Senin, 13 Oktober 2008

Kegusaran Chapman : Sebuah novel yang menginspirasi Chapman untuk membunuh

Mark David Chapman meminta Jhon Lennon menandatangani buku The Catcher In The Rye di pagi hari sebulum ia menembak mati bekas anggota The Beatles itu beberapa jam kemudian. Mengapa para pembunuh orang terkenal dalam sejarah, orang-orang yang dicirikan sebagai “the lone killer,” gemar membaca novel yang sempat di larang beredar di Amerika ini?

Senin sore 8 Desember 1980, Chapman hilir mudik di muka Dahkota, kali ini ia bersama dengan Paul Goresh; pemuja Lennon merangkap juru photo amatir asal north Arlington, New Jersey. Dalam percakapannya dengan Goresh, Chapman mengatakan, bahwa sudah 3 hari keluyuran disini, berharap dapat menjumpai Lennon dan minta tanda tangannya. Sekitar pukul 17.00 Lennon bersama isterinya keluar dari gedung itu dalam memenuhi jadawal rekaman di studio Record Plant. Chapman lalu mendekati Lennon sambil menyodorkan album baru “Double Fantasy”. Lennon menerimanya dan mencoretkan tanda tengann “John Lennon 1980” diatas sampul album itu sementara Goresh menjepretkan kameranya. Chapman nampak berseri-seri.

“John Lennon mendatangani album saya, tak seorangpun di Hawaii akan percaya pada saya.” katanya kepada Goresh setelah Lennon pergi

Kedua pemuja Lennon tersebut masih berdiri di muka Dahkota untuk dua jam berikutnnya. Goresh akhirnya memutuskan pulang. Chapman berusaha mengubah niatnya : “Lennon akan segera kembali, anda bisa minta tanda tangannya. Goresh menjawab, bahwa ia akan minta tanda tangan Lennon dilain hari. “Akan saya tunggu,” kata Chapman.

John Lennon adalah salah satu penyanyi dan juga aktor legendaris dunia. Peria bernama lengkap John Winston Lennon terkenal sebagai anggota dan pendiri grup musik The Beatles, bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Jhon Lennon bersama isterinya, Yoko Ono. Merampungkan sebuah rekaman tunggal baru berjudul “Walkin’ On Thin Ice” di studio Record Plant dan sempat berwawancara dengan RKO Radio hingga jam 22.30. Menurut rencana rekaman tunggal baru ini akan direlease akhir tahun baru, lagu tersebut akan dinyanyikan oleh Yoko Ono dan Lennon mengiringinya dengan gitar.


“Kami mempunyai rencana makan malam sepulangnya dari studio” kata Yoko dikemudian hari. “Tapi sebagai gantinya kami memutuskan pulang,” Mobil limousine sewaan membawa mereka kembali ke Dahkota sekitar jam 22.50. Limousine itu mestinya berhenti digerbang musuk, namun berhenti dipinggir jalan. Yoko keluar lebih dulu, diiringi John beberapa langkah dari belakang. Tatkala John, melewati bawah lengkungan gerbang masuk yang menghubungkan halaman dalam di gedung Dakota, sebuah suara terdengar sopan memanggilnya dari belakang: “Tuan Lennon,” John membalikkan badannya. Tampak Chapman berdiri seraya membidikkan pistol dengan kedua tangannya. Sebelum Lennon cepat beraksi, pistol Chapman menyalak beberapa kali, “Saya ditembak” rintih Lennon, terhuyung-huyung meninggalkan bercak-bercak darah sepanjang 6 kaki sebelum roboh didepan kantor penjaga pintu. Chapman kemudian membuang pistolnya dan penjaga pintu menyepak benda itu sejauh mungkin disaat Yoko menopangkan kepala suaminya dalam tangannya. “Apakah kau menyadari yang baru saja kaulakukan? “tanya penjaga pintu kepada Chapman. “Saya baru saja menembak John Lennon ,” jawab Chapman tenang

Dalam beberapa menit polisi berdatangan atas laporan penjaga pintu lewat teleponnya. Chapman menunggu mereka, membaca sepintas lalu novel klasik karangan J.D Silinger : “The Catcther In The Rye.”

Saat dua orang polisi menggeledah dan memborgol Chapman, dua orang polisi lainnya memeriksa tubuh Lennon. “Tubuhnya bermandikan darah, semuanya merah, “seru polisi Anthony Palma. “Orang ini sedang sekarat, lekas angkat !” Lennon setengah sadar dan bemandikan darah diangkat ke jok belakang mobil patroli James Moran. “Tahukah siapa anda ?” tanya Moran. Lennon mengerang lalu menganggukkan kepalanya. Ketika Moran melarikan Lennon ke rumah sakit Rooselvelt 15 blok jauhnya, Palma membututi mobilnya bersama Yoko.

