Jumat, 13 Maret 2009

PERJUANGAN POLITIK: PARTAI, PERSATUAN GERAKAN KELAS BURUH DAN PENGAMBILALIHAN KEKUASAAN

‘Partai kita bukanlah sebuah partai yang demokratis, paling tidak dalam artian yang tradisional yang biasanya dilekatkan pada kata tersebut.’
(Gramsci, Mei 1925)

‘Partai Sosialis berbeda secara fundamental dari partai-partai politik lainnya. Partai Sosialis bukanlah sebuah partai dalam artian organis dan klasik dari kata tersebut. Partai-partai politik pada umumnya adalah juru bicara dari kelompok-kelompok sosial, bukan dari sebuah kelas. Hanya dalam keseluruhannya, partai-partai politik itu merepresentasikan sebuah kelas yang memiliki organ eksekutifnya dalam Negara. Sedangkan, Partai Sosialis adalah anti-Negara, bukan sebuah partai. Kelompok-kelompok borjuis ingin mengubah Negara secara setengah-setengah melalui partai-partai mereka, dan lebih mengarahkan Negara ke satu arah tertentu ketimbang ke arah yang lain. Sedangkan Partai Sosialis ingin membentuk kembali Negara, dan bukan ingin memperbaikinya. Partai Sosialis ingin mengubah segenap nilai-nilai Negara. Partai Sosialis ingin melakukan re-organisasi Negara, mendasarkan Negara pada kekuatan-kekuatan sosial dan prinsip-prinsip etis yang sama sekali berbeda dari yang ada.’


Gramsci menulis hal ini dalam Il Grido del Popolo pada tanggal 2 Maret 1918, beberapa bulan sebelum akhir Perang Dunia Pertama. Pada saat itu, dia telah menjadi seorang jurnalis selama beberapa tahun dan sudah tiba saatnya baginya untuk mengembangkan dan merefleksikan sejumlah tema fundamental dari gerak langkahnya. Sejak awal, salah satu tema fundamental itu ialah tema mengenai partai – yaitu mengenai demokrasi kaum buruh, birokrasi, sentralisme, pengkultusan individu... Sebuah tema besar yang dianggap terpenting oleh Gramsci. Dalam perjuangan untuk mengambilalih kekuasaan, kekuatan dari sebuah kelas sosial, kata Gramsci, direpresentasikan oleh partai, yang merupakan ‘elaborator atas bentuk-bentuk dan cara-cara yang memungkinkan kelas untuk mencapai kemenangannya’. Jika partai betul-betul ingin menjadi seperti seharusnya partai yang sanggup mengambilalih kekuasaan, maka partai itu ‘pada saat yang bersamaan harus menjadi kelas di atas landasan ekonomi’; pada saat yang bersamaan, partai itu harus menjaga agar dirinya tidak mengalami chaos dan berubah-ubah secara terus-menerus. Partai itu juga harus tahu bagaimana tetap menjadi otonom dan memiliki kekhasan. Partai itu harus tahu bagaimana ‘menegaskan kepribadiannya yang unik.’
Partai adalah massa. Adalah keliru untuk percaya bahwa partai dan rakyat adalah dua hal yang berbeda; adalah keliru untuk mempercayai bahwa tak perlu untuk mendidik massa secara politik hanya karena dominasi kaum borjuis menghalangi hal tersebut. Sama pula, adalah keliru untuk berpandangan bahwa perlu untuk melangkah secara cepat ke fase revolusioner dan untuk merebut kekuasaan atas dasar kepercayaan bahwa hanya dengan begitu, setelah kekuasaan berhasil direbut, menjadi mungkin untuk mencapai sebuah kerja pendidikan politik yang luas dan mendalam. ‘Karena itu, Leonetti1 berbicara tentang “kita” dan “rakyat” seolah-olah keduanya adalah entitas yang terpisah: dimana kita (siapakah dia?) sebagai partai aksi, dan rakyat sebagai sebuah kawanan kaum buta dan bodoh. Dan dia mengartikan partai aksi bukan seperti partai aksi saat ini -yang terbentuk oleh perjuangan politik modern yang melibatkan propaganda dan dimana di dalamnya ada begitu banyak pihak yang terlibat-, namun seperti yang dipahami oleh carbonari pada tahun 1848, yaitu sebagai perbenturan sosial antara empat konspirator melawan empat polisi yang berseragam yang bisa menghasut emosi massa.’ Mengorganisir massa dalam jumlah besar sendiri memunculkan problem-problem lain: ‘Bisa ditegaskan bahwa organisasi akan menjadi sebuah perintang bagi masa depan sosialis manakala organisasi tersebut menjadi tujuan-dalam-dirinya-sendiri, manakala organisasi tersebut tersusun dari sempalan-sempalan kelas yang masing-masing memiliki semangat korporatismenya sendiri, atau yang lebih buruk memiliki arah yang berbeda-beda. Ada banyak contoh mengenai hal ini seperti yang sudah banyak diketahui.’ Jadi, tugas besar dari para pemimpin sebuah partai masih tetap ialah untuk menjaga agar organisasi tidak menjadi sebuah tujuan-dalam-dirinya-sendiri, dan yang terutama tidak melemahkan atau membengkokkan motif revolusioner dari kelas yang terorganisir. Tak ada satu tujuan politik yang boleh diabaikan, tak boleh ada satu pun tugas kolektif yang harus diubah: ‘Partai Sosialis tak boleh eksis jika tidak sepenuhnya menjalankan segenap tugas-tugasnya, jika tidak menegaskan diri sepenuhnya dalam semua aktivitasnya yang kompleks dan beragam itu.’
