Jumat, 30 Januari 2009

MENUNGGU BIMA PULANG

Dionyus Utomo Rahardjo, akrab dipanggil Tomo atau Pak Tomo. Rumahnya berada di tengah kota Malang, tidak jauh dari stasiun kereta api. Ia pernah menjabat sebagai ketua Rukun Tetangga. Warga sekitar mengenalnya dengan baik.

Suatu hari, Tomo dan Misiati berdiskusi panjang lebar dengan anaknya di sudut ruangan tamu. Saling menimpali satu sama lain. Misiati yang tidak tahu banyak aktivitas anaknya hanya mengingatkan agar kuliahnya tidak putus di tengah jalan. Tomo cemas dengan keselamatan anaknya. Namun Bima tetap pada pendiriannya.

“Yang kamu hadapi adalah tembok beton yang kerangkanya terbuat dari baja, apakah kamu mampu?” Sebuah penggambaran Tomo akan rejim Orde Baru yang begitu kokoh.

“Paling tidak akulah yang menabraknya,” jawab Bima
“Berapa temanmu?”
“Antara 30--50 orang.”

Tomo masih terus berfikir, bayangan menakutkan 4 B terlintas difikirannya. Buru, Bui, Buang, atau Bunuh. Ke empat hal yang selalu memburu para aktifis penentang Orde Baru. Bima adalah bagian dari ketakutan itu. Dan akan lebih menyedihkan dibandingkan dengan aksi-aksi sebelumnya yang pernah ia lakukan, hingga sempat membuat namanya mencuat.
Masih begitu jelas diingatan Tomo, saat gambar Bima dimuat Surabaya Pos dengan kepalanya yang bocor. Tomo melihat gambar anaknya dalam koran dengan perasaan haru. Ada sebuah kebanggaan disana. Melalui adik Bima, Tomo mengirimkan uang dan sebuah pesan yang ditulisnya di atas kertas karton “maju terus pantang mundur.”
Saat itu Bima sebagai anggota SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dan juga Komite Pimpinan Kota PRD (Partai Rakyat Demokratik) sedang melakukan aksi mogok makan bersama rekan-rekannya di depan gedung DPRD Surabaya. Kemudian sebuah organisasi yang tidak dikenal datang dan membubarkan aksi mereka. Bima terluka serius dan sempat dirawat di RS Adi Husada.

SMID berdiri sejak tahun 1992, tapi baru dideklarsikan secara terbuka pada 3 Agustus 1994. Tuntutan utamanya adalah menciptakan masyarakat sipil yang demokratik dan berwatak kerakyatan. SMID aktif dalam memperjuangkan hak-hak politik mahasiswa seperti Dewan Mahasiwa, kebebasan akademis, anti-komersialisasi pendidikan dan meliterisme di kampus.

Dari aktivitas politik kampus, SMID memperjuangkan kaum tertindas yaitu kaum buruh dan tani. Mereka juga menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan pencabutan paket 5 Undang-Undang Politik 1985 yang membungkam kebebasan orang untuk berpendapat dan berorganisasi.

Sedangkan PRD yang berafiliasi dengan Pusat perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER), dan SMID. Bersama-sama melawan rezim totaliter Suharto
Pada 1997 bima mendengar rekan-rekannya di PRD pusat tertangkap mereka adalah Budiman, Wilson, dan Jati. Akhirnya Bima memutusakan untuk pergi ke Jakarta. Setelah melewati diskusi selama empat jam, akhirnya Tomo dan Misiati melepas Bima pergi.

“Jika itu baik dan benar, bukan hanya untuk dirimu sendiri tapi juga untuk orang lain, orang-orang yang tertindas, tergusur dan teraniaya, maka berangkatlah.”

“Berangkatlah dan sekecil apapun imanmu asalkan jernih, maka kamu akan diselamatkan Tuhan.”

Bima meninggalkan kuliahnya yang sudah semester tujuh di jurusan komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

“Kuliah tak harus di bangku kuliah. Saya bisa belajar dari buruh, petani, dan orang-orang di perkampungan kumuh,” kata Bima kepada bapaknya.
Sesampainya di Jakarta Bima tidak berhenti kuliah. Dia melanjutkan kuliah di STFT Driyakarya. Tempat tinggalnya pun selalu berpindah-pindah, hanya terkadang dia memberi kabar melalui pejer milik saudaranya yang ada di Jakarta. Bima tidak pernah mengatakan dengan jelas posisinya di Jakarta, ia hanya selalu mengabarkan bahwa keadaannya baik-baik saja.

