Jumat, 13 Maret 2009

KAUM BORJUIS DAN KAUM PROLETARIAT; SOSIALISME DAN KEBEBASAN

‘Menunggu sampai sebuah partai beranggotakan setengah jumlah pemilih plus satu merupakan programnya jiwa-jiwa yang pengecut yang menanti datangnya sosialisme yang lahir dari titah raja dengan bantuan tanda tangan dua pendeta.’
(Gramsci dalam La città futura, 11 Februari 1917)

Bahkan dalam tulisan-tulisan paling awalnya, Gramsci menyatakan secara jelas bahwa kaum borjuis dan kaum proletariat merupakan dua tokoh utama dalam sejarah kontemporer. Ini bukan sekedar perkara dua kelas sosial, demikian dikatakannya, namun mengenai dua cara yang berbeda dalam memandang kehidupan dan mengorganisirnya, mengenai dua ‘peradaban.’ ‘Ini melibatkan tak kurang dan tak lebih,’ tulisnya dalam Il Grodo del Popolo pada tanggal 14 Oktober 1916, ‘selain dari pembangunan kembali sebuah peradaban. Peradaban kita, sebuah peradaban yang kita rayakan sampai dengan tahun 1914 dan yang kita warisi secara langsung dari Revolusi Prancis, telah diruntuhkan oleh gejolak perang besar di Eropa, sebuah kejadian yang setara dampaknya dengan revolusi tahun 1789. Ketika itu, berdirilah sistem yang borjuis. Namun. saat ini, sistem itu telah dihancurkan... Segenap nilai manusia, termasuk institusi moral dan legal dari dunia lama, telah dijungkirbalikkan, diprotoli dan dilemahkan secara tanpa bisa diperbaiki. Saat ini, adalah mendesak untuk memproklamirkan diri dan untuk mengimplementasikan sebuah tatanan baru, sebuah fondasi bagi kehidupan kewargaan (civil life).’ Sepanjang periode Perang Dunia Pertama, Gramsci secara tegas menekankan bahwa perang merupakan ‘sebuah konsekuensi dari sistem hak istimewa (system of privilege)’. Kaum borjuis merupakan kelas yang memiliki hak istimewa dan kapitalisme merupakan bentuk ekonomi yang didasarkan pada hak istimewa. Karena itu, perang merupakan ‘sebuah takdirnya borjuis’ (bourgeois fate), meski istilah tersebut bukanlah sebuah hukum yang berlaku secara mutlak. Kaum borjuis-lah yang memegang kekuasaan. Dialah yang memegang kekuatan untuk mempengaruhi Negara dan proses pengambilan keputusan. Selama situasi ini masih ada, maka situasi itu akan, bahkan pasti akan melahirkan politik kelas.

Sebelum fase revolusioner, kaum proletariat hanya bisa berjuang melawan kebijakan-kebijakan yang ada lewat usaha-usaha penggerogotan undang-undang yang ada, dan bukannya dengan mengumumkan undang-undang yang baru. Bahkan, kaum proletariat kadangkala harus bersedia menerima senjata yang diberikan oleh kaum borjuis kepaanya agar bisa merebut dan memperluas posisi-posisi kekuatannya, semua ini bisa tercapai berkat struktur liberal dari rezim borjuis. ‘Liberalisme adalah “sebuah perjuangan demi keadilan” dan “demi kepentingan kaum yang tertindas.” Liberalisme dipertentangkan dengan pembatasan-pembatasan terhadap pikiran. Liberalisme percaya bahwa ide-ide dan opini-opini diperbolehkan untuk saling berjuang di antara mereka, tentu saja dengan tanpa ada pengistimewaan tertentu. Liberalisme yakin akan jalan kemanusiaan dan perkembangannya, serta yakin bahwa krisis-krisis ekonomi tak lain dari sekedar penyeleksian kekacauan-kekacauan dan kekeliruan-kekeliruan yang muncul selama periode kemakmuran. Liberalisme paham bahwa kejahatan tak akan pernah unggul atas kebaikan dan bahwa cara terbaik untuk mengerahkan semua energi manusia ialah dengan memberikan kepada manusia kebebasan penuh untuk bertindak dan bertanggungjawab.’ Namun ternyata, dalam organisasi masyarakat yang borjuis, beberapa institusi –yang tentu saja juga berwatak borjuis- tidak berfungsi sebagaimana kemampuannya dan sebagaimana seharusnya, bahkan meski dalam kerangka batas-batas makna yang dilekatkan oleh kapitalisme padanya. Tugas kaum proletariat ialah ‘untuk terus menekan tatanan yang ada dalam rangka agar bisa memperbaharuinya dan menjadikannya lebih kondusif bagi proses produksi dan bagi peningkatan kemakmuran secara umum. Kaum proletariat harus memberikan tekanan sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok dan individu-individu borjuis, dengan aktivitas mereka yang sungguh-sungguh dalam kerangka kapitalis, bisa berhasil dalam menciptakan kondisi-kondisi kehidupan sosial yang secara mekanis maupun natural lebih kondusif bagi terciptanya pengalihan kekuasaan dari satu kelas ke kelas lain.’
