Kamis, 05 Februari 2009

PLULARITAS VERSI PINGGIRAN

Sebuah kegaduhan yang biasa. Tiga puluhan anak berdesakan keluar dari pintu sebuah masjid. Sebagian langsung menuju tangga tempat sandal-sandal mereka ditinggalkan, sebentar kemudian anak-anak itu telah berjalan memenuhi badan jalan di depan bangunan itu dengan membentuk kelompok-kelompok kecil.

Sebagian yang lain masih terlihat memadati serambi dengan kerumunan-kerumunan kecil. Dari sinilah keriuhan sore itu terdengar. Suara tawa, teriakan dan jeritan ceria berbaur dengan bunyi tapak kaki yang beradu dengan lantai, menciptakan kegaduhan yang khas.

Mereka adalah anak-anak yang mengaji di masjid itu. Mengaji adalah sebutan yang biasa ditujukan untuk aktivitas belajar membaca al-Qur’an atau ilmu-ilmu Islam. Biasanya dilakukan dalam lembaga pendidikan nonformal, seperti di Masjid, surau atau pesantren.

Setelah pelajaran usai sekitar jam 4 sore, anak-anak itu biasa menghabiskan waktu dengan menggelar berbagai permainan di teras masjid hingga menjelang magrib. Mulai dari main bola sampai main kuis-kuisan dengan cara meniru acara kuis di televisi dengan kreatifitas khas mereka. Tidak jarang mereka juga bermain ala kuis super deal 2 milyar atau super rejeki 1 milyar.

Seorang anak laki-laki berlari berjingkrak melewati kerumunan-kerumunan kecil sumber kegaduhan itu menuju belakang masjid. Anak itu bernama Yoga, salah satu murid atau santri di masjid itu. Tubuhnya sedikit kurus. Yang membuat dia terlihat menonjol adalah warna kulit dan tinggi tubuhnya. Warna kulitnya lebih cerah dari kebanyakan temanya, ia juga lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya di masjid itu.

Sore itu ia tak ikut bermain lama. Setelah ikut bermain bola sebentar dengan teman-temanya, ia bergegas menuju belakang Masjid. Di sanalah sepeda mininya biasa di parkir, bersandar pada dinding kolam penampungan air yang berfungsi sebagai tempat wudlu.

Yoga baru saja menarik sepedanya dari sandaran saat terdengar suara memanggilnya, suara yang sudah sangat dikenalnya, suara Pak Bashori, guru ngajinya di masjid itu, “Yog, kemarin kok tidak ngaji, kemana?”

Yoga menoleh ke arah sumber suara itu. Dilihatnya gurunya itu telah berada sejajar dengan bahunya, beberapa meter dari tempatnya. Ia tidak menjawab. Anak laki-laki itu hanya tersenyum. Wajahnya menunduk Matanya memandang jari-jari roda depan sepedanya

“Kemana yog? Ikut bapakmu ke Pura ya?” tanya Pak Bashori dengan senyum lebar.
Yoga tetap diam. Tersenyum. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya. Ia tampak semakin salah

tingkah saat gurunya itu mendekat. Tanganya yang sedari tadi diam kini mulai mempermainkan kemudi sepedanya kekanan dan kekiri, hingga terdengar suara gesekan roda sepeda itu dengan kerikil–kerikil kecil di bawahnya.

“Nggak!” jawab yoga sambil tetap tersenyum.
“Ah, masak! Kata Karis kamu kemarin ke Pura sama bapakmu.” Senyum Bashori bertambah

lebar. Tampaknya ia sengaja menggoda Yoga.

“Ngga’! Karis bohong!”
“Lha, kemana kemarin kog nggak ngaji?”
Yoga tidak menjawab. Tanganya masih bermain-main dengan setir sepedanya.
“Ya sudah, besok ngaji ya!”
“Iya” jawab yoga.
“Janji, ya!”

Yoga mengangguk. Bashori melangkah meninggalkan Yoga, menuju rumahnya yang hanya berjarak beberap meter di belakang masjid. Di depan pintu rumahnya Bashori membalikan badan, menatap yoga yang pergi mengayuh sepedanya dan sesaat kemudian menghilang dibalik pagar masjid. Ia yakin yoga akan menepati janjinya.

“Saya memang sering menggodanya begitu, kalau dia bolos”, ungkap Bashori, “mungkin karena malu, setelah saya goda begitu besoknya pasti dia masuk”.

Yoga adalah salah satu santri di masjid itu yang anggota keluarganya tidak beragama Islam. Selain Yoga ada tiga anak lagi di masjid itu yang anggota keluarganya bukan muslim.

Ayah yoga memang bukan muslim. Ia beragama hindu. Namun, tidak demikian dengan ibunya. Ibu Yoga seorang muslim. Dua tahun yang lalu ia menyatakan diri untuk memeluk agana Islam.