Maret 1997, Bima tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Bima mendekam di penjara selama dua bual karena terlibat pengorganisasiaan massa Megawati dan partai Islam, Partai Persatuan Pembangunan. Salah satu pengorganisasian PRD yaitu membuat satu platform bersama untuk menggerakkan kekuatan demokratik yang ada, salah satunya adalah penyatuan massa Megawati dan partai Islam. Mereka menemukan platform perjuangan yang sama, yaitu kecewa pada pemerintahan Soeharto. PRD menyatukan mereka dalam sebuah front perjuangan bersama, yakni Mega-Bintang-Rakyat. Dalam penjara, Bima pun menulis sebuah surat panjang untuk sahabatnya

“.……Benar adanya, yang kamu tulis itu, sobatku. Bahwa kita melakukan tugas masing-masing karena kita MENCINTAI HIDUP! Aku sepakat. Tapi mungkin ada sesuatu yang kurang, akan lebih gamblang bila kau gambarkan hidup seperti permainan “scrabble”(yang dulu sering kita mainkan bersama kawan-kawan).” Ujar Bima dalam suratnya

Lalu ia menjelaskan di dalam suratnya: “Dalam “scrabble” berapapun permainannya selalu ada awalan dan akhiranya. Si pemain tidak bisa memaksakan permainan harus terus berjalan, bila kotak sudah penuh dan poin abjadnya sudah habis. Permainan harus selesai dan mulailah dari awal, begitu seterusnya. Seperti kita dulu, ada seorang pemain yang harus kita akui kehebatannya dalam bermain, strategi, dan taktiknya jitu. Tapi kita tidak boleh langsung menyerah dan gentar menghadapinya. Keep on fight, main terus! Kalah atau menang itu tergantung usaha kita sendiri. Tidak jarang kita kalah dalam permainan itu. Kalaupun berhenti di tengah permainan, biasanya ada urusan yang penting dan gawat. Seingat ku, dulu kita tidak pernah menyerah meski terkena “gertak” dari pemain yang lebih jago. Karena, si pemain yang terhenti di tengah jalan karena silau dengan kekuatan musuh dan tak percaya dengan kekuatannya sendiri, itulah pecundang yang sesungguhnya.

Dalam suatu pertandingan semua punya tujuan yang sama yaitu menang. Bisa saja seorang pemain kalah (ketika ingin mencapai kemenangan) tapi dia sudah berusaha dan menghadapi lawan dengan keyakinannya. Satu kali kalah belum berarti selesai menjadi pemain, masih ada hari lain, dan permainan yang lain. Hari ini kalah besok harus menang, artinya harus lebih punya kekuatan, disiplin, cerdas dalam srategi dan taktik. Kemenangan bukan suatu impian jika syarat untuk menang dan mencapai kemenangan telah dimiliki…….”

Tomo dan Misiati tidak tahu kalau Bima dipenjara. Mereka mengetahui peristiwa itu setelah Bima dibebaskan.

MARET 1998, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugrah, dan Nezar Patria bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996, SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup mereka berubah. Mereka diburu aparat keamanan Orde Baru.

Mereka bergerak gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyamar sebagai pedagang buku atau lainnya. 13 Maret 1998 petualangan bawah tanah mereka terhenti. Sekitar pukul tujuh malam, Nezar baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Mengikuti rapat mahasiswa. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, Nezar menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli makan malam. Sementara, Bima berpesan pulang agak larut.

Dari arah pintu rumah terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Nezar kaget lalu melongok ke arah jendela. Mereka berada di lantai dua, dan di bawah sana sejumlah “tamu tak diundang” sudah menunggu. Mereka memakai penutup wajah digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas.

“Mau mencari siapa?” tanya Nezar
“Tak usah tanya, ikut saja,” bentak seorang lelaki.
“Setelah mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit Nezar. Mereka digiring menuruni tangga. Nezar agak meronta, tapi dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran Nezar bicara: saya diculik!