Sejak awal, analisis Gramsci sangat koheren. Bagi Gramsci, Negara adalah ‘organisasi ekonomi dan politik dari kelas borjuis’. Bahkan, negara adalah kelas borjuis itu sendiri. Karena itu, dalam tubuh partai, tak boleh ada keinginan untuk menjalin kerjasama kelas dan penyelesaian konflik-konflik yang semata-mata bersifat formal karena semua ini hanya memperkuat dan melindungi mesin Negara. Jika sebuah partai ingin menjadi organ eksekutif dari kaum proletariat, maka partai tersebut harus bersikap keras pendiriannya secara luar biasa. Namun, ‘kekerasan pendirian ini tidak boleh menciptakan kelembaman’, akan tetapi mendorong yang lain untuk bergerak dan beraksi. Kaum proletariat tidak boleh mengakui kekuasaan eksekutif dari Pemerintah yang bersumber dari Parlemen, namun hanya boleh mengakui kekuasaan organisasi kelasnya sendiri karena hanya organisasi inilah, dan hanya organisasi ini saja, yang sanggup mewakili kepentingan-kepentingan dan cita-citanya. Dan konsep itu harus diperluas, harus diangkat ke atas dan bergerak melampaui batas-batas nasional agar bisa diidentifikasi hukum masyarakat secara umum dari setiap masyarakat manusia. Orang tak boleh mengabaikan keniscayaan historis yang muncul ‘secara niscaya sebagai konsekuensi dari kekuatan mesin, kuantitas barang, perluasan geografis dan kepadatan demografis Negara-negara’ dari rezim kapitalisme. Para negarawan borjuis pastilah akan bisa mengenali tanda-tanda tersebut, terutama saat mereka yakin bahwa kaum proletariat sungguh-sungguh telah siap bagi melakukan perebutan kekuasaan sosial, dan pengambilalihan industri besar dan hak milik atas tanah.
Gramsci telah memulai pembahasan politik yang mendasar selama kehidupannya pada masa-masa perang dan menyajikan kontras historis antara kaum borjuis dan kaum proletariat. Namun justru pada saat pasca-perang-lah, dia melanjutkan analisisnya dengan kejernihan dan ketajaman yang jauh lebih besar dalam kolom-kolom Avanti! dan yang terutama dalam L’Ordine Nuovo. Gramsci berkeyakinan bahwa dengan gerak perkembangan dirinya, kaum borjuis telah berhasil menciptakan persatuan nasional, namun kaum borjuis juga bertanggung jawab karena telah menimbulkan perang saudara yang sangat dicelanya, setidaknya dicelanya lewat kata-kata. ‘Karena perang saudara berarti sebuah perbenturan antara dua kekuatan bersenjata yang berselisih dengan pemerintahan Negara, maka perbenturan itu berlangsung tidak dalam sebuah medan terbuka antara dua tentara yang berseragam berbeda dan yang dilatih secara reguler, namun berlangsung tepat di jantung masyarakat’. Sebelum tahun 1859, kaum borjuis-lah yang berkepentingan terhadap persatuan nasional dari sudut pandang politik dan ekonomi. Enampuluh tahun kemudian, Italia masih berada dalam kondisi psikologis yang telah ada sejak tahun 1859, namun kini bukan lagi kaum borjuis yang memimpin dan memberi komado dalam perjuangan untuk mencapai persatuan nasional. ‘Saat ini, kelas “nasional” adalah kaum proletariat, himpunan besar dari kaum buruh dan kaum petani, dari masyarakat pekerja di Italia, yang tak akan membolehkan bangsa Italia terpecah-belah karena persatuan negara merupakan bentuk pengorganisasian proses produksi dan pertukaran yang dibangun oleh kaum buruh Italia. Kemakmuran sosial secara lestari dari generasi ke generasi, inilah yang ingin diciptakan oleh kaum proletariat dalam Komunis Internasional. Saat ini, hanya Negara proletariat, kediktatoran proletariat saja yang bisa menghentikan proses runtuhnya persatuan nasional karena Negara proletariat merupakan satu-satunya kekuasaan sejati yang bisa menjauhkan kaum borjuis yang mengejar kepentingannya sendiri dari perilaku mengganggu ketertiban umum dan memaksa kaum borjuis untuk bekerja jika kaum borjuis ingin makan.’