Pada awalnya semua keluarga Yoga beragama Hindu. Dia, Ayah dan ibunya mengikuti agama hindu karena faktor keturunan dan lingkungan. Maklum, ayah dan ibu yoga mempunyai orang tua yang juga pengganut Hindu. Demikian juga kakek buyutnya, mereka penganut Hindu secara turun temurun. Hindu adalah agama leluhur mereka.

Tempat tinggal Yoga juga berada di lingkungan Hindu. Tetangga kiri kananya mayoritas pemeluk Hindu. Bahkan, rumah Yoga berdekatan dengan Pura. Pura itu berada di sebelah balai dusun Umbulan. Balai dusun inilah yang memisahkan rumah Yoga dengan Pura yang merupakan satu-satunya rumah ibadah bagi pemeluk Hindu di desa itu.

Tiga tahun lalu, saat Yoga masih duduk di kelas dua SD, ia menggikuti ajakan teman-teman sekelasnya untuk pergi ke masjid pada sore hari sepulang sekolah. Yoga tertarik dan ikut ke masjid dengan teman-temanya. Dengan satu alasan, di sana ia dapat bermain dengan teman-temanya.

"Di sana (masjid) enak. Banyak mainannya. Nyanyi-nyanyi pakai mic (pengeras suara) juga ada. Pokoknya enak!" ujar Yoga.

Dari ikut-ikutan inilah Yoga mulai kenal dengan huruf-huruf Arab dan ajaran-ajaran Islam. Walaupun ia ke masjid hanya untuk bermain, tapi mau tidak mau ia pun harus menggikuti aktifitas anak-anak di masjid itu, belajar mambaca al-Qu'ran dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman.

Orang tua Yoga tidak melarang anaknya pergi ke masjid, walaupun mereka tahu di sana yoga tidak hanya bermain, tapi juga diajari ngaji. Mereka malah cenderung lebih senang jika anaknya tiap sore ke masjid.

“Yoga itu kan anaknya nglitis (aktif), sukanya main sampai jauh. Kadang pulangnya sampai malam. Saya sering kawatir.” kata Ibu Yoga. “Kalau dia di Masjid, kan pasti ada yang ngurus. Dan tempatnya juga jelas. Jadi saya dan bapaknya tidak susah-susah untuk mencarinya, tidak kawatir.”

Orang tua Yoga bukan saja tidak keberatan jika anaknya ke Masjid, mereka bahkan rela menyisihkan uang belanjanya untuk membeli keperluan Yoga untuk beraktifitas di Masjid itu. Seperti baju taqwa, kopyah dan buku.

Entah kapan persisnya, Yoga mulai menyadari bahwa orang tuanya mempunyai identitas agama yang berbeda dengan dirinya. Yang jelas, mulai tahun kedua yoga mengaji, ia mulai merengek agar ayahnya mau ke Masjid seperti kebanyakan orang tua teman-temanya. Yoga juga sering mengeluh bahwa ia malu dengan teman-temanya karena orang tuanya tidak pernah ikut kegiatan di masjid.

“Dia merengek terus, kadang ngrundel sendiri, gitu“ kata ibu Yoga.
Akhirnya untuk menyenangkana hati anaknya, ibu yoga memutuskan untuk masuk Islam.

Sedangkan ayahnya tetap memilih beragama hindu

“Saya mikirnya gampang saja. Biar anak senang dan saya juga enak dengan orang-orang. Karena di Masjid itu kan si Kacung (begitu ibunya memanggil Yoga) sering ada kegiatan yang melibatkan orang tua. Misalnya sembahyang hari raya atau kumpulan apa gitu! Lha, saya yang sering menemani si Kacung. Biar enak dengan orang-orang di sana. Ya, saya sekalian Islam saja. Biar tidak ewuh pakewuh (canggung)" kata Ibu Yoga.


Saudara dan orang tua Ibu Yoga memang sempat meminta penjelasan tentang keputusanya berpindah agama itu. Namun setelah mereka mendengar panjelasan Ibu Yoga, akhirnya mereka setuju.

“Bapaknya kacung sih, tidak ada masalah,” kata Ibu Yoga saat ditanya teantang pendapat suaminya. “Biar kacung seneng, katanya”


Ya, dirumah itu ada dua agama. Islam dan Hindu. Tapi tidak ada yang berubah. Keluarga itu tetap menjalani kehidupannya dengan damai dan harmonis. Mereka saling mengerti dan menghargai. Perbedaan identitas agama bukan penghalang dalam menjalani hidup bersama. Bagi mereka perbedan agama adalah realitas hidup yang biasa. Biasa dalam arti benar-benar wajar atau telah benar-benar menyatu dengan realitas keseharian mereka.

