Minggu, 22 Februari 2009

Epistemologi Teori Kritis

Pertama saya berbicara tentang seberapa individualkah seorang individu. Saya sudah diperingatkan untuk tidak terlalu berbicara filosofis padahal epistemologi adalah bagian dari diskusi filosofis. Untuk mendamaikan itu saya akan membuat beberapa contoh. Namun sebelum itu saya akan berbicara tentang latar belakang teori kritis dalam konstelasi teoritis yang berkembang di Eropa. Sejak awal zaman modern ketika munculnya ilmu pengetahuan dan munculnya teori kritis ini. Kalau kita perhatikan apa yang mendasari ilmu-ilmu sosial di Eropa, itu tak lain dari pada suatu sikap, pertama optimistis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua sebuah sikap romantis, dalam arti kritis terhadap perkembangan ilmu alam itu sendiri. Nah, sikap yang pertama ini berkembang sampai pada puncaknya pada abad 18, yaitu zaman pencerahan.

Pencerahan di tiga wilayah, Jerman, Prancis dan Inggris itu mempunyai satu kesamaan di samping juga perbedaanya yaitu melawan metafisika. Termasuk di dalam metafisika, tahayul-tahayul, mitos-mitos, agama dan segala macam bentuk abstraksi yang tidak mempunyai dasar empiris. Perbedaannya kalau di Prancis amat didasari oleh John Locke yang sangat empiristis, begitu juga di Inggris, namun ia sebenarnya mengembangkan pencerahannya sendiri yakni pengembangan tentang mekanisme. Maka di Inggris lebih mengacu pada paham deisme. Suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam semesta ini, dia menganggur, membiarkan dunia bergerak menurut mekanismenya sendiri. Sedangkan di Jerman, motif pencerahan juga berbeda, ide yang tak pernah hilang dari filsafat Jerman adalah ide mentalitas. Oleh karena itu, menjadi mentalitas yang merasuki filsafat dan juga sastra di Jerman adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatu. Dalam hal ini juga, ilmu, mitos, iman dan seterusnya. Bagaimana itu menjadi bangunan yang koheren dan utuh. Oleh karena itu, pencerahan di Jerman tidak mencabik-cabik agama, melainkan memberikan pendasaran yang kokoh, rasional tentang apa itu agama.

Nah tapi apa yang menang dalam pencerahan itu. Yang menang adalah, tendensi-tendensi yang kuat empiristis. Yang dimaksud menang itu adalah yang dominan. Dan malah juga cenderung nihilistis. Hal ini seperti yang ditampilkan oleh Nietzshe misalnya yang lahir pada abad ke 19 dan merupakan titik kulminasi dari abad modern itu sendiri. Dimana kalau orang mau konsekuan untuk menaklukan alam baik alam eksternal yaitu alam material yang kita lihat ini, maupun alam internal yaitu alam psikis manusia, bagian dalam dari diri manusia, pikirannya, instingnya, sikap batinnya, kepercayaannya, semua mau ditolakkan menurut mekanisme. Maka kalau itu semua bisa diketahui secara mekanistis, objektif, maka nilai pun diusir keluar. Karena nilai itu tidak obyektif. Ia masuk dalam lingkup kebebasan manusia. Seperti menafsirkan misalnya. Nah maka sebenarnya tendensi nihilistis boleh dikatakan jadi muara dari aufklarung.

Karl Marx tentu saja salah seorang yang cukup kritis terhadap aufklarung. Ia hidup pada abad ke 19. tetapi ia juga berdiri pada tradisi aufklarung. Kritis dalam arti apa. Ia melihat aufklarung itu terlalu memusatkan perhatiannya pada pencerahan individu yang universalistis tentu saja. Pengetahuan yang universal itu diraih secara individual. Dan apa yang secara invidual diraih secara mendalam itu merupakan sesuatu yang universal yang juga dipikirkan oleh individu-individu yang lain. Pencerahan ini adalah pencerahan borjuis. Seseorang bisa menjelaskan dengan teori ekonominya, teori sejarahnya, tapi ini semua berakar dari epistemologi Marxist itu sendiri yang sangat anti terhadap sebuah pemikiran epistemologis bahwa pengetahuan itu lepas dari konteks sejarah. Universalistis, transendental, yang dimaksud dengan transendental itu metahistoris, yang dimaksud metahisroris itu adalah, na ya kalau pada hari ini saya memberikan kepada anda semua mata Tuhan maka mata Tuhan itu kita-kira akan melihat akhir dunia dan awal dunia dalam satu keutuhan. Tidak dalam suatu dinamika melainkan dalam suatu keutuhan total. Nah itu adalah corak pengetahuan borjuasi. Epistemologi universalistis, individualistis yang dikritik oleh Marx. Orang yang mewakili cara pandang ini tentu saja Immanuel Kant, dengan pandangannya tentang rasio murni.