Partai Sosialis menjadi sebuah instrumen bagi demokrasi proletarian dan dalam artian ini, partai tersebut bisa didefinisikan sebagai ‘teladan’. Partai ini sungguh merupakan model bagi sebuah masyarakat yang secara sukarela menjalankan kedisiplinan dan yang melakukan hal tersebut di atas kesadaran utuh akan arti penting kedisiplinan. Masyarakat komunis hanya akan bisa dibangun melalui sebuah gerakan massa secara besar-besaran melalui organ-organ perjuangan mereka, dan yang terutama lewat partai: ‘Partai Sosialis jelas merupakan “agen” paling penting dari proses disintegrasi dan rekonstruksi masyarakat ini menjadi masyarakat komunis, namun Partai bukanlah dan tak boleh dipandang sebagai perwujudan dari proses pembentukan masyarakat komunis, sebagai sebuah wujud dari masyarakat komunis itu sendiri yang bentuknya elastis dan bisa dibentuk sesuai dengan tingkah polah para pemimpin Partai. Tujuan partai ialah untuk mengakhiri rezim ekonomi musuh, merebut basis alamiah dari konsensus demokratis Negara borjuis, dan untuk menjadikan massa paham bahwa kegelisahan mereka bukanlah tanpa validitas sosial, namun merupakan ‘sebuah keniscayaan obyektif’, ‘momen tak terelakkan dari sebuah proses dialektis yang pasti mengarah kepada sebuah peruntuhan bangunan sosial secara penuh kekerasan dan kepada sebuah pembangunan kembali masyarakat.’ Aksi yang harus dikerjakan sungguh besar dan tugas historis yang harus dijalankan banyak sekali, namun hanya dengan cara inilah, partai boleh berharap akan bisa menyatu dengan kesadaran historis dari kaum proletariat dan bisa memimpin gerakan revolusioner tersebut.
Meski begitu, semua itu barulah sebuah fungsi negatif. Namun, hanya dari momen negatif itu, fase pekerjaan yang paling rumit, yaitu fase positif, bermula: ‘Konsepsi-konsepsi yang disebarluaskan oleh partai bergerak secara otonom dalam kesadaran individu dan dalam konfigurasi-konfigurasi sosial yang baru muncul seiring dengan konsepsi-konsepsi ini. Konsepsi-konsepsi ini memunculkan institusi-institusinya sendiri yang berfungsi sesuai dengan hukum-hukum internalnya dan menjadi instrumen-instrumen embrionik dari kekuasaan dimana di dalamnya massa bisa menjalankan pemerintahannya, dimana di dalamnya massa menjadi sadar akan tanggung jawab historisnya dan akan misi pokoknya untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi mekarnya komunisme.’ Gerakan ini adalah gerakan oleh massa dan hanya bisa dilakukan oleh massa. Tanpa partisipasi massa, perjuangan politik dari partai tak akan dan tak bisa berarti. Walau begitu, ‘partai harus tetap menjadi hirarki lapis atas dari gerakan massa yang luar biasa ini. Partai akan menjalankan kediktatorannya secara paling efektif karena wibawa yang mereka miliki, karena penerimaan secara spontan dan sadar akan otoritas partai merupakan sesuatu yang tak terelakkan bagi keberhasilan perjuangan yang sedang dijalankan’. Namun, di sinilah ancaman bahaya terbesar bagi revolusi proletarian, yaitu ancaman bahaya yang ada secara imanen dalam struktur hirarkis dari instrumen politik organisasi dan perjuangan, yaitu bahwa di dalam tubuh partai, berkembang konsepsi kekuasaan yang bersifat birokratis, mandegnya gerak perjuangan di pucuk organisasi perjuangan, mandegnya proses-proses dan tujuan-tujuan perjuangan. ‘Semoga saja tidak terjadi bahwa karena dilandasi oleh konsepsi yang sektarian terhadap fungsi partai dalam revolusi, orang lalu berkecenderungan untuk membangun hirarki, membekukan aparatus massa yang dinamis menjadi bentuk-bentuk mekanis dari kekuasaan langsung, dan membatasi proses revolusioner sebatas internal partai. Meski orang memang bisa mengubah sebagian dari umat manusia, orang memang bisa berhasil “mendominasi” sejarah, namun proses revolusioner yang sejati akan sanggup menghindar dari kontrol dan pengaruh partai yang secara tak sadar telah menjadi sebuah organ pelestarian tatanan yang lama.’