Dalam kasus ini, setiap pembedaan antara demokrasi dan kediktatoran menjadi semata-mata bersifat teoretis. Setiap rezim borjuis dicirikan oleh sebuah keseimbangan antara dua kekuatan politik yang besar, atau lebih tepatnya, antara dua partai parlementer yang mewakili kekuatan politik tersebut, yaitu partai kosenrvatif yang mewakili para pemilik tanah, dan partai demokratis yang mewakili pihak kapital industri. Namun, perbedaan ini tidak terlalu berarti karena tak peduli apakah Negara Italia itu merupakan sebuah negara polisi atau sebaliknya, sebuah negara demokratis dan liberal, ‘kelas buruh akan tetap dan masih tetap memiliki sebuah tugas tunggal, yaitu menggulingkannya’. Gramsci memperingatkan kaum proletariat akan satu bahaya, yaitu kehadiran kaum borjuis kecil di tengah-tengah mereka. Kecongkakan, ambisi global, ketidaktahuan bagaimana harus memahami secara pasti mana-mana yang merupakan kekuatan-kekuatan historis yang mendominasi kehidupan dunia, ketidaktahuan bagaimana memahami posisi dan fungsi mereka yang seharusnya, - semua itu merupakan faktor-faktor yang menyebabkan banyak buruh menjadi kaum borjuis kecil dan secara obyektif melemahkan kaum proletariat dalam perjuangannya. Dan mereka justru melemah pada saat ketika perjuangan memuncak dalam masa setelah perang, yaitu ketika kaum borjuis ‘telah menjadi semakin ganas dan patriotik dalam menyelamatkan hidup dan uangnya sendiri’.
Dalam Prison Notebooks, ada banyak peringatan yang bernilai yang diberikan mengenai kaum borjuis dan mengenai perjuangan kaum proletariat. (Sebagai misal, dalam karya Gli intellettuali e l’organizzazioe della cultura, Gramsci menulis, ‘Setelah terbentuknya kaum borjuis nasional dan setelah bangkitnya kapitalisme, dimulailah emigrasi masyarakat pekerja agar nilai surplus kapitalisme asing bisa meningkat. Jadi, kelemahan kelas yang berkuasa secara nasional selalu menghasilkan dampak yang negatif’. Dalam Note sul Machiavelli, ‘Berangkat dari sebuah kritik yang bersifat oligarkis dan tidak elitis terhadap rezim parlementer (kritik terhadap rezim ini muncul bukan karena alasan bahwa rasionalitas historis dari konsensus kuantitatif yang dicapai oleh rezim bisa secara sistematis digugurkan oleh pengaruh uang), kritik-kritik banal itu diperluas sehingga meliputi pula setiap sistem perwakilan, bahkan sistem perwakilan yang bukan parlementer dan yang dibentuk sesuai dengan ajaran-ajaran baku demokrasi formal’. Dalam sebuah catatan yang termuat dalam Letteratura e vita nazionale, dia menyebut, ‘Voltaire, lambang dari kebergantungan intelektual kepala-kepala keluarga borjuis yang terkenang akan masa-masa heroik dari liberalisme ala café’. Dan dalam Passato e presente, ‘Anda mengatakan anda sanggup membangun katedral-katedral, padahal anda hanya sanggup membangun loteng-loteng. Sungguh berbeda jauh dari Manifesto1 yang memuji-muji kebesaran dari kelas yang tengah sekarat’.)
