Selasa, 23 Desember 2008

MEMBUNUH MOCKINGBIRD


“………membunuh mockingbird--sejenis burung murai bersuara merdu--itu dosa,” ujar Nyonya Maudie kepadaJean Louise “Scout” Finch.

MOCKINGBIRD berlatar tahun 1930-an, di mana isu rasialisme masih kencang dan mengakar amat dalam di wilayah-wilayah Amerika Serikat, terutama di pedesaan-pedesaan. Salah satu sejarah tergelap Negeri Paman Sam. Klu Klux Klan, organisasi penyebar kebencian dan anti-kulit hitam, pada masa itu memiliki hampir 5 juta pengikut.

Lokasi cerita novel ini di sebuah daerah bernama Maycomb, Alabama. Pergerakan narasinya dikendalikan dari bibir Scout Finch, gadis tomboi yang memulai kisah ini pada usia 6 tahun, sebagai sudut pandang pertama. Selain Scout, ada beberapa nama yang tercantum dalam lembaran-lembaran novel ini diantaranya: Paman Jack Finch, Dill Harris, Calpurnia, Boo Radley, Tom Robinson, Nyonya Caroline Fisher, Bibi Alexandra, Sherif Heck Tate, Nyonya Maudie Atkinson, Nyonya Dubose, Hakim Taylor, Mayella Ewell, Bob Ewell, Stephanie Crawford, Tuan Gilmer, Tuan Radley, Walter Cunningham dan anaknya.

Scout kehilangan sosok ibu saat ia berumur dua tahun. Sejak itulah, Atticus Finch—serta Calpurnia, pembantu kulit hitam keluarga Finch—adalah penuntun moral dalam novel ini. Keduanya memersatu fisik dan emosional Jem dan Scout ke jalur yang benar. Atticus menjadi figur ayah-pengacara-pengasuh bagi kedua anaknya. Calpurnia adalah bayangan Atticus di ruang dapur. Dia tak cuma melayani urusan makanan tapi juga mengejarkan kebajikan-kebajikan sederhana bagi kedua anak majikannya.

Di awal cerita, pembaca disuguhkan petualangan Scout, Jem, dan Dill akan Radley Place. Sebuah rumah yang dulunya berwarna putih, kini telah menggelap sewarna dengan abu-abu batu di sekelilingnya. Genting rumah dikeroposi hujan. Halaman tidak terawat, banyak ditumbuhi semak-semak dan rumput liar.

Readly Place menjorok ketikungan tak jauh dari rumah keluarga Finch. Keluarga Readly tidak pernah keluar rumah. Mereka menutup diri. Nyonya Readly tidak pernah minum kopi bersama para tetangganya. Tuan Readly keluar ke kota setiap pukul 11.30 dan kembali ke rumah 30 menit kemudian. Menutup diri; merupakan kecendrungan yang tak termaafkan di Maycomb.
Dill memberi ide kanak-kanaknya pada Scout dan Jem untuk memaksa Boo Radley ke luar dari rumah misterius tersebut. Boo anak keluarga Radley. Dia tak pernah terlihat selama Jem dan Scout lahir. Dia seakan dikurung oleh ayahnya. Mereka hanya mengenal Boo dari cerita tetangga-tetangga. Ceritanya menakutkan.

Berbagai macam cara telah mereka lakukan. Namun Boo tidak pernah keluar dari rumahnya. Hingga, pada suatu malam, Atticus membangunkan Scout. “Sayang, bangun,” sambil menyodorkan mantel mandi dan jaketnya. “kenakan mantelmu dulu. Cepat sayang. Ini sepatu dan kaus kakimu,” kata Atticus. Dengan bingung, Scout mengenakannya. “Apa sekarang sudah
pagi?” tanya Scout.

“Belum, baru jam satu lewat. Cepatlah.”

Di pintu depan Scout dan Jem melihat api menyeruak dari jendela ruang makan Nyonya Maudie. Sirene kebakaran meraung seolah-olah menegaskan apa yang sedang mereka lihat. “Rumah itu terbakar habis, ya?” tanya Jem

“Sepertinya begitu,” kata Atticus. “Sekarang dengarlah, kalian berdua. Pergilah ke depan Radely Place dan berdiri di sana. Jangan menghalangi jalan, mengerti!.

Saat Scout dan Jem sibuk menonton kebakaran. Tanpa sepengetahuan mereka berdua Boo Radley menyelinap keluar dari rumah untuk menyelimuti Jem dan Scout—berbalik—menyelinap masuk kembali. Keusialan Jem, Dill, dan Scout di balas dengan kebaikan oleh Boo.
Lalu kisah bergerak pada kasus Tom Robinson—pemuda berkulit hitam—didakwa telah memperkosa Mayella Ewell. Sejak Atticus menagani kasus Tom, ia sering mendapat cemoohan. Di sekolah Scout mendapat ejekan dari teman-temannya “Wee... pembela nigger, pencinta nigger,” ejek mereka.

“Aku minta satu hal, kalau kau mau,” kata Atticus. “Tegakkan kepalamu tinggi-tinggi dan tahan tanganmu untuk memukul. Apa pun yang dikatakan orang kepadamu, jangan dimasukkan ke hati. Cobalah untuk melawan dengan pemikiranmu…..sebaiknya begitu, meskipun mereka akan terus melawan,” Atticus menasehati Scout

Atticus yakin kasusnya tidak akan menang di pengadilan. Dalam ketidakpahaman Scout, Atticus menjawab. “Hanya karena kita telah tertindas selama seratus tahun sebelum kita memulai melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berusaha menang,” tutur Atticus. “Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah hati nurani,” tambahnya.

Akhirnya apa yang diyakini oleh Atticus, benar-benar terjadi. Meskipun dalam pembelaannya Tom Robinson tidak terbukti bersalah. Di dalam pidatonya—sebelum juri memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak—Atticus berpidato.

“Tuan-tuan,” Atticus berkata, “Penjelasan saya singkat saja, tetapi saya inggin menggunakan waktu saya yang tersisa bersama Anda untuk mengingatkan bahwa kasus ini bukan kasus yang sulit, tidak memerlukan penelusuran fakta rumit secara sesama, tetapi hanya memerlukan keyakinan Anda yang tidak bisa disangkal tentang bersalah-tidaknya terdakwa. Pertama-tama, kasus ini semestinya tidak dibawa ke ruang sidang. Kasus ini sesederhana hitam dan putih.”
Tidak ada secuilpun bukti Tom Robinson bersalah, bahkan bukti medis menyatakan bahwa kejahatan yang didakwakan kepadanya tidak benar. Atticus yakin bahwa yang bersalah adalah Bob Ewell—ayah kandung Mayella.

“Apakah bukti pelangarannya?” kata Atticus “Tom Robinson, seorang manusia. Dia (Bob Ewell) harus menyingkirkan Tom Robinson dari hadapannya. Tom Robinson akan mengingatkannya setiap hari akan perbuataanya. Apa yang dilakukannya? Dia (Mayella) menggoda seorang Negro.
“Yang kita ketahui, Tuan-Tuan, bahwa asumsi tersebut adalah kebohongan sehitam kulit Tom Robinson, kebohongan yang tak perlu saya tekankan kepada Anda. Anda tahu kebenarannya, dan kebenarannya adalah begini: sebagian orang Negro berbohong, sebagian orang Negro tak bermoral, sebagian orang Negro berbahaya bagi perempuan—yang berkulit hitam maupun putih. Tetapi, kebeneran ini berlaku bagi seluruh umat manusia dan tidak khusus pada satu ras saja. Tak ada orang di dalam ruangan pengadailan ini yang belum pernah berbohong, yang belum pernah berbuat amoral, dan tak ada lelaki hidup yang tak pernah memandang seorang perempuan dengan hasrat,” tegas Atticus.

