Jumat, 30 Januari 2009

BUKAN SEKEDAR KATA

Sebab menonjolkan kekuatan bahasa untuk memunculkan kedalaman makna, syi’ir atau puisi terkenal dan dianggap sebagai karya yang tidak saja memikat banyak orang, namun juga dipandang sebagai sesuatu yang tak lekang oleh zaman. Sebuah karya penyair, dapat menjadi perbincangan bahkan perdebatan selama bertahun-tahun lamanya. Demikian juga penafsiran terhadap syi’ir akan senantiasa bermunculan dan berkembang. Dengan kata lain, syi’ir tidak hanya cukup jika ditafsiri sekali atau dua kali. Namun, pemaknaan baru dan atau lain terhadap karya klasik tertentu, cukup ditemui dalam dunia literatur.

Bagimanapun, bait-bait syi’ir (dapat dikatakan) telah bermain lembut dalam ruang pengekspresian ide dan pikiran. Sang penyair kiranya ingin menunjukkan ide dan pikirannya kepada pembaca dan berharap pembaca akan meng-iakan, kemudian mengikuti ide dan pikiran penyair. Walau tidak semua pembaca bisa menemukan hakikat makna syi’ir tersebut. Ide dan pikiran penyair dimainkan dalam bait-bait syi’ir dengan berbalut bahasa indah. Sehingga, kadang kala, pembaca syi’ir tidak menyadari bahwa syi’ir telah mencoba mendoktrinnya.

Tak terkecuali sufisme, doktrin-doktrin Sufi banyak bermunculan dalam bentuk syi’ir. Bahkan, dari semua produk tradisi sufi, yang paling terkenal dan paling dianggap bernilai adalah warisan syi’ir sufi. Seiring dengan itu, pengkajian terhadap syi’ir-syi’ir sufi banyak dilakukan tidak saja oleh orang-iorang Islam tapi juga oleh sarjana-sarjana Eropa. Sehingga, tidak mengherankan apabila banyak sekali ditemui kegiatan penerjemahan syi’ir sufi oleh orang-orang Barat.

Penerjemahan syi’ir-syi’ir sufi tidak lain adalah sebuah kegiatan penafsiran. Karena kemampuan luar biasa penyair dalam menyuguhkan idenya, maka banyak bermunculan pula pembaca yang berbeda-beda dalam menyuguhkan idenya, banyak bermunculan pembacaan yang berbeda-beda dalam satu waktu. Hal inilah yang menyebabkan syi’ir terjemahaan dianggap tidak pernah sempurna dan dianggap dapat mereduksi pesan syi’ir dalam bahasa asli. Meskipun demikian, popularitas syi’ir sufi terjemahan sedikit banyak tetap mampu memaparkan kerangka besar ajaran sufi dan kekuatan bahasa ke dalam makna serta pesan syi’ir tetap dapat terbaca.
Siapa Jalaludin Rumi
Adalah Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia. Rumi yang bernama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al_Bakri - lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 H, atau tanggal 30 September 1207 M. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh.Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan

Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah --kedalaman makna dan keindahan bahasa-- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah --sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Bersama Syekh Hisamuddin, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Berpuisi dengan Jiwa

Kumpulan puisinya yang terkenal al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.

Works of the Great Philosopher, Poet, and Mystic, salah satu dari sekian banyak buku terjemahan syi’ir sufi yang menggunakan pilihan syi’ir-syi’ir Rumi dari karya besarnya, Masnawi. Membaca syi’ir-syi’ir Rumi dalam buku ini akan terlihat secara jelas bahwa Rumi tidak semata-mata memberi penjelasan tentang Sufisme, tapi syi’ir Rumi hadir lebih dalam rangka mengarahkan dengan cara yang sangat halus kepada pembaca agar memasuki dan menjalani sufisme. Hal ini disebabkan tidak saja oleh “apa” yang disampaikan Rumi, tapi juga oleh “bagaimana” Rumi menyampaikan dan “bagaimana” sang penerjemah, H. Whinfield mengalihbahasakan syi’ir-syi’ir Rumi ke dalam bahasa Inggris.