Keluarga Yoga dan pola kehidupan keberagamaanya ibarat sebuah cermin kecil. Cermin yang memantulkan gambaran realitas kehidupan keberagamaan sebuah masyarakat. Masyarakat dimana Yoga dan keluarganya menjadi salah satu bagian di dalamnya. Sebuah dusun di bagian selatan Kabupaten Malang bernama Umbulan.

Masyarakat Umbulan memang tidak mengenal istilah Pluralisme agama, tokoh-tokoh penggagas, pendukung atau penentang pluralisme. Apalagi memperdebatkanya berdasarkan landasan teori atau konsep-konsep yang dipungut dari lembaran-lembaran buku atau ceramah-ceramah pada forum ilmiah. Namun realitas kehidupan yang mereka jalani sehari-hari kurang lebih dapat menjelaskan bagaimana konsep Pluralisme agama itu menemukan bentuk kongkritnya.

Masyarakat di dusun sudah sangat terbiasa dengan perbedaan agama dalam keseharianya. Tetangga yang mempunyai agama berbeda, teman yang beragama lain, kerabat, saudara bahkan orang tua atau anak yang berdeda keyakinan adalah realitas hidup yang mereka hadapi sehari-hari. Mereka tidak lagi menganggap istimewa perbedaan identitas agama di antara mereka. Maka tak heran jika terdapat fenomena dua atau tiga agama di dalam satu rumah dianggap hal yang benar-benar lumrah.

Keluarga Yoga hanyalah satu dari sekian deret daftar keluarga plural di dusun itu. Jika dalam keluarga Yoga ada dua agama, di keluarga Pak Parlan lebih plural lagi. Ada tiga agama dalam keluarga itu.

Pak Parlan dan istri serta ibunya yang tinggal serumah denganya beragama Hindu. Anak pertamanya, Poniran, beragama Katolik. Sedangkan anak keduanya masuk Islam. Pak.Parlan sebenarnya punya satu anak lagi, tapi ia tidak tinggal bersama keluarganya di desa. Ia kini bekerja sebagai TKW di Arab. Anak terakhir Pak Parlan ini beragama Islam.

“Saya lupa kapan si Poniran ngomong kalau ikut (agama) katolik.” kata pak Parlan mulai bercerita tentang anaknya. ”Pokoknya setelah dia ikut kerja di Kedung Rampal”

Kedung Rampal adalah nama dusun di sebelah utara Sidomulyo. Mayoritas penduduknya memang beragama Katolik. Dan satu-satunya Gereja di Desa Sidodadi juga terletak di dusun itu.

Tentang anaknya yang kedua, pak Parlan bercerita, ”Kalau adiknya poniran ikut kerja nyopir di toko pak Midi di pertigaan atas sana”, pak Parlan menunjuk ke pertigaan dekat masjid yang memang terletak di dataran agak tinggi. ”Dia Islam mungkin agar enak dengan daoke-nya (majikanya). Daokenya Islam”.

“Bapak tidak keberatan?”

Pak Parlan tersenyum. Diam sebentar lalu menjawab, ”Mereka itu kan sudah dewasa, sudah bisa milih dan mikir. Kalau mereka rasa itu baik bagi mereka, mengapa keberatan?”

Pak Parlan justru kawatir akan berselisih dengan anak-anaknya jika ia melarang mereka untuk pindah agama. ”Saru!” katanya. ”Masak ribut dengan anak hanya karena agama. Apalagi sampai congkrah dengan keluarga”.

Pandangan pak Parlan ini memang sejalan dengan pandangan masyarakat sidomulyo umum umumnya. Masyarakat dusun ini cenderung menilai bahwa perselisihan antar keluarga gara-gara pebedaan agama adalah hal yang memalukan atau tak pantas. Karena bagi mereka ikatan keluarga lebih utama daripada ikatan agama.

Tumpang tindih simbol agama
Dusun Umbulan adalah salah satu dusun yang ada di wilayah desa Sidodadi, kecamatan Gedangan. desa ini bisa di kategorikan sebagai desa terpencil. karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan dan masih buruknya infrasruktur jalan menuju desa. Untuk sampai ke desa ini kendaraan harus menempuh jaran sekitar 66 Km dari kota Malang. dengan kondisi jalan yang jauh dari kategori baik. Jalan beraspal hanya sampai sekitar kota kecamatan, sedangkan untuk sampi ke desa ini kendaraan harus rela merayap di jalan berbatu selama kurang lebih satu jam. Dusun Umbulan merupakan bagian paling selatan dari desa Sidodadi. Dusun ini berbatasan langsung dengan desa Gajahrejo yang hanya berjarak sekitar 2 kilo dari Pantai Bajul Mati.

Penduduk desa Sidodadi mayoritas beragama Islam. Tujuh belas persenya adalah pemeluk agama hindu, jumlahnya sekitar 1200 orang. Sedangkan sisanya beragama katolik, tujuh persen dari total penduduk Sidodadi yang berjumlah 7236 orang.