Sayangnya, para juri masih berprasangka bahwa seorang Negro derajatnya lebih rendah dari ras lainnya—apapun kesaksiannya adalah kebohongan. Hakim Taylor membacakan putusan juri: “Bersalah…….bersalah……..bersalah……” Begitulah pada akhirnya nasib Tom Robinson yang dibela Atticus.

Pada akhir cerita. Pembaca akan tahu mengapa Harper Lee memberi judul “To Kill A Mockingbird,” pada novelnya.

Bagi Nyonya Maudie, kata ‘mockingbird’ terkait suatu perilaku ‘dosa’. Katanya pada Scout, “Kau boleh menembak burung bluejay sebanyak yang kau mau, tetapi ingat, membunuh mockingbird itu dosa.” Dia memberikan alasan bahwa “Mockingbird menyanyikan musik untuk kita nikmati. Mereka tidak memakan tanaman di kebun orang, tidak bersarang di gudang jagung, tidak melakukan apapun, kecuali menyanyi dengan tulus untuk kita.”

Selanjutnya ‘mockingbird’ hadir tatkala anjing pemburu bernama Tim Johnson berada di jalanan dengan sikapnya yang aneh. Pintu-pintu rumah ditutup. Jalanan Sepi. Mockingbird tak bernyanyi. Situasi senyap seperti itu diingatkan kembali oleh Scout tatkala para pengunjung sidang menunggu putusan juri akan nasib Tom Robinson.

Ujungnya, rencana pembunuhan Bob Ewell terhadap Jem di jalan. Jem terluka dan pingsan tapi Ewell mati seketika saat penyerangan terjadi. Sherif Tate meyakinkan Atticus bahwa Ewell jatuh menimpa pisaunya sendiri. Atticus tak mempercayai ini. Namun Heck Tate menegaskan itulah kenyataannya. Ini dibenarkan Scout saat Atticus berseloroh. Atticus terkejut dan Scout menjawab “Itu sama saja dengan menembak mockingbird”.

Pada titik itulah pembaca dapat memahami judul novel ini. Harper Lee membawa si burung ‘mockingbird’ bernyanyi di awal-awal ceritanya. Lalu dia menaruhnya di setengah bagian cerita ini dan berhenti di ujung kisah.

Sebuah novel yang unik, cerdas, dan bermutu. Pembaca tak mungkin bisa memahaminya dengan utuh dan lengkap jika tidak membaca lembar demi lembar dari awal sampai akhir kisah novel ini.

TO KILL MOCKINGBIRD terbit pertama kali pada 11 Juli 1960. Pada tahun pertama, Mockingbird mencatat rekor penjualan luar biasa dalam sejarah penerbitan. Ia terjual 2,5 juta kopi, cetak 14 kali, menjadi buku pilihan dari tiga klub buku masyarakat Amerika sekaligus: Reader's Digest Condensed Books, the Literary Guild, dan Book-of-the-Month Club. Ia juga jadi pilihan British Book Society dan terbit di Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia dan Cekoslowakia.

Akhirnya, Mockingbird terjual 30 juta dan pada 1 Mei 1961 ia meraih Pulitzer Prize, sebuah penghargaan prestisius yang diakui secara luas dan internasional. Pada perayaan tahun kedua penerbitannya, Mockingbird masuk sebagai daftar buku terlaris selama 100 minggu dan terjual lebih dari 5 juta kopi di 13 wilayah.

Harper Lee dan Mockingbird mengilhami para sineas Hollywood membikin versi layar lebar. Pada 1962 film Mockingbird dirilis. Setahun kemudian, dalam ajang Academy Awards, film ini mendulang tiga Piala Oscar dari delapan nominasi. Gregory Peck, yang memerankan Atticus, meraih aktor terbaik; Horton Foote untuk penulis naskah terbaik; satunya untuk tata dekorasi terbaik.

Novelnya memetik pelbagai penghargaan. Namun, Harper Lee melewatinya tanpa menghadiri acara pengukuhan. Pada 1990, ia termasuk salah satu dari lima orang yang menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Alabama, bekas kampusnya yang tak sampai tamat, tapi Harper Lee tak turut menyampaikan ucapan penghargaan itu. Hal sama juga dia lakukan saat menerima doktor kehormatan bidang humaniora dari Spring Hill College, Mobile Alabama, pada 1997. Pada 1999, Mockingbird terpilih sebagai ‘Best Novel of the Century’ yang diadakan oleh Library Journal, ia pun tak menghadirinya.

Maret 2005, 45 tahun sejak Mockingbird terbit pertama kali, itu hari pertamanya menghadiri penghargaan. Harper Lee pergi ke Philadelphia, untuk menerima ‘ATTY Award’ dari Spector Gadon & Rosen Foundation. Lee menerima penghormatan untuk gambaran postif para pengacara dalam kesusasteraan. Atas prakarsa Janda Gregory Peck, Veronique Passani, Harper Lee ke Los Angeles dari Monroeville di tahun yang sama untuk menerima Los Angeles Public Library Literary Award. Harper Lee juga menerima gelar kehormatan dari University of Notre Dame, 21 Mei 2006.

Bagi Harper Lee, To Kill A Mockingbird merupakan “A love story and pure.” Kini, Harper Lee menghabiskan masa tuanya di Monroeville dan sesekali ke New York City.
Pada tahun 2006, 46 tahun kemudian, novel ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Qanita. Naik cetak untuk kedua kalinya pada 2008.








Read more...

Senin, 15 Desember 2008

PERISTIWA MENJELANG REFORMASI


MALAM DI SURABAYA, 8 JULI 1996. Lampu-lampu yang menerangi lorong-lorong gang di sekitar jalan Kedung Tarukan II masih menyala. Dari sebuah rumah nomer 22, lamat-lamat terdengar beberapa orang sedang mengadakan rapat, menindaklanjuti tertangkapnya Dita Purbasari, ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Coen Husien Pontoh, ketua bidang pendidikan Serikat Tani Nasional (STN). Mereka ditangkap karena mengadakan aksi bersama ribuan buruh, siang tadi.

Rumah itu adalah sekretariat Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Dalam rapat itu, menyepakati akan mengadakan aksi lanjutan. Moh. Soleh atau akrab dipanggil Oleng terpilih sebagai koordinator lapangan. Namun, dengan berbagai pertimbangan David Kris menolak mengadakan aksi lanjutan sembari ngeloyor dari ruang itu.

Keesokan harinya, Oleng memimpin aksi lanjutan. Jumlah mereka tidak sebanyak aksi-aksi sebelumnya. Aparat keamanan dengan mudah mematahkan aksi itu, Oleng pun ditangkap. kabar tertangkapnya Oleng sampai ke telinga David Kris.

Sejak itu, ia jarang ke sekretariat SMID. Disamping itu, ia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapai ujian skripsi pada 17 Juli 1996. Akhirnya, tanpa aral 270 halaman mampu ia pertanggung jawabkan di depan penguji, ia mendapat nilai B.

Namun, setelah ujian skripsi ia masih disibukan dengan refisi dan memperbaiki rumah. Sejak ayahnya meninggal, David Kris menggantikan peran ayah dikeluarganya. Niat untuk berangkat ke Jakarta ia batalkan.