Ancaman bahaya terbesar lainnya yang harus dihindarkan oleh partai ialah bahaya membatasi diri semata-mata dalam perjuangan merebut kursi di parlemen, menjadi ‘sekedar sebuah partai parlementer dalam demokrasi borjuis, yang hanya peduli dengan pernyataan-pernyataan politik yang superfisial dari kasta yang berkuasa.’ Karena itu, adalah perlu bagi partai untuk paham bagaimana mengubah dirinya sendiri, untuk tahu bagaimana mengembangkan sebuah kepribadian politik yang tegas dan berbeda, dan tahu bagaimana menjadi ‘partai dari kaum proletariat revolusioner yang berjuang demi kebangkitan masyarakat komunis melalui Negara Buruh, menjadi sebuah partai yang kohesif dan homogen yang memiliki doktrin-doktrinnya sendiri, taktik-taktiknya sendiri, dan memiliki kedisiplinan yang kokoh dan tak tertandingi.’ Sebuah perjuangan yang menentukan juga harus dilakukan dalam tubuh partai untuk mengeliminasi segenap kaum reformis, para peragu, para pengkhianat sosial, kaum faksionalis, dan semua yang meremehkan keutuhan, persatuan dan kekuatan partai: ‘Mereka yang bukan kaum komunis yang revolusioner harus dieliminasi dari partai. Kepemimpinan partai harus bebas dari kesibukan menjaga persatuan dan keseimbangan di antara tendensi-tendensi yang berbeda dan beragam pemimpin dalam tubuh partai. Kepemimpinan partai harus mengarahkan segenap energinya untuk mereorganisasi kekuatan-kekuatan kelas buruh dalam situasi perang.’
Bagaimana mungkin partai bisa mempertahankan dinamika revolusionernya, menghindarkan dirinya dari tugas-tugas fundamental perjuangan politik, dan untuk selalu secara terus-menerus mendengar suara dan menginterpretasikan kehendak massa? Termasuk dalam tugas ini tentu saja ialah terus mempertahankan kontak dengan cabang-cabang partai. Partai haruslah ‘menjadi kekuatan penggerak dari aksi proletarian dalam segenap aspeknya’. Namun, apakah sudah cukup hanya dengan mengeliminasi semua bahaya birokratisasi, semua bahaya involusi? Dan apakah hubungan antara massa dan partai itu bersifat sederhana atau kompleks? Apakah arti dari ‘demokrasi’ dalam tubuh partai atau apakah yang mungkin menjadi artinya? Sebagai misal, para buruh kadangkala perlu diundang untuk memberikan suara dalam sebuah referendum. Namun, metode ini ‘terlalu demokratis dan anti-revolusioner. Metode itu malah memperkuat massa cair dari masyarakat dan melemahkan garda depan yang bertugas membimbing massa dan menanamkan kesadaran politik ke dalam diri massa.’ Kaum sosialis memang tak lagi harus percaya, seperti halnya kepercayaan Marx atas kelas buruh pada masanya, bahwa massa itu tak lebih dari segerombolan manusia yang seragam kesadarannya. Menurut Gramsci, meski telah berlangsung penyebarluasan kesadaran kelas, namun tetap bisa dikatakan bahwa sebuah aksi revolusioner hanya bisa dipimpin oleh sebuah garda depan revolusioner, oleh sebuah elit kekuasaan yang siap dan sadar. ‘Para pemimpin gerakan kelas buruh harus mendasarkan diri mereka pada “massa”. Dengan kata lain, mereka harus meminta kesepakatan terlebih dahulu dari massa untuk setiap aksinya, dan bermusyawarah dalam bentuk-bentuk dan waktu-waktu yang mereka pilih. Namun, sebuah gerakan revolusioner tetap harus didasarkan pada garda depan proletarian, dan harus dipimpin tanpa harus terlebih dahulu bermusyawarah, tanpa harus membentuk sebuah aparatus dewan perwakilan buruh. Revolusi tak berbeda dengan perang, dan karena itu harus dipersiapkan secara seksama oleh sebuah komando tertinggi kaum buruh, sebagaimana halnya perang dipersiapkan oleh komando tertinggi angkatan bersenjata. Dewan perwakilan buruh hanya bisa meratifikasi apa-apa yang telah terjadi, memberikan pujian atas keberhasilan, dan menghukum kegagalan-kegagalan yang tak bisa dimaafkan.’ Revolusi tak pernah boleh diputuskan oleh massa, tak boleh merupakan hasil keputusan dewan perwakilan buruh atau merupakan kehendak dari sebuah referendum umum karena ‘tak ada gerakan revolusioner yang akan dihasilkan oleh sebuah dewan nasional kaum buruh’. Revolusi hanya bisa diharapkan dari, diputuskan oleh dan dipimpin oleh sebuah minoritas yang sangat siap dan sadar, yang harus memberikan penjelasan kepada massa atas perilakunya, dan yang tak boleh kehilangan kontak dengan massa. Jika tidak, revolusi itu akan mengalami kekalahan politik yang tak akan bisa dipulihkan kembali. Tentu saja, ‘menjadi tugas garda depan kaum proletarian untuk menjaga semangat revolusioner yang terus bangkit dalam diri massa, untuk menciptakan kondisi-kondisi dimana massa siap beraksi, dimana massa bisa merespon secara cepat slogan-slogan revolusioner’. Tanpa organisasi politik partai, kelas buruh tak akan pernah bisa memetik buah dari keruntuhan dan disintegrasi Negara borjuis.