Pemeluk agama Islam menyebar di semua dusun yang ada di desa itu. Sidodadi bagian utara bisa dikatakan homogen dalam hal agama. Pemeluk agama selain Islam hanya ada beberapa orang saja. Sedangkan Sidodadi bagian selatan lebih plural. Tiga agama ada di sana. Pemeluk kristen terkonsentrasi di dusun Kedung Rampal, sedangkan pemeluk hindu di dusun Umbulan yang berada tepat di selatan dusun Kedung Rampal.

Di dua desa inilah ketiga agama itu bertemu melaui interaksi sosial pemeluknya. Dan akhirnya melahirkan realitas keberagamaan yang plural. Pluralitas yang di praktikkan masyrakat di dusun ini kerap kali memunculkan realitas yang menurut sebagian orang dipandang sebagai hal unik atau aneh. Utamanya berkaitan dengan praktik keagamaan maupun simbol-simbol identitas keagamaan yang tumpang tindih. Baik dalam ruang publik maupun privat.

Misalnya dalam hal perayaan hari raya keagamaan. Di dusun Umbulan ini, hari raya umat Islam, seperti Idul Fitri maupun Idul Adha tidak hanya dirayakan oleh umat Islam saja. Kabanyakan warga Sidomulyo yang beragama hindu maupun Kristen juga merayakanya. Memang, mereka tidak ikut takbir atau sembayahng Idul Fitri, tapi soal serba serbi tradisi lebaran, mereka tidak ketinggalan.

Mempercantik rumah, membeli baju baru, dan membuat kue lebaran menjadi kesibukan utama menjelang lebaran.Tidak hanya itu, masyarakat Sidomulyo, dari agama apa saja, juga melakukan tradisi silaturrahmi. Saling mengunjungi dan meminta maaf antar keluarga dan tetangga, tidak perduli apa agamanya.

Seperti halnya tradisi umat islam yang mengaap umur lebaran sama dengan dengan umur bulan Sawwal, masyarakat hindu di Umbulan juga masih menyediakan kue lebaran di ruang tamu mereka hingga satu bulan.

Awal November lalu, saat saya berkenjung ke rumah Pak Parlan, Kue lebaan itu juga masih ada. Karena pada hari itu bulan Sawwal baru berjalan sepuluh hari.

” Kenapa ya..? ya, ikut saja. Masyarakat disini sudah biasa begitu. Sungkan kalau tidak ikut. Toh, itu (tradisi lebaran) juga baik.” kata Pak Parlan saat saya bertanya mengapa ia dan keluarga ikut merayakan lebaran. ”Lha wong setahun sekali saja.” tambahnya.

Dalam hal pakaian, tumpang tindih simbol agama ini juga terlihat. sarung dibanyak tempat di anggap sebagai simbol identitas Islam. Ahmad Baso, seorang intelektual Islam, bahkan menyebutnya lebih sempit lagi. Baso dalam bukunya, Plesetan lokalitas, menyebut sarung sebgai simbol Islam tradisional.

Tapi di Umbulan anggpan bahawa yang bersarung dan berkopyah adalah orang muslim tidak saja kurang tepat, tapi juga menyesatkan. Karena di dusun ini yang memakai kopyah tidak hanya orang Islam, tapi juga masyarakat non islam yang ada di dusun itu, Hindu dan Kristen.

Orang Hindu di sidomulyo tidak meanggap sarung sebagai simbol agama. Sarung menurut mereka hanya pakaian santai yang biasa di pakai selepas kerja atau berkumpul dengan keluarga sepanjang malam.

Mereka memakainya dengan cara sama seperti kebanyakan orang islam. Sebagai pengganti celana yang menutup pinggang sampai betis. Tidak seperti masyarakat tengger yang memakai sarung untuk selimut penahan dingin.

Sedangkan kopyah di mata mereka menjadi semacam pakaian resmi untuk menghadiri acara-acara yang bersifat formal. Misalnya menghadiri acara acara pertemuan desa atau semacamnya.

Untuk menghadiri undangan selamatan atau kenduri tetangga atau keluarganya yang beragama Islam, mereka biasanya juga memakai kopyah dan sarung, sama seperti kebanyakan umat Islam.

”Tidak bisa dibedakan. Mana Islam asli dan mana yang bukan” kata Pak Bashori, salah satu pemuka Islam di dusun itu.

Terkadang, menurut Bashori, orang Hindu malah lebih necis dan mentereng dibanding umat Islam pada saat mengahdiri kenduri. Karena selain memakai kopyah dan sarung yang lebih bagus, mereka juga memakai baju koko yang modelnya sedang tren. Seperti misalnya baju koko model ”UJ” (Ustad Jefri) yang kala itu sedang naik daun bersamaan dengan naik daunya sang da’i.