Beberapa hari yang lalu ia dikontak teman-temannya untuk berangkat ke Jakarta. Kris diminta untuk membuat acara kesenian di mimbar bebas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik

Pada 22 Juli 1996 di kantor YLBHI, Jakarta. Organisasi Persatuan Rakyat Demokratik berubah menjadi sebuah partai politik, Partai Rakyat Demokratik, keduanya memiliki singkatan yang sama yakni; PRD.

Kris hanya mendengar perkembangan SMID dan PRD dari beberapa temannya. Ia mendapat kabar bahwa di sekeratariat ada berbagai masalah, diantaranya; kepergian Sardiyoko tanpa pamit dan kejengkelan Herman Hendrawan karena pintu-pintu kamar terkunci. Lalu, Pintu-pintu itu ia dobrak.

PADA 27 JULI 1996, JAM MENUNJUKAN PUKUL 18.30. Kris masih sibuk merefisi skripsi. Dari ruangan tengah kakak perempuannya memanggil untuk meyaksikan siaran berita. Ia segera beranjak. Dalam acara Seputar Indonesia (RCTI) menayangkan kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Ratusan massa bersitegang dengan aparat militer.

Peristiwa itu, bermula dari pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di jalan Diponegoro 58 Jakarta, oleh massa pro-Soerjadi terhadap massa pro-Megawati yang bertahan menempati kantor. Penyerbuan terhadap kantor DPP PDI, awalnya sekitar pukul 06.00 oleh sekitar 200 orang yang mengaku pro-Soerjadi dengan melakukan pelemparan batu.

Selang berapa saat massa pro-Soerjadi meninggalkan lokasi. Beberpa perwakilan pro-Megawati berupaya melakukan negosiasi dengan aparat militer yang berjaga-jaga di sekitar kantor, agar pengambilalihan kantor dilakukan melalui prosedur hukum yang sah. Ternyata negosiasi itu tak berarti apa-apa, pukul 08.30, massa pro-Soerjadi kembali menyerbu kantor dengan dibantu oleh aparat militer berpakaian preman.

Lokasi di sekitar kantor kian memanas. Batu-batu sebesar kepalan tangan melayang ke arah kantor. Massa menjebol pintu pagar. Massa pro-Megawati tercerai berai, puluhan orang terbunuh, ratusan terluka parah, dan puluhan lainnya ditangkap. Sedangkan yang lainnya menyelamatkan diri melalui pintu belakang kantor.

Kerusuhan itu kemudian disebut dengan berbagai sebutan, antara lain; Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli), G27J (Gerakan 27 Juli), atau pula Maduli (Malapetaka 27 Juli). Pemicunya datang dari masalah internal Partai Demokrasi Indonesia. PDI terpecah menjadi dua kubu, pro-Soerjadi dan pro- Megawati. Kelompok pro-Soerjadi didukung pemerintah, militer, dan sejumlah pengusaha untuk menjegal Megawati naik ke kursi ketua dengan melakukan kongres tandingan. Massa pendukung Megawati protes. Mereka membuka panggung demokrasi di kantor dewan pimpinan pusat partai, di Jalan Diponegoro 76, Jakarta Pusat.

Tokoh-tokoh oposisi ikut berorasi mereka adalah Gus Dur, Budiman Sudjatmiko, Mochtar Pakpahan, dan Sri Bintang Pamungkas. Pemerintah Orde Baru merasa terganggu. Kehadiran Mega dianggap bisa menjadi simbol perlawanan. Momentum untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang korup sebagian bersandar pada massa yang militan tersebut. PRD memutuskan untuk mendukung perjuangan mereka.

Matahari mulai meninggi. Sudah dua hari peristiwa kerusuhan di kantor PDI Jakarta berlalu. Kris membeli dua harian berbeda. Seketika tangannya gementar, jantungnya berdegup kencang, nafasnya tersengal, harian Jawa pos dan Surya yang barusan ia baca terlepas dari gengamannya.
Ia tidak percaya. Kedua harian itu memberitakan PRD sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Sejak hari itu, PRD berserta aktivisnya diseluruh Indonesia diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Kepada Republika Pangdam V Brawijaya saat itu dijabat oleh Mayjen TNI Imam Utomo mengungkapkan bahwa segala bentuk kegiatan PRD Cabang Surabaya, dilarang. Ketua Bakorstanasda Jatim ini juga memerintahkan kepada jajaran aparat keamanan agar menutup Sekretariat PRD yang terletak di Jalan Kedung Tarukan Lama II/22 Surabaya, dekat kampus Universitas Airlangga.

Sementara itu, Kassospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid menegaskan, saat ini ABRI sedang melakukan pencarian dan pengejaran terhadap para anggota PRD beserta faksi-faksinya. “Pasti ketemu. Makin cepat tertangkap tentu makin bagus,” katanya seperti dikutip Antara usai pertemuan rutin dengan pemimpin redaksi media massa di Jakarta kemarin. Mengenai surat penangkapan, katanya, bisa dikonfirmasikan ke polisi.

Sebagai anggota PRD yang menjabat sebagai perwakilan JAKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) Surabaya, David Kris mulai resah. Ia bergegas mengemasi semua berkas-berkas yang berkaitan dengan kegiatan politiknya selama ini. Berkas-berkas itu ia kumpulkan dalam sebuah kardus besar dan diikat dengan tali rafia. Kemudian ia menghubungi beberapa temannya. Namun, tak satupun yang berani menerima titipannya.

Malam harinya, Kris dan Heru ke rumah Lisa Febrianti, sekretaris SMID cabang Surabaya. Mereka bertiga sama-sama belum memastikan apa yang harus diperbuat setelah PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Sementara satu persatu para aktivis PRD di Surabaya telah bersembunyi, entah kemana. Mereka tercerai-berai.

Suatu hari, Dandik dan Purwadi datang ke rumah Kris mengajak pergi ke suatu tempat yang menurut mereka aman. Kris hanya mengatakan ia tidak bisa memberi keputusan secepat yang mereka inginkan. Ia menyarankan agar Dandik segera bersembunyi, tentunya dia menjadi buronan utama karena selama ini Dandik dikenal sebagai tim advokasi PRD di Surabaya.

Setelah Dandik dan Purwadi pergi. Dari arah berlawanan terlihat Agus dengan mengendarai sepedah motor menuju rumahnya. Kris langsung mengambil kardus berisi berkas-berkas PRD, mereka berdua langsung melaju, sekitar setengah jam menempuh perjalanan mereka sampai di sebuah pelataran rumah.

Di rumah itulah Agus mengontrak bersama teman-temannya. Mereka masuk sedangkan kardus dibiarkan tergeletak di pelataran. Setelah berbincang-bincang sejenak Agus meminta ijin menggunakan halaman samping. Mereka tidak menaruh curiga.

Halaman samping itu luas. Rumput hijau terhampar, sebagian basah oleh embun. Agus mencari beberapa pot kosong. Sementara Kris membuka ikatan kardus. Empat pot kosong telah berada dihadapan mereka. Lembar demi lembar berkas itu mereka masukan ke dalam kobaran api. Kris menatap lembar demi lembar kertas yang dilahap oleh kobaran api; terbakar, meliuk, menghitam, menyusut dan jadilah abu.

Ia merasa bersalah. Mukanya pucat. Badannya bergetar hebat. Baginya, pembakaran itu sama artinya dengan membakar otak manusia. Berkas-berkas itu adalah hasil pemikiran panjang manusia, yang seharusnya dipelajari dan dikembangkan untuk kehidupan manusia ke arah yang lebih demokratis. Selain itu, ia adalah ilmu bagi kepentingan manusia dalam hidup bernegara dan filosofi kehidupan manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya.