Dalam memaparkan sufisme, Rumi merupakan salah satu penyair yang sering bergaya anekdotis. Pun masih banyak ditemukan dalam syi’ir-syi’ir terjemahan versi bahasa Inggris ini. Salah satu ajaran Rumi yang tertulis dalam buku ini adalah bahwa dalam mengaruni kehidupan, manusia senantiasa berusaha keras namun tidak lupa menyerahkan segala sesuatuna kepada Sang Pengatur Takdir.

Voyage
When you plce goods upon a ship,
You do it int trust that the voyage will be prosperous;
You know not which of the two events will be fall you,
Wheter you will be drowned or come safe to land………(hal.12)

Dari penggalan syi’ir Rumi di atas, terlihat bahwa untuk mengungkapkan istilah “mengarungi kehidupan”, digunakan isilah “voyage” yang berarti pelayaran, sebagai perumpamaan. Kemudian, “senantiasa berusaha keras” disajikan dengan perumapamaan yang menyiratkan bahwa di atas kapal, kita harus mengemudikannya dengan sekuat tenaga agar mampu berlabuh di tempat tujuan.

Pola serupa juga ditemui dalam syi’ir lainnya:

Water
The eye of outward sense is a the palm of a hand,
The whole of the object is not grasped in the palm,
The sea itself ia one thing, the foam another;
Neglect the foam, and regard the sea whit your eyes
Wfes of foam rise from the sea night and day
Yaou look at the foam ripples and not the mighty sea
We, like boats, are tosses hither and thither (hal.16)

Melalui bait-bait puisi di atas, Rumi mencoba menjelaskan bahwa manusia seringkali merasa dapat mengerjakan segala sesuatu. Namun, pada kenyataannya, sekuat apapun manusia, masih ada yang lebih kuat dan kuasa dalam melakukan segala sesuatu. Bahkan, mungkin saja hal yang dipandang kecil sebenarnya mempunyai kekuatan besar sehingga mampu menghempaskan kekokohan.

Lagi-lagi, pesan tersebut hadir dengan perumpamaan. “the sea, “the palm”, “the foam”, dst. merupakan perumpaman-perumpamaan yang mewakili ajaran sufi Rumi. Perumpamaan yang dihadirkan semakin memperkuat betap arahan Rumi datang dengan jalan yang sangat lembut.

Tiga dimensi sufisme, yakni sejarah, thoriqoh, dan hakikat, juga diketengahkan dalam buku seleksi syi’ir-syi’ir Masnawi ini. Dalam bait syi’ir berjudul The Thirst and The Water, hal. 110 misalnya, yang berkisah bahwasanya segala sabda dan takdir Tuhan mencerminkan betapa kebijaksanaan Tuhan selalu menyertai manusia, dan merupakan ajaran syari’at Islam yang disampaikan Rumi dalam syi’irnya (hal.124)

Kemudian dalam syi’ir Food for The Soul tersirat bahwa manusia haruslah menempuh jalan yang benar meskipun sulit, sebab hal itu tidak akan membuat manusia menjadi orang-orang yang merugi. Bait-bait tersebut memuat dimensi thariqah sufisme di mana Rumi memberikan jalan yang ditempuh dalam mengamalkan syari’at.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.

Bagi kelompok yang mengagung-agungkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Dimensi Rumi yang terakhir (hakikat) tercermin dalam The Believer’s Heart. Dia menekankan bahwa Tuhan sebenarnya bersemayam di hati orang yang percaya pada Tuhan memang ada. Tuhan tidak di atas, di bawah, di bumi, di langit, atau di surga, tapi tuhan adalah keyakinanmu. Ajaran ini merupakan hakikat yang dituliskan Rumi ke dalam syi’ir di mana keadaan batin serta maqam yang dapat dicapai dalam perjalanan menuju dan bersama Tuhan.

Kiranya tepat sebagaimana tertulis dalam sinopsisi buku ini, bahwa “Let your Soul Surrender to Rumi’s spiritual wisdom and prepare to be enlightened. Here are more than words; more than poem; here are sublim meditations.”

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.