Jumat, 13 Maret 2009

KAUM BURUH DAN KAUM PETANI

‘Terlalu sering kita mengacaukan kaum buruh dengan kaum petani.
Padahal keduanya merupakan kelas yang berbeda.
Partai Sosialis didasarkan pada dua kelas tersebut,
dan fakta bahwa Partai Sosialis memiliki dua jiwa,
bersumber dari keberadaan dua kelas tersebut.’
(Gramsci, dalam L’Ordine Nuovo, 28 Maret 1922)

Menurut Gramsci, aliansi antara kaum buruh dan kaum petani merupakan satu-satunya yang bisa membawa kaum proletariat Italia ke jalan revolusi. Aliansi ini sangat terkait dengan persoalan di wilayah Italia Selatan, dan secara tidak langsung, terkait dengan persoalan Vatikan dan dengan keberadaan dan fungsi yang dijalankan oleh kaum intelektual. Jika diringkaskan secara skematis, aliansi antara dua kelas, persoalan di wilayah Italia Selatan dan persoalan Vatikan serta keberadaan dan fungsi kaum intelektual ini merupakan tema-tema yang ditekuni oleh Gramsci sepanjang hidupnya sejak dari periode Ordine Nuovo sampai dengan periode akhir penulisan Prison Notebooks. Tema-tema tersebut dia bahas dengan originalitas teoretis yang brilyan secara bagus.

Sebuah artikel penting yang Gramsci terbitkan dalam L’Ordine Nuovo pada bulan Agustus 1919 diberi judul dengan tepat Operai e contadini. Dalam artikel tersebut, dia menulis bahwa perang telah menyebabkan terjadinya transformasi-transformasi revolusioner. Sebelum Perang Dunia Pertama, kata Gramsci, para petani tak pernah merasa menjadi bagian dari sebuah kolektivitas (yaitu kolektivitas yang disebut oleh kaum borjuis sebagai bangsa dan oleh kaum proletariat sebagai kelas). Para petani harus berjuang secara individual atau harus bereaksi secara anarkhis melawan penindasan negara yang selalu dia alami, dan dia telah mengacaukan perjuangan kelas dengan aksi perampokan. Namun kemudian, ‘waktu empat tahun berjuang sembunyi-sembunyi dan eksploitasi berdarah telah mengubah secara radikal psikologi para petani’. Pengalaman Rusia telah menunjukan arti dari pengalaman Italia karena kondisi-kondisis historis dari kedua negara itu tidak berbeda dan tak jauh berbeda. ‘Problem penyatuan kelas buruh dan kaum petani harus dihadapi dalam cara-cara yang sama,’ kata Gramsci, karena bagi kedua negara, komunisme merupakan sebuah keniscayaan eksistensial. Revolusi bisa dicapai hanya di bawah kondisi-kondisi kedisiplinan dan pengorganisasian tertentu. Massa buruh di kota-kota besar adalah tokoh utama dari revolusi, namun revolusi tak akan pernah berhasil ‘secara permanan dan mendalam’ hanya dengan dukungan kekuatan tersebut. ‘Adalah perlu untuk menyatukan kota besar dengan desa untuk merangsang tumbuhnya institusi-institusi kaum petani miskin di pedesaan yang akan menjadi dasar bagi didirikannya dan dibangunnya Negara sosialis, dan lewat institusi-institusi tersebut, menjadi mungkin bagi Negara sosialis untuk memajukan penggunaan mesin-mesin dan memacu proses transformasi besar dalam ekonomi agrarian.’ Kaum proletariat tegasnya terdiri atas kaum buruh di dunia industri dan kaum petani miskin, dan mereka merupakan ‘dua sayap dari tentara revolusioner’. Setiap orang harus sadar bahwa ‘tanpa konsensus kaum buruh dan petani, orang tak bisa berkuasa’ karena kaum buruh dan kaum petani merupakan ‘dua lapisan masyarakat pekerja yang paling besar jumlahnya. Namun, harus ditegaskan secara tegas bahwa kaum revolusioner harus selalu mengarahkan dirinya hanya pada kaum petani miskin, pada ‘kaum yang tak berlahan’. Problem besarnya ialah bagaimana menggerakkan kaum petani agar bisa diorganisir dalam sebuah gerakan yang dilandasi oleh kesadaran. Problem ini masih mungkin untuk diatasi sepanjang ‘institusi-institusi kontrol produksi yang bersifat kolektif’ juga diorganisir di pedesaan. Institusi-institusi inilah yang menurut Gramsci akan menciptakan kohesivitas dan mentransformasi massa petani baik secara psikologis maupun teknis, ‘sambil tetap membolehkan bentuk-bentuk sementara penguasaan tanah (area tanah yang berukuran kecil) secara pribadi tetap eksis’. Dua gerakan revolusioner, yang satu demi penguasaan pabrik-pabrk, dan yang lain demi pendudukan tanah, haruslah menjadi suatu keseluruhan. Karena itu, kaum buruh harus sadar bahwa hanya mereka yang bisa memecahkan problem yang ada di wilayah Italia Selatan, yaitu problem Mezzogiorno, ‘dengan bersatu’. Aksi revolusioner dari kelas buruh akan bisa menciptakan sebuah transformasi jika dipisahkan secara tegas antara kaum petani yang miskin dan pemilik lahan pertanian yang sempit di satu sisi dengan kaum petani kaya atau para pengeksploitasi di sisi lain. Kaum petani miskin-lah yang akan menjadi ‘pendukung’ bagi kelas buruh dan menjadi kekuatan yang memungkinkan keduanya berhasil merebut kekuasaan.