Kamis 1 Agustus 1996, Kris dan Lilik menemui Heru. Mereka bertiga merancanakan rapat untuk membahas persoalan yang terjadi ditingkatan mahasiswa dan mempersiapkan sidang istimewa membahas tuduhan Pemerintah dan ABRI terhadap PRD.

Pukul 12.00 Kris memulai rapat di rumah Heru hingga pukul 16.00. Hasil rapat hari itu diantaranya adalah kawan-kawan harus segera melakukan konsolidasi untuk memberikan pernyataan dan petisi. Pembuatan petisi dilimpahkan kepada Lisa Febrianti. Kawan-kawan yang harus di hubungi sebelum tanggal 7 Agustus adalah Verrie, Dwi, Yayan, Handoko, Arindra, dan Chris. Sebelum 14 Agustus 1996, harus segera dibentuk panitia kecil untuk persiapan sidang istimewa.

Pada suatu malam Heru menghubungi Kris melalui telepon. Heru mengabarkan bahwa Zainal Abidin, pengurus Serikat Tani Nasional (STN) ditangkap oleh aparat militer. Ia ditangkap di desa Tambak Beras, Gersik. Keesokan harinya, Heru kembali menelepon Kris kali ini ia mengabarkan bahwa Lisa Febrianti juga telah ditangkap di rumahnya jalan Pulo Wonokromo 207 Surabaya oleh aparat intelejen sekitar pukul 12.30 tanpa surat penangkapan. Dengan diantar kedua orang tuanya Lisa dibawa menuju markas militer di kawasan Wonocolo yaitu Detasemen Intelejen Kodam V/Brawijaya.

MERDEKA......! MERDEKA......! MERDEKA......!

Seorang sesepuh desa menyemangati acara tasakuran. Para warga, mulai dari anak-anak hingga orang tua ikut menimpali;

Merdeka......! Merdeka......! Merdeka......! seraya tangan kanan terkepal tegak mengarah ke atas.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, di kampung Kris tinggal selalu mengadakan tasakuran untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh warga kampung menghadiri acara tersebut, begitu juga dengan Kris. Ketua RW dan RT serta sesepuh kampung satu per satu memberikan sambutan yang intinya bahwa; kita harus mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah kita rasakan bersama sampai saat ini melalui program pembangun yang dicanangkan oleh Orde Baru.

“Apanya yang merdeka,” ungkap Kris dalam hati. Ia menolak apa yang disebut kemerdekaan. Sebab kesewenangan pemerintah terhadap rakyatnya masih terjadi. Tiba-tiba matanya berlinang, hatinya seakan tersayat, dan nafasnya tersengal oleh kata merdeka. Bagaimana tidak, tatkala seluruh warga terbius dengan jargon kemerdekaan, saat itupula ia dan teman-teman lainnya dipaksa untuk menerima ketidakmerdekaan.

Keesokan harinya, Kris disibukkan oleh kegiatan karang taruna untuk mempersiapkan pesta perayaan HUT kemerdekaan RI. Ia bersama teman-teman karang tarunanya sibuk menjaga pakir kendaraan karena di lapangan Makodam V/Brawijaya, tidak jauh dari rumah Kris. Sedang digelar panggung hiburan dengan diramaikan artis-artis dari Jakarta.

Disela-sela menjaga parkir ia menyempatkan diri untuk menghubungi Dina melalui pesawat telepon umum di seberang jalan. Ia menerima kabar buruk tentang aktivis PRD. Dina mengabarkan bahwa Arindra Kurniawan, ketua SMID dan Triyana Damayanti pengurus SMID komisariat Unair telah ditangkap aparat Bakorstanasda Jawa Timur.

Arindra ditangkap saat melakukan Kuliah Kerja Nyata di desa Besuki kecamatan Udanawu, Blitar pada 14 Agustus 1996. Sekitar pukul 11.00 ia didatangi oleh lima intelejen dan dibantu oleh aparat militer dari Kodim 0808 Blitar tanpa surat penangkapan. Ia dimintai keterangan tentang SMID dan PRD hingga pukul 22.00. Malam itu juga ia dibawa ke Surabaya.

Sedangkan Triyana ditangkap pada 12 Agustus 1996. Saat itu ia berada di rumahnya di desa Ringin Anyar kecamatan Ponggok, Blitar. Sekitar pukul 17.00 rumahnya didatangi oleh beberapa intelejen dengan dibantu oleh Polres Blitar. Dengan diantar oleh kedua orang tuanya Triyana diperiksa oleh Polres Blitar dan pihak dari Korem Madiun. Keesokan harinya ia dipindahkan ke Kodim 0808 dan diinterogasi hingga pukul 23.00. Malam itu juga ia dibawa ke Surabaya tanpa prosedur yang jelas.

KRIS MENGAJAK GATOT, KE KAMPUS untuk meminta tanda tangan dari salah satu dosen penguji skripsinya. Namun, Pak Doddy tidak berada di kampus. Mereka langsung menuju kantin di sana ia bertemu dengan Pepen, Hendri, dan Dina.

“Kamu belum sembunyi juga?” tanya Dian lirih. Kris menggelengkan kepala. Lalu, Dina memberitahu bahwa beberapa temannya yang ditangkap oleh intelejen Pangdam V/Brawijaya telah dipindah ke penjara Polwiltabes Surabaya, di antaranya; Zainal Abidin, Trio Yohanes Marpaung, Lisa Febrianti, Rizal, dan Wiwin.

Dari pojok kantin, beberapa wajah asing sambil menikmati makanan, minum kopi, dan ada yang sekedar diam sambil menghisap asap rokoknya dalam-dalam mengarahkan pandangan mereka ke arah Kris.

Sambil menikmati makanan Dina berniat membentuk tim relawan membantu para korban rentetan 27 Juli di Surabaya. Dina mengajak Kris membentuk komunitas itu. Tapi, Pepen dan Hendri menyarankan Kris tidak terlibat demi menjaga keamanan kerja-kerja tim. Sementara Pak Doddy yang ditunggu-tunggu hingga pukul 15.00 belum juga datang. Kris memutuskan untuk pulang, ia berpamitan kepada Dina dan teman-teman lainnya.

Dalam perjalanan menuju tempat parkir, ia bertemu dengan Edi Heri, dosen Antropologi. Kris masuk ke ruangannya sedangkan Gatot menunggu di luar.
“Kamu belum sembunyi,” tanya Edi.
“Belum, entahlah,” jawab Kris bingung.

“Saya punya beberapa keliping koran yang isinya meletakan posisi PRD yang sebenarnya. PRD bukanlah organisasi berwatak Komunis,” ucap Edi sambil menunjukan beberapa keliping kepadanya. Tapi, Kris tetap ragu apakah keliping itu dapat membebaskan PRD dari segala tuduhan pemerintah.

“Saya sudah berusaha menjelaskan kepada wartawan bahwa saya bukanlah Litbang PRD. Seandainya nanti kamu tertangkap, saya minta tolong kamu jaga nama saya. Kamu tahu sendiri, saya punya tanggungan istri dan anak yang masih kecil,” ucap Edi perlahan dan penuh pengaharapan supaya ia mengerti. Kris bisa memahami kegundahan Edi, dan ia mengiyakan permohonan itu.

“Tapi saya berharap kita tetap selamat,” lanjut Edi sambil berdiri mengantar Kris sampai pintu ruangannya. Kris dan Gatot pulang ke rumah.