Lalu apa yang dilakukan oleh Marx. Yang dilakukan oleh Marx adalah sebagai anak zaman pencerahan juga yang kritis tentu saja. Ia ingin melakukan pencerahan jilid kedua. Yaitu memperlihatkan bahwa ada wilayah-wilayah kehidupan yang bisa dicerahkan bukan alam misalnya saja seperti yang dilakukan oleh kaum borjuasi. Seperti Kant misalnya, atau banyak juga orang borjuasi pada masa itu bahkan memandang manusia oleh Hobbes. Memandang manusia secara alamiah dengan segala kepentingannya.

Menurut Marx, wilayah lain yang harus dicerahkan adalah hubungan-hubungan sosial. Dan hubungan sosial ini tidak melulu bersifat alamiah. Itu terdapat di dalam Marx muda. Terjadi kemerosotan tentu saja setelah Marx semjadi matang. Dia condong tidak filosofis lagi, melainkan menjadi sangat ilmiah dan positivistis. Nah ia ingin menjelaskan proses hubungan antar manusia itu, sebagai proses-proses yang bisa dirumuskan menurut hukum-hukum alam.

Maka dari itu, mekanisme-mekanisme sosial yang bersifat struktural itu bekerja seperti pada misalnya biologi dan ilmu-ilmu alam lainnya bisa ditekan dan diprediksi. Katakanlah sebuah revolusi dapat diprediksi dengan ketepatan matematis. Kita dapat menganalisa tingkat kematangan kontradiksi pada basis ekonomi yang akan memuncak seperti air yang akan mendidih ada 100 derajat selsius dan kemudian akan menguap. Maka niscaya jika suhu itu dicapai akan mencapai pula titik orgastiknya. Nah ini seperti gerhana matahari yang bisa diramalkan oleh Tales misalnya. Persis terjadi sesuai dengan ramalan.

Dan itu menarik, Karl Marx yang semula humanis yang melihat manusia tidak sepenuhnya dapat dirumuskan, terakhir menjadi seorang ilmuan yang percaya akurasi dan objetivisme di dalam ilmunya. Dan akibatnya juga, ilmu yang disebut ilmu ekonomi politik dan marxisme ortodoks yang dianut oleh penganut-penganutnya itu tidak menghasilkan perubahan sosial karena pretensi hanya merumuskan hukum-hukum sosial. Padahal hukum sosial itu apa? Itu bukan hukum-hukum an sich yang ada di luar sana dan hanya tinggal ditemukan. Bukan, bukan seperti melainkan merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. mungkin Marx menyadari itu pula bahwa itu merupakan hasil rekonstruksi masyarakat. Tetapi Marx melihat walaupun rekonstruksi individu di dalam suatu masyarakat tidak bisa lepas dari determinisme ekonomi misalnya.

Hal itu tampil misalnya di Bali. Dulu di Bali ketika turisme belum berkembang, ritus seperti barong, lalu keca itu kan murni ritual religius. Begitu pula sabung ayam yang diteliti oleh Clifford Geertz. Itu merupakan ritus murni juga sama seperti katarsis di dalam mekanisme pelepasan dari beban hidup manusia. Yang menurut Geertz kemudian ditafsirkan salah oleh pemerintahan orde lama karena dianggap judi. Yang sesat sebetulnya adalah polisi-polisi itu. Nah lalu terjadi perkembangan kapitalisme, turisme berkembang dan terjadi komersialisasi. Individu menjadi tidak berdaya dalam situasi seperti itu. Tidak ada kekuatan individu di dalamnya. Hendak protes bagaimana, itu hidup(eksis) kok! Lalu akhirnya agama Bali perlahan-lahan juga ditransformasikan menjadi sesuatu yang bersifat kapitalistis. Memang orang Bali masih patuh pada agamanya tetapi perlu dicek apakah di Kuta, Legian masih ada orang Bali yang cukup murni di dalam menghayati agamanya ketika mengadakan tari keca misalnya. Apakah performance murni ataukah yang sudah hilang nilai sakralitasnya. Nah itu bisa menjadi tema riset yang menarik melihat efek kapitalisasi pada agama.