Kemudian para dokter mengumumkan kematian Lennon setibanya di rumah sakit, suatu tim terdiri tujuh orang dokter bedah tetap berusaha keras untuk menyelamatkan, tapi luka-lukanya sangat parah 3 lubang peluru didadanya, dua diantaranya menembus punggung dan dua lubang lagi terdapat ditangan kirinya. “Mustahil untuk bisa menyelamatkan dia,” kata dokter Stephen Lynn. “Ia sudah kehilangan darah sekitar 80%. “Sudah berusaha keras tanpa hasil, salama dua puluh menit dalam menyelamatkan Lennon para dokter bedah itu menyerah, kemudian Lynn-pun memberitahukan Yoko. “Dimana suami saya ?” Tanya Yoko kepada Lynn. “Saya ingin mendampingi suami saya. Ia menginginkan saya mendampnginya, dimanakah dia?” “Kami membawa kabar buruk,” jawab Lynn. “Saya ingin menarik napas dalam-dalam. “Suami anda telah meninggal dunia. Tanpa penderitaan.”

Pertanyaan mendasar: apa yang membuat novel The Catcther In The Rye menginspirasi Chapman untuk membunuh?

Mungkin jawabanya adalah, karena ia terinspirasi oleh Holden Caulfield, sang protagonis, pencerita dalam The Catcher in the Rye.

Holden hampir membenci semua orang. Semua orang, kecuali abangnya, D.B., dan dua adiknya, mendiang Allie dan Phoebe yang lucu. Juga Jane Gallagher, gadis yang ia anggap mampu mengerti dirinya. Di luar keempat orang itu, dunia dipenuhi oleh orang-orang yang palsu dan aneh. Begitu anehnya, hingga mereka harus dilihat dengan penuh kebencian.

Ia membenci Robert Ackley, teman satu asrama yang jorok, sering ngupil, potong kuku sembarangan, tukang ngorok, bermuka jelek dan berjerawat. Ia juga tak suka dengan Ward Stardlater, teman sekamar yang meski gagah dan ganteng, tapi jorok. Pisau cukurnya berkarat. Dan yang paling membuatnya marah, Ward mengencani Jane. Ia membenci semua gurunya, supir taksi, dan semua orang yang ia jumpai di jalanan New York.

Ia mendeskripsikan dengan detail kekurangan setiap orang, merinci apa saja yang membuat mereka harus dibenci. Holden adalah remaja tanggung yang melihat segala sesuatu dari sisi buruk. Ia tak pernah berprasangka baik terhadap apa pun. Bahkan terhadap kebaikan gurunya, Tuan Antolini, yang memberinya atap saat ia tak tahu harus ke mana di malam New York bulan Desember yang beku.

Di luar prasangka buruknya kepada semua orang dan juga kemalasannya belajar, hingga ia kerap ditendang dari sekolah, Holden adalah pemuda biasa. Pemuda kebanyakan yang kita bilang normal.

Ia tak terlalu nakal. Mabuk iya, merokok sering, tapi ia masih perjaka saat teman-teman seusianya sudah meniduri banyak gadis. Holden memang kerap bertindak di luar kendali, seperti tiba-tiba memiting dan bergulat dengan Ward, tapi ia bukanlah perusuh yang liar. “I’m not too tough. I’m a pacifist if you want to know the truth,” katanya.

Ia tak sedang membual saat mengatakan itu (meski ia kerap membual). Lihat saja waktu ia datang ke rumah Tuan Spencer, guru sejarah yang sudah sepuh, untuk berpamitan. Meski di otaknya bermunculan seribu sumpah serapah dan hinaan keji kepada gurunya, namun ia berlaku amat sopan. Bahkan saat tak tahan dengan nasihat gurunya dan harus pergi, Holden berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya, meski untuk itu ia harus berbohong.

Tapi selama 30 tahun setelah diterbitkan pada 1945-1946, The Catcher merupakan novel yang paling dilarang di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sejumlah negara. Bahasanya yang kasar, kisah hubungan seks di luar nikah, mabuk-mabukan, dan prostitusi adalah hal-hal kontroversial yang membuat novel ini dibenci.

Meski sempat dilarang, The Catcher juga merupakan novel yang paling banyak diajarkan di sekolah-sekolah Amerika di saat yang sama. Ini karena Holden dianggap sebagai cerminan kebanyakan anak muda yang gelisah, yang menyimpan kegelisahannya dan hidup dalam kemunafikan masyarakat kelas menengah atas.

Dalam novelnya, J.D. Salinger mampu mengajak pembaca masuk ke dalam diri Holden, memakai kacamatanya, dan melihat dunia dari jendela neraka. Tidak hanya itu, Holden juga mampu membuat kita lebih reaktif terhadap apa yang ingin kita lakukan. Dengan deskripsi itu Salinger, bisa mensugesti orang untuk berpikir seperti Holden.

Setidaknya itulah yang penulis rasakan saat membaca novel ini. Dan hal itulah yang mungkin dirasakan oleh Mark David Chapman, pembunuh John Lennon, saat ia mengatakan bahwa ia mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk membunuh. Kisah novel ini sendiri amat sederhana, menceritakan beberapa hari menjelang Natal, setelah Holden dikeluarkan dari sekolah berasramanya. Setelah sedikit bercerita tentang apa yang terjadi di asrama di hari terakhirnya, cerita mengalir dalam pengalaman Holden selama beberapa hari luntang-lantung di New York.

Bookmark & Share:

1 komentar:

Anonim,  15 Desember 2008 pukul 13.16  

Sungguh bacaan yang paling menantang.

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.