”Biar seperti yang di TV-TV, kata mereka”. Cerita Bashori yang diakhiri dengan tawa.

Sekali Roma tetap Roma
Fenomena menarik juga saya temui saat berinteraksi dengan para pemuda di dusun itu. Tiap kali saya melintas di jalan sekitar Balai Dusun, yang merupakan kawasan Hindu, di waktu pagi, keadaaan yang saya temui selalu sama. Udara di sepanjang jalan sekitar balai dusun itu dipenuhi suara lagu yang di putar Kencang-kencang dari beberapa rumah di di tepi jalan.

Uniknya, lagu-lagu yang diputar itu berjenis dan bercorak sama. Karena lagu-lagu itu ternyata dinyanyikan oleh satu orang. Seorang musisi dan biduan dangdut yang terkenal dengan lagu-lagunya yang banyak bernuansa dakwah, Si Raja Dangdut; Roma Irama. Padahal, kawasan sekitar balai dusun itu adalah wilayah yang dihuni oleh mayoritas Hindu.

Satu pagi, seperti biasa, setelah melewati pertigaan depan balai dusun, saya meneangkap suara yang tak asing lagi. Sekitar empat lagu yang dinyanyikan Roma dengan judul berbeda diputar bersamaan dengan suara kencang. Pendengaran saya dipenuhi suara lagu-lagu Roma Irama yang sahut menyahut dan saling tumpang tindih

Saya mendatangi salah satu sumber suara itu. Sebuah rumah kayu yang letaknya lebih tinggi dari jalanann. Untuk sampai di halamanya saya harus naik semacam tangga yang terbuat dari batu yang tertata rapi.Tapi kemudian saya urung memasuki halaman. Ada anjing sedang menyusui anaknya di depan pintu rumah itu. Saya takut anjing.

Masyarakat dusun Umbulan memang gemar memelihara binatang ini. Satu keluarga bisanya mempunyai minimal satu ekor anjing. Bahkan, menurut salah satu santri yang mengaji di tempat P. Bashori, tetangganya ada yang punya anjing lebih dari 15 ekor.”Diternak, dijual di Sitiarjo, disembelih” katanya.

Untung saja, tidak ada anjing yang terlihat disekitar rumah di seberang jalan, rumah yang juga ikut andil dalam kegaduhan pagi itu. Dari rumah itu lagu Roma juga terdengar, tapi tidak sekeras tetangga-tetangganya. Suara biduan itu kalah oleh suara orang yang menirukan lirik lagunya.

Ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki yang duduk berjongkok di pintu depan rumahnya. Bertelanjang dada. Membiarkan sinar matahari menerpa tubuhnya. Matanya terpejam tampak menghayati benar lagu yang ditiruknaya. Sesekali tanganya bergaya seperti memainkan gitar.

”La...ila...ha illallah...//Tiada Tuhan selain Allah...//Katakan... Tuhan itu satu..// Tuhan tidak beranak....”

Suara itu berhenti. Si empunya suara ternyata menyadari bahwa saya telah ada di depanya. Setelah basa basi sebentar ia mempersilahkan saya masuk.

Meja dan kursi panjang mengisi ruangan tamu. Sebuah alamanak bergambar wanita berpose diatas motor gede tergantung di tembok yang belum di lapisi kulit semen, batu bata penyusun tembok itu masih terlihat jelas.

Sebuah sound system seukuran tiga susun kardus mie instan berdiri di lantai plester dekat pintu masuk. Sebuah tape rakitan berbentuk persegi panjang beserta amplifiernya berada di atas sound itu. Dari alat inilah lagu Roma yang tadi saya dengar di putar.


Pemuda itu bernama Maryo.Berumur 27 tahun. Ia anak pertama dari dua beraudara. Adiknya masih duduk di kelas 2 SMA. Dirumah itu ia tinggal bersama ibu dan adiknya. Bapaknya telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sehari-hari Maryo bekerja di tambak udang di Desa Gajah rejo, dekat pantai Bajul Mati. Pagi itu ia mendapat giliran jaga pagi. Kalau jaga pagi biasanya ia berangkat ke tambak sekitar jam 8 dan pulang jam 5 sore.Yang mengagetkan ternyata Maryo dan keluarganya beragama Hindu.

Lantas, mengapa dia suka lagu-lagu Roma yang berbau dakwah? Dan mengapa dia terlihat begitu mengahyati lagu dengan lirik kalimah tauhid (la ilahallah) itu? Maryo menjawab,”lha, orang seneng itu kan urusan hati tho, mas. Tidak ada urusanya dengan agama. Masak karena saya hindu saya tidak boleh suka lagunya Roma? Saya suka lagunya Roma ya..karena suka saja.Tidak tau kenapa. (karena) enak di dengar mungkin ya ?”