PUKUL 09.00, 20 AGUSTUS 1996. DAVID KRIS mengajak Gatot untuk menemaninya ke dokter gigi. Rumah praktek dokter gigi cukup jauh. Sesampainya di sana, rumah praktek dokter masih sepi, Kris adalah pasien pertama. Ia menunggu sejenak, sementara dokter mempersiapkan alat-alat praktiknya. Kamar praktik berada di lantai dua. Dari ruang itu, Kris mengarahkan pandangannya ke jalan raya. Sebuah mobil Kijang berwarna gelap sedang parkir di seberang jalan.

Kurang lebih satu jam, dokter berhasil mencabut dua gigi depan Kris. Darah mengalir dari kedua gusinya. Badannya melemah. Dengan sedikit sempoyongan ia menyelesaikan pembayaran. Lalu memutuskan segera pulang.

“Agak cepat sedikit!” Kris menyuruh Gatot agar mempercepat laju motornya. Setelah melintasi putaran tol Waru, kemudian melaju di jalan Achmad Yani, Surabaya. Tiba-tiba sebuah mobil Panther berwarna gelap mengikuti mereka. Di sebelah kiri depan seorang laki-laki berkaca mata gelap melambaikan tangan kirinya. Gatot memperlambat laju sepedah motornya dan mengambil posisi di sebelah kanan.

“Minggir…minggir…, kiri…kiri…, minggir... kiri!”

Gatot menghentikan laju sepedah motornya. Dari atas sepedah motor Kris melihat Letnan Budi duduk di bagian belakang, ia adalah seorang Inteljen yang tidak asing bagi para aktivis gerakan mahasiswa Surabaya.

Lima orang bertubuh tegap, berpenampilan rapi, dan berwajah garang menghampiri dan mengelilingi mereka. Seorang intelejen telah berada persis di depan sepedah motor dengan kedua kakinya mengapit roda

“Kamu David kris, kan? tanya Letnan Budi sambil membuka paksa helm teropong yang dikenakan Kris.

“Kemana saja kamu?”

“Saya di rumah,” jawab Kris lantang.

“Ayo ikut, kamu dicari teman-temanmu,” sambil meraih lengan Kris.

“Saya…saya sakit.”

“Di rumah saja, saya pamit dulu sama Ibu,” lanjut Kris.

“Nggak usah! nanti kamu lari lagi,”

Letnan Budi lalu memerintahkan seseorang temannya agar memanggil taksi dan bertanya. “Ini siapa?” Sambil memegang tangan Gatot.

“Dia nggak tahu apa-apa, dia tetangga saya,” Kris menjelaskan. Tak lama kemudian sebuah taksi Zebra merapat. Kris digelandang masuk ke dalam taksi. Taksi pun segera melaju, melalui kaca mobil ia melihat ke arah temannya. Gatot dikerumuni banyak orang.

“Teman-temanmu itu pada nggak bener semua. Nanti kamu nasehati mereka itu,” ucap Letnan Budi. Tak lama kemudian mereka sampai di Detasemen Intelejen Kodam V/Brawijaya. Markas militer itu terletak di belakang gedung Golkar di jalan Achmad Yani.

“Ini David Kris, Pak. Ketua Jaker Surabaya,” lapor Letnan Budi kepada komandannya, ia sering dipanggil Pak Wayan.

“Mana teman kamu yang bernama Herman Hendrawan dan Sardiyoko itu?”

“Saya tidak tahu mereka, Pak”

Kris disuruh duduk di sofa, bersama seorang wartawan harian pagi di Surabaya. Wartawan itu mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya.

“Ini kamu ya?”

Foto yang ditunjukkan kepadanya adalah gambar Moh. Soleh sedang berdiri di terali penjara. Moh. Soleh dipenjara bersama Dita dan Coen di Polwiltabes Surabaya.

Dari kejauhan Wayan menyuruh Kris masuk ke ruang administrasi untuk mengisi blangko. Pada blangko itu ia harus mengisi nama, alamat, tempat tanggal lahir, usia, pendidikan, kegiatan selama ini, dengan siapa ia bergaul selama ini, dan masih banyak lagi. Pada lembar selanjutnya, ia harus mengisi biodata kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

Dari pintu administrasi, seorang intelejen membawa Abdul Rouf, anggota SMID komisariat IKIP Surabaya. Wajahnya babak-belur. Tubuhnya lebam. Ia hanya mengenakan celana dalam. Rambutnya dicukur serampangan membentuk tiga huruf; PRD.
“Kamu kenal siapa itu?” tanya si intelejen kepada Rouf.

“Iya Pak,” jawab Rouf gemetar.
“Siapa dia?”
“David Kris, Pak.”
“Apa jabatannya?”
“Ketua Jaker Surabaya, Pak.”
Pukul 12.00, seorang intelejen memanggil Kris dengan membawa selembar karton bertuliskan “DAVID KRIS--KETUA JAKER SURABAYA.” Ia difoto dengan memegang tulisan tepat didadanya.

“Kamu masih sempat tersenyum di kandang harimau, tak punya rasa takut sama sekali,” celetuk salah seorang intelejen.

Seusai difoto, ia dikembalikan ke ruang administrasi. Tak lama kemudian datanglah seseorang yang berperawakan sedang, tubuhnya ramping, kumisnya tebal, dan mengenakan baju hem serta celana jins.

“Apa jabatanmu?”

“Perwakilan Jaker di Surabaya, Pak”

Brrraaaaaakkk
Sebuah tendangan keras tepat mengarah ke sisi kiri muka Kris. Telinga kirinya berdengung keras. Ia terpental bersama kursi yang didudukinya.

“Kau mau bikin apa negaramu ini?”
Belum sempat Kris berdiri, tendangan keras mengarah ke ulu hatinya.
Ooouuuughhh! Kris merintih

“Ayo berdiri!”

Kris berusaha berdiri, dengan menopangkan ke dua tangannya di atas lantai, usaha itu sia-sia ia terjungkal di balik meja. “Apa jabatanmu di PRD?” dia mengulangi pertanyaan itu kembali.
“Perwakilan Jaker Surabaya, Pak,” jawab Kris dengan nada terbata-bata menahan sakit dibagian perut.

“Ayo lepas bajumu! Celananya juga!”
“Cari anting-mu!” bentak lelaki itu lagi.
Kris meraba telinga sebelah kirinya, anting yang ia kenakan terlepas. Darah menetes dari daun telinganya.

“Sekarang antingmu yang hilang, nanti malam telingamu yang hilang!” ancam lelaki itu sembari pergi meninggalkan Kris.

Dengan setengah telanjang ia merunduk mencari anting yang terlepas dari daun telinganya. Di kemudian hari barulah Kris mengetahui bahwa lelaki yang menyiksanya adalah Pak Azra; dia bertugas sebagai komandan penyidikan kasus PRD.

Kris disuruh berdiri dipojok halaman. Lalu para intelejen satu persatu dari yang berpangkat kopral sampai sersan, mulai berpesta beramai-ramai; memotong rambut gondrongnya dengan mengolok-olok sebagai anak cucu komunis.

Setelah puas meluruhkan mentalnya. Kris disuruh menuju ke tengah halaman. Panas matahari membakar tubuhnya. Kedua telapak kakinya terasa terbakar. Ia disuruh mendongakkan kepala ke atas menatap sinar matahari. Kemudian salah seorang dari mereka memerintahkan;

“Sekarang kamu baca Pancasila!”

“Pancasila”

“Hoi, kurang keras!”

“Pancasila” Kris meninggikan suaranya.

Buuukkk. Seorang intelejen menendang perutnya sambil berteriak;

“Kamu menghina Pancasila ya! Ayo, yang keras!”