Adalah juga perlu, catat Gramsci, dilakukan pemetaan terhadap situasi politik yang ada karena terdapat penyebarluasan rasa keberagamaan di pedesaan. Proses penyebarluasan ini mendapat dukungan lumayan besar dari kaum petani miskin yang mendukung partai-partai politik yang merepresentasikan sebuah ‘koalisi dari strata petani yang berbeda-beda’. Namun ‘ikatan-ikatan agama tentu saja tidak cukup untuk mencegah perjuangan kelas’, sebuah perjuangan yang di pedesaan masih belum berbentuk secara organik dan belum tersebar luas dan belum dibangun di atas dasar kesadaran. Baru ketika kaum petani miskin dijauhkan dari politik partai-partai yang menyatukan mereka, pada saat itulah kelas buruh akan bisa berharap bahwa perjuangan kelas mereka akan memasuki ‘ke tahapan akhir’-nya. Kaum buruh memang merupakan tokoh utama dari revolusi komunis, namun massa petani-lah yang akan menjadi agen-agen utama aksi pra-revolusi. ‘Problem kekuatan’ yang dihadapi oleh kaum buruh yang lebih berkesadaran dan siap akan bisa dipecahkan oleh massa kaum petani miskin. Revolusi memang akan bepusat di wilayah Italia Utara, namun dengan segera, ‘kelas pekerja pabrik akan berhadapan dengan problem yang luar biasa yang tercipta akibat perang. Problem itu ialah bagaimana agar bisa berhasil dalam menciptakan sebuah organisasi Negara yang memiliki sarana-sarana pertanian yang terindustrialisasi. Dengan industrialisasi ini, kaum petani akan berada dalam kondisi-kondisi kerja yang sama dengan kaum buruh. Dengan begitu, satu jam kerja pertanian akan bisa dipertukarkan dengan satu jam kerja di pabrik secara dan dengan begitu, kepentingan kaum proletariat dalam aktivitas pertukaran barang-barang yang diproduksi oleh keduanya di bawah kondisi-kondisi kerja yang sama sekali berbeda tak akan terabaikan’. Apalagi, kata Gramsci, sudah umum diketahui bahwa kaum petani merupakan salah satu dari ‘kelas sosial yang secara historis paling lamban dan paling akhir dalam mendiferensiasikan dirinya’.
Gramsci sering mengklaim bahwa Partai Komunis telah berjasa mengubah secara total psikologi para buruh Italia Utara dalam memandang orang-orang Italia Selatan. Prasangka-prasangka dan klise-klise rontok satu per satu ketika dikonfrontasikan dengan fakta bahwa kaum buruh di Italia Utara dan kaum petani miskin di Selatan telah sama-sama memandang diri mereka masing-masing sebagai dua kelas sosial yang dihancurkan dan dieksploitasi, meski dengan cara yang berbeda-beda, oleh para pemilik harta kekayaan yang sama, yaitu kaum borjuis. Bahwa kaum borjuis industrial yang sama, yang mencengkeram kaum buruh di Utara di bawah kekuasaan ekonominya, juga telah menaklukkan Italia bagian selatan dan kepulauan dan ‘meredusirnya menjadi koloni-koloni yang harus dieksploitasi’. Jadi, ‘kaum proletariat di Italia Utara, dengan mengemansipasi dirinya dari perbudakan kapitalis, akan juga mengemansipasi massa kaum petani di selatan yang ditaklukkan oleh bank-bank dan oleh industri yang parasit di Italia Utara’. Kaum buruh akan memutuskan rantai yang membelenggu kaum petani miskin, dan mereka akan membantu kaum petani miskin untuk lepas dari penderitaan dan keputusasaan eksistensinya. Di sisi lain, mengapa kaum petani harus berharap bahwa kaum proletariat industri juga akan melahirkan sebuah revolusi pembebasan demi kebaikan mereka? Karena kelas buruh merupakan satu-satunya kelas yang berkepentingan terhadap diciptakannya kesetaraan sejati daalam kondisi-kondisi kerja dan produksi di dunia industri dan di dunia pertanian, dan karena ‘kelas buruh telah kehabisan tenaga dan merosot kondisi fisiknya sebagai akibat tak punya bahan pangan’.1 Karena alasan inilah, dua kelas itu harus bekerja sama dalam mereorgansiasi Negara, mensosialismekan pabrik dan perusahaan keuangan besar, membebaskan diri dari riba perbankan dan kaum kapitalis.