Partai Sosialis sendiri tak akan pernah cocok untuk tugas-tugas tersebut, kata Gramsci, karena ‘di dalam dirinya berlangsung kontradiksi yang sama dengan kontradiksi yang menghancurkan Negara borjuis sampai berkeping-keping’. Karena itulah, kehadiran sebuah Partai Komunis yang kuat dan ‘sangat tersentralisir’ merupakan keniscayaan. Partai Komunis itu harus melawan paham reformisme dari para pemimpin serikat buruh dan Partai Sosialis, menentang kecenderungan para pemimpin serikat buruh dan Partai Sosialis itu untuk menjadi independen dari massa: ‘Para pejabat yang reformis akan memandang rendah massa buruh, persis sebagaimana halnya orang-orang mandarin yang berasal dari lapisan atas, mereka yang berasal-usul dari istana kerajaan Cina, akan merendahkan rakyatnya yang bdooh, kotor dan penuh takhyul.’ Para buruh sendiri beresiko dilemahkan oleh partai Sosialis dan oleh serikat buruh, dan beresiko diperintah oleh mesin birokratis yang jauh lebih kuat dan lebih kejam daripada para buruh, yang mengabaikan, melupakan, merendahkan atau mengkhianati para buruh: ‘Satu-satunya garansi terhadap kebebasan dan keamanan bagi para buruh, satu-satunya garansi bahwa para pejabat tak akan menjadi seperti halnya orang-orang mandarin ialah kontrol oleh Partai Komunis, yang telah terbukti tahu bagaimana menerapkan disiplin kepada para anggotanya dan yang tidak takut untuk mengusir “orang-orang yang berkuasa”. Pejabat Komunis dikontrol oleh seluruh organisasi Partai Komunis, oleh cabang federasi provinsi, oleh Komite Eksekutif Nasional, oleh Komite Eksekutif Internasional. Pejabat Komunis tak boleh menjadi seorang mandarin, atau seorang penguasa massa, namun harus menjadi seorang tentara yang berdisiplin demi kepentingan buruh, demi revolusi dunia’.
Semua refleksi ini diambil dari artikel-artikel dan dokumen-dokumen yang ditulis oleh Gramsci antara tahun 1915 dan 1921, dan karena itu, refleksi-refleksi itu dipengaruhi secara langsung oleh perjuangan politik yang kadangkala sangat pahit yang membelah kaum komunis dari kaum sosialis. Gramsci kemudian memiliki kesempatan untuk mengkaji ulang aspek-aspek positif dan negatif dari aktivitas yang dilakukan dalam tahun-tahun tersebut. Dia melakukannya dengan sifat berapi-api dialektisnya yang biasa dalam sebuah surat yang ditulis dari Wina pada tanggal 9 Februari 1924. Keterlibatan massa dalam partai, katanya, telah menjadi minimal. Berbagai cara dilakukan untuk merintangi partisipasi massa, ‘partai tidak dipandang sebagai hasil dari sebuah proses dialektis dimana di dalamnya gerakan spontan dari massa yang revolusioner, organisasi dan kehendak pengarah menyatukan diri. Namun partai dipandang sebagai sesuatu yang agak menggelikan, yaitu sebagai sesuatu yang berkembang dalam dirinya sendiri dan demi dirinya sendiri. Partai dipandang sebagai sesuatu yang harus dipatuhi oleh massa ketika situasi sedang bagus dan gelombang revolusioner tengah mencapai puncaknya, atau jika tidak, ketika pimpinan pusat partai menganggap perlu untuk memulai sebuah serangan ofensif dan karena itu, harus mendekatkan diri kepada massa untuk menstimulus dan menggerakkan massa agar beraksi.’ Partai merupakan sebuah organisme yang rapuh, yang aktivitas-aktivitasnya, yang mekanisme-mekanismenya bisa macet sewaktu-waktu atau menjadi sesuatu yang lain dari yang seharusnya. ‘Sesungguhnya, secara historis sebuah partai tak akan pernah bisa didefinisikan sepenuhnya dan memang tak akan pernah bisa. Hal ini karena partai hanya akan bisa didefinisikan sepenuhnya ketika partai telah menjadi seluruh masyarakat, yaitu ketika partai telah tak ada lagi. Sebelum partai lenyap, yang merupakan tujuan tertinggi dari perealisasian komunisme, partai akan mengalami serangkaian fase temporer dan akan menyerap elemen-elemen baru satu demi satu dengan dua cara yang layak secara historis: yaitu melalui penggabungan individu-individu atau melalui penggabungan kelompok-kelompok, baik kecil atau besar.’
