Jumat, 30 Januari 2009

RELASI KUASA DALAM PESANTREN

Michael Foucault adalah orang yang selalu curiga. Curiga pada setiap rezim kebenaran pengetahuan yang diperagakan dalam setiap lintasan sejarah. Sekitar 47 tahun lalu Foucault mendedahkan sebuah konsepsi tentang kekuasaan dan hubunganya dengan pengetahuan yang dianggap begitu revolusioner.

Bahwa kekuasaan bukanlah sebuah otoritas yang dimiliki oleh subyek atau kelas tertentu seperti konsepsi Karl Marx, tapi kekuasaan adalah entitas yang digelar dan diperagakan oleh semua individu dalam ruang sosial yang kesemuanya dikendalikan oleh sistem pengetahuan.

Dengan demikian bangunan kekuasaan dan pengetahuan tidak pernah bersifat independen. Kekuasaan dan pengetahuan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tak dapat dipisahkan, bahkan cenderung identik.

Fungsi kuasa/pengetahuan kemudian berwujud dalam proses pewacanaan. Relasi kuasa tak bisa dibentuk, diperagakan dan di konsolidasikan oleh dirinya sendiri. Untuk itulah taktik dan strategi pewacanaan diperlukan.

Karena bentuknya yang sangat halus (dalam bentuk wacana), maka kuasa/pengetahuan selalu menjadikan kognisi individu sebagai target utamanya. Proses individulisasi pengetahuan inilah yang melahirkan identifikasi individu yang berlandaskan logika oposisi biner. Sebuah model berfikir yang selalu memposisikan segala sesuatu menjadi dua kutub yang saling bertentangan. Pada tahab inilah siapa ”kami dan siapa ”mereka” dipetakan. Selanjutnya apa yang normal dan apa yang menyimpang dimapankan. Tentu saja identitas ”kami” selalu berada pada kutub yang normal dan posisi sebaliknya selalu dialamatkan pada ”mereka”.

Dan pada akhirnya tubuh dan kesadaran tiap individu lebur menjadi kesadaran yang ditautkan pada kebenaran tunggal yang telah dikukuhkan. Dan pada titik inilah kuasa pengetahuan telah terperagakan.

Ulasan diatas sekedar untuk memberi hantaran pada pembahasan ini selanjutnya, karena dari kacamata kuasa pengetahuan inilah konsepsi kita tentang dunia pesantren akan posisikan dan dibaca. Utamanya menyangkut konsepsi pesantren saat dihadapkan pada konstruk pengetahuan yang dibangun oleh nalar modernitas.

Kategori yang syarat misi

Konsepsi tentang pesantren sadar atau tidak telah terpengaruh oleh konstruk pengetahuan modern. Kita lihat sekarang, bagaimana konsepsi kebanyakan orang mengenai apa yang disebut tradisional, atau lebih khusus apa yang kita konsepsikan tentang pesantren tradisional.

Asumsi umum selalu mengaitkan apa yang dilekati dengan kata tradisional dengan konsep terbelakang, kolot, tidak berkembang, irrasoinal dan juga kampungan. Sebaliknya, modernitas identik dengan konsep rasional, maju, progresif, dan mentereng.

Kuasa pengetahuan terperagakan disini. Dimana nalar modernitas telah menempatkan apa yang dianggap ”lain”, yang dianggap berbeda dari nalar modern dan rasional, dalam posisi marginal dan dianggap sebagai sebuah ”penyimpangan” (anomali). Dan sekaligus juga semakin menegaskan bahwa konsepsi ”barat” yang mengklaim diri sebagai ”yang modern” atau yang normal (tidak menyimpang), adalah superior.

Akibatnya, orang kemudian secara tidak sadar mengidentifikasikan dirinya dan orang lain kedalam salah satu dari dua kutub tersebut. Yang tidak sama dengan konsepsi ideal Barat serta merta akan dipandang berada dalam kutub ”yang lain” yang ”aneh, irasional dan ndeso”.

Sudah pasti, bahwa peragaan kuasa pengetahuan ini tidak serta merta terjadi. Perlu proses yang panjang dan rumit, yang melibatkan berbagai macam agen dengan strategi pengetahuan yang canggih.