Maryo juga mengatakan bahwa tetangganya yang tiap pagi memutar lagu-lagu Roma itu juga kebanyakan bukan Islam.” Kalau malam, di gardu itu pasti rame orang-orang njagong (duduk-duduk santai). Gitaran. Nyayinya ya, kebanyakan lagunya Roma”, kata Maryo sambil menunjuk sebuah tempat seperti pos jaga desa atau pos kamling di seberang jalan.

”Tahu artinya lirik lagu tadi...(la..ilaaha illa llah)? tanya saya.
”Tahu. Tiada tuhan selain Allah, kan?”
”Tidak takut di marahi orang tua atau pemangku (pemuka Hindu)?
”Tidak. Orang mereka juga tahu itu hanya lagu”
”Tapi kan liriknya kan mengandung Islam-islamnya?” saya mengejar.
” Lha, mau gimana lagi...? itu sudah syairnya (liriknya). Masak mau diganti.” Maryo tersenyum. ”diganti apa ya..? Masak hong...wilaheng ....gitu? ya tidak enak!”
”Ha ha ha........” kami tertawa.

Hindu, Kristen, eh...Islam,deh!
Pria kurus yang bicara blak-blakan itu menerima saya di ruang tamunya. Sebuah ruangan berlantai tanah, berisi meja kayu yang diapit dua kursi panjang juga dari kayu. Sebuah pembersih meja yang terbuat dari segenggam batang padi yang diikat tergeletak diatas meja, disebelah kendi tanah.

Karjo Kemal nama orang itu. Sehari-hari ia bekerja di sawah. Dalam umurnya yang hampir setangah abad itu Kemal telah tiga kali berpindah agama. Sejak lahir ia beragama hindu mengikuti orang tuanya. Ia masuk Islam saat menikah. Karena Istrinya adalah orang Islam. Bisa dibilang Kemal masuk Islam hanya formalitas saja, untuk kemudahan proses pernikahan dan pengurusan surat nikah.

” Enaknya jadi orang islam itu, kalau kawain (nikah) surat kawinya bagus. Lha, kalau yang lainya (agama lain) paling hanya dapat lembaran (sertifikat) tok.” katanya.

Beberapa bulan setelah menikah, Karjo kembali lagi ke Hindu. ” Tidak apa-apa, istri saya tetap Islam,” jawab karjo saat ditanya mengenai istrinya saat ia kembali beragamama hindu.

Karjo kembali meyatakan diri memeluk Islam setelah lingkunganya menjadi kawasan Muslim. Daerah sekitar rumah Karjo yang sebelumnya merupakan lahan kosong, lambat laun banyak ditempati orang-orang Islam yang kemudian menjadi tetangganya. ” Rumah-rumah di kanan kiri ini baru saja ada. Sekitar sepuluh tahunan, lah. Dulu tidak ada”, kata Karjo. Para tetangga baru Karjo itu berasal dari Sidodadi utara yang memang mayoritas Islam. Interaksi Karjo dengan bayak orang Islam itulah yang menjadikan karjo masuk Islam, untuk kedua kalinya.

” Yang seperti itu biasa disini, ” Kata Bashori, saat menaggapi cerita saya tentang Karjo Keman. Lelaki yang kerap di sebut Kiai oleh masyarakat Umbulan ini bahkan mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Umbulan pernah merasakan pindah agama.

” Seperti orang binggung, lah,” kata Bashori. ” Sekarang Islam, tahun depanya Hindu, e...tau-tau minta nikah cara Islam,”

Basori juga bercerita bahwa sering pindah-pindah agama tersebut tidak terjadi pada orang berpendidikan rendah saja. ” Gitu itu tidak peduli pendidikan. Wong Pak Kepala Desa yang sarjana saja juga ’orang bingung’. Pak Parman itu dulu Hindu terus Islam, sekarang hindu lagi.”

Pengalaman merasakan berbagaia agama memang telah menjadi lumrah di Umbulan. Tak jarang pula mereka pindah agama karena ikut-ikutan. Pendi misalnya, pemuda yang baru lulus SMA ini mengaku telah ”mencoba” semua agama yang ada di Sidodadi. ” Hindu pernah, Kristen juga pernah, mas” katanya.

Sembari nongkrong di Gardu perempatan jalan bersama teman-teman sebayanya, Pendi bercerita bahwa awlanya dia Hindu. Sekitar tiga tahun lalu ia banyak bergaul dengan teman-teman di SMA - nya yang beragama Kristen. ” Mereka semua akrab sama saya, saya diajak maen kemana-mana. Yang sering ke Siti arjo, katanya. ”Sering juga, kita maen sampai ke Malang (kota malang), mas”.