Gramsci juga telah menulis karya yang tajam mengenai partai sebagai ‘Pangeran Modern’ dalam salah satu tulisannya dalam Prison Notebooks: Note sul Machiavelli, sulla politica e sullo stato moderno. Dalam karya ini, dia menyajikan serangkaian hasil pengamatan yang penting. Yang terutama ialah dalam 30 halaman pertama buku tersebut, yang merupakan himpunan dari catatan-catatan yang berserakan dan bahkan saling kontradiksi. Dalam karya itu, pangeran modern dipandang sebagai sebuah organisasi politik: ‘Pangeran modern, pangeran mitos, tak mungkin merupakan seorang person, seorang individu kongkret. Pangeran tersebut hanya sebuah organisme, sebuah elemen kompleks dari masyarakat yang merupakan permulaan kristalisasi dari sebuah kehendak kolektif yang dimiliki bersama, dimana sebagian kehendak kolektif ini terwujud dalam tindakan. Perkembangan historis menjadikan organisme ini sebagai partai politik: pertama sebagai sel yang mengandung beberapa benih dari sebuah kehendak kolektif yang akan menjadi universal dan bersifat total.’ Gramsci juga membahas beberapa kecenderungan dari filsafat kontemporer: ‘Konsepsi Croce mengenai passi-politik mengecualikan partai karena orang tak akan bisa membayangkan adanya sebuah “passi” yang bersifat permanen dan terorganisir’. Gramsci juga melakukan refleksi terhadap jenis politik kelas yang harus diterapkan: ‘Dalam membentuk kepemimpinan, premis berikut bersifat fundamental: apakah orang ingin agar selalu ada yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin, ataukah apakah orang lebih ingin untuk menciptakan kondisi-kondisi dimana kebutuhan akan pembedaan antara pemimpin dan yang dipimpin ini lenyap?’ Gramsci sadar akan kompleksitas dari problem-problem yang ada dalam konteks ini: ‘Ketika seseorang ingin menulis sejarah dari sebuah partai politik, adalah perlu dalam proses penulisannya untuk mengkonfrontasikan keseluruhan problem yang ada, yang sesungguhnya jauh lebih sederhana dari yang dipikirkan’, dan Gramsci memberikan sebuah analisis mengenai metode perjuangan politik: ‘Bisa dikatakan bahwa sebuah partai tak akan bisa dihancurkan dengan cara-cara normal’. Dia juga membuat pengamatan ‘yang menantang’ untuk memperlihatkan bagian dari realitas yang pada saat itu masih belum diketahui dan sengaja diabaikan: ‘Adalah tak mudah untuk mengabaikan kemungkinan bahwa setiap partai politik (apakah kelompok yang mendominasi, atau bahkan kelompok yang tertindas) akan juga memainkan peran polisi, yaitu untuk melindungi tatanan hukum dan politik tertentu’. Gramsci menarik kesimpulan bahwa setiap kelas direpresentasikan oleh satu dan hanya satu partai saja. ‘Kebenaran teoretis bahwa setiap kelas memiliki sebuah partai tunggal ditunjukkan oleh fakta bahwa pada saat-saat peralihan yang menentukan, beragam pengelompokan, yang masing-masing menampilkan dirinya sebagai sebuah partai “independen”, bersatu kembali dan membentuk sebuah blok. Kemajemukan yang ada sebelumnya hanyalah bersifat “reformis”, yaitu hanya berkaitan dengan perkara-perkara parsial’. Gramsci juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang signifikan: ‘Apakah aksi politik (dalam artian ketat) menjadi konsep yang perlu untuk menjelaskan sebuah ‘partai politik”?’; dan lebih jauh lagi: ‘Kapan sebuah partai menjadi “perlu” secara historis?’
Namun, tulisan-tulisan yang menurut penilaian kita lebih penting lagi ialah tulisan-tulisan yang termuat dalam Passato e presente, bahkan meski tulisan-tulisan tersebut bersifat fragmenter dan lebih penuh improvisasi: ‘Partai, yang merupakan sebuah embrio bagi struktur Negara, tak akan membiarkan kekuatan-kekuatan politiknya terbagi-bagi. Partai tak akan membiarkan sebagian anggotanya menuntut kesetaraan hak-hak untuk bisa membangun sekutu-sekutu di luar “partai” persis sebagaimana halnya dengan sebuah Negara tak akan membolehkan beberapa rakyatnya untuk membuat sebuah kontrak dengan kekuasaan asing dan di luar hukum bersama secara setara dengan Negara mereka sendiri... Partai-partai politik sesungguhnya tak lain dari tatanama kelas... Partai bukanlah sekedar ekspresi pasif dan mekanis dari kelas-kelas itu sendiri, namun gerak reaksi kuat terhadap kelas-kelas, perkembangan kelas, penggumpalan kelas, universalisasi kelas... Kelas-kelas mengekspresikan partai-partai, partai-partai menghasilkan individu-individu yang duduk dalam Negara dan pemerintahan, para pemimpin civil society dan masyarakat politik... Tak akan mungkin ter pemimpin-pemimpin manakala tak ada kerja doktriner dan teoretis dari partai-partai yang dijalankan.’