Sayangnya, lanjut Gramsci, partai Komunis sangat terlambat dalam mengembangkan sebuah analisis ideologis terhadap kejadian-kejadian historis yang telah membentuk gerakan-gerakan penguasaan lahan yang ada. Partai masih tak tahu bagaimana harus mengevaluasi gerakan pembebasan ini atau fakta bahwa gerakan-gerakan semacam itu dipimpin oleh ‘partai-partai politik yang pada kenyataannya bersifat kontra-revolusioner’. Partai tidak tahu perasaan-perasaan apa yang tumbuh di kalangan massa petani ketika massa tersebut pada akhirnya mengetahui kemandulan dari sebuah upaya emansipasi. Partai harus menghadapi ‘prolem sentral kehidupan nasional Italia, yaitu persoalan Italia Selatan’. Partai harus memecahkan jaring-jaring relasi yang kusut antara kaum petani dan kaum buruh. Kaum buruh harus memahami secara sangat jelas bagaimana kapitalisme telah berkembang di Italia, yaitu lewat pensubordinasian yang semakin kuat atas daerah pedesaan pada kota-kota industri, atas Italia bagian selatan dan tengah pada Italia bagian utara. Relasi antara kota dan desa di Italia merupakan relasi ‘antara satu bagian dari wilayah nasional dan bagian lain yang sangat berbeda yang dicirikan oleh fitur-fiturnya yang khas’. Jika semua ini dipahami, maka tak mungkin bagi aristokrasi buruh di Italia Utara serta kaum borjuis kapitalis untuk terus bisa mengeksploitasi Italia Selatan (eksploitasi yang juga dijalankan, sadar atau tidak, oleh seluruh kaum reformis) melalui cara-cara ‘proteksionisme korporatif’ dan dengan cara ini berusaha mengemansipasikan kelas buruh ‘di atas beban mayoritas masyarakat pekerja’. Emansipasi kelas buruh hanya akan bisa berlangsung melalui aliansi antara para buruh industri di Italia Utara dengan para petani miskin di Italia Selatan untuk menggulingkan kapitalisme, untuk menghancurkan Negara borjuis, dan untuk menciptakan sebuah Negara proletarian, untuk membangun sebuah aparatus prooduksi industrial yang baru yang melayani kebutuhan-kebutuhan pertanian, yang bisa dipergunakan untuk mengindustrialisasikan pertanian Italia yang terbelakang dan dengan begitu akan bisa menaikkan tingkat kesejahteraan nasional yang akan membawa keuntungan bagi kelas buruh’.
Para pemilik tanah, yang berusaha menghancurkan para petani kecil, juga berharap akan bisa menang melawan kelas buruh. Menjadi tugas dari seluruh buruh, kata Gramsci, untuk mengawasi apa yang telah terjadi di pedesaan secara tekun. Bahkan, sebuah partai yang revolusioner bisa dikenali berdasarkan pada tingkat pemahamannya terhadap problem petani dan oleh solusi yang bisa ditawarkannya. Di Italia khususnya, sebuah revolusi hanya akan mungkin sepanjang kepentingan-kepentingan kaum petani dan kaum buruh menyatu secara total. ‘Problem revolusi Italia karenanya ialah problem persatuan antara kaum buruh dan kaum petani.’
