Selasa, 03 Februari 2009

PARADIGMA INTEGRALISME ISLAM, SOLUSI ATAU UTOPIA?

Berawal dari niatan suci untuk menyatukan ilmu pengetahuan Barat yang “anti agama” (sekuler) dengan Islam yang bertujuan malahirkan sebuah sistem pengetahuan yang lebih bermoral dan relegius. Dengan asas Tauhid sebagai landasan utamanya lahirlah diskursus integralisme islam yang diyakini sebagai sistem epsitemologi Islam dalam mewujudkan cita-cita islamisasi sain.

Sejarah ilmu pengetahuan telah mempertontonkan pada dunia bagaimana persinggungan antara sains dan agama lebih didominasi dengan pertentangan-pertentangan yang seakan tidak pernah menemui jalan damai. Lahirnya positifisme sebagai penguasa dalam jagat ilmu pengetahuan merupakan puncak (seakan-akan) tidak bisa didamaikanya antara agama dengan ilmu pengetahuan. “ Sudah saatnya agama (gereja) digantikan oleh ilmu pengetahuan dan ilmuan sebagai pendetanya” sabda August Comte. Sebuah proklamasi agama baru, yang kemudian oleh Comte disebut sebagai agama kemanusiaan, meneguhkan fondasi ide sekulerisasi dalam ilmu pengetahuan.

Bercermin pada sejarah sekulerisasi ilmu pengetahuan dengan asas bebas nilainya, meniscayakan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama yang mengklaim dirinya masing-masing sebagai jalan untuk mencapai jalan kebenaran yang tidak lepas dari konstruk persepsi yang dipengaruhi oleh ego untuk berebut kuasa atas pengetahuan khalayak. Awalnya adalah dominannya kuasa gereja yang represif dan hegemonik terhadap seluruh konsepsi pengetahuan manusia. Sabda yang keluar dari mulut-mulut otoritarianisme gereja dengan mengatasnamakan agama adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Narasi-narasi pengetahuan kemudian tidak boleh bertentangan dengan gereja sebagai penguasa tunggal kebenaran. Sehingga berimplikasi politis, tidak hanya produk dari kreasi nalar yang dilarang berkeliaran, orang-orangnya pun harus hilang dari peredaran. Begitu juga dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, dimana filsafat oleh sebagian ulama diharamkan, karena dianggap telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang dianggap menjurus pada pemurtadan alias menyimpang dari klaim-klaim kebenaran keberagamaan yang mereka gariskan, bahkan sampai pengkafiran.

Namun pada abad ke-17 dominasi gereja mulai mendapat perlawanan dari para ilmuwan yang juga dikenal sebagai masa Reanaisance. Pergeseran kuasa gereja ke tangan para ilmuwan menempatkan agama hanyalah ornamen kehidupan yang tidak lagi memiliki otoritas atas klaim kebenaran, bahkan agamalah yang harus mengikuti cepatnya lari ilmu pengetahuan sebagai pemilik otoritas klaim kebenaran adalah ilmu pengetahuan..

Sejarah ilmu pengetahuan dan agama yang cenderung dikotomik tersebut memunculkan keprihatinan tersendiri bagi kalangan intelektual, khususnya kaum pemikir yang (kebetulan) beragama Islam. Gagasan untuk memadukan ilmu pengetahuan dan agama mulai bermunculan, salah satunya adalah dengan integraliasi antara ilmu pengetahuan dan agama (Islam) yang kemudian disebut integralisme islam sebagai paradigma pengetahuan.

Dalam konsepsi Armahedi Azhar, integralisme dipandang sebagai sebuah postrukturalisme Timur. Integralisme melihat segala sesuatu dari partikel fundamental hingga alam semesta membentuk sebuah hirarki seperti halnya pandangan sains modern. Akan tetapi, integralisme juga meletakkan hirarki ini dalam suatu hirarki yang lebih besar dengan memasukkan alam akhirat dan ciptaan itu sendiri sebagai penghujung jenjang material. Integralisme juga melihat bahwa skema hirarkis horizontal tersebut tidak cukup untuk mendeskripsikan seluruh realitas. Juga, perlu skema hirarkis vertikal yang tercermin dengan jelas pada jenjang kesadaran manusia yang tegak lurus terhadap hirarki material yang horizontal.

Dengan konsepsi dasar tersebut, secara ontologis integralisme diartikan sebagai sistesis filsafat barat yang mengingkari transendensi dari filsafat timur tradisional yang mendalami imanesi dalam suatu kesatuan logis, bukan sinkretisme asosiatif yang mengembalikan transendentalisme teologis kedalam filsafat barat modern.

Dalam integralisme versi islam, dikenal adanya dua jenjang kesepaduan, yaitu jenjang vertikal (materi, energi, informasi, nilai dan sumber nilai) dan jenjang horizontal; bermula dari manusia sebagai mikro kosmos, masyarakat sebagai mesokosmos, alam semesta sebagai makrokosmos dan sekalian alam-alam lain sebagai suprakosmos dan berakhir pada Tuhan sebagai metakosmos. Dengan paradigma integralisme Islam lahirlah paradigma ilmu islam yakni tauhid. Yakni unifikasi dari ilmu-ilmu kealaman (duniawi) dan ilmu-ilmu keagamaan (ukhrawi).