Entah kapan tepatnya Pandi kemudian ”iseng” ikut ke gereja. ” Waktu itu ke gereja di Siti Arjo. Gerejanya besar, tidak seperti di Kedung Rampal,” kata Pandi. Beberapa kali Pandi ikut ke geraja dengan teman-teman Kristenya, hingga akhirnya ada salah seorang Jama’ah Gereja yang menawarinya, dan dua orang temnya yang Hindu, untuk masuk Kristen. Pandi dan dua temanya setuju.” Sebenarnya saya mau ya..ikut teman –teman aja. Dan juga karena sungkan. Mereka orangnya baik-baik. Saya sering dikasih barang dan kadang juga kerjaan” katanya.

Pergaulan Pandi dengan teman-teman Kristenya mulai berkurang saat ia sibuk membantu kakanya yang bekrja sebagi sopir truk pengangkut batu di Gajah Rejo. Kakaknya ini beragama Islam. Sejak itu, Pandi kemudian bergaul dengan orang-orang Islam yang ada di Gajah Rejo dan akhirnya ia didesak kaknya untuk sering ke masjid. Awalnya ia malas, tapi karena terus didesak akhirnya Pandi aktif juga mengikuti kegiatan Masjid walau hanya sebatas Sholat Jum’at. Dan itu artinya Pandi menjadi orang Islam.

Mudah berpindah agama memang lumrah di desa umbulan dan sekitarnya. Mereka pindah pada umumnya bukan karena ada gerakan terencana seperti yang sering dibayangkan orang seperti kristenisasi atau islamisasi. Mereka pindah agama rata-rata karena pengaruh interaksi dengan orang di dekat mereka. Teman, keluarga atau orang di tempat kerja.

” Orang sini itu lucu,” kata P. Bashori. ” Kadang pindah agama dengan alasan sepele. Mungkin karena orang sini itu kebanyakan orang awam, ya? Istilahnya abangan mungkin? Jadi, Islam ya..Islam abangan, Kristen ya..Kristen abangan dan Hindu juga abangan.”

Beberapa tahun yang lalu banyak masyarakat Umbulan yang masuk Islam gara-gara menuruti anaknya. Ceritanya, Bashori pernah mengajak murid-muridnya untuk menagadakan kegiatan di luar rumah. ” Semacam kemah santri gitu... Tapi saya buat semeriah mungkin,” Kata Bashori.

Para nggota jamah tahlil diminta membuat obor dari bambu, Satu orang membuat tiga. Dan Obor itu ditaruh di kanan kiri jalan mulai dari masjid sampai ke lokasi perkemahan. Jaraknya sekitar dua kilo. ”Karena dulu masih belum ada listrik, jadi ya kelihatan betul meriahnya. Sepanjang jalan dari sini sampai Kedung Rampal jadi semarak kayak perayaan, gitu. Wah, santri dan orang tuanya seneng betul waktu itu,” kata Bashori.

Karena acara itulah banyak anak kecil sekitar umbulan dan Kedung Rampal yang minta ngaji ke Masjid. Dan bayak pula orang tua yang akhirnya masuk Islam gara-gara anaknya ngaji di masjid itu. ”Mungkin waktu kemah itu syi’ar-nya terlihat betul ya,” kata Bashori.

Agama berbasis kenyataan
Pola keberagamaan adalah cerminan dari pemahaman dan keyakinan seseorang mengenai agama. Keyakinan dan pemahaman itu terbangun melalui pengalaman dan realitas kehidupanya yang panjang dan penuh dinamika. Karena itulah semua orang berhak dan bebas untuk memaknai agama yang diyakninya dalam rangka melihat dan menghadapi kenyataan hidupnya.

Prilaku keberagamaan Masyarakat Umbulan, dengan demikian, adalah cerninan dari pandangan dan pemahaman mereka tentang agama.


Pada umumnya masyarakat Umbulan berpandangan bahwa yang terpenting dalam hidup itu adalah ketentraman dan keselamatan. Caranya adalah dengan hidup rukun, damai dan saling membantu sesama


”Agama itu ibarat lampu, supaya bisa melihat jalan. Lampu untuk menuntun hidup. Agar hidup selamat dan tentram. Agama apa saja baik, yang penting bisa membawa hidup jadi lebih baik,” kata Karjo Kemal. ” Orang sini itu yang dilihat bukan agamanya, tapi bagaiman prilaku orangnya. Kalau orangnya baik lakune , ya akan di turut. Sebaliknya, kalau ga’ bener, apapun agamanya ya..tidak digugu (di percaya).”

Hubungan keluarga dan hubungan bermasyarakat dihargai lebih dari ikatan agama. ” Buat apa beragama kalau malah membuat tidak rukun dengan keluarga atau dengan tetangga”, kata Pak Parlan, yang ketiga anaknya mempunyai agama berbeda. ” Toh, kalau ada kesulitan atau kita minta bantuan pasti larinya ke teangga atau keluarga. Jadi tidak ada gunanya congkrah dengan tetangga dan keluarga gara-gara beda agama.”