Di sisi lain, kita membaca beberapa laporan ringkas yang diterbitkan dalam L’Ordine Nuovo mengenai keikutsertaan para pemimpin partai dalam Konggres Partai Komunis yang kedua dan sebuah laporan mengenai kongres nasional yang dikirimkan kepada cabang partai di Turin yang barangkali ditulis oleh Gramsci. Dokumen-dokumen tersebut terasa agak membingungkan karena sering tampak bertentangan, bahkan sangat bertentangan dengan isi artikel-artikel Gramsci yang telah diikhtisarkan dalam paragraf sebelumnya. Fakta ini sebagian bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa laporan-laporan itu mungkin tidak akurat sepenuhnya dan mungkin tidak mengekspresikan pemikiran Gramsci secara tepat. Selain itu, harus diingat bahwa Gramsci seringkali merefleksikan pemikiran-pemikiran dan ide-idenya dalam artikel-artikelnya yang hanya sebagian saja merupakan pemikirannya sendiri dan yang secara keseluruhan juga dianut oleh semua pemimpin aparatus partai lainnya. Baru kemudian, Gramsci mengadakan sebuah kajian yang independen dan bersifat pribadi terhadap problem aliansi politik antara kaum buruh dan kaum petani. Hal ini tampaknya mengharuskan kita untuk menganalisis secara lebih serius pemikiran Gramsci. Meski demikian, sepanjang yang kita ketahui, sampai saat ini belum ada satu pun yang bisa memberikan usulan interpretasi yang tepat dan bisa diterima terhadap tulisan-tulisan Gramsci mengenai tema aliansi kelas buruh dan kaum petani. Juga belum ada seorang yang mencurahkan banyak waktu untuk menganalisa tulisan-tulisan tersebut.
Persoalan paling penting pada saat itu ialah persoalan front bersatu. Namun, Gramsci berkeyakinan bahwa bukan hanya Partai Populer2, namun juga sebagian dari Partai Sosialis harus dikecualikan dari aliansi dengan kaum komunis. Aliansi dengan Partai Populer harus dikecualikan karena partai ini pada hakekatnya didasarkan pada kaum petani. ‘Saat ini, memang benar bahwa kaum petani telah memiliki kesediaan untuk turut serta dalam perjuangan melawan Negara, namun mereka berjuang untuk membela hak milik mereka, dan bukan hanya untuk membela upah dan jam kerja mereka. Perjuangan yang mereka lakukan diilhami oleh beberapa motif yang termasuk dalam wilayah hukum sipil borjuis.’ Partai Komunis harus tetap menjadi partainya kaum buruh, menjadi organisasi politiknya kelas buruh tanpa harus dikacaukan dengan kelompok-kelompok sosial yang lain akan membawa pada melemahnya aksi revolusioner. ‘Terlalu sering kita mengacaukan kaum buruh dengan kaum petani. Padahal, keduanya merupakan kelas yang berbeda. Partai Sosialis didasarkan pada dua kelas tersebut, dan fakta bahwa Partai Sosialis memiliki dua jiwa, bersumber dari keberadaan dua kelas tersebut. Kelas buruh dan petani memang bisa menyatu dalam bentuk organik sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Komunis dalam tesisnya mengenai persoalan agrarian, namun tak boleh dibayangkan bahwa kaum petani akan bisa menjadi kaum komunis. Partai Komunis harus mempertahankan identitasnya sebagai partai buruh yang memiliki beberapa pusat aksi di pedesaan.’ Karakter revolusioner dari kaum buruh dan kaum petani sangat berbeda, dan akan menjadi absurd untuk berjuang demi sebuah front bersatu yang mencakup Partai Populer yang basisnya dulu dan sekarang masih kaum petani. Untuk alasan-alasan taktis, kelas buruh mungkin bisa mencapai kesepakatan-kesepakatan temporer dengan kaum petani, namun ‘satu hal yang tak boleh dilupakan ialah bahwa kelas buruh harus tetap mempertahankan independensi dan supremasi organisasi politik kaum buruh (baik yang di pabrik maupun di pertanian) karena hanya kaum buruh-lah yang merupakan satu-satunya kelas yang gerakan revolusionernya bisa dianggap berwatak komunis’. Memang benar, lanjut Gramsci (dalam konteks ini merujuk secara khusus pada para pemilik tanah yang kecil, dan membedakan kaum petani dari buruh tani), bahwa ketika kita menyatakan bahwa kaum petani tak bisa memiliki karakter revolusioner, kita merujuk pada kaum petani sebagai sebuah kelas dan bukan sebagai individu petani yang mungkin saja bisa menjadi komunis yang baik.