Namun, referensi-referensi paling berharga mengenai perjuangan kelas tentu saja termuat dalam artikel-artikel kontroversial yang ditulis sebelum dia dipenjara, artikel-artikel yang berasal dari perjuangan politik sehari-hari dan yang muncul dalam kolom-kolom koran, seperti yang ditulis dalam tahun 1926 dan diterbitkan dalam L’Unità. ‘Dua kelas saling berhadap-hadapan satu sama lain saat ini: yaitu kaum proletariat dan kaum borjuis. Situasi saat ini ditentukan oleh perjuangan fundamental dari kedua kelas tersebut. Namun, tak satu pun dari kedua kelas itu yang berdiri sendiri: masing-masing memiliki sekutu-sekutu riil dan potensialnya. Kaum borjuis memiliki keunggulan karena dibantu oleh sekutu-sekutunya, karena dia memiliki sebuah sistem kekuatan yang dikontrol dan dipimpin olehnya. Kaum proletariat juga berjuang untuk merebut sekutu-sekutu itu dari kaum borjuis dan untuk menjadikan mereka sebagai kekuatan-kekuatan pendukung baginya. Konsentrasi Republikan2 merupakan ekspresi politik dari gerak bolak-balik dari kekuatan-kekuatan tengah, dari ketidakseimbangan yang laten dari kekuatan-kekuatan yang akan menentukan nasib dari duel historis di antara dua kelas fundamental. Jika kekuatan-kekuatan ini digerakkan secara en masse (secara serempak), jika berlangsung longsoran sosial dari strata tengah (intermediate strata) ke arah Republikan, kaum borjuis sebagai sebuah “kelas” akan dengan segera bergerak di atas landasan yang sama. Kaum borjuis akan menjadi Republikan selama 24 jam karena dia tak ingin berdiri sendiri, karena kelas borjuis paham bahwa hanya dengan gerakan ini, dia akan bisa melanggengkan posisi-posisi pentingnya... Jadi, (dan inilah intinya) di bawah kondisi-kondisi macam apakah longsoran strata menengah berlangsung? Hal itu hanya terjadi dalam momen kebangkitan kembali yang membahayakan dari energi-energi revolusioner, hanya terjadi jika kapitalisme terbukti tak sanggup memenuhi setiap kebutuhan esensial dari kehidupan nasional. Namun, kami percaya bahwa justru pada momen semacam itu, adalah perlu bagi kaum proletariat untuk bersatu secara politik dan ideologis sebagai sebuah kelas agar sanggup mengatasi problem-problem esensialnya, mengkoordinasikan solusi-solusi itu dengan solusi atas persoalan-persoalan nasional lainnya yang terkait dengan kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial yang akan berjuang di pihaknya. Dengan kata lain, kami tengah bekerja untuk mendirikan kekuasaan kaum proletariat dalam sebuah masyarakat Italia yang telah bertransformasi.’

Pada saat yang bersamaan dengan analisis yang dilakukannya terhadap isi kelas dari masyarakat borjuis, Gramsci melakukan penelitian paralel mengenai relasi niscaya antara sosialisme dan kebebasan, dan di sini pembahasannya menjadi kompleks. Tugas untuk menyingkapkan ideal kebebasan yang borjuis, untuk menunjukkan betapa ideal tersebut tidak valid secara absolut, namun hanya valid secara historis dan dalam artian kelas karena substansinya terletak dalam sebuah periode historis dan dalam sebuah kelas tertentu, merupakan tugas yang sukar dan sangat sulit. Dalam bahasan ini, Gramsci merasakan adanya kebutuhan untuk ‘memprovokasi’, untuk menyerang sistem-sistem dan klise-klise, untuk menciptakan keseimbangan antara kawan dan lawan. ‘Mempercepat kebangkitan masa depan memiliki arti dua hal. Yaitu berusaha agar hasrat akan masa depan ini meluas ke sebanyak mungkin individu yang dibutuhkan untuk bisa mewujudkan harapan itu menjadi kenyataan. Dan hal ini berarti sebuah gerak kemajuan secara kuantitaif. Atau yang lainnya, berhasil menjadikan hasrat akan masa depan itu menjadi sedemikian intens dalam minoritas yang ada, sehingga persamaan 1:1.000.000 menjadi mungkin. Dan hal ini berarti sebuah kemajuan kualitatif. Untuk menjadikan semangat tertempa kuat dan untuk memancarkan ribuan cahaya. Inilah yang harus dikerjakan...’ 3 Menunggu sampai sebuah partai beranggotakan setengah jumlah pemilih plus satu merupakan programnya jiwa-jiwa yang pengecut yang menanti datangnya sosialisme yang lahir dari titah raja dengan bantuan tanda tangan dua pendeta.’ ‘Provokasi-provokasi’ yang terus beranjut dalam prosa dan artikel-artikelnya juga ditujukan kepada para kameradnya, namun bukan dalam kerangka maksud untuk membingungkan, namun demi pemahaman dialektis atas kompleksitas realitas dan proses historis yang berakar mendalam pada kompleksitas realitas tersebut. Sebuah teladan dari hal ini ialah artikel terkenal, La rivoluzione contro il ‘Capitale’ yang diterbitkan pada tahun 1918 dalam Il Grido del Popolo. Dalam artikel ini, dia berargumen bahwa revolusi Bolsyewik telah berhasil mengungguli setiap teori Marxis di sebuah negara yang paling terbelakang dalam ekonomi dan industrinya. ‘Fakta-fakta telah mengubah ideologi. Fakta-fakta telah menghancurkan skema kritis yang harus dijalani oleh sejarah Rusia sesuai dengan ajaran-ajaran baku materialisme historis. Kaum Bolsyewik telah membantah Karl Marx dan dengan bukti aksi nyata dan keberhasilan penaklukan-penaklukan, mereka menyatakan bahwa ajaran-ajaran baku materialisme historis tidaklah sekokoh baja seperti yang seharusnya dan seperti yang dibayangkan.’ Dan bertentangan dengan segenap konsep kebebasan yang bersifat formal, Gramsci memuji-muji keteguhan prinsip dan kekuatan ‘yang merupakan wasit tertinggi dari konflik’. Kaum sosialis ingin mendirikan sebuah masyarakat baru, dan karena itu, mereka harus mensubordinasikan seluruh upaya dan pemikiran mereka kepada tujuan tersebut. Mereka harus menjadi lebih kuat agar bisa menang, kata Gramsci, dan dalam konteks ini, kedisiplinan partai, kekuatan kelas, dengan kata lain keteguhan pendirian menjadi senjata yang perlu, bahkan merupakan sebuah ‘keniscayaan demokratis’.
Agar bisa memahami secara pasti apa hubungan seharusnya antara sosialisme dan kebebasan, adalah perlu untuk memulai bahasan ini dari awal, dan membahas struktur negara, kaum borjuis, dan perjuangan kelas. Setiap undang-undang politik secara niscaya bergantung pada struktur ekonomi, pada bentuk-bentuk produksi dan pertukaran. Namun, oramg tidak boleh keliru dengan mempercayai bahwa hanya ada relasi tunggal antara premis (sturktur ekonomi) dan konsekuensi (undang-undang politik). Sejarah merupakan ‘gerak perkembangan bebas’, bukan ‘geometri yang telah terbentuk sebelumnya’, bukan ‘rancangan-rancangan yang telah jadi sebelumnya’. Kita tak boleh percaya pada otoritas, namun pada spontanitas dan kebebasan yang harus dipahami sebagai sebuah ‘cita-cita primordial’ dengan dasar bahwa ‘seluruh perjuangan manusia merupakan sebuah usaha dan sebuah kerja untuk merealisasikan institusi-institusi sosial yang menjamin kebebasan maksimal’. Di sisi lain, jelas bahwa kebebasan harus dan bisa dijamin oleh sebuah kediktatoran dalam melawan ‘serangan-serangan minoritas yang ingin memecah-mecah’. Namun, kediktatoran ini akan lenyap begitu kediktatoran itu telah memungkinkan terciptanya dan menguatnya institusi-institusi yang sanggup menjaga kebebasan. Bahkan, dan Gramsci menyatakan dengan kuat, sosialisme adalah kebebasan itu sendiri karena sosialisme merupakan ‘sebuah perkembangan tiada akhir dari sebuah rezim kebebasan yang diorganisir dan dikontrol oleh mayoritas warga negara atau oleh kaum proletariat’. Tanpa kebebasan, tak mungkin untuk menyatukan kesadaran karena ‘tangisan-tangisan kecil dari penderitaan individual akan menyatu dalam harmoni universal’. Gramsci muda telah menulis dalam sebuah catatan tahun 1916 bahwa kaum proletariat tak terpengaruh oleh prasangka-prasangka. Kaum proletariat akan menghimpun kebenaran dari negeri mana pun dan dari kelas mana pun. Namun, para penentang mereka juga akan berjuang demi apa yang mereka proklamirkan sebagai tuntutan-tuntutan keadilan, demi alasan-alasan moral dan ideal-ideal mereka. Dalam kasus ini, hanya kekuatan yang bisa memutuskan siapa di antara mereka yang benar. Inilah mengapa kaum proletariat harus mengorganisir kekuatan-kekuatannya sendiri, dan setelah kemenangan dicapai, tuntutan-tuntutan keadilannya akan diakui oleh setiap orang, bahkan oleh musuh-musuhnya.