“Empat, Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat......,” Kris diam sejenak, mencoba mengingat-ingat sila ke empat.

Buuuukkk !!! Buuuukkkk !!!
“Memang PKI kamu! Anak SD saja hapal, kamu tidak hapal!” ucap salah seorang intelejen.

Pukul 16.00, Kris menuju ruang interogasi. Ruangan itu kurang lebih berukuran 5 m x 3 m. Dinding belakang terbuat dari batako berlubang sebesar bungkus korek api. Sebagian dinding lainnya terlihat menghitam, terdapat jejak sepatu dan telapak tangan. Di sudut ruangan terdapat sebuah bangku panjang. Dua buah mesin ketik tergeletak di atas meja. Empat kursi plastik di sisi kiri kanan meja. Di langit-langit ruangan baling-baling kipas berputar dan di sisi kiri-kanannya tergantung lampu 25 watt.

Dua orang intelejen memasuki ruangan. Satu berpakaian loreng, ia dipanggil Pak Ali. Satunya lagi berpakian biasa, rambutnya gondrong, dan teman-teman memanggilnya Pak Budi Santoso. Mereka berbicara lemah lembut, layaknya seorang sahabat. Bahkan mereka menyodorkan rokok.

“Kamu cuma jadi korban hasutan Herman Hendrawan dan Sardiyoko. Saat ini mereka melarikan diri dan malah tidak bertanggung jawab. Mereka itu pengecut dan tidak jentel. Kasihan kamu, sekarang kamu yang harus bertanggung jawab atas ulah mereka,” kata Budi Santoso.

“Kalau memberikan keterangan kepada bapak-bapak yang memeriksa kamu, jangan berbelit-belit. Supaya mereka tidak marah dan kamu bisa cepat selesai . Kalau kamu cepat selesai, ya kamu bisa cepat pulang,” ucap Pak Ali sambil beranjak meninggal Kris dan diikuti oleh Budi Santoso.

Pintu kembali tertutup rapat. Malam beranjak larut. Kris membaringkan tubuhnya. Tulang-tulang punggungya terasa patah ketika bersentuhan dengan alas kursi. Menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Matanya tidak bisa terpejam. Tubuhnya seolah tenggelam ditelan besarnya sandaran kursi yang terbuat dari kayu itu.

Matanya memandang liar. Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah. Dinding-dinding dan langit-langit diamati dengan teliti. Desiran angin merasuk ke pori-pori kulitnya. Bulu tangannya berdiri. Rongga dadanya terasa sesak. Kris yang hanya mengenakan celana dalam mulai menggigil. Lelah tubuhnya membuat matanya terkatup.

Sinar matahari menyembul dari celah-celah dinding. Seorang penjaga membangunkan tidurnya. Dalam keadaan setengah sadar ia mengambil pulpen yang tergeletak di meja dan mencoretkan dua garis vertikal berjajar masing-masing kurang lebih 1 cm di dinding sudut ruangan. Artinya ia telah dua hari berada di markas meliter itu.

Dengan sekuat tenaga ia berdiri di atas kursi. Kedua matanya ia tempelkan di celah-celah dinding. Dari celah itu ia melihat beberapa orang lalu-lalang memulai aktivitasnya. Beberapa anak berseragam pergi ke sekolah dengan muka berseri-seri. Beberapa anggota meliter sedang berlari-lari kecil sambil meneriakan mars-mars kemeliteran. Dari jendela kaca ia melihat beberapa teman senasib dengannya sedang berolahraga di halaman belakang.

“Ayo coba kamu gerak-gerakan badanmu biar rasa sakitnya berkurang,” ungkap Budiyono. Kris sedikit terkejut, ia tidak sadar bahwa Budiyono telah berada di belakangnya. Ia pun mencoba menggerakan kedua kaki dan tangannya perlahan-lahan dan bergegas menuju ke kamar mandi.
Setelah mandi, ia menju keruangan, terlihat seorang laki-laki bertubuh tambun sedang membersihkan kaca-kaca jendela ruangan Kris. Ia memperkenalkan diri, namanya Roto, ia tak menyebutkan siapa nama lengkapnya.

“kamu sudah diperiksa,” tanya Roto
“Belum, Pak.”
“Ruangan ini adalah hotelmu. Jangan lupa dibersihkan setiap pagi dan sore. Disapu, meja dan jendelanya dilap. Kalau bersih kan enak. Jadi biar kamu betah di sini. Kalau nanti diperiksa, kamu jangan ngomong berbeli-belit. Supaya pemeriksaannya cepat selesai dan bapak-bapak yang memeriksamu tidak marah-marah. Kalau cepat selesai kamu cepat pulang ke rumah. Teman-temanmu yang dulu di sini sudah pulang semua. Sudah bisa kuliah lagi, makan dan tidur enak di rumah. Kamu juga kan ingin cepat pulang, makanya ngomong apa adanya,” Roto melanjutkan.

Jam telah menunjukan pukul 08.00. Kris mulai diintograsi oleh tiga intelejen. Dua berpangkat Sersan Dua mereka adalah Zainudin dan Waluyo. Satu berpangkat Sersan Kepala namanya Supriyadi. Supriyadi mengajukan beberapa pertanyaan, sementara Zainudin dan Waluyo bergantian mengetik jawaban dan keterangan dari Kris di lembar-lembar kertas BAP (berita acara pemeriksaan).

Pertanyaan-pertanyaan itu berkisar kegiatan Kris sebagai mahasiswa FISIP Universitas Airlangga, awal mula ia masuk SMID, bergabung dengan PRD hingga menjadi Ketua Jaker Surabaya. Bagi Kris, pertanyaan itu tidak terlalu sulit, dan tak membutuhkan jawaban diplomatis. Introgasi berhenti saat istirahat makan siang sekitar pukul 13.00.
Interogasi kedua dilanjutkan pukul 20.30. Kris ditanya tentang karya-karya seninya. Puisi dan lagu apa saja yang telah ditulis. Lalu, Kris diminta menunjukan di mana semua puisi dan lagu itu ia simpan. Kris menjawab ia tidak pernah menyimpannya, semua puisi dan lagu ia tinggalkan begitu saja di sekretariat.

Pada interogasi hari pertama itu, ada yang tak mungkin ia lupakan yakni saat itulah ia disahkan sebagai ketua Jaker Surabaya dalam kertas BAP. Kris tidak dapat menolak meski yang sebenarnya adalah; Jaker Surabaya belum dibentuk, kegiatan seni masih berpusat di Solo, Wiji Tukul sebagai ketua dalam skala nasional. Pada kongres di PRD, jauh sebelum dideklerasikan pada tanggal 22 Juli 1996. Kris direkomendasikan untuk membangun Jaker di Surabaya dan sekaligus menjadi ketua.

Kabar itu menyebar dikalangan aktivis PRD Surabaya, sehingga ia disebut-sebut sebagai ketua Jaker Surabaya. Padahal hingga ia ditangkap oleh intelejen militer, Kris hanya mengemban tugas dari PRD menjadi perwakilan Jaker Surabaya.
Kris dianggkat menjadi ketua Jaker Surabaya, bukan oleh konggres PRD atau Jaker, tetapi oleh situasi dan interogasi intelejen militer di Daninteldam V/Brawijaya Surabaya.

“Sekarang kamu tidur yang nyenyak, besok kita lanjutkan lagi, kamu sudah punya rokok?”
“Sudah Pak, terimakasih,” jawab Kris sambil meninggalkan ruangan interogasi.