Salah satu alat analisis yang dapat dipakai untuk menjelaskan masalah kuasa pengetahuan yang melilit dunia pesantren ini adalah karya Edward Said tentang bagaimana konsepsi Barat yang bias kultural dalam memandang timur, yaitu Orientalisme. Karena pengetahuan atau wacana tentang pesantren yang kini berkembang tidak bisa dilepaskan dari proses penelitian para ilmuwan yang menggunakan cara pandang Barat yang bias ini.

Dalam karyanya tersebut Said menunjukan salah satu gagasanya bahwa telaah sarjana Barat atas dunia Timur bukanlah kajian yang lugu, obyektif, ilmiah, tanpa ada asumsi non-ilmiah yang bekerja. Dalam kajian itu beroperasi suatu kepentingan yang terselubung, yaitu penguasaan dan penaklukan, baik dalam bentuk politis maupun bentuk hegemoni dan dominasi pengetahuan. Melalui kajian para sarjana barat inilah

kategori tradisional - modern diperkenalkan.

Kategorisasi antara Barat dan timur, Modern dan tradisional ini juga bukan kategori yang netral. Kategori ini penuh dengan kepentingan dominasi kultural. Kepentingan yang bersumber dari pandangan barat yang bias, yang memandang kebudayaan diluar barat dengan kacamata Barat. Maka yang terjadi adalah streotip bahwa barat adalah ”pusat” sedangkan selain barat adalah ”pinggir”, barat beradab dan kebudayaan lain ”tidak beradab” dan juga Barat ”normal” sedang selain barat ”menyimpang”.

Diferensiasi antara Timur dan Barat ini menurut Edward W. Said sengaja didesain oleh kolonial barat untuk menunjukkan superioritas kebudayaannya sendiri dan menempatkan Kebuadayaan lain dalam posisi inferior.

Dalam bidang politik, streotip tentang ”tidak beradab”nya timur ini dijadikan alasan untuk membenarkan praktik kolonialisasi Negara Barat atas Timur pada awal abad 19 yang sesungguhnya adalah penjajahan yang kejam. Kolonialisasi ini dibenarkan dengan alasan ”pemberadaban”, yaitu untuk mendidik Timur yang tidak beradab agar menjadi beradab. Tentu saja ”beradab” dalam pandangan Barat

Dalam sejarah Indonesia apa yang dilakuakan Snouck Hurgronje setidaknya bisa menjadi gambaran. Snouck adalah seorang antropolog belanda yang meneliti tentang Aceh, utamanya mengenai Islam yang menjadi pandangan hidup dan sendi budaya masyarakat Aceh.

Untuk keperluan penyelidikanya, snouck belajar bahasa Arab, dan Islam di Arab. Ia bahkan menyamar menjadi ahli Islam dan menjalankan Syari’at Islam walaupun, seperti pengakuanya, tanpa penghayatan.

Penelitian snouck ini kemudian menghasilkan rekomendasi dan nasehat politik bagi pemerintah kolonial Belanda dalam rangka menaklukan perlawanan rakyat Aceh. Snouck juga diyakini sebagai aktor intelektual dalam penyusunan strategi perang anti gerilya dalam fase kedua perang Aceh (1873-1904).
Membaca pesantren tradisional

Dalam kasus kajian terhadap pesantren, memang kepentingan penguasaan dalam bentuk geo-politik atau bentuk penguasaan fisik tidak tampak. Namun hegemoni pengetahuan dalam bentuk spirit modernisme yang kini mapan dan menggajala di negeri ini berawal dari kajian tersebut

Dan yang perlu diingat lagi, bahwa segala bentuk pewacanaan yang dihasilkan Barat dalam menganalisa objek kajiannya cenderung berpretensi melemahkan yang lain, membenamkan entitas yang di anggap others (lain) dan memenangkan entitas yang dianggap sebagai bagian dari dirinya. Karena analisa tersebut bersumber dari pandangan dunia (waltelcaung) modern yang ”Baratsentris”.

Celakanya, hasil kajian ini dijadikan referensi utama para peneliti yang belajar di Barat, dari barat sendidri maupun dari negera-negara timur. Sehingga cara pandang yang bias ini kemudian direproduksi terus menerus, dan diselubungi dengan klaim obyektifitas, sampai akhirnya menjadi semacam kebenaran mutlak.