Dan dalam konteks seperti itu, Marx sebenarnya telah memberikan sumbangan yang menarik, deterministis memang tertalu keras seperti hukum baja, seolah-olah yang sosial itu menentukan yang individual. Nah saudara-saudara kalau melihat konstelasi semacam ini lalu orang didorong oleh hukum Marx seperti Das Kapital, untuk menunggu revolusi. Tentu saja membuat tidak sadar orang-orang kritis. Yaitu di kalangan murid-murid Marx sendiri yang mengaguminya. Pengagum Marx itu ada dua, yang satu yang ortodoks yang justru memegang ajaran Marx yang deterministik tapi ada juga yang lebih moderat yang lebih kritis seperti di berbagai agama kan juga sering terjadi seperti itu. Seperti di katolik misalnya ada orang-orang seperti Opusdei misalnya di Roma, ultra-ortodoks, fundamentalistis, nah mereka itu memegang kitab suci itu tidak lebih. Tapi ada yang menafsirkan lebih supaya kehidupan beragama itu lebih enak dan cocok dengan situasi. Orang-orang ini juga kadang-kadang mencari buku-buku yang dilarang oleh vatikan misalnya. Seperti Injil Yudas, Injil Thomas. Sehingga orang menjadi kaya dengan penafsiran. Nah di kalangan marxisme ada tendensi ssperti itu. Buku yang menjadi tabu di kalangan marxisme yang semakin dominan yang dominasinya juga didorong oleh Marx sendiri untuk mempublikasikan Das Kapital dalam internasional kedua dan seterusnya. Yaitu buku dari manuskrip itu sendiri yang jarang disentuh sebetulnya. Ketika Marx masih muda, idealis dalam merumuskan pemikirannya.

Buku itu menjadi penemuan intelektual yang sangat berharga untuk kalangan marxisme kritis, maka muncul orang-orang seperti Gramschi, Lukacs dan akhirnya juga mazhab frakfurt ini, di sana Adorno dan Khorkheimer. Jadi intinya begini, orang-orang ini yang membaca manuskrip, apa yang mereka temukan disana. Yang mereka temukan disana adalah sebuah inspirasi yaitu bahwa apa yang disebut revolusi itu harus dibuat. Revolusi itu hasil dari suatu kehendak demikian juga apa yang disebut kesadaran kelas itu sangat penting, karena kalau tidak ada niscaya revolusi juga tidak terjadi. Justru orang-orang seperti Lukacs, Lukacs ini melihat permasalahan utama di dalam dunia perburuhan yang menjadi keprihatinan para penganut marxsisme adalah mengapa kaum buruh itu pasif, mereka tidak bertindak transformatif itu karena mereka mengalami reifikasi kesadaran. Katakan reifikasi itu semacam alienasi. Jadi sebetulnya, dasarnya juga dari Marx tentang pertisisme komoditas. Jadi bagaimana produk-produk itu juga menjadi berhala. Nah demikian juga pada buruh, kesadaran mereka itu bisa dipesonakan oleh sesuatu. Sedemikian rupa sehingga kesadaran itu tidak lagi kritis, tumpul. Nah hal ini tidak jauh berbeda dari Gramschi yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang beroperasi dalam masyarakat. Yaitu suatu struktur kognitif tertentu yang membuat individu-individu di dalamnya merasa nyaman dengan struktur kognitif itu, struktur yang plausibel yang kita memang hidup dalam universum seperti itu. misalnnya ambil contoh seni, pementasan drama, kemudian juga hukum lalu juga media masa, cara berbahasa, semuanya. Semua ini kan memuat dimensi-dimensi kognitif. Nah dimensi-dimensi kognitif ini dianggap kebenaran oleh individu-individu. Itu sudah pasti benar, plausibel, di situ kita hidup dan di situ kita berenang. Tapi menurut Gramschi, tanpa disadari oleh individu-individu, bahkan mereka membelanya. Itu sebetulnya hasil reproduksi kognitif dari borjuasi itu sendiri yaitu kelas yang dominan dalam kelas suatu masyarakat. Sedimikian rupa sehingga kedudukan mereka justru didukung oleh orang-orang itu. Bukan hanya didukung, bahkan pola hidup mereka itu dikehendaki oleh yang lain.Maka tidak ada revolusi karenanya.

Hegemoni reifikasi lalu kemudian teori kritis masuk, sebetulnya hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang ini sebetulnya membalikkan epiatemologi marxis yang mengatakan bahwa basis menentukan suprastruktur. Marxisme kritis termasuk di dalamnya teori keritis itu memperlihatkan bahwa determinisme seperti jelas tidak memadai untuk mesyarakat. Yang terjadi pada masyarakat adalah korelasi antara basis dan suprastruktur, bahkan kadangkala peranan suprastruktur juga amat besar dalam memberi format pada basis, basis ekonomi.

Nah Adorno, Khorkheimer, Marcuse adalah tokoh-tokohnya. Masing-masing memiliki minat yang berbeda-beda tapi semua dilihat dalam satu kesatuan minat. Apakah itu, tidak lain dari pada ingin membangun sebuah teori dengan maksud praktis. Lantas apa yang dimaksud dengan praksis. Selama ini, bahkan di dalam marxisme sendiri seperti yang ada di dalam das Kapital, teori itu mau menjadi demi teori itu sendiri. Jadi teori untuk teori. Atau praksis tanpa teori, tetapi diam-diam ada ideologi di dalamnya. Itu tidak dikehendaki. Kalau mau mengubah masyarakat, kita harus menemukan sebuah konstruksi teoritis tertentu. Sungguh-sungguh ilmiah dalam arti mereka bukan ilmiah dalam arti posotivisme. Sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memandang teori tersebut dengan analisisanalisisnya sehingga mencapai suatu insight kepada masyarakat. Nah inilah proyek mereka (teori kritis).