Dua aksioma yang sama-sama fundamental masih tetap berlaku. Yang pertama bahwa revolusi harus dipimpin dan dilaksanakan oleh kelas buruh yang dengan begitu, pada saat yang bersamaan akan juga membebaskan seluruh petani dari belenggu-belenggu perbudakan yang membelenggunya. Yang kedua ialah bahwa revolusi proletarian tak akan pernah mencapai sebuah keberhasilan yang sejati dan stabil tanpa adanya dukungan menentukan dari kaum petani. Dua kesimpulan Gramsci ini buat kita tampaknya masih segaris dengan segenap bahasan sebelumnya. Namun, pembaca pastilah akan juga mencatat betapa ‘baru’-nya beberapa refleksi yang telah kita ikhtisarkan dari laporan-laporan ‘resmi’ yang diterbitkan dalam L’Ordine Nuovo. Tentu saja, tak mungkin laporan-laporan tersebut akan dimuat dalam kolom-kolom harian tersebut tanpa sebelumnya mendapat ijin dari kepala redaksinya.
Selama seluruh hidupnya, Gramsci terus mengkaji problem-problem hubungan antara kaum buruh dan kaum petani dan mengenai tema persoalan Italia Selatan. ‘Saya adalah seorang Italia Selatan!’ serunya kepada seorang anggota koalisi pemerintahan ketika dalam laporan pandangannya di depan Dewan Perwakilan tahun 1925, anggota koalisi itu memotong pandangannya dan menuduhnya tak memahami Italia Selatan. Dia menulis sebuah esai terkenal, yang masih belum rampung, mengenai topik ini: Alcuni temi della quistione meridionale, yang dia kerjakan persis sebelum dia dipenjara. Barangkali inilah karya besar Gramsci, meski Gramsci berkebaratan terhadap penilaian ini dalam sebuah kalimat yang telah dikutip sebelumnya dari sebuah surat buat saudara ipar perempuannya pada tanggal 19 Maret 1927. ‘Masih ingat karyaku yang sangat ringkas dan sangat dangkal mengenai Italia Bagian Selatan dan mengenai arti penting Benedetto Croce?’ Namun, esai itu merupakan karya besar karena hal kejernihan paparannya, karena kompleksitas analisisnya, dan karena ketajaman dan originalitas penilaian Gramsci. Karya itu adalah karya besar karena kemampuannya dimana beragam tema ditenun secara jalin menjalin dan diperlihatkan kesalingtergantungannya satu sama lain. Dalam esai tersebut, kita membaca sajian mengenai tema-tema paling penting yang ditekuni Gramsci sepanajng hidupnya: yaitu persoalan Italia Bagian Selatan, problem aliansi antara kaum buruh dan kaum petani miskin, persoalan Vatikan, problem fungsi intelektual dalam masyarakat borjuis. Dalam esai ini, dan dalam gayanya, terdapat sebuah pengambilan jarak dari hasrat berpolemik dari artikel-artikel jurnalistik yang dibentuk oleh iklim politik yang melingkupinya. Adanya jarak yang memisahkan dirinya dengan dunia luar saat dia dipenjarakan, diharapkan Gramsci akan bisa menjadi awal penulisan yang sungguh-sungguh ‘obyektif, für ewig,’ dan rencana ini diwujudkannya dalam Prison Notebooks. Esainya mengenai persoalan Italia Selatan persis menandai trasisi ke gaya yang obyektif ini.
Konsep fundamental yang telah memandu kaum komunis dalam perjuangannya, tulis Gramsci, ialah konsep ‘tentang aliansi politik antara kaum buruh di Italia Utara dengan kaum petani di Italia Selatan dalam rangka untuk menyingkirkan kaum borjuis dari kekuasaan Negara’. Agar aliansi ini bisa terealisir, kita harus paham dengan fakta bahwa di Italia, persoalan petani mengambil ‘dua bentuk yang khas dan khusus, yaitu persoalan Italia Selatan dan persoalan Vatikan’. Langkah pertama yang diambil oleh para buruh Turin ialah menolak sekumpulan klise yang sangat berukar berakar dalam diri mereka, seperti pandangan bahwa orang Italia Selatan malas bekerja, bahwa orang Italia Selatan bodoh, kriminal, barbar. Kaum buruh Turin bereaksi melawan klise-klise ini dalam praktek dan aksi mereka dengan jalan bergaul dengan para petani Italia Selatan yang menjalani wajib militer dan ditempatkan di berbagai resimen di Turin, dengan jalan mengusulkan pencalonan seorang Italia Selatan, seperti Gaetano Salvemini untuk wilayah perwakilan Turin, dengan jalan melakukan kerja propaganda secara aktif di kalangan para imigran dan dengan mengarahkan kaum petani mengambil posisi-posisi politik mereka sendiri.