Di dalam mobil, mata Nezar ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala Nezar dengan kain. Ia juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan.
Dompet Nezar diperiksa. Mereka mendapat KTP dengan nama asli
“Wah, benar, dia Nezar, Sekjen SMID!” teriak salah satu dari mereka.
Mata Aan dan Nezar masih tertutup rapat saat digiring masuk ke sebuah ruangan. Pendingin

Udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Nezar didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Darah mengucur dari bibir.

Setelah itu, Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel. Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi.

“Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?” tanya suara itu dengan garang.

Nezar tak banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekatinya. Lalu, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!” Nezar berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal. Ia sudah setengah tak sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar jangan menyetrum wilayah dada. Ia merasa sangat lelah. Lalu terlelap.

Tiba-tiba Nezar mendengar suara alarm memekakkan telinga. Ia tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Ia juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia diculik sejam setelah ia dan Aan ditangkap. Hati Nezar berdebar mendengar Mugiyanto dihajar bertubi-tubi.
Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul mereka terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto. Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak mereka dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas Nezar berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional.
Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis Nezar

“Sudah siap mati?” bisik si penculik.
Nezar terdiam
“Sana, berdoa!”

Kerongkongan Nezar tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidupnya akan berakhir di situ. Ia pasrah dan berdoa agar jalan kematian tak begitu menyakitkan. Tapi eksekusi itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan memantaunya di mana saja.
Akhirnya Nezar, Aan, dan Mugiyanto dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana mereka bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt.

Sepekan kemudian, Andi Arief diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat rahasia, dia terdampar juga di Polda Metro Jaya.

Mugiyanto, Aan Rusdianto, dan Nezar Patria, selain satu organisasi dengan Bima. Mereka bertiga adalah satu kontrakan. Namun, setelah peristiwa penculikan yang dialami oleh mereka. Tak satu pun yang tahu keberadaan Bima. Kapan dan oleh siapa ia diambil.

Mengapa ia tidak dikembalikan seperti kawan-kawannya lainnya?
Seperti dimuat sindikasi Pantau, 12 Desember 2007, “Bima pribadi yang berani, teguh dan disiplin dalam usaha merealisasikan idealismenya. Aku yakin betul karena semua itulah dia tidak dikembalikan oleh penculiknya,” kata Mugi panggilan akrab Mugiyanto, kini menjabat sebagai ketua IKOHI. Kantornya berada di kawasan Menteng Jakarta Selatan.

Jakarta 19 September 1998. Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati, said Alkatiri, Hj. Marufah, Eva Arnaz, Yuniarsih, serta Paian Siahaan dengan dorongan Munir mendirikan sebuah paguyuban keluarga korban penghilangan paksa yang mereka beri nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia disingkat menjadi IKOHI. Disaksikan oleh Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Adi Andoyo, HJC Princen dan Amin Rais, pada waktu itu.

Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati kehilangan Petrus Bima Anugerah, Said Alkatiri kehilangan Noval Alkatiri, Hj. Marufah kehilangan Faisol Riza, Eva Arnaz kehilangan suaminya Dedy Hamdun, Yuniarsih kehilangan putranya Herman Hendrawan, serta Paian Siahaan kehilangan putranya Ucok Siahaan.

Sejak didirikan IKOHI 10 tahun lalu, yang kemudian disempurnakan pada Kongres I tanggal 11 sampai 14 Oktober 2002. Dionyus Utomo Rahardjo dan Misiati beserta kawan-kawannya yang lain terus berjuang menuntut keadilan.
IKOHI mengantongi misi untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi bagi korban serta menggalang solidaritas antara korban pelanggaran HAM. Dari sana mereka meminta pertolongan kepada segenap instansi walaupun tidak ada satu pun yang merespon. Respon yang didapat adalah dari komnas HAM yang hanya akan menyampaikan rekomendasi dari berita acara kehilangan dari rumah-rumah kepada pemerintah. Baik itu Kejaksaan, Presiden, dan DPR.

“Kami tidak berharap lebih pada apa yang diperjuangkan komnas HAM,” ujar Tomo.

Mengingat mereka tidak akan menerima rekomendasi kasus pelanggaran HAM yang bagi mereka bukan merupakan pelanggarn HAM berat. Harapan pada pemerintah negeri ini pun terhenti sampai disitu. Dan pada akhir September Tomo diundang ke konfrensi PBB di Jenewa Swiss bersama Mugiyanto dan Bambang Wijayanto. Lagi-lagi harapan tipis sekali. Tomo menyapaikan kepada peserta konfrensi untuk datang ke Indonesia. Namun mereka menjawab, “selama Negara anda tidak mengundang kami, maka kami tidak akan bisa datang.”