Proyek itu tidak selalu berhasil, misalnya apa yang dilakukan oleh Frans Neuman, dia memang terkenal di Indonesia ini. Bukunya De Hemot yang merupakan counter terhadap Leviathan. Dalam bukunya itu ia melukiskan bagaimana Nazi itu menurutnya bukanlah negara melainkan penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Ia lukiskan semuanya dengan penuh analisa dan sangat ilmiah sampai pada kesimpulan yang cukup koheren. Kalau orang membaca itu semua, orang bisa tahu bahwa penulisnya bukan bersenang-senang dengan teorinya itu melainkan mempunyai sebuah keprihatinan yang besar dengan menantang sebuah rezim. Maka buku setebal ini De Hemot merupakan kritik terhadap Nazi yang hingga saat ini menjadi bahan diskusi untuk fasisme.

Apa sebetulnya fasisme. Wacana ini disumbangkan oleh buku semacam itu. dalam hal ini Hanna Arendt banyak dipengaruhi juga oleh Frans Neuman. Tesis-tesis Hanna Arendt banyak bertumpu pada Frans Neuman. Setelah membaca Neuman ia membaca Heidegger yang juga kekasihnya. Walaupun bangunan teorinya agak lain tetapi sikap keritisnya tetap sama. Atau buku yang dihasilkan oleh mazhab Frankfurt yang sangat teoritis tetapi sebetulnya juga sangat praksis. Dialektika der Aufklarung, suatu buku klasik yang cukup monumental di abad 20 ini. Ditulis oleh dua orang, Adorno dan Khorkheimer, hanya esai-esai sebenarnya. Ada macam-macam teks di sana. Dan ditampilkan kurang lebih dengan gaya sastra, ada cerita, narasi kemudian juga ada analisa. Orang juga perlu membaca mitos misalnya mitos Odisei untuk mengerti sedikit apa yang dibicarakan disana. Mitos itu menceritakan tentang Odisei dari Ulises yang pulang dari perang di Troya ke kampung halamannya Itaka. Dalam perjalanannya ia digoda oleh bermacam-macam mahluk, misalnya Sirena, Siklop. Terutama Sirena mahluk cantik berupa ikan yang suaranya merdu sekali. Kemudian Odesei ini minta diikat supaya tidak menoleh karena bila menoleh ia akan menjadi batu. Tetapi apakah yang dimaksud dari cerita ini, ini adalah cerita tentang subjektifitas modern. Jadi untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan itu harus objektif, tidak ada perasaan sedikitpun. Dalam cerita tadi ada Sirena yang suaranya mendayu-dayu, maka ia tutup telinganya dengan lilin panas dan diikat. Dan praktek ilmu pengetahuan modern berasal dari situ.

Kalau anda ingin menjadi dokter yang mau membedah dan masih berpikir bahwa manusia yang dibedah adalah juga manusia seperti saya, maka ilmu dengan begitu tidak dapat berkembang. Semuanya dilihat sebagai alam objektif mekanisme. Dengan begitu ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan dalam meneliti seksualitas, gairah seks jangan muncul. Karena bila muncul sangat berbahaya sekali. Itu terjadi ketika kemampuan orgasme diukur. Dengan menggunakan kabel-kabel dan ada monitornya. Diukur ketinggiannya, semakin tinggi temperaturnya maka denyut jantung pun semakin meninggi. Mereka melakukan seks secara sungguh-sungguh tapi cukup dingin. Prosesnya biasa, tapi diharapkan sungguh-sungguh agar nanti orgasme dapat dihasilkan. Nah ini dilakukan secara dingin, coba bila ada pemikiran bahwa ini porno, ini dehumanisasi saya tidak tega melakukannya. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa pada saat orgasme detak jantung sekian kali banyaknya. Suhu badan meningkat sekian, dan inisemua dijelaskan secara detail. Dan itu dilakukan tanpa rasa. Nah itu seperti Odises yang menahan diri dari subyektivitasnya. Tetapi, yang merupakan inti dari dialektika pencerahan, menahan diri semacam itu dia percaya pada mitos tertentu. Yaitu mitos tentang objektivitas, bahwa yang objektif itu yang benar. Sebagaimana dengan mitos yang lain tentu ada ritusnya.

Misalnya dapat kita lihat pada tulisan Khorkehimer dan Adorno, ketika ada orang yang berpikir matematis dan ada orang yang berpikir ritualistis. Yaitu mengulangi itu-itu terus, misalnya satu tambah satu hasilnya tidak bisa lain. Mengulangi lagi hanya repetisi, kemudian juga yang lain, misalnya partisipasi. Ini semua merupakan bagian dari mitos.n Bahkan bila kita bicara tentang aufklarung, maka itupun merupakan metafora mitologis. Dulu ada mitos tentang dua kekuatan, kekuatan terang dan kekuatan gelap. Nah sekarang yang menang adalah kekuatan gelap misalnya. Dan di akhir zaman akan dimenangkan oleh kekuatan terang. Sebetulnya aufklarung juga bergerak dalam skala mitologis semacam itu.

Nah sekarang tibalah aufklarung, ketika zaman terang mengalami kemenangan. Ketika banyak penemuan dan aufklarung masuk di dalamnya. Adorno dan Khorkheimer hidup dalam zaman kegelapan. Perang I dan II membuktikan bahwa aufklarung pencerahan tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Malah akhirnya objektivisme itu akhirnya dipakai oleh Nazi untuk menguasai. Apa yang disebut nazisme itu tanpa ilmu dan positivisme sulit dibayangkan keberadaannya. Karena mereka berkuasa lewat ilmu. Kebudayaan barat itu baru bisa percaya kalau sudah diyakinkan oleh ilmu. Maka segalanya harus dilakukan dengan tehnik. Membunuh manusia (seperti yang dilakukan oleh Nazi) harus dikerjakan dengan cara tehnik dan industrial serta efisien. Penembakkan secara konvensional itu masih menimbulkan suara. Dan teriakannya masih menimbulkan perasaan tak tega. Itu sama seperti Odises yang merasa terganggu dengan suara. Maka karena itu untuk mengantisispasi segalanya kemudian ditemukanlah siklon B, suatu gas yang cukup efisien sekali. Orang-orang dimasukan ke dalam suatu ruangan, gas dimasukan, tidak ada teriakan, beribu-ribu orang sekaligus bisa mati. Lalu tidak ada orang yang tahu. Sehingga identitas orang Yahudi betul-betul hilang. Mayat pada umumnya memiliki jenazah bahkan mayat biasa yang dikremasi masih dikelilingi oleh keluarga kemudian diletakan dan lalu dilarung. Identitas hilang namun ingatan masih ada. Namun pada orang-orang Yahudi semuanya hilang karena sejak awal mereka hanya diberi nomor bukan nama. Dan semuanya digunduli sehingga tidak ada perbedaan satu sama lain. Tidak ada individualitas.

Dibuang, dibakar manjadi abu, hilang, hilang kenangan. Semuanya betul-betul hilang. Dan itu tehnik. Orang-orang seperti Marcuse itu bergerak lebih jauh lagi. Bukan hanya nazi yang totaliter, di sana juga ada Amerika dengan budaya massanya. Ini juga salah satu bentuk totaliarisme yang patut diwaspadai. Caranya lebih halus karena ada demokrasi, ada kebebasan berbicara, toleransi, tapi toleransi yang represif. Karena dengan memberikan toleransi kekuasaan mereka semakin kuat. Nah lalu mengkritik tentang tehnik, cara berpikir yang monodimensi. Ia juga cukup terkenal dengan freudianismenya, dengan memperlihatkan libido pada masyarakat. Di mana terjadi erotisasi di dalam masyarakat. Nah buku-buku semacam ini bukan sekedar ilmu untuk menjelaskan tentang masyarakat, melainkan di dalamnya ada semacam anjuran untuk mengubah masyarakat. Tapi anjurananjuran seperti ini masih kedengaran moralistis. Hendaknya begini dan begitu kalau mau.

Untuk masyarakat barat dan masyarakat ilmiah sulit menerima kalau anjuran itu bersifat moralistis. Hal seperti itu bukan bagian dari tugas seorang ilmuan melainkan seorang ulama, pastor, kyai dan seterusnya. Namun bagi seorang ilmuan apalagi ilmuan sosial yang harus dimiliki adalah ketajaman analisis.

Dan disitulah muncul Jurgen Habermas yang bertolak dari kemacetan teori kritis itu sendiri dengan dialektika pencerahan bahwa ternyata pencerahan itu adalah mitos. Menurut Habermas tidak seperti itu. pencerahan harus jalan terus. Masalahnya pada teori kritis yang lama, mereka juga terobsesi dengan paradigma positivistis. Yaitu bahwa rasio itu adalah penaklukan atas alam maka sebetulnya apa yang disebut ktitik oleh mazhab Frankfurt yang lama itu bahwa kritik itu sebetulnya adalah penaklukan atas yang dikritik tentu saja. Seperti di manakah tempat kritikus sosial dalam suatu masyarakat. kalau menurut Adorno dan Khorkheimer, dia adalah pemegang kebenaran karena dia adalah yang paling tahu. Inilah jalan yang benar. Kalau menurut Adorno, teruslah berpikir dialektis, negasi secara terbuka terus menerus. Dan itu namanya kritis. Apakah semua orang mau berpikir seperti itu belum tentu.

