Jumat, 30 Januari 2009

Pendidikan Harus Mahal?

Tugas utama pendidik kritis adalah menciptakan tipe lembaga kritis yang diperlukan untuk menentang dan mengubah relasi-relasi global berupa eksploitasi dan represi
Peter MckLaren-


Sejak tonggak renaissance yang dimotori oleh Rene Descartes berdiri, perubahan paradigma keilmuan umat manusia selalu berubah dan berdialektika sampai saat ini. Pendidikan sebagai salah satu bidang ilmu sosial, pun tidak bisa menutup mata terhadap perubahan tersebut. Walau pada akhirnya, para filosof dan ilmuan menemui titik jenuh atas dialektika yang ternyata juga menghasilkan kekhawatiran umat manusia.

Kekhawatiran akan perang nuklir, bocornya lapisan ozon, pemanasan global, kesenjangan sosial menganga lebar, adalah beberapa ”sampah” yang dihasilkan oleh spirit modernisme, dengan segala kemegahan teknologi dan kecanggihannya. Spirit modernisme; progresif, efektif, efisien, enlightment yang menjanjikan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, mulai dikoreksi oleh postmodern.


Pendidikan pun ikut pontang panting menghadapi tujuan sekaligus dampak modernitas. Sebelum perang dingin antara kapitalis dan sosialis berakhir, kekuatan sebuah negara ditentukan oleh kemampuan militer dan persediaan senjata. Setelah perang dingin usai, kekuatan kapitalis menjadikan logika globalisasi dan pasar bebas sebagai senjata untuk menguasai negara-negara lain (berkembang) sebagai tempat menjual produk-produk industri. Mulai dari, sabun mandi, buah-buahan tak berbiji, produk perusahaan Gucci, dan alat telekomunikasi,dan yang tak kalah penting adalah menjual paham akan pentingnya modernisasi kepada negara berkembang. Pengaruh revolusi industri teknologi disebut Kenichi Ohmae (H.A.R Tilaar.2005:15) sebagai kemajuan berdasarkan platform global. Masyarakat global merupakan perpaduan antara kenyataan dan bayangan seperti ungkapan Amir Pialang.

Penanaman akan pentingnya modernisasi dan industrialisasi secara apik dan halus, telah melenakan negara berkembang untuk mengoreksi ”borok” pada tubuh modern dan industri. Pudarnya tujuan ideal pendidikan yang memanusiakan manusia menjadi mengindustrikan manusia, merupakan efek masyarakat global yang sedang dipimpin oleh perkembangan industri. Herbert Spencer menganalisa evolusi keilmuan di atas sebagai perkembangan masyarakat yang bermula dari masyarakat primitif, lewat masyarakat militer, menjadi masyarakat industri. Sehingga tuntutan untuk mengikuti kemajuan industri, menjadi satu-satunya jalan yang harus dilewati negara berkembang, termasuk sistem pendidikan Indonesia.

Nalar komersialisasi pendidikan
Jurgen Habermas menjelaskan dengan gamblang, bagaimana sistem negara/pemerintahan menjadi agen industrialisasi. Tuntutan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan industri dan teknologi, menjadi pendorong kuat munculnya nalar komersialisasi pendidikan. Karena menurut Jurgen Habermas (2004:15), sistem pendidikan, saling berkaitan dengan sistem ekonomi dan sistem politik, yang terstruktur dalam sebuah integrasi sistem.

Dalam integrasi sistem, sistem sosial budaya yang di dalamnya terdapat artefak kebudayaan seperti pendidikan, kurikulum pendidikan, dan norma hukum, menciptakan resource yang bersifat umum (kerja; pekerja), yang ditata dan dikendalikan oleh sistem ekonomi dan politik. Relasi antar ketiga sistem ini membentuk saling ketergantungan, sekaligus menjelaskan hubungan yang erat antar ketiganya.

Pendidikan (baca; kampus/sekolah) dikendalikan oleh kepentingan ekonomi (kapital) dan politik (pemerintah) demi keberlangsungan sistem integrasi. Karena kekuatan negara tidak lagi pada dirinya, tapi pada sejauh mana dia mengikuti paham modernisasi dan industrialisasi, dan sejauh mana menanamkan paham tersebut pada warga negara, maka kontrol negara kepada rakyat melalui sistem sosial-budaya-pendidikan sangat ditekankan. Logika sistem inilah yang mewajibkan pemerintah untuk mengelola pendidikan sebagai amanat UUD 1945, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Khususnya lembaga pendidikan negeri.