Meski demikian, menurut kami, halaman-halaman tulisan Gramsci dalam Prison Notebooks di atas secara umum telah menjadi terlalu dilebih-lebihkan arti pentingnya oleh para pembaca. Kalimat-kalimat di atas memang mengandung hasil-hasil pengamatan yang sangat tajam dan juga penting untuk memahami pemikiran Gramsci mengenai esensi dan fungsi partai. Namun, tak diragukan bahwa catatan-catatan yang bernilai fundamental ialah yang mengenai tema politisi dalam perjuangan aktif, yang ditulis selama periode pembangunan dan pengorganisasian kelas buruh di bawah kepemimpinan dan arahan Gramsci. Iklim politik dan moral pada tahun-tahun tersebut memungkinkan Gramsci untuk mengembangkan penelitiannya dan untuk melanjutkan sebuah bahasan yang semakin lebih dalam lagi, untuk menganalisa tumpukan data yang begitu berlimpah dan untuk mensintesiskan secara kualitatif berbagai hasil pengamatan. Tulisan-tulisan Gramsci, sejak dari tahun-tahun keterlibatannya dalam perjuangan secara aktif sampai dengan saat dia dipenjara, tak diragukan mengandung hasil-hasil pengamatan yang bersifat mendasar, dan menjadi tahap-tahap menentukan dalam pemikirannya di bidang ini karena disemangati oleh gerak pertarungan yang berlangsung hari demi hari.
Penilain ini ditegaskan oleh sebuah dokumen fundamental yang ditulis pada bulan Mei 1925: ‘Partai kita,’ tulis Gramsci dengan penuh wawasan dan pikiran terbuka, ‘bukanlah sebuah partai yang demokratis, paling tidak bukan dalam artian yang biasanya dilekatan pada kata itu. Partai kita merupakan sebuah partai yang tersentralisir, baik secara nasional maupun internasional. Dalam medan internasional, partai kita tak lebih dari sebuah cabang dari sebuah partai yang lebih besar, yaitu partai dunia.’ Tugas pokok dari partai ialah menjaga disiplin baja dengan jalan berjuang melawan ‘benturan yang terus berlangsung di antara faksi, di antara tendensi-tendensi, dan seringkali di antara klik-klik personal’. Di sisi lain, partai tidak boleh jatuh ke dalam bahaya yang sebaliknya, yaitu sentralisasi yang terlalu dilebih-lebihkan, dijalankan secara mekanis dan birokratis. Namun sayangnya, justru hal inilah yang terjadi: ‘Central Committee, bahkan Komite Eksekutif telah menjadi partai itu sendiri, dan bukannya merepresentasikan dan memimpin partai’. Menurut Gramsci, adalah perlu untuk berjuang melawan konsepsi semacam itu dengan segenap daya karena penerapan secara permanen prinsip tersebut akan menyebabkan partai kehilangan ‘ciri-ciri politiknya yang khas’ dan akan berjalan seperti halnya tentara, persis seperti yang berlangsung dengan partai-partai borjuis. Perubahan semacam itu akan berarti hilangnya secara nyata daya tarik partai dan partai ‘akan menjadi terpisah dari massa’. Bagi partai, keterpisahan dari massa sama artinya dengan bunuh diri.
Bagaimana kita bisa menghindari ini semua? Agar tidak kehilangan kontak dengan massa, ‘adalah perlu bahwa setiap anggota partai menjadi sebuah elemen politik yang aktif, menjadi seorang pemimpin.’ Tentu saja, aktivitas partai tak akan bisa bernilai kecuali jika tersentralisir secara kuat, namun massa masih tetap harus bisa mengontrol, mempengaruhi kebijakan politik partai secara umum dan mempengaruhi arah perjuangan partai. ‘Justru agar partai itu tersentralisir secara kuat, sebuah upaya propaganda dan agitasi yang massif dalam anggota partai dibutuhkan. Adalah perlu bagi partai untuk mendidik para anggotanya dan mengangkat level ideologis mereka secara terorganisir.’ Penggunaan kata sentralisasi oleh Gramsci mungkin bisa menyebabkan kebingungan. Kata itu tampaknya bertentangan dengan sedemikian banyak tema lain yang dikembangkan oleh Gramsci dalam karyanya. Namun, Gramsci sendiri menjelaskan bahwa kata itu hanya memiliki satu arti: yaitu, pada momen apapun, dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi yang paling tanpa harapan dan kacau balau, jika organisasi politik tersentralisir secara tepat, maka apa yang berlangsung ialah berikut: ‘Setiap anggota partai, dalam milieu-nya masing-masing, akan sanggup mengarahkan dirinya sendiri, mengetahui bagaimana menyaring dari realitas elemen-elemen yang dibutuhkannya untuk membangun sebuah kebijakan, sehingga kelas buruh tak akan kehilangan keberaniannya, namun tetap merasa bahwa mereka punya pemimpin dan masih sanggup berjuang.’ Jadi, kesimpulannya adalah bahwa ‘pematangan ideologi massa karenanya merupakan salah satu kondisi wajib untuk meraih kemenangan’.