“Sedangkan itu tidak akan mungkin. Tidak ada satu Negara pun yang akan membiarkan orang lain mengorek-orek boroknya sendiri,” ungkap Tomo kepada kami.

Pria berumur lebih dari setengah abad itu seolah menahan dorongan air mata yang hendak keluar dari kelopak matanya. Tatapan matanya lurus, menerawang. Tomo seolah meraba bagian demi bagian perjalanan hidup anaknya. Berawal dari keberangkatannya hingga kepergian yang tidak pernah dia ketahui. Bima berjanji kepada kedua orangtuanya akan pulang pada perayaan Paskah April 1998, seakan menjadi janji abadi. Karena sebelum itu Bima telah hilang.

“Itulah kebanggaan kami dulu,” ujar Tomo seraya memperlihatkan piagam-piagam yang diberikan atas dedikasi Bima. Ada duka di wajah tuanya.
“Sudah sepuluh tahun,” ujar Misiati dengan suaranya yang tertahan, ada air mata di sudut matanya. Terhitung sudah sepuluh tahun semenjak hilangnya Bima. Tomo dan Misiati, istrinya, tak pernah berhenti ataupun putus asa untuk memperjuangkan nasib anaknya.

“Selama Tuhan memberikan kesehatan jiwa dan raga, bapak dan ibu tidak akan putus asa. Entah sampai kapan, tapi kami hanya bisa pasrah menyerahkan jalannya pada penyelenggara hidup. Baik itu alternatif paling jelek.” Tomo berhenti sejenak, wajahnya terlihat gusar menghisap rokok dalam canting dan kembali meneruskan kata-katanya.

“Dia mati atau dia masih hidup. Karena ada dua pilihan, maka kalau dia masih hidup, dia ada dimana? Dan kalau sudah dilibas kapan dan dimana.” Tomo berhenti berkata-kata, seolah-olah tak mempercayai apa yang telah ia katakan.

“Kami hanya meminta kejelasan,” suara Misiati mengikuti.
“Kami tidak akan mungkin menelusuri seantero negeri ini untuk mencari Bima,” tambah Misiati.

Berbagai upaya telah mereka lakukan, mulai dari mengirimkan surat pernyataan kehilangan ke 13 instansi yang ada di negeri ini sampai dengan orasi di bundaran Hotel Indonesia dan di tempat-tempat lainnya. Tomo adalah orang yang paling banyak angkat bicara saat aksi memperjuangkan nasib Bima dan kawan-kawannya.

“Anda boleh tangkap bapaknya Bima tapi tolong kembalikan Bima!”
“Saat itu sebenarnya sudah tidak etis saya katakan seperti itu. Tapi pada saat itu saya masih sangat berani mengatakannya,” kenang Tomo.
“Karena itu saya dapat merasakan bagaimana mahasiswa sekarang dapat melakukan apapun yang dapat mereka lakukan untuk negaranya,” Misiati menambahkan.

Misiati menghapus air mata yang tak sempat jatuh di pipinya. Tangannya memegang selembar surat yang pernah dikirim Bima padanya. Dalam surat yang menceritakan ungkapan kasih sayang Bima pada ibunya.

“Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima memang sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih orang tuanya. Bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pekewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak......Ada saatnya yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang sama ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian keadaanya.”

“Bima enggak pengen jadi seperti kucing. Kucing itu dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan seorang anak diharapkan semenjak lahir, disusui, disekolahkan, kalo lulus diharapakan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalo hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup disitu saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting,…” tulis Bima.

“Bima pengen masa muda Bima betul-betul bermakna.”

Petrus Bima Anugerah, anak kedua dari empat bersaudara. Lahir di Malang 24 September 1973. Tinggi bandanya sekitar 170 Cm. Kulitnya kuning langsat. Ada tahi lalat di sudut luar bagian mata kanannya. Sejak hari selasa, 31 Maret 1998 tidak ada kabar dan ia pun tidak kembali ke rumah sejak itu dan sampai detik ini. Jika ia masih hidup kini ia telah berumur 35 tahun.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.