Sebaliknya, lembaga pendidikan harus mengikuti standar-standar yang ditetapkan pemerintah. Sebagai kontrol negara pada pendidikan. Seperti adanya Statuta yang digunakan sebagai pedoman dasar penyelenggaraan seluruh kegiatan perguruan tinggi, Kepmen No. 0293/U/1993 tanggal 5 Agustus 1993 tentang pembentukan Badan Pembantu Penyelengggaraan Pendidikan (BP3), Kepmen No. 44/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Guru dan Dosen, PP No. 19 tahun 2005, sistem kurikulum, sistem evaluasi sentralistik ala UAN/UN, sistem pendanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang digodok oleh pemerintah dan menimbulkan pro-kontra sekaligus polemik baru.
Dampak sentralistik pendidikan

Kesetiaan lembaga pendidikan (negeri) kepada negara menjadi sebuah kewajiban, karena negara akan memberikan kesejahteraan berupa subsidi pendidikan, baik berupa uang atau infrastruktur lain. Maka tak heran jika masyarakat lebih mengidolakan pendidikan negeri daripada swasta, karena biayanya lebih murah.
Namun, ”mitos” masyarakat akan pendidikan murah pada perguruan tinggi negeri kini hanya sekedar angan-angan. Tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN). PTN yang mendapat status BHMN itu adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Jogjakarta.

Berdasarkan PP No 61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum. Sebelumnya, keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Indonesia. Dengan menjadi PT yang berstatus BHMN nampaknya menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi. Maka tak heran jika banyak perguruan tinggi lain yang mengikuti jejak keempat PTN tersebut, seperti ITS, Unair, Unesa, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Malang (UM), dsb.

Tapi bukan berarti tak ada dampak negatif dari perubahan status di atas, karena pemberian status BHMN juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya. Ini yang dikatakan Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,Ed. sebagai konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas). Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas perlu biaya besar dan mahal.

Berbagai cara kemudian ditempuh untuk mencari dana operasional pendidikan. Lidus Yardi S.Pdi, Pengamat pendidikan dari Pekanbaru
Tanggal: 27 Juni 2003 menulis di homepage Pendidikan Network bahwa masing-masing mereka berkompetisi dalam penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus" dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!). Di samping itu, IPB mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mall. ITB dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya.

Mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Lebih-lebih bagi masyarakat miskin yang hanya hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dollar AS perhari. Sama dengan negara bekas jajahan Perancis sebagai salah satu negara termiskin di dunia, yang mayoritas penduduknya hidup di bawah 2 dollar AS per hari. (Kompas, 29/1/2007). Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.

Pemerintah membuka kran komersialisasi pendidikan
Dalam koran Kompas (Senin, 16/10/2006) disebutkan, bahwa Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP)tentang privatisasi perguruan tinggi (otonomi kampus) yang diajukan ke DPR memicu polemik berbagai kalangan. Menurut DR.IR. M. Sasmito Djati, sekretaris tim BHMN Universitas Brawijaya Malang, isu otonomi kampus sudah ada sejak awal tahun 90-an. Pada waktu itu Habibie sebagai Menristek melihat alumni perguruan tinggi tidak bisa menjawab kebutuhan tenaga kerja akan perkembangan teknologi. Otonomi kampus kemudian menjadi solusi alternatif. Kemudian dibuat PP No 61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, dan RUU BHP 26 Juni 2006.

Alasan di atas semakin memperjelas, bahwa pendidikan harus mengikuti standar kemajuan industri dan teknologi (kapitalisme pasar global) yang dikawal secara ketat oleh pemerintah sebagai agen globalisasi, dan perusahaan (industri) sebagai penerima tenaga kerja (alumni PT). Mem-BHP-kan dunia pendidikan seperti yang dicanangkan pemerintah (berdasarkan draf Depdiknas), berimplikasi pada privatisasi dan komersialisasi, serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperhitungkan akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya bagi masyarakat miskin yang menurut Bank Dunia mencapai 108,78 juta orang atau 49 % dari total penduduk Indonesia (Kompas, 8/12/2006)

Kecemasan masyarakat ekonomi bawah akan mahalnya biaya pendidikan semakin menjadi kenyataan, pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh masyarakat kelas atas. Namun kecemasan juga melanda pengelola perguruan tinggi swasta. Pertama, persaingan untuk mendapatkan calon mahasiswa adalah alasan utamanya. Hal ini wajar, karena pandangan pendidikan sebagai ajang bisnis dan komersil juga sudah merasuk ke dalam kepala pengelola pendidikan, dari pemerintah pusat sampai pengelola pendidikan tingkat desa. Mahasiwa baru menjadi in come bagi pengelola pendidikan. Semakin banyak mahasiswa yang diterima PT, semakin besar PT mendapat ”pemasukan”. Adanya mall, hotel/motel, persewaan gedung, dan sebagainya di perguruan tinggi sebagai usaha lain mencari dana adalah bentuk ekstensifikasi (perluasan) seperti yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.