Kris merebahkan tubuh di tempat biasanya. Tidur di ruangan itu baginya sangat menyiksa. Bagaimana tidak, tubuhnya yang hanya dibalut celana dalam terus diterpa angin malam. Kondisi itu membuat ia sebentar-sebentar terbangun dari tidur. Akhirnya ia tidur di atas meja, mesin ketik ia letakan di samping kanan dengan posisi berdiri untuk menangkal terpaan hawa dingin. Meskipun cara itu belum maksimal, tapi paling tidak hawa dingin yang ia rasakan telah berkurang. Ia tidak perduli akan resiko ulahnya.

Tak banyak berubah, ketika pagi menjelang, ia bangun dan berdoa. Setelah berdoa ia mencoretkan hitungan hari di dinding. Kemudian, ia membersihkan ruangan bersama Roto. Mandi dan mengamati lengan, paha, dan dada yang membiru. Setelah sarapan introgasi dimulai dan istirahat sebentar saat makan siang, lalu dilanjutkan hingga pukul 18.00. Ia diberi kesempatan istirahat hingga pukul 20.00. Introgasi dimulai kembali dan usai sebelum pukul 24.00.

PAGI ITU, KRIS BARU SAJA MELAHAP SARAPAN. Kulitnya mulai mengelupas mungkin karena tidak pernah mengenakan pakaian, dan luka memar ditubuhnya mulai menghilang. Letnan Budi berdiri di pintu dan menghampiri Kris, ia menanyakan keberadaan Atar, mahasiswa Unair sekaligus aktivis PRD. Menurut informasi yang diterima Letnan Budi; dokumen-dokumen PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia) berada di rumah Atar. Selain itu, Letnan Budi yakin Herman Hendrawan bersembunyi di rumahnya.

Akhirnya Letnan Budi memaksa Kris untuk menunjukan rumah Atar, Ia tidak bisa menolak. Lalu, Letnan budi menyuruh Kris mengambil pakaiannya di bagian administrasi. Ia sangat senang karena dapat mengenakan pakaiannya kembali. Tak beberapa lama, mereka siap untuk berangkat ke rumah Atar.

“Kamu pakai ini dulu, karena kamu belum jinak,” ungkap Letnan Budi sambil membergol ke dua tangannya.
Dalam perjalanan Kris terus didera rasa bersalah. Bagaimana jika Atar dan Herman tertangkap? Artinya ia tak lebih dari seoorang penghianat bagi teman-temannya sendiri? Ia berharap Atar tidak berada di rumah.

Mobil berhenti sekitar 20 meter dari pekarangan rumah. Seorang intelejen yang duduk di sebelah sopir segera turun dan menuju ke rumah Atar. Letnan Budi mengamati dari dalam mobil. Selang beberapa saat itelejen tersebut menuju mobil seraya menggelengkan kepala. Mereka segera pulang ke markas militer.

“Kamu ini gimana sih? Lihat teman-temanmu sudah pada lari semua. Sekarang cuma jadi tumbalnya. Kamu seharusnya bantu kami. Jika Herman Hendrawan bisa kita tangkap, kamu bisa saya mintakan bonus pada komandan saya. Tapi kalau Herman belum tertangkap, nasibmu sama teman-temanmu akan menjadi dan nggak akan bisa pulang,” gertak Letnan Budi.
“Yang saya tahu cuma alamat Atar. Tapi kalau soal perburuhan itu, atau soal keberadaan Herman Hendrawan dan Atar, saya tidak tahu,” jawab Kris.

“Lho, kata Ganjar, kamu teman dekatnya Herman. Kok sekarang tiba-tiba kamu bilang nggak tahu tentang Herman,” Letnan Budi menimpali.

Ganjar adalah aktivis PRD yang militan. Pada 19 Agustus 1996 para intelejen berhasil memaksa Karsidi untuk menunjukan rumahnya. Sekitar pukul 10.00 Ganjar ditangkap di rumahnya oleh para intelejen.

“Justru Ganjar itu yang teman dekatnya Herman. Kalau pergi ngurusi buruh ya mereka berdua itu,” ungkap Kris.

“Jadi Ganjar itu yang teman dekatnya Herman. Gitu dia nggak mau ngaku. Harus dikerjain anak itu,” ucap Letnan Budi sambil tersenyum.

Sesampainya di Detasemen Intelejen Kodam V/Brawijaya, Letnan Budi bergegas turun dari mobil. “Ayo, kita kerjain Ganjar,” ajak Letnan Budi sambil melepaskan bergol. Ia dan Kris menuju tempat dimana Ganjar disekap.

“Ganjar.......!,sini kamu! Letnan Budi berteriak saat mendekati ruangan ganjar.
Buuuuk......! Buuuuuuuk.
Pukulan bertubi-tubi mendarat di bagian muka Ganjar. Ia terseok-seok, darah menetes dari pinggir bagian kanan mulut Ganjar.

“Vid, kamu ngomong apa saja?” kata Ganjar pada David Kris

“Omongkan yang sebenarnya, aku juga ditekan seperti kamu,” Kris memohon pada Ganjar.

Namun, Ganjar tetap bersikeras tidak tahu menahu mengenai Herman dan PPBI.
Saat makan siang Kris diperbolehkan makan bersama teman-temannya. Ganjar kesulitan melahap makan siangnya karena mulutnya terluka. Saat itulah Kris sadar bahwa ia di adu domba dengan Ganjar karena Ganjar tak mengatakan sepatah kata apapun pada Letnan Budi apalagi mengatakan bahwa Kris teman dekatnya Herman.

Taktik adu domba bukan hanya terjadi sekali itu saja. Pada hari berikutnya, saat Kris masih menjalani interogasi, seorang intelejen menghentikan interogasi namanya Amri. “Kamu pergi kebawah, pakai baju dan celanamu,” kata Amri.

Kris segera menuju ke lantai bawah, tepatnya ke ruang administrasi untuk mengambil pakaian. Lalu, ia menuju ke ruang data. Di sana ia bertemu dengan Rouf, Triyana, dan Agung mereka adalah aktivis PRD. Kini, mereka ber empat duduk menghadap Amri. Masing-masing di antara mereka menyebutkan; nama, alamat, usia, tanggal lahir, dan biodata orang tua.

Kris terkejut ketika mereka disuruh mengaku bahwa tujuan PRD adalah menggulingkan Pemerintah yang sah dan mengganti dengan idiologi komunis. Satu per satu mereka disuruh mengakui sambil direkam menggunakan handycam oleh seorang intelejen yang mendampingi Pak Amri. Di kemudian hari Kris mendapat informasi dari beberapa mahasiswa bahwa hasil rekaman itu dijadikan sebuah film penyuluhan yang diputar di berbagai daerah.

“Sekarang kalian tulis bahwa kalian adalah korban hasutan dari Herman Hendrawan dan Sardiyoko. Lalu kalian meminta agar mereka berdua segera menyerahkan diri, tulisan itu akan kami muat di koran-koran, supaya masyarakat membacanya,” ucap Pak Amri menjelaskan.
Kemudian Kris didesak untuk mengakui bahwa ia adalah tokoh yang mengkoordinir para mahasiswa Timor Timur yang berada di Surabaya dan Malang, berangkat ke Jakarta mengikuti aksi ‘lompat pagar’ di Kedubes Belanda pada pertengahan Desember 1995.

“Kamu tahu nggak, tentara kita banyak yang dibunuhi oleh orang Timor Timur. Gitu kamu masih membela orang Timor Timur. Kamu nggak punya perasaan membela tanah airmu sendiri !”

Hampir seluruh pertanyaan yang dilontarkan kepadanya ia jawab sesuai dengan jawaban yang dipilihkan.