Apakah partai juga memiliki tugas fundamental untuk menemukan semua sekutu alami yang mungkin di antara partai-partai demokratis dan sosialis lainnya demi persatuan gerakan kelas buruh dan bagi perealisasian tujuan-tujuan politiknya sendiri? Menurut Gramsci, sebuah jawaban tunggal barangkali tak mungkin diajukan karena perbedaan situasi historis dimana aksi politik dijalankan akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda setiap saat dan akan menyediakan jawaban-jawaban yang berbeda, jika bukannya saling bertentangan. Aliansi-aliansi tentu saja tak boleh dilakukan dengan kaum demokrat, perkumpulan kebatinan atau dengan kaum republikan. ‘Tak sulit untuk mengajukan sebuah kritik terhadap perkumpulan-perkumpulan politik tersebut,’ demkian Gramsci mencatat pada bulan Juni 1916 dalam kolomnya, Sotto La Mole. ‘Apa yang harus dilakukan seseorang ialah menunjukkan bahwa isi ekonomi dan politik dari perkumpulan-perkumpulan tersebut pada dasarnya berwatak borjuis, sehingga partai kita seiring dengan waktu tak boleh mempertahankan kontak lebih jauh dengan mereka. Dengan kaum sindikalis dan anarkhis, perbedaannya dengan kita menjadi lebih sulit dan halus lagi. Orang tak bisa mengingkari bahwa mereka terlahir dan mendapatkan energi kehidupannya dari tanah subur perjuangan kelas, dengan kata lain, mereka adalah emanasi dari kaum proletariat. Namun, apakah semua ini cukup untuk mengajukan usulan sebuah fusi dengan mereka? Dan tidakkah hal tersebut malah akan melahirkan kebingungan?’ Pembedaan teoretis selalu penting dan tak pernah boleh dikaburkan atau diabaikan. Ini bukan tentang perkara bentuk atau prinsip, namun perkara subtansi politik. Hanya dalam momen-momen yang luar biasa sajalah fusi antara partai-partai dan gerakan-gerakan politik yang berbeda-beda bisa berlangsung secara alamiah: ‘Sebuah fusi yang semacam ini berlangsung secara alamiah dalam momen aksi dimana terdapat sebuah tujuan langsung yang ingin dicapai, atau sebuah musuh bersama yang harus dikalahkan.’
Untuk memahami ide-ide Gramsci dalam bidang ini, perlu bagi kita untuk memperhatiakn secara dekat periode dimana ide-ide tersebut dirumuskan. Seringkali ‘momen’ tersebut sepenuhnya dikondisikan oleh ‘teori’ Gramscian. Sebuah pembacaan yang seksama terhadap artikel-artikel yang diterbitkan dalam harian Ordine Nuovo pada tahun 1921 dan 1922, yang merupakan dua tahun buruk bagi kelas buruh dan merupakan saat dimana selama dua tahun itu berlangsung upaya yang nyaris tak memberikan harapan untuk mencapai sebuah persatuan yang malah kemudian menjadi kompromi yang tak bisa diperbaiki kembali, memperlihatkan kepada kita adanya gerak bolak-balik antara hasrat untuk ‘bersatu’ dengan garis pemikiran yang sektarian dalam pemikiran Gramsci dan secara implisit, juga dalam pemikiran para pemimpin komunis lainnya. Sebagai misal, dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tanggal 2 Oktober 1921, kita bisa baca: ‘Kami kaum komunis menginginkan harmoni dalam medan serikat buruh. Kami menginginkan harmoni dan kesepahaman bukan hanya di antara kaum komunis dan sosialis dalam tubuh Konfederasi Buruh, namun juga menginginkan harmonis dan kesepahaman di antara semua tendensi politik yang ada di seluruh kelas buruh Italia. Kami kaum komunis bertujuan untuk mencapai sebuah serikat buruh bersatu yang tunggal dan besar yang menyatukan segenap yang tereksploitasi, dan yang bisa menjadi landasan bagi sebuah perjuangan demokratis di kalangan beragam tendensi politik proletarian yang ada yang bisa menerima prinsip kekuasaan mayoritas dan prinsip taat secara sadar dan loyalitas terhadap minoritas pimpinan.’ Dalam artikel lain, yang diterbitkan beberapa minggu kemudian, yaitu 14 Januari 1922, Gramsci menulis secara tegas: ‘Mengenai persoalan front bersatu, kami menjawab dengan mengulang apa yang telah kami tulis dalam kesempatan-kesempatan yang lain.. Sebuah front bersatu berarti satu hal: yaitu mengelompoknya kembali massa buruh yang besar atas dasar sebuah program kongkret aksi langsung dalam medan serikat buruh. Karena itu, satu-satunya arena yang mungkin bagi perjuangan front bersatu saat ini ialah: perjuangan melawan birokrasi Konfederasi Buruh (CGL), perjuangan melawan sumber utama racun-racun yang telah meracuni tubuh kaum proletariat...Membicarakan sebuah front bersatu secara abstrak hanya akan merupakan manifestasi dari omong kosong’.
Dua kutipan di atas bernilai penting karena isinya yang saling kontras dan sifatnya yang antitesis. Namun, keduanya bernilai lebih penting lagi karena keduanya hanya membicarakan tentang aliansi-aliansi taktis, yang sifat temporernya tampak jelas. Inilah yang seringkali digarisbawahi oleh Gramsci sendiri: ‘Dan sementara menunggu, kita melanjutkan perjuangan kita yang merupakan jaminan nyata satu-satunya bagi kelas buruh untuk mencapai tujuan-tujuannya, dan yang menjadikan persatuan dari serikat buruh hanya merupakan sebuah sarana, hanya merupakan sebuah momen transisi’. Fragmen-fragmen tulisan dari artikel-artikel Gramsci ini tak boleh dilepaskan dari konteks polemik politiknya yang (dan memang tak bisa dielakkan) berlangsung sangat kasar dalam kekuatan ide-idenya dan dalam bahasanya yang penuh celaan dan kasar. ‘Adalah perlu untuk menjelaskan kepada massa buruh dan petani di Italia bahwa setiap dukungan yang diberikan kepada mereka oleh para demagog dari partai-partai sosial-demokrat –yaitu partai sosialis dan partai populer- malah turut berperanan bagi terbangunnya kembali organisme yang selama berdekade-dekade merampas kebebasan dan kemakmuran mereka, dan yang menjerembabkan mereka ke dalam jurang perbudakan, penderitaan dan kematian. Perjuangan melawan sosial-demokrasi, perjuangan melawan Partai Sosialis yang berwatak pengkhianat identik dengan perjuangan bagi pembebasan kaum proletariat dari semua perbudakan.’
Gramsci sadar betul akan kekuatan-kekuatan ideologis yang biasanya dikembangkan demi kepentingan kaum borjuis. Dia tahu betul kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemimpin komunis atau sosialis untuk menembus cangkang pandangan-pandangan klise yang selalu bisa disebarluaskan oleh kelas menengah dalam bentuk hegemonik di sekolah-sekolah, dalam kebudayaan, dan dalam pemikiran dari Negara. Kaum borjuis telah membuat rakyat percaya bahwa ide-ide kaum borjuis mengandung nilai yang absolut dan tidak ada kaitannya dengan gerak sejarah dan kelas untuk melindungi hak-hak istimewanya dan kekuasaannya sendiri. ‘Adalah perlu untuk mendidik kaum proletariat’ menjadi refrain (bagian ulangan) dari tulisan-tulisan awal Gramsci. Namun, ini saja belum cukup. Agar kelas buruh menjadi betul-betul siap bagi perebutan kekuasaan, adalah perlu bagi ‘sirene-sirene kematian’ untuk disumbat sehingga tak lagi bisa bersuara dan menimbulkan bahaya. ‘Sebelum kaum proletariat bisa meliputi seluruh rakyat, dan menjadi imun dari segala racun, kaum proletariat harus paling tidak melemparkan jaring-jaring kontrolnya atas masyarakat borjuis agar bisa membatasi gerak masyarakat borjuis.’ Di sisi lain, perebutan kekuasaan bisa terjadi dalam berbagai cara yang tak terbatas dan tak terduga. Gramsci telah menyatakan hal ini dengan sepenuh tenaga dalam pernyataannya yang paradoks ketika dia menyebut revolusi Bolsyewik sebagai sebuah revolusi yang dijalankan melawan Marx dan melawan teori-teori Marx. Perebutan kekuasaan bisa terjadi dalam cara-cara yang ‘filolog Marxis’ sendiri tak akan sanggup bahkan untuk memahami dan menjalankannya sendiri, apalagi meramalkan. Karena ‘sejarah kongkret tidak menerima hipotesis-hipotesis mengenai gerak perkembangan kejadian-kejadian selain sebagai indikasi-indikasi yang bisa berguna sebagai sebuah panduan tentatif bagi aksi praktis, dan kaum revolusioner mengamati sejarah yang kongkret ini, bukan sebagai permainan logika partai, maka mereka mendasarkan diri pada dialektika dari kekuatan-kekuatan ekonomi yang kongkret, bukan pada harapan-harapan abstrak dan rasa takut ala para kacung’. Adalah perlu, kata Gramsci, untuk menggoncangkan skema-skema yang telah terbentuk sebelumnya dan beradaptasi dengan variabilitas dan kompleksitas realitas yang ada.
Pemilu merepresentasikan sebuah momen penting, sebuah ujian penting bagi kelas buruh, yang karena masih belum memegang kekuasaan, dipaksa untuk mengembangkan dan berjuang dalam sebuah Negara borjuis. Dalam artikel-