Tentu saja, akan muncul problem kekuasaan yang sangat kompleks. Kaum buruh dan kaum petani menunjuk Partai Sosialis sebagai pemimpin politik mereka yang alamiah. Namun, ketika keduanya telah menjalankan disiplin partai, justru keduanya yang akan menjadi pemandu partai dengan aksi politik mereka cara untuk merebut kekuasaan, jalan menuju pemerintahan ‘yang didasarkan secara konstitusional bukan pada parlemen hasil pemilu, pada parlemen yang dipilih oleh kaum yang tereksploitasi dan yang mengeksploitasi, namun pada sebuah sistem dewan buruh dan petani yang menjadi perwujudan dari kekuasaan politik dan industrial pemerintah’. Gramsci menganggap bahwa problem fundamental partai ialah membangun ‘sebuah Negara yang berfungsi secara demokratis ke dalam, dengan kata lain yang menjamin kebebasan dan kemungkinan menjadi bagian pemerintahan proletarian dari semua tendensi anti-kapitalis, dan keluar sebagai sebuah mesin yang tak tergantikan yang akan menghancurkan organ-organ kekuasaan politik dan industrial dari kapitalisme’. Karena itu, Gramsci tampaknya percaya secara koheren pada gerak perkembangan bebas dari masyarakat sosialis dan kaum proletariat, sementara pada saat yang bersaman, Gramsci menyangkal setiap validitas institusi-institusi perwakilan dan apa yang disebut sebagai demokrasi borjuis. ‘Dewan parlemen,’ tulisnya dalam sebuah artikel dalam L’Ordine Nuovo tahun 1920, ‘merupakan bentuk asosiasi yang memiliki hubungan dengan Negara dan didasarkan pada distrik teritorial. Dewan parlemen merupakan kelanjutan dari organsiasi penduduk barbar yang mengekspresikan kedaulatan mereka dengan cara membuang senjata-senjata mereka ke tanah dan mengekspresikannya dengan cara menggonggong. Psikologi dari dewan-dewan parlemen politik yang menjadi lembaga pengekspresi kedaulatan dalam rezim-rezim yang demokratis adalah “psikologi kerumunan” (crowd psychology), yaitu diutamakannya instink-instink kebinatangan dan ketiadaan tanggung jawab secara mutlak terhadap rasionalitas dan spiritualitas.’ Komunisme merupakan ‘humanisme integral’ karena komunisme mempelajari kekuatan-kekuatan historis yang bersifat ekonomi dan spiritual, dan mempelajari proses dialektis yang menyatukan dan mengembangkan kekuatan-kekuatan tersebut. Namun, ‘kami sangat yakin bahwa kelas buruh hanya akan bisa mencapai kebebasannya dengan melewati sebuah periode “kediktatoran”, periode paksaan, periode-nya Negara Buruh’. Di luar itu, kelas buruh merupakan satu-satunya kekuatan yang sanggup menghancurkan kapitalisme dan menjamin kebebasan dan perkembangan manusia. Dengan tercapainya emansipasi ini, maka pada saat yang bersamaan tercapai pula kebebasan dari semua kelas sosial dari tirani kapitalisme.