Mengapa perubahan besar-besaran dalam kesadaran dari setiap militan ini harus diciptakan? Karena ‘tak ada aksi massa yang mungkin jika massa itu sendiri tidak yakin akan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dan akan metode-metode yang diterapkannya. Kaum proletariat agar bisa berkuasa sebagai sebuah kelas harus menyingkirkan setiap residu paham korporatis, setiap prasangka atau sampah sindikalis. Apakah artinya hal ini? Bukan hanya bahwa perbedaan-perbedaan yang ada antara satu bidang pekerjaan yang satu dengan bidang kerja yang lain harus bisa diatasi, namun juga bahwa untuk bisa merebut kepercayaan dan dukungan dari para petani dan beberapa kelompok semi-proletarian perkotaan, adalah perlu untuk bisa mengatasi prasangka-prasangka tertentu dan untuk mengalahkan sikap egoistis tertentu yang bisa dan memang ada dalam diri kelas buruh sedemikian rupa bahkan setelah perbedaan-perbedaan di antara bidang pekerjaan telah lenyap dari tengah-tengah mereka.’
Gramsci melacak kembali sejarah Italia beberapa dekade sebelumnya, dan dia memusatkan kajiannya terhadap politik Giovanni Giolitti. Giolitti, kata Gramsci, selalu ingin menghancurkan para petani Italia Selatan. Pada awalnya, dia menggunakan Partai Sosialis yang secara tanpa sadar telah menjadi sebuah alat dari politik Giolitti. Kemudian, ketika Partai Sosialis sekali lagi mengadopsi pemikiran-pemikiran yang tak lagi bersifat reformis atau kolaborasionis, Giolitti beralih ke kaum Katolik untuk bisa melanjutkan kebijakan-kebijakannya. ‘Giolitti lalu mengubah lagi arahnya. Dia menggantikan aliansi antara kaum borjuis dan kaum Katolik yang merepresentasikan massa petani Italia Selatan dan Tengah dengan aliansi antara kaum borjuis dan kaum buruh.’ Namun, persoalan Italia Selatan masih tetap belum terpecahkan olehnya.
Bahkan pembaca yang paling tidak peduli akan bisa menangkap keluasan dan kedalaman argumen-argumen Gramsci. Italia Selatan, lanjut Gramsci, dicirikan oleh ketiadaan secara mutlak persatuan sosial karena penduduk petani tak memiliki kohesi apapun. Dalam masyarakat Italia Selatan, paling tidak ada tiga strata sosial yang sangat penting yang bisa dibedakan: Yaitu ‘Massa petani yang besar, terpencar-pencar dan amorf, kaum intelektual dari kelas menengah rendahan di pedesaan, dan para pemilik tanah yang luas dan kaum intelektual yang lebih tinggi.’ Alam kenyataan, kategori yang ketiga inilah yang mendominasi sepenuhnya seluruh aspek realitas Italia Selatan, yang terutama dalam wilayah ideologis dimana ‘sentralisasi berlangsung dengan efisiensi dan presisi yang lebih tinggi’. Dalam artian inilah, Gramsci bisa mengajukan sebuah penilaian yang tajam terhadap dua intelektual Italia Selatan seperti Giustino Fortunato dan Benedetto Croce yang disebut Gramsci sebagai ‘dua tokoh terbesar dari reaksioner Italia’.
Hampir semua bagian lain dari esai karya besar Gramsci tersebut dicurahkan untuk mengkaji keberadaan dan fungsi para intelektual dalam masyarakat Italia Selatan dalam sebuah cara yang membuatnya menjadi pendahulu yang terampil dari sedemikian banyak tulisan dalam Prison Notebooks. Kelompok sosial intelektual, termasuk pendeta, menjadi mata rantai yang niscaya antara petani Italia Selatan dengan pemilik tanah yang luas. Satu-satunya tujuan dari ‘blok agrarian yang kejam’ ini ialah pelestarian status quo. Di atas blok tersebut, bergeraklah blok intelektual dan kedua blok ini berupaya untuk mencegah agar retakan-retakan dalam blok agrarian tidak sampai menjadi terlalu berbahaya dan sekaligus menghambat keruntuhan blok tersebut. Namun, karena masyarakat Italia Selatan dicirikan oleh disintegrasi sosial yang besar, demikian pula blok intelektual dicirikan oleh sebuah ketiadaan kohesi dan persatuan yang nyaris bersifat mutlak. Bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil, para intelektual Italia Selatan meraba-raba mencari jalan bersama dan masing-masing lalu berakhir dalam jalannya sendiri-sendiri, yaitu jalan yang paling menguntungkan baginya. Mereka menjalankan fungsi-fungsi yang berbeda-beda, jika bukannya saling bertentangan. Sebagai misal, Croce ‘menjalankan fungsi “nasional” yang sangat penting. Dia memisahkan kaum intelektual radikal Italia Selatan dari massa petani, dan menjadikan kaum intelektual tersebut menjadi bagian dari kultur Eropa dan Italia, dan atas dasar kultur ini, dia menyatukan kaum intelektual dengan kaum borjuis nasional dan juga dengan blok agrarian.’