Dengan rancangan mem-BHP-kan perguruan tinggi/sekolah maka kran komersialisasi pendidikan semakin terbuka lebar. Sementara pemerintah bisa lepas dari tanggug jawab ”mencerdaskan kehidupan bangsa” yang selama ini belum dilaksanakan dengan sempurna.
Kekhawatiran kedua, sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BP PTSI) Thomas Suyatno, Rabu (9/3), seusai bertemu dengan berbagai penyelenggara pendidikan/perguruan swasta, menyikapi pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), adalah tanggung jawab utama rektor kelak-dalam Tri Darma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat) akan bercampur aduk dengan tanggung jawab bidang administrasi. Selaku subyek hukum, rektor tak bisa mengelak dari urusan utang piutang dan hubungan kerja dengan pihak luar perguruan tinggi. Jika, misalnya, seorang rektor dalam masa jabatannya menimbulkan utang, maka ia bisa lepas tangan ketika masa jabatannya berakhir. Utang tersebut terlimpahkan ke rektor penggantinya.(Kompas, 10/3/2005)
Karena dalam RUU BHP Bab II pasal 2 ayat 5 disebutkan bahwa BHP berprinsip (a) nirlaba, (b) otonom, (c) prinsip otonomi perguruan tinggi dan manajemen berbasis sekolah/madrasah. Nirlaba, yaitu tidak mencari keuntungan sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatannya, baik secara langsung atau tidak langsung, maka seluruh sisa lebih hasil usaha tersebut wajib ditanamkan kembali dalam BHP selama-lamanya dalam kurun waktu 4 (empat) tahun, untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu pelayanan pendidikan.

UIN Malang, Unibraw, dan UNM
Terbitnya PP No 61/1999 yaitu, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai badan hukum, seperti yang telah diterapkan ITB, IPB, UGM, dan UI, seakan membuka kran kebebasan bagi PTN dari cengkraman pemerintah. Situasi ini mendorong PTN lain seperti ITS, Unair, Unesa, Unibraw, dan Universitas Negeri Malang (UM) meraih status BHMN. Universitas Brawijaya Malang sejak tahun 2002 mengajukan proposal BHMN, namun sampai sekarang belum berstatus BHMN, walau sudah revisi proposal 6 kali menyangkut konsep menajemen kampus.

Ketika ditanya apakah ada jaminan ketika menjadi BHMN kualitas pendidikan juga akan baik. ”Ya tentunya itu butuh proses, tidak semudah membalik tangan.”jelas pak Sasmito, sekretaris BHMN Unibraw. Beliau juga menjelaskan pendidikan harus mahal. Namun saat ini sistem SPP tidak adil, karena antara si kaya dan si miskin membayar SPP dengan jumlah yang sama. Seharusnya dibedakan sesuai dengan kemampuan.
Sementara itu pak Suparno selaku rektor Universitas Negeri Malang yang baru diangkat 2006 kemarin juga menjelaskan bahwa UM juga sudah mempersiapkan proposal BHMN, dan akan selesai pada akhir 2008.

Ketika kami bertanya tentang kecenderungan PT yang menaikkan biaya SPP ketika menjadi BHMN/BHP beliau menjawab; ”Itu tergantung nurani pemimpin kampus. Menurut saya pendidikan tidak harus mahal. Kan bisa dicarikan pemasukan dana selain dari mahasiswa.”

Bagaimana dengan UIN Malang yang telah menerima 300 milyard dari Islamic Development Bank (IDB)?

UIN Malang sebagai salah satu kampus negeri, pun dituntut secara eksternal baik mutu out put maupun penampilan (citra bagus, megah, elegan) oleh kepentingan ”pasar”. Bagi Prof.Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang) mengelola pendidikan tinggi sama artinya dengan mengelola lembaga bisnis pada umumnya yang harus selalu menyesuaikan dengan tuntutan customer-nya yang harus bersifat terencana, profesionalisme, fleksibel, berani mengambil resiko, dan kompetetif. (Memelihara Sangkar Ilmu.2004:X)

Secara umum pendidikan dituntut untuk memberikan fasilitas dan kualitas baik, disisi lain juga dituntut untuk memberikan biaya pendidikan yang murah. Dilema ini yang membuat Prof.Dr. H. Imam Suprayogo mencari bantuan dana dari Islamic Development Bank (IDB) sebesar Rp. 300 miliyard. Walaupun pada tahun ajaran 2005/2006 telah menaikkan SPP dari Rp. 450.00,- menjadi Rp.800.000,- (non-saintek) dan RP. 900.000,- (untuk fakultas Saintek). Karena menurut Imam Suprayogo, pendidikan harus mahal.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.