Menjadi jelas bahwa Gramsci harus pula menjelaskan secra alebih panjang lebar lagi problem relasi antara sosialisme dan kebebasan dalam artikel-artikelnya sebagai seorang militan politik, namun terdapat dua catatan yang bernilai sangat penting dalam Prison Notebooks yang berharga untuk diketahui dan dipelajari. Dalam sebuah halaman dari Passato e presente yang berjudul Organic Centralism, Democratic Centralism, Discipline, Gramsci memulai bahasannya dengan mengajukan pertanyaan bagaimana disiplin itu harus dipahami. Gramsci mendefinisikan istilah tersebut sebagai ‘sebuah relasi yang kontinu dan permanen antara para pemimpin dan yang dipimpin yang menghasilkan sebuah kehendak bersama’. Dan dia menjawab, ‘Tentu saja tidak sebagai penerimaan secara pasif dan pasrah pada tatanan-tatanan yang ada, atau sebagai pelaksanaan mekanis dari sebuah tugas (meski hal ini memang masih perlu dilakukan dalam beberapa kesempatan, sebagai misal di tengah-tengah sebuah aksi yang telah ditetapkan dan dijalankan), namun sebagai pengasimilasian secara sadar dan tegas dari arahan yang dicapai. Karena itu, disiplin tidak boleh membatalkan kepribadian dalam artian organisnya, namun hanya membatasi kebebasan dan sifat impulsif yang tak bertanggung jawab, dan terutama membatasi upaya kesombongan yang dungu dalam memimpin... Karena itu, disiplin tidak boleh menegasi kepribadian dan kebebasan; persoalan “kepribadian dan kebebasan” berakar bukan pada fakta keharusan untuk menegakkan disiplin itu sendiri, namun dari keharusan sumber kekuasaan yang menegakkan disiplin tersebut. Jika sumber kekuasaan itu “bersifat demokratis”, yaitu jika otoritas merupakan sebuah fungsi teknis yang khusus dan bukan merupakan “kesewenang-wenangan” atau sebuah pemaksaan oleh pihak luar dan bersifat permukaan saja, maka disiplin merupakan sebuah elemen niscaya dari tatanan yang demokratis, dari kebebasan.’
Gramsci menunjukkan dalam sebuah tulisan yang tak lazim dari karya Materialismo storico e la filosofia di Benedetto Croce bahwa sosialisme merupakan kebebasan, kebebasan absolut melawan setiap dogma, terhadap setiap kebenaran yang dikatakan, dan terhadap setiap skema yang telah mapan. Marxisme, kata Gramsci, menunjukkan bagaimana setiap teori bersumber dari sebuah situasi sosial dan ekonomi tertentu. Namun, jika pernyataan ini benar, maka kita juga harus menerapkan standar baku yang sama terhadap Marxisme dan percaya bahwa bahkan Marxisme bukanlah teori ‘paling akhir’ karena gagasan itu juga harus terkait dengan konteks sebuah struktur masyarakat sosialis atau komunis. ‘Meski filsafat praksis4 menyatakan secara teoretis bahwa setiap “kebenaran” yang dipercayai bersifat abadi dan absolut bersumber dari hal yang praktis dan bernilai “transisi” (merupakan proses kesejarahan dari setiap konsepsi dunia dan kehidupan), namun sangat sulit untuk memahami “secara praktis” bahwa interpretasi semacam itu juga bernilai valid bagi filsafat praksis itu sendiri tanpa harus menggoyahkan anggapan-anggapan yang bernilai perlu bagi sebuah aksi.’ Bahkan, orang bisa memperluas pernyataan ini sejauh mungkin sehingga percaya bahwa dalam sebuah masyarakat komunis di masa depan, Marxisme mungkin akan lenyap dan membiarkan medan historis saat itu untuk diisi oleh konsepsi-konsepsi keagamaan atau idealistik yang menemukan kebebasan dan kemerdekaan sejati mereka terwujud dalam semua fasenya dalam dunia dan masyarakat saat itu. ‘Harus dikatakan juga bahwa transisi dari tahap keniscyaan ke tahap kebebasan berlangsung bagi masyarakat manusia, dan bukan bagi alam (meskipun kebebasan masyarakat manusia itu mungkin memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap persepsi kita terhadap alam, terhadap pandangan-pandangan saintifik dsb.). Orang mungkin pada akhrinya akan membenarkan bahwa sementara seluruh sistem filsafat praksis bisa menjadi bersifat transisi dalam sebuah dunia yang bersatu, namun banyak konsepsi idealistik, atau paling tidak beberapa aspek darinya, yang bersifat utopian selama periode keniscayaan, malah akan menjadi “kebenaran” seusai rampungnya tahap transisi.”

Bookmark & Share:

0 komentar:

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.