Gambaran kajian mengenai pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang dilakukan oleh sarjana Barat salah satunya adalah yang ditulis Cliffort Geertz . Dalam naskah literatur penelitian yang menelusuri dimensi ritual dari tradisi pesantren itu Geertz menggambarkan santri tradisional sebagai orang yang sangat kolot dan terisolasi. Disamping itu dia juga mengafirmasi pandangannya tentang ulama bahwa ulama Jawa kurang sepenuhnya muslim (1960:125).

Gambaran serupa juga di kemukakan oleh Philip K. Hitti, seorang peneliti yang selama beberapa dasa warsa diakui dunia Internasional sebagai ahli Islam paling berbobot yang terkenal melaui karyanya, The History of the Arab. Dalam karyanya yang lain, Islam and the West: Cultural Survey, Hitti mengagngkan sekali pendidikan modern yang menurut dia adalah syarat mutlak tercapainya kemajuan. Disamping itu Hitti juga mencela sistem pendidikan Islam Tradisional yang dikatankanya sebagai cerminan budaya yang mandeg.(1962:89)

Gambaran mengenai pesantran ini sedah pasti juga sangat bias kultur. Yang merupakan konsekwensi dari cara pandang Barat yang berparadigma Cartesian terhadap kebudayaan timur yang mempunyai cara pandang sendiri dalam membangun kebudayaanya.

Para peneliti tersebut menyebut pendidikan pesantren sebagai terbelakang karena mereka telah punya pandangan tersendiri mengenai bagaimna pendidikan yang ideal. Yaitu pendidikan formal berbasis kota, yang belajar dalam kelas, berseragam dan terikat waktu ala pendidikan Belanda waktu itu.

Maka bisa dipahami jika para sarjana barat mendiskripsikan pendidikan tradisional (pesantraen) yang tidak mengenal sistem kelas, seragam, dan teguh memegang tradisi kemandirian, kesederhanaan dan tirakat serta mengharap berkah guru atai kiai, sebagai pendidikan yang tidak modern alias terbelakang dan perlu dimajukan.

Dengan demikian, apapun yang bersumber dari kebudayaan Timur, sebagai bangsa koloni (jajahan), selalu dipandang lebih rendah dari Barat yang memposisikan diri sebagai ”tuan”. Franz Fanon, Salah satu tokoh pembangun kajian Post Kolonial mengemukakan bahwa praktik kolonialisme barat biasanya didukung dengan teori-teori kebudayaan yang bersifat rasial.

Pada tahap awal bangsa penjajah (Barat) menganggap bangsa jajahan tidak mempunyai kebudayaan. Namun dalam proses selanjutnya Barat pun mengakui atas keberadaan kebudayaan bangsa terjajah, tapi tetap saja masih jauh dari apa saja yang ada di Barat.

Artinya kebudayaan yang ada di negara jajahan dipandang bersifat statis, tidak berkembang. Sehingga apa yang dilakukan Barat tidak lain menempatkan kebudayaan Timur berada pada strata yang paling bawah, sementara itu kebudayaan yang berasal dari barat (kolonial) menempati posisi atas dalam sebuah hirarki kebudayaan yang sengaja didesain untuk melegitimasi dominasi penjajah terhadap bangsa jajahannya.

Dan ironisnya, setelah kolonial kembali ke negara asalnya, negara jajahan yang telah menyatakan dirinya merdeka dari penjajah, tetap saja mewarisi cara pandang dan streotip yang ada dikembangkan Barat. Dengan kata lain, kesadaran Bangsa barat dalam memandang timur di pakai bangsa timur sendiri untuk memandang dirinya sendiri dan memandang Barat.

Akibatnya, anggapan bahwa kebudayaan Timur inferior dan Budaya batar superior tidak saja dipunyai barat saja, tapi anggapan itu juga terpatri dalam kognisi bangsa timur sendiri. Sehingga bangsa timur saat melihat realitas budayanya akan mengamini bahwa dirinya memang terbelakang dan harus diberadabkan dengan mengikuti semua yang berasal dari barat (modern). Selanjutnya sudah dapat ditebak, bahwa pemahaman bahwa kebudayaan barat adalah rujukan yang harus ditiru menjadi semakin mapan.
Agara tidak jadi bebek

Dari sinilah wacana yang mengaitkan pesantren tradisional dengan keterbelakangan dapat dilacak. Nalar modern yang disemai oleh bangasa kolonial telah menjadi kebenaran yang tertanam dalam alam bawah sadar kita sehingga menjadi Common sense (kebenaran Umum). Sehingga kita dengan serta merta, tanpa menelaah ulang, mengamini pemahaman itu, demikian juga kebanyakan kalangan pesantren. Sebuah pertunjukan kemenangan epistema modern tergelar didepan kita.

