangun oleh agama) sebagai kekuatan yang harus bertanggung jawab terhadap terjadinya neurosis-neurosis. Peradaban tumbuh dengan jalan merintangi dorongan-dorongan dari diri manusia. Namun, yang menjadi kesulitan, jika dorongan itu dilepaskan, maka peradaban tidak akan tumbuh dan jika tidak ada peradaban maka manusia tidak akan hidup. Freud tidak seperti sosiolog yang menjelaskan bagaimana peradaban itu, hanya secara implisit yang dapat difahami, Freud mengatakan peradaban adalah keteraturan dalam masyarakat.



Sumber tulisan ini diambil dari literatur Freud yang sudah diterjemahkan: Totem and Taboo (2002), Civilization and Its Discontents (2002), Mose and Monotheism (2003), Sigmund Freud: Pemikiran dan Kritik Agama (2003) karya Joachim Scharfenberg dan Seven Theories of Religion (2001) karya Daniel L. Pals.



Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.