Pemahaman masyarakat Umbulan ini, menurut Bashori adalah perpaduan dari pemahaman pas-pasan mereka mengenai ilmu agama dengan berbagai realitas sosial yang dihadapi dalam kehidupan keseharianya. ”Masyrakat sini mayoritas adalah Gakin (keluarga miskin), ini mungkin salah satu sebab mengapa mereka mempunyai pemahaman agama yang aneh, pindah agama dengan alasan dikasih pekerjaan misalnya.”

Bashori juga menuturkan bahwa relitas kemiskinan yang dihadapi kebanyakan masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan agama, atau oleh orang -orang yang dianggap mempunyai pemahaman agama yang lebih. ” Makanya, selama ini saya selalu berusaha berda’wah dengan mengupayakan agar masyarakat sini bisa lebih baik ekonominya. Tapi selalu saja terbentur modal.”

Yang dihadapi masyrakat Umbulan adalah kemiskinan. Dan ini adalah masalah riil, solusinya seharusnya juga riil. ” Tidak cukup dengan menganjurkan beriman dan bertakwa, tok , ” kata Bashori. ”Gakin butuh perbaikan ekonomi. Sholat dan pengetahuan agama memnag penting, tapi isi perut lebih penting....setidaknya bagi mereka.”

Perkataan Bashori ini mengingatkan saya pada tulisan Mohammad Sobary, yang mengutip perkataan seorang Haji yang menjadi responden dalam penelitianya. Bahwa Orang shaleh menurut Haji itu adalah orang yang menyeimbangkan anatara Ushali dan Usaha. Dan jika harus memilih, pilihan kedua lebih baik. Ketika Sobary bertanya, ”mengapa?”, orang itu menjawab, ” karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawaban kongkrit : kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari usaha.”
”Do’a mah kaga enak dimakan,” kata haji itu.

Prilaku keagamaan dan pemahaman agama masyarakat Umbulan tersebut mungkin tidak lazim bagi kita. Namun bagaimanapun hal itu adalah produk dari proses sosial historis yang mereka hadapi. Apapun yang mereka pahami mengenai agama adalah benar dan sah semata. Karena pada dasarnya setiap pemeluk agama mempunyai nalar dan cara pandang sendiri yang independen, dan otentik mengenai agama yang diyakininya.

Masyarakat Umbulan dan sekitarnya memang bukan orang-orang yang mampu bicara banyak mengenai agama. Pemahaman mereka seringkali dikalaim sebagai ”pinggiran” dalam lingkaran pemikiran keagamaan. Hanya karena mereka bukan golongan elit agama atau agamawan, yang diposisikan sebagai ”pusat” yang merasa harus dijadikan tempat rujukan dalam memahami agama. Namun, bukan berarti pandangan dan keyakianan mereka tentang agama tersebut lebih rendah kadar kebenaranya daripada pandangan para elit agama yang banyak tahu tentang agama.

Karena bagaimanapun pemahaman terhadap agama yang mereka pegang adalah buah dari pengalaman dan realitas hidup yang mereka hadapi. Realitas dan pengalaman hidup yang otentik, yang seringkali berbeda dengan yang dialami oleh orang atau kelompok masyarakat lain, termasuk juga dengan pengalaman para elit agama.

Hidup penuh kesejukan dan kedamaian ditengah sanak kerabat dan tetangga yang berbeda agama, suasana yang kuat rasa solidaritas dan kolektifitas dan kemiskinan yang menghimpit adalah beberapa hal dari sekian banyak realitas hidup yang harus dihadapi masyarakat Umbulan. Sebuah kenyataan hidup yang tidak ada disetiap tempat.

Karena itu, memandang dan menakar pemahaman masyarakat Umbulan dengan kacamata kita yang mempunyai realitas dan pengalaman berbeda, seringkali akan melahirkan berbagai penghakiman dan terkadang juga pemaksaan.

Sebab, tidak ada hirarki dalam kebenaran agama. Dengan demikian, nilai kebenaran agama yang dimiliki elit agama seperti kiai, pastur, atau agamawan lain, tidak lebih tinggi dari kebenaran versi orang-orang seperti tukang becak, buruh, petani atau yang lain yang sering dikalim sebagai ”pinggiran” dalam persoalan agama.

Karena kebenaran yang ada pada manusia bukanlah sesuatu yang tunggal dan terpusat, tapi menyebar dan bersifat indivual atau mungkin kolektif. Mengingat kebenaran sebenarnya adalah kontruksi manusia, bukan sesuatu yang terberi. Makanya ada kebenaran versi ini dan versi itu atau kebenaran menurut orang per orang. Dengan demikian, pemahaman model apapun yang dipegang masyarakat Umbulan tersebut menurut saya adalah benar semata, setidaknya bagi mereka. Anda boleh tidak setuju!

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.