Di Turin, segera setelah Perang Dunia pertama, kelompok Ordine Nuovo dan Piero Gobetti melakukan sebuah upaya berharga untuk menjadi lebih dekat dengan realitas dan problem-problem Italia Selatan. ‘Figur Gobetti dan gerakan yang diwakilinya merupakan produk-produk spontan dari iklim historis yang baru di Italia. Arti dan makna penting dari keduanya terletak dalam iklim tersebut.’ Kaum intelektual Italia Selatan juga mengalami perkembangan yang nyata. ‘Di antara para intelektual ini, Guido Dorso merupakan figur yang paling lengkap dan menarik.’ Pembahasan Gramsci sendiri kebanyakan mengenai tema-tema umum yang bernilai penting secara nasional. Gerak perkembangan kaum intelektual ini, kata Gramsci, jauh lebih lambat daripada gerak perkembangan kelompok sosial yang lain manapun. Adalah absurd jika membayangkan bahwa sebagai sebuah keseluruhan, kaum inetelektual bisa berpisah dengan masa lalunya dan mengadopsi pemikiran-pemikiran revolusioner. Penerimaan secara individual oleh seorang intelektual terhadap program revolusioner kelas buruh tentu saja memiliki arti penting, namun ‘kami lebih tertarik pada kaum intelektual sebagai sebuah keseluruhan, bukan sekedar sebagai individu-individu’. Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga ‘tercipta sebuah retakan yang organis dan historis dalam tubuh massa intelektual: sehingga tendensi sayap kiri, dalam artian katanya yang modern yaitu berorientasi kepada proletariat revolusioner, tercipta sebagai sebuah formasi massa’. Banyak intelektual yang telah bekerja dan masih bekerja dalam arah ini karena begitu besarnya tugas yang harus dikerjakan. Banyak dari mereka ‘memahami bahwa hanya ada dua kekuatan sosial yang secara esensial bersifat nasional dan merupakan pemikul masa depan: yaitu kaum proletariat dan kaum petani’. Dan pada titik inilah, naskah tulisan Gramsci terputus.
Gramsci melanjutkan menganalisa problem itu secara tajam sepanjang sisa hidupnya. Dalam Prison Notebooks, dia sempat menyinggung suratnya yang terkenal kepada Central Comittee Partai komunis Soviet pada tahun 1926, (sebuah surat yang baru-baru ini ditemukan kembali dan diterbitkan). Dalam surat kepada PKUS, Gramsci mencatat bahwa di Italia sebagaimana di Uni Soviet, mayoritas masyarakat pekerja terdiri atas para petani yang karena jumlahnya yang besar, kekayaan tradisi berorganisasinya dan luasan aparatus organisasi kependetaan yang telah bergaul dengannya selama berabad-abad, akan memunculkan ‘problem-problem yang inheren dalam hegemoni kaum proletariat’ dalam bentuk yang lebih akut jika dibandingkan di Rusia. Bahkan, keunggulan relatif industri di Italia tak banyak membantu kaum proletariat Italia karena tak adanya semua bahan mentah yang paling penting. ‘Karena itu, kaum proletariat hanya akan bisa menjalankan fungsi kepemimpinannya jika dia diliputi dengan semangat pengorbanan dan telah membebaskan dirinya sepenuhnya dari setiap residu paham korporatisme sindikalis atau reformis.’