Ini pula yang mendasari mengapa kalangan pesantren sendiri mulai tidak ”betah”. Banyak pesantren yang tampil menjadi “lebih muda” untuk mengambil bagian dalam menyemarakkan arus modernisasi. Karena tidak ingin lagi diwacanakan sebagai lembaga pendidikan yang tertinggal, kuno, dan kolot.

Sisitem pendidikan modern mulai diterima di pesantren. Memang bentuk penerimaanya bermacam-macam. Mulai yang hanya mengambil sedikit sampai mengadobsi total sistem pendidikanya. Seperti halnya sistem sekolah dalam pesantren yang dikenal dengan nama Madrasah.

Maka sadar atau tidak sadar, konsep dan tradisi pendidikan terdisional yang telah mengakar dalam pesantren mulai ter(di)gusur dan dianggap tidak lagi relevan dengan zaman. Karena nalar modern tidak bisa menerima pembelajaran yang percaya pada barokah kiai. Proses belajar yang mengaggap penting tirakat dan puasa dalam memperoleh ilmu. Atau juga model pendidikan yang menekankan semangat pengabdian pada masyarakat, yang tidak meniatkan proses pembelajaranya untuk tujuan mengisi pos-pos pemerintahan dan industri. Yang semuanya itu merupakan bagian dari tradisi pendidikan pesantren yang juga mencerminkan kearifan yang tak dipedulkan modernitas.

Pendidikan pesantren pada prinsipnya berlandaskan kesederhanaan, kemandirian egaliterian dan semangat pengabdian. Tidak ada dualisme dalam paradigma keilmuanya, karena aspek nilai dan aspek pengetahuan diperoleh dalam satu tarikan nafas pembelajaran.

Semangat belajar yang tak kenal waktu juga merupakan ciri khas pesantren. Maka tak aneh jika kita menemukan santri yang sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun mengahbiskan waktu belajarnya di pesantren. Kemandirian santri dipupuk dengan mengharuskan santri mengurus sendiri keperluanya sendiri, mulai dari memasak makanan sampai mengatur waktu belajar.

Tradisi intelektual yang berkembang dalam pesantren juga sangat demokratis, seperti halnya Bahsul masail. Bahsul masail adalah sebuah forum yang diperuntukan untuk mencari kedudukan hukum dari masalah-masalah terjadi dalam msyarakat, beserta dasar hukumnya. Arena yang penuh dengan pertarungan argumen ini diikuti oleh berbagai kalangan dan melibatkan berbagai prespektif ilmu. Setiap peserta mempunyai kedudukan sama dalam forum ini, dengan demikian tidak ada lagi dikotomi antara kia dan santri, semuanya dipandang secara egaliter.Yang dilihat adalah argumen dan hujjah (dasar) argumen tersebut. Maka tidak aneh jika dalam forum sering terjadi situasi dimana seorang murid mengalahkan argumen dan hujjah guru, atau santri mengalahkan kiai.

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa pesantren kini berada di dunia yang berbeda dengan awal kehadiranya. Dan pesantren dituntun untuk merespon segala perubahan zaman agar tidak tergilas olehnya. Namun merespon perubahan bukan berarti harus kehilangan daya kritis dalam melihat realitas sosial dan budaya yang berkembang. Terlebih lagi menjadi maju bukan berarti harus menjadi ”barat”.

Menempatkan apapun yang dibawa modernitas dalam wilayah ”pasti baik” dan ”pasti lebih maju” dan sebaliknya, memandang sebelah mata pada budaya dan tradisi sendiri adalah sikap yang harus segera rubah. Bukan saja karena kini modernitas telah menunjukan kebangkrutanya, namun yang lebih penting agar kita tidak selalu menjadi ”bebek” dan terus menjadi bangsa yang terjajah.

Karena sikap membebek itu pada saatnya akan semakin menguatkan superioritas budaya Barat, dan pada giliranya kemudian akan meyeret kita pada sikap selalu bergantung pada apa yang di hasilkan oleh barat. Dan pada akhirnya, kita akan kehilangan kemerdekaan, baik sebagai diri maupun sebagai bangsa.

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.