“Pada tanggal 27 Juli 1996, kamu berada di mana?”
“Saya berada di rumah, Pak,” jawabnya tegas.
“Benar, kamu tidak berada di Jakarta?” tanya salah seorang dari mereka menyambungnya.
“Benar, Pak”
“Kalau jawabanmu nggak benar, kepalamu saya jepit,” ujar Enos sambil mendatangi dan tiba-tiba duduk di belakang lalu menjepit kepala dengan kedua pahanya yang besar.
“Keluarga saya dan semua orang kampung tahu, kalau saya ada di rumah”

Akhirnya mereka percaya. Pengakuan itu adalah satu-satunya yang tidak bisa dipaksa oleh mereka. Dan Kris mempertahankannya walau harus disiksa untuk mengaku bahwa ia terlibat dalam peristiwa 27 Juli 1996.

“Apakah kamu merasa ditekan selama memberikan keterangan dalam pemeriksaan ini?” tanya Pak Tarmuji sambil jemarinya siap menekan tuts mesin ketik.
Kris terdiam sejenak.

“Nggak usah berbelit-belit, ya atau tidak, gitu saja,”
“Tidak!” mendengar jawaban Kris, mereka tersenyum lebar dan bergegas keluar.

Ruangan senyap. Detak jam dinding terdengar sangat keras, seiring dengan detak cepat jantungnya. Kris berdiri mematung. Ada getar kecemasan di guratan wajahnya. Ruangannya yang lebar terasa sempit. Ada sepuluh garis vertikal di sudut dinding, itu menunjukan bahwa ia sudah sepuluh hari berada di ruangan itu.

TAK SEPERTI BIASANYA, Kris dan teman-temannya berkumpul di lapangan olah raga dekat garasi, untuk memulai senam pagi. Seorang intelejen menyuruh mereka berlari sejauh kurang lebih 20 meter sebanyak 20 kali. Mereka kelelahan. Arindra mulai mengeluh kesakitan, perutnya mengejang. Namun intelejen itu tak menggubrisnya, bahkan menghukum Arindra dengan hukuman berguling-guling di tanah beraspal sepanjang kurang lebih 10 meter. Tubuh Arindra yang tak berbaju itu menjadi terlihat kotor dan hitam.

Intelejen tersebut menyuruh Kris dan Hidayat mengambil air minum di dapur umum guna persediaan minum mereka dalam sehari. Sesampai di dapur umum, Kris dan Hidayat melintasi sebuah ruangan di samping dapur umum. Kurang lebih 4 ruang tertutup rapat serta sebuah pintu besar hanya ada sebuah jendela berukuran kira-kira 60 cm x 40 cm yang berfungsi sebagai jalan masuk udara dan cahaya matahari. Pada pintu tersebut terdapat lubang persegi seukuran kurang lebih sama dengan jendela, yang terletak di sisi bawah, berfungsi untuk memasukkan makanan dan minuman bagi penghuni di dalamnya. Keadaan sekeliling di dalamnya sangat menyiratkan bayangan kengerian. Penerangan ruangan hanya memakai lampu 25 watt. Beberapa lonjoran papan kayu tergeletak berjajar yang mungkin digunakan sebagai alas tidur.

Menurut Hidayat, ruangan itu disebut oleh para intelejen sebagai ‘kamar hantu’ ia dan Yohanes Kukuh, pernah disekap di ruangan itu selama 3 hari. Kris duduk bersila mengamati setiap sudut ruangan. Berbagai data tertempel di balik tirai ruang. Ia beranjak menghampiri dan membuka tirai satu persatu. Ia melihat begitu banyak data, diantaranya; data peta lokasi intelejen, grafik aktifitas intelejen, hingga data pemantauan kampus-kampus di Surabaya.

PADA 2 SEPTEMBER 1996, SEKITAR PUKUL 12.00, Kris dan Arindra diperintahkan untuk berkumpul bersama Karsidi dan Ganjar, di salah satu ruang yang masih terletak di lantai II. Mereka ber empat disuruh menyantap makan siang dulu.

“Sudahlah, nggak usah takut. Pokoknya kalian harus berani menanggung akibatnya. Kalian berani berbuat, ya harus berani bertanggung jawab. Paling-paling kalian cuma kena 1 atau 2 tahun”

Sekitar pukul 13.30, mereka disuruh turun ke lantai I, menghadap Sahrun di ruang administrasi. Di ruang tersebut mereka mendengarkan salam terakhir dari Sahrun dan Wayan. Mereka berdua adalah pemilik pangkat tertinggi di markas militer itu.

“Jika kalian nanti diperiksa oleh kepolisian, kalian bilang saja apa adanya, sama seperti apa yang kalian katakan di sini, atau yang telah ada di BAP kalian.” Ucap Sahrun

Ucapan itu membuat mereka semakin yakin bahwa mereka hendak dipindahkan ke Polwiltabes Surabaya untuk menerima hukuman penjara. Akhirnya mereka dipersilahkan meninggalkan markas militer dan disuruh berpamitan dan saling memberi salam kepada para petugas intelejen.

Sesampai di pos penjagaan, satu persatu mereka mengisi buku tamu untuk menuliskan keterangan bahwa mereka telah meninggalkan tempat itu.

“Jangan lupa sama kami, ya. Sering-sering main ke sini,” sindir salah satu penjaga pos.
“Kalian nanti setelah sampai di gerbang, kalian ikut bapak-bapak itu,” ucap seorang intelejen pada mereka, sambil menunjuk ke arah beberapa orang lelaki berpakaian rapi tampak menunggu di halaman luar markas militer.

Setiba mereka menginjakkan kaki di luar halaman, mereka langsung menaiki sebuah mobil Hi-jet tua berwarna putih. Mobil itu pun segera melaju meninggalkan markas Detasemen Intelejen Kodam V/Brawijaya menuju Polwiltabes Surabaya. Itulah rentetan Kudatuli; peristiwa menjelang Reformasi.

HERMAN HENDRAWAN, mahasiswa jurusan Ilmu Politik 1990, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Aktif sebagai organisator di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Anak muda yang pintar, pernah menjadi pelajar teladan se Indonesia dan rendah hati.
Pada 12 Maret 1998, Faisol Riza, Raharja Waluya Jati, dan Herman Hendrawan diculik ketika sedang mencari makan siang di sepanjang jalan Diponegoro. Riza dan Jati diculik di sekitar RSCM. Sementara Herman diyakini diculik di seputar kompleks Megaria, Jakarta.

Setelah disekap, diinterogasi, dan disksa selama hampir sebulan di suatu tempat misterius, Riza dan Jati lalu dipulangkan ke rumah masing-masing. Tetapi, Herman tidak diperlakukan sama. Sampai hari in Herman tidak pernah pulang ke Bangka Belitung. Bahkan ketika ayah meninggal 5 tahun lalu.

Keesokan harinya, Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Mugiyanto diculik oleh aparat militer rezim Orde Baru. Setelah disekap, diinterogasi, dan disksa beberapa hari di suatu tempat rahasia, mereka bertiga dibawa ke Polda Metro Jaya. Sebelum penculikan itu, Petrus Bima Anugerah berpesan kepada Nezar bahwa ia pulang agak larut. Namun, setelah peristiwa penculikan itu sampai hari ini tidak ada satupun yang tahu keberadaan Bima. Kedua orang tua Bima, Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati, sampai saat ini menunggu kepulangan Bima ke rumah mereka di Malang.




Read more...

Selasa, 09 Desember 2008

MELAYANG





Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.