Ada juga banyak halaman yang dicurahkan untuk membahas problem Italia Selatan itu dalam Prison Notebooks. Kemiskinan Mezzogiorno, tulis Gramsci dalam sebuah tulisan yang sangat terkenal dari karynya Il Risorgimento, ‘tak bisa dipahami oleh para buruh di Italia Utara sepanjang mereka tak memahami bahwa proses penyatuan secara historis wilayah nasional berlangsung bukan di atas landasan kesetaraan, namun di atas landasan disparitas yang kuat sampai pada tingkatan dimana Italia Utara masih terus menjadi “gurita” yang bisa menjadi kaya di atas pengorbanan Italia Selatan dan yang ekspansi ekonomi industrinya memiliki hubungan langsung dengan pemiskinan ekonomi dan pertanian Italia Selatan. Masyarakat Italia Utara malah beranggapan bahwa jika Italia Selatan tidak mencapai kemajuan setelah dibebaskan dari belenggu yang dipasangkan oleh rezim Bourbon ke kaki mereka karena menentang pembangunan modern, maka hal ini berarti bahwa penyebab-penyebab kemiskinan itu tidak berada di luar Italia Selatan, di luar kondisi-kondisi ekonomi-politik yang obyektif, namun dalam diri, melekat pada diri penduduk Italia Selatan sendiri. Masyarakat Italia Utara beranggapan demikian terutama karena berurat berakarnya ide mengenai kekayaan alam dari tanah. Jika tanah di Italia Selatan adalah kaya, maka hanya ada satu penjelasan yang mungkin mengapa kemiskinan tetap ada, yaitu karena ketidaksanggupan secara organis orang-orang Italia Selatan, watak barbar mereka dan inferioritas biologis mereka’. Namun, sejarah bisa memberikan penjelasan atas ketimpangan ini karena selama Risorgimento-lah ‘hubungan historis antara Italia Utara dan Italia Selatan telah terjalin dalam bentuk embrio, sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara kota besar dan pedesaan yang luas’. Kesalahpahaman anggapan masyarakat Italia Utara tampak jelas selama abad kesembilan belas ketika ‘istilah pencurian bersenjata akan hampir selalu berarti gerakan yang menimbulkan kekacauan dan keresahan, yang ditandai oleh keganasan, yang dilakukan oleh para petani untuk merampas tanah’.
Dalam Gli Intellettuali, Gramsci kembali membahas beberapa tema yang telah dibahasnya dalam karyanya Quistione Meridionale. ‘Massa petani, meski menjalankan sebuah fungsi esensial dalam dunia produksi, namun tidak mengembangkan intelektual “organik”-nya sendiri dan tidak “mengasimilasikan” kelompok intelektual “tradisional” manapun, bahkan meskipun kelompok-kelompok sosial yang lain memunculkan banyak intelektualnya dari kalangan massa petani, dan sebagian besar dari para intelektual tradisional berlatar belakang petani.’ Bahkan, Lettere dal carcere juga dipenuhi dengan nada-nada tulisan yang mengingatkan kita kembali akan tema ini. Dalam surat-surat itu, problem petani ‘muncul kembali’ dalam gaya ironi khas Gramsci, yang terasa begitu sederhana saat dia menceritakan dirinya dan apa-apa yang menjadi perhatiannya, yang jauh dari menimbulkan perasaan sentimental inferior apapun saat membahas hal-hal dan individu-individu dalam dunianya. Sudah lazim diketahui betapa seringnya Italia Selatan hadir dengan realitasnya, dengan penderitaan-penderitaannya, dengan kemiskinannya yang beradad-abad dalam sumsum tulangnya Gramsci, dalam sumsum tulang keluarganya dan yang dicintainya. Dalam salah satu suratnya, yang ditulis pada tanggal 5 Maret 1928 kepada saudara ipar perempuannya, Gramsci menulis, ‘Juga dalam sebuah buku paling baru karya Michels, dikatakan ulang bahwa rata-rata petani Calabria, meski buta huruf, lebih pandai ketimbang rata-rata profesor Jerman, sehingga banyak orang lalu merasa terbebas dari tugas untuk menghapuskan kebutahurufan di Calabria’. Surat-surat Gramsci penuh dengan hasil-hasil pengamatan ini, yang meski terlihat tak sungguh-sungguh dan tanpa arti, namun sesungguhnya sangat bermakna dan original. Dia menulis, misalnya, kepada istrinya, Julia, mengenai anak laki-lakinya, Delio, yang akan tumbuh remaja saat ayahnya akan mengakhiri masa hukuman yang dikanakan padanya, ‘Namun, terbersit dalam bayanganku bahwa dia akan memiliki anak karena jika kota ini ingin membela diri dari invasi dari pedesaan dan tidak kehilangan hegemoni historisnya, generasi-generasi baru harus mengubah cara pandang mereka mengenai melahirkan keturunan, terutama di kota tempatmu berada. Jika kota itu tumbuh di atas landasan kedatangan imigran dan bukan karena kekuatan untuk melahirkan generasi barunya sendiri, maka apakah kota itu akan sanggup memenuhi fungsi utamanya ataukah sebagaimana pengalaman-pengalaman yang lalu, kota itu akan dipenuhsesaki oleh anak-cucu petani?’ Bagi Gramsci, setiap momen, setiap topik maupun setiap orang merupakan sebuah kesempatan, sebuah petunjuk betapapun insidental sifatnya bagi sebuah refleksi yang lebih dalam, bagi sebuah penelaahan yang lebih tepat sehingga bisa berkembang analisis yang kemudian menjadi karya seumur hidupnya.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.