Orang-orang ini berpikir bahwa seorang kritikus adalah seorang pemegang kebenaran. Itukan mewarisi kesalahan orang yang dikritik juga yakni melakukan dominasi. Nah Habermas menunjukkan bahwa bukan hanya persoalan moralitas melainkan juga kedudukan kritikus itu. Haruslah ditemukan sebuah ilmu kritis menurut dia, kritikusnya tidak lebih penting dari pada yang dikritik. Dia berada dalam kedudukan yang sama dengan orang-orang yang dikritik. Jadi bagaimana mewujudkan kesamaan. Jadi semacan demokrasi. Caranya adalah dengan membedakan praksis menjadi dua. Yakni komunikasi dan kerja. Nah kalau praksis kerja itu disebut dominasi. Seorang pencangkul itukan mendominasi atas tanah. Kita tidak bisa mencangkul manusia yang lain. Dan komunikasi maksudnya adalah adanya saling pemahaman timbal-balik. Dalam komunikasi harus ada kesejajaran di mana kritikus itu hanya memberikan sumbangan pada momen komunikasi tertentu, agar komunikasi itu bisa berjalan secara terus-menerus. Sumbangan itu tentu bisa diterima juga bisa ditolak. Tentu saja pada permulaannya Habermas sempat terperosok di dalam gaya-gaya seperti pendahulunya. Kenapa proyek Knowledge and Human Interest tidak diteruskan, ia hanya diam. Dan itu menarik karena bila seorang teoritikus membungkam itu bisa ditafsirkan dengan beberapa kemungkinan. Misalnya bungkam karena merasa sudah benar, kemungkinan yang kedua karena terdapat kekeliruan di dalamnya. Dan saya melihat kebungkamannya dikarenakan ada yang keliru di dalamnya.
Kekeliruannya disini ketika Ia memakai paradigma psikoanalisis untuk teori kritis. Dan itu memang sudah dilakukan oleh mazhab Frankfurt sebelumnya. Apa itu psikoanalisis, orang sakit jiwa datang kepada seorang terapeutis dan menyatakan bahwa saya punya masalah semacam ini dan saya ingin sembuh. Nah keinginan untuk sembuh adalah kehendak emansipatoris dari penindasan, penindasan internal. Lalu terapeut melakukan dialogdialog sokratis. Yaitu pencerahan. Sekarang persoalannya adalah model semacam itu. Apakah hak seperti seorang terapeut itu dimiliki oleh seseorang di dalam masyarakat. Kalau dalam konteks klinis itu dimungkinkan, tapi bagaimana bila seorang kritikus sosial disamakan dengan seorang terapeut. Dan ini problematis karena konsekuansinya adalah bahwa kita semua adalah orang gila hanya terapeut yang sehat.

Ini adalah prioritas bagi seorang terapeut atau kritikus-kritikus. Maka menurut Habermas ini tidaklah konsekuen. Dalam buku pertamanya, Habermas masih cukup demokratis namun dalam buku keduanya kok dia masuk kesini. Ia terpukau oleh para pendahulunya. Nah setelah ini ia masuk dalam analisa bahasa, teori ekonomi dan juga hukum. Maka dari situ dia berada di jalan yang cukup simpatik. Disitu dia mengintegrasikan dari cara berpikir. Mungkin saja di dalam masyarakat ada yang disebut sakit. Tapi boleh ko berkomunikasi asal mau berkomunikasi. Kaum fundamentalis di dalam masyarakat dengan mengatakan bahwa inilah yang paling benar. Oh tapi tunggu dulu mari kita berkomunikasi.

Karena menghilangkan berkomunikasi sangat berbahaya bagi masyarakat. Nah lalu mereka berkomunikasi. Maka yang disebut ilmu kritis lama-kelamaan berkembang dari keinginan untuk membangun konstruksi teoritis dan konstruksi itu transformatif untuk berubah lamakelamaan berubah menjadi teori tentang diskursus. Jadi merumuskan bagaimana tipe tipe diskursus yang ada di dalam masyarakat dapat menentukan proses legitimasi institusi sosial masyarakat. Dan bagaimana dengan legitimasi semacam itu maka konstruksi total masyarakat dimungkinkan. Nah itu bermuara ke sana.