Dengan konsepsi tersebut integralisme yang ditawarkan oleh Arhamedi Azhar mengandaikan kepaduan antara ilmu-ilmu kealaman yang materilistis dan fisis dengan ilmu-ilmu kegamaan yang metafisis, dimana kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yakni tauhid dengan kesepadanan skema vertikal dan harizontal. Konsepsi tersebut mengandaikan bahwa manusia mampu mencapai Tuhan sebagai sumber dari segala kebenaran dengan agama (Islam) sebagai medianya. Manusia yang ditempatkan dalam mikro kosmos dalam Islam merupakan Kholifatullah fil Ardl yang diberi wewenang oleh Tuhan untuk menguak misteri ciptaan Tuhan dengan dibekali akal sebagai instrumennya. Yang perlu dingat dalam hal ini bahwa akal memiliki keterbatasan (namun tidak boleh dibatasi) sehingga meniscayakan segala produk kebenaran pemikiran manusia hanya bersifat sementara, dan tidak akan pernah melampui kebenaran-kebenaran yang berasal dari Tuhan.

Dengan demikian ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh nalar manusia hanya bersifat subyektif interpretatif, baik ilmu-ilmu kealaman (kemanusiaan) ataupun ilmu-ilmu kegamaan. Hal ini tidak menafikan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama. Namun kebenaran sejati dan abadi tetap hanya berada ditangan Tuhan, sedangkan kebenaran-kebenaran dalam ilmu kegamaan bersikap relatif karena dalam kebenaran ilmu keagamaan merupakan hasil pergulatan rasio manusia dalam menafsirkan agama sehingga melahirkan berbagai perspektif dalam praksis keberagamaan. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang pada dasarnya juga memiliki orientasi untuk mengungkap kebenaran-kebenaran dari Tuhan melalui penyingkapan-penyingkapan terhadap seluruh misteri alam sebagai ciptaan-Nya, yang juga dapat melahirkan beragam paradigma.

Sedangkan paradigma tauhid yang dasar dari integralisme tidak lebih dai nilai etis yang mensyaratkan proses dan hasil dari ilmu pengetahuan harus diniatkan untuk mencapai ridho Tuhan. Tauhid adalah sebentuk keyakinan yang diyakini bersifat universal selama diartikan keyakian akan keberadan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan proses untuk menuju ketauhidan tidak bisa secara arbitrer diseragamkan dalam bentuk satu perspektif. Tuhan merupakan kebenaran yang mutlak dan universal, namun untuk menuju ke kebenaran Tuhan tentunya melibatkan nalar yang berimplikasi pada keberagaman cara pandang bahkan cenderung berbeda, yang kemudian membentuk ideologi-ideologi keberagamaan. Walaupun beragam warna cara pandang umat islam untuk mencapai ketauhidan, namun pemahaman tentang tauhid cenderung metafisis. Maka integralisme Islam dengan paradigma tauhid dalam sistem pengetahuannya yang berusaha untuk membawa alur ilmu pengetahuan ke ranah metafisis. Hal ini berlawanan degan sains yang dalam bangunannya haruslah bersifat fisis. Dengan melihat fenomena yang terjadi dan bisa ditangkap secara fisis, yang memproduksi realitas dalam ilmu pengetahuan. Konstruksi realitas inipun bisa berbeda-beda, karena akan melibatkan perbedaan-perbedan paradigma atau perspektif.

Hal ini tidak berarti menafikan realitas metafisis yang memiliki kebenarannya sendiri. Namun yang harus ditegaskan bahwa akal manusia memiliki sifat fisis yang hanya akan menjangkau alam fisis. Menyeret ilmu pengetahuan dalam ruang metafisis hanya akan melahirkan absurditas pada ilmu pengetahuan itu sendiri. konstruksi yang terjadi akan menempatkan ilmu pengetahauan yang dihasilkan berakhir pada perabaan-perabaan pemikiran yang reflektif intuitif semata. Dua kategori anatara duniawi dan akhirat tidak dimaknai secara terpisah, namun duniawi harus dilihat sebgai jalan panjang menuju akhirat. Dan duniawi adalah sutu area yang bersifat fisis (materi) sedang akhirat (masih) bersifat metafisis. Maka dalam hal ini setiap konsepsi pengetahuan menekankan pada apa yang dapat ditangkap oleh tubuh manusia. Sedangkan yang tidak bisa ditangkap oleh tubuh biarlah menjadi sebagian keyakinan (nilai Ilahiyah).

Deskripsi tersebut tidak hanya bisa berlaku pada sains yang mewakili persoalan-persoalan duniawai, dalam “ilmu keagamaan” pun yang (disumsikan) mewakili perolan ukhrawi sebagai jalan untuk mencapai ketauhidan, yang mengkonstruksi perilaku keberagamaan, harus dimaterialkan hingga dapat ditangkap oleh tubuh manusia yang besifat fisis. Seperti yang di ungkapkan oleh Hasan Hanafi. Teologi yang selama ini dipahami pada tataran teosentris harus dijabarkan dalam konteks antroposentris. Sehingga fungsi agama jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan cenderung metafisis intuitif (imanjinatif), yang hanya melahirkan praksis ritualitas-ritualitas semata. Sifat-sifat Tuhan yang agung harus dimaknai sebagai landasan kehidupan manusia sebagai Kholifatullah fil Ardl di muka bumi. Misalkan sifat wujud Tuhan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai pengakuan keberadaan Tuhan semata. Namun juga harus dimaknai sebagai landasan manusia untuk mencapai eksistensinya sebagai makhluk Tuhan, serta sifat-sifat agung Tuhan yang lain. Dengan begitu agama akan lebih bernilai dalam praksis kehidupan.

Dalam skema integralisme Islam yang ditawarkan Arhamedi Azhar yang menempatkan manusia sebagi mikro kosmos, masyarakat sebagai meso kosmos, alam semesta sebagai makro kosmos, alam-alam lain senbagai supra kosmos dan berakhir pada Tuhan sebagai metakosmos menyiratkan sebuah tujuan dari ilmu pengetahuan yang harus dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran yang berasal dari Tuhan dan harus bertujuan untuk mencapai kebenaran Tuhan jua. Pada dasarnya konsepsi tersebut hanya akan melahirkan paradoks-paradoks konseptual yang tak berujung.

Sedikit berbeda dengan integralisme yang ditawarkan oleh Armahedi Azhar, Mulyadi Kertanegara dengan berangkat dari pemahaman (kepercayaan) akan ultimate Reality yakni Tuhan, bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati merupakan sumber kebenaran sejati bagi segala kebenaran-kebenaran lainnya, termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu. Legitimasinya dalah al-Qur’an yang mengatakan “kebenaran itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau meragukannya”. Dan tentunya untuk mecapai kebenaran sejati tersebut dengan melihat ayat-ayat Tuhan yang diklasifikasikan menjadi dua seperti di firmankan Tuhan tentang tanda-tanda (ayat) Tuhat, yakni al-Qur’an yang naratif, serta ayat Tuhan yang berupa hamparan alam semesta.

Dengan demikian, Mulyadi Kertanegara menentang adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Karena kedua-duanya sama-sama mengkaji ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat yang bersifat qauliyah (qur’aniyah), yang terakhir ayat-ayat yang bersifat kauniyah. Dan karena kedua-duanya adalah ayat-ayat Allah, maka kedua-duanya merujuk pada kebenaran sejati, yakni Allah. Namun dalam pendapat Kertanegara terdapat kontradiksi, menurutnya dalam mengkaji kedua ayat Tuhan tersebut haruslah menggunakan metode yang berbeda. Dalam mengakaji ayat-ayat kauliyah, menggunakan sistem pemikiran yang ada dalam tradisi pemikiran Islam, yakni; bayani, ‘irfani dan burhani. Sedangkan untuk mengkaji ayat kauniyah menggunakan metode observasi atau eksperimen (tajribi). Dari dua metodologi pengetahuan tersebut dintegarasikan menajadi satu kesatuan metodologis, yakni yang disebutnya sebagai integrasi ilmiah.

paradigma integralisme yang ditawarkan oleh Arhamedi Azhar dan Mulyadi Kertanegara tersebut memiliki kesamaan prinsip yang utama yakni landasan tauhid dalam ilmu penegtahuan yang diterjemahkan dalam bentuk unifikasi antara ilmu pengetahuan (yang disebut juga sebagai ilmu duniawi) dan ilmu keagamaan (ukhrawi) dengan orientasi hirarkis dari ilmu pengetahuan yang bersifat materialis (fisis) menuju ilmu keagamaan yang cenderung metafisis. Karena pada prinsipnya, kedua ilmu tersebut sama-sama untuk menguak kebenaran yang berasal dari Tuhan sebagai sumber kebenaran sejati.

Metodologi yang ditawarkan oleh Mulyadi tersebut memuat kegamangan epistemologis. Metodologi yang mengintegrasikan antara metodologi dalam ilmu pengetahuan yang lahir di Barat dengan tradisi ilmu keagamaan dalam Islam, yang-seakan-menafikan akar filosofis dan perkembangannya dari masing-masing metodologi tersebut. Dalam perkembangan ilmu penegtahuan di Barat Observasi maupun eksperimentasi mengalami anomali bahkan krisis dalam implementasinya. Sedangkan Bayani, Irfani dan Burhani yang pada dasarnya merupakan metodologi dalam ilmu kegamaan memiliki perbedaan yang sangat mendasar diantara ketiganya. Hal ini dapat memunculkan serentetan pertanyaan-pertanyaan atau problem yang tidak dapat ditemukan solusinya. Dan integrlisme yang di tawarkan hanya menjadi konsepsi metodologi utopis.

Bookmark & Share:

1 komentar:

Anonim,  4 Maret 2009 pukul 22.11  

utopia yang merupakan solusi

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.