Dan kebetulan di tangan kita sudah ada contoh kasus-kasus yang saya buat. Pengantar teori kritis tadi mungkin ada gunanya untuk memberi tahu bahwa teori kritis itu sangat kompleks. Tetapi supaya kita tidak dipusingkan oleh hal itu, sekarang saya sodorkan sesuatu yang praksis. Ada tiga kasus di sini, kasus pertama sangat terkenal yakni kasus Pavlov dengan anjingnya yang dibuat lapar kemudian dimasukan di dalam kotak. Dipancing dengan makanan maka keluar air liur dari mulutnya dan dimediasi dengan lonceng. Dan ini dilakukan beberapa kali sehingga satu waktu lonceng dibunyikan tanpa makanan dan air liur tetap keluar. Kasus yang kedua adalah tentang riset seorang psikolog untuk meneliti bagaimana mekanisme pasar. Perilaku konsumen terhadap buku anak-anak. Bagaimana reaksi mereka, buku manakah yang lebih menarik, yang ada gambarnya atau yang tidak. Tentu saja yang ada gambarnya. Lalu divariasikan dengan bonus-bonus dan yang tidak, tentu saja mereka cenderung dengan yang ada gambar dan bonusnya. Nah menanjak lagi dengan variasi diadakan forum bersama mereka dan yang tidak maka mereka akan memilih yang plus forum. Oleh karena itu kesimpulan dari riset ini adalah bahwa buatlah model yang terakhir itu. Perhatikan baik-baik dalam dua kasus ini ada kesamaannya atau tidak? Nah pada kasus ini sebetulnya bertolak dari sebuah ide yakni mekanisme. Bahwa perilaku dari organisme dapat diprediksi. Lalu juga bisa ditingkatkan kira-kira reaksinya seperti apa. Tentu pada mediasi seperti bel yang terjadi pada anjing. Bel pada anjing, pada manusia dapat dimediasi dengan makna, gambar, interaksi dengan teman-teman yang lain lalu manisnya acara dalam forum itu. Jadi sebetulnya analisa pasar itu tidak mungkin bila manusia itu unpredictable. Manusia memiliki lapisan-lapisan yang dapat diduga, yaitu nalurinya, hasrat, kebutuhan. Ini nyaris mekanis dan oleh karena itu juga sukses. Karena kapitalisme dengan ilmu pengetahuan borjuasi itu adalah sebagai ide alam. Yakni menaklukan alam. Nah riset yang kedua ini adalah salah satu contoh bagaimana penaklukan alam internal itu dalam model kecil berhasil dan terjadi. Dan inilah yang disebut ilmiah. Tanyalah kepada profesor-profesor di Indonesia atau ahli pengajar bila kita menulis disertasi. Mereka kalau menulis tanpa statistik tapa angka atau determinasi lalu tidak ada kesimpulan yang bersuat objektif, impersonal maka karya ini bukan dianggap penelitian ilmiah. Karena dalam penelitian ilmiah jangan sekali-kali mengatakan “saya berpendapat”, itu merupakan pelecehan akademis.

Anda bisa bayangkan bila suskes-sukses dari kasus yang saya berikan itu diaplikasi dalam semua bidang kehidupan. Bagaimana bila diterapkan dalam bidang konsumsi, sosial, agama, tentu sangat mengerikan sekali. Kalau anda perhatikan kasus yang ketiga menimbulkan alergi bagi para profesor-profesor positivistis. Di sebuah negara bagian India ada sebuah perkampungan kumuh yang berdampingan dengan real estate. Anak-anak dari perkampungan ini berpenyakit dan angka kematian di daerah ini cukup tinggi. Orang-orang dewasa bersikap pasif dengan keadaan dan hanya tinggal menerima nasib. Sementara orang-orang kaya yang ada disampingnya ingin berbuat sesuatu. Maka kemudian dibuatlah sebuah riset objektif. Riset pertama menyimpulkan bahwa ini adalah masalah fasilitas. Maka kemudian diubah namun kemiskinan tetap tidak berubah. Meskipun orang diberi dana secara tetap. Nah sekarang muncul orang LSM. Membuat metode wawancara, agak terlibat dengan keprihatinan mereka sedikit, ada kepentingan juga untuk mendongkel partai politik tertentu. Tapi demi membebaskan situasi yang buruk dari masyarakat di sana. Maka disimpulkan bahwa masalah kemiskinan di sana adalah masalah weltanschauung, cara berpikir masyarakat yang ada di sana. Bukan hanya soal fasilitas, oke mungkin soal fasilitas juga benar. Tapi sikap fatalistik, dan taraf pendidikan yang sangat rendah juga faktor-faktor asing yang menyebabkan kemiskinan di kampung itu dan partai-partai politik di sana juga senang dengan kondisi seperti itu. Karena dengan begitu mereka tetap memperoleh suara. Hasilnya dipublikasikan dan ternyata menimbulkan kontroversi. Kalau ada riset seperti itu ia masuk dalam kategori ilmiah atau tidak.

Kalau hal ini dilihat dari metodologi yang tradisional (positivistis) maka riset ini tidak ilmiah. Dan ini patut dicurigai. Karena ada kepentingan di dalamnya. Jelas, tetapi riset yang kedua ini tentu juga sangat mencurigai riset yang pertama. Dengan mengatakan bahwa yang obyektif adalah seperti itu sebetulnya dia sedang melestarikan status quo. Berarti ada kepentingannya juga walaupun dia mengatakan bahwa tidak ada kepentingan di dalamnya. Kehendak untuk menghilangkan kepentingan adalah sebuah kepentingan demikian kata Fichte. Fichte adalah filusuf idealis yang mempengaruhi juga Jurgen Habermas dan Hegel. Oleh karena itu sulit untuk mengatakan sebuah riset ilmiah tanpa kepentingan. Lalu apakah sebuah riset harus dengan kepentingan atau membiarkan diri diseret dengan kepentingan-kepentingan, tentu saja tidak. Nah disinilah teori kritis masuk. Anda bisa lihat teks saya. Teks ini berbicara bahwa kalau anda hendak mengenal epistemologi dari teori kritis, epistemologinya itu begini, epistemologi klasik tradisional, yang disebut tradisional adalah positivisme, itu adalah pengetahuan yang dipeoleh secara kontemplatif, memandang, memotret kenyataan maka teori kebenaran yang ada di dalamnya adalah teori kebenaran sebagai korespondensi bahkan juga sebagai koherensi. Sedangkan teori kritis mempunyai epistemologi yang lain. Dia mengatakan kita tidak bisa mengetahui sesuatu kalau tidak menyadari kepentingan kita. Tidak mungkin kontemplasitanpa kepentingan. Kontemplasi mempunyai kepentingan. Tatapi untuk mencapai “objetivitas” ia tidak mau mengatakan ini namun inilah yang disebut keilmiahan, nyatakanlah sejujurnya kepentingan itu bahkan capailah kepentingan itu lewat konstruksi teoritisnya.

Nah kepentingan dalam riset sosial adalah kepentingan praksis untuk membebaskan masyarakat dari penindasan, ketidakadilan dan sebagainya. Sedangkan kepentingan dalam ilmu-ilmu alam, walaupun objektif ada kepentingannya yaitu menaklukan. Apa yang salah dilakukan oleh positivisme adalah (seperti behaviorisme) mencampur adukan bahkan mengganti kepentingan untuk saling memahami dengan kepentingan untuk menguasai. Jadi kepentingan untuk menguasai itu kan ada pada ilmuilmu alam sekarang dipakai secara metodologis di dalam ilmu-ilmu sosial. Akibatnya apa, ya rekayasa sosial. Ini sebetulnya adalah wilayah untuk kepentingan praksis untuk saling pamahaman, kok diganti dengan kepentingan untuk saling menguasai seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu alam. Jadi dengan menerapkan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu sosial suatu kepentingan untuk menguasai itu luar biasa dahsyat dan efektifnya secara sangat tersembunyi merasuk dalam bentuk keilmiahan tertentu. Itulah positivisme dan bahayanya. Mungkin kita akan memperdalam lagi tentang epistemologi teori kritis di dalam diskusi.

Bookmark & Share:

3 komentar:

Bayu Aktami 25 Februari 2009 pukul 22.22  

wah...wah... mas ini pengetahuannya mendalam

tapi bicara epistemologi, cara berpikir manusia zaman sekarang sudah tersempitkan ke arah positivisme, tul ga?

http://bayuaktami.blogspot.com

Roli Maulidiansyah 2 Maret 2009 pukul 09.23  

Saya sepakat dengan Anda. Semua permasalahan selalu dipandang dengan car-cara yang sangat positifistik. Sehingga tidak pernah keluar dari logika opposisi biner.

Anonim,  27 Desember 2012 pukul 00.01  

Give willingly and unconditionally, without expecting to receive anything in returnFrom the above discussion it is evident that a priest cannot afford to say "I am a spiritual leader I will concentrate only on spiritual affairs, I do not want to waste my time in mundane endeavors Scooby and Astro come to mind if you want to honor a famous TV pup Easy names with two or fewer syllables work well
Giving these gifts will allow you to share with others your most unique treasure: your authentic self Every time you write an article, run it through the checker atDepending on the dogs normal diet, reduce or entirely eliminate meat Pierre and Gigi are top contenders for any dog, especially those with a little oo-la-la in their genes

[url=http://officialbroncosroom.com/]Peyton Manning Jersey[/url]
[url=http://www.claymatthewsjersey.net/]Clay Matthews Authentic Jersey[/url]

And it was said to them that they should rest a little while longer, until both the number of their fellow servants and their brethren, who would be killed as they were, was completedUnless you believe in pet psychics, there's really no way for you to read your pooch's mind and figure out exactly what she's thinking As a dynamic speaker and facilitator her message to you is "TRANSFORM YOUR MOUNTAINS INTO OPPORTUNITIES FOR ADVENTURE AND POSITIVE CHANGE Create a style and treat it like your trademark or calling card

[url=http://www.officialfalconsnflshop.com/]Tony Gonzalez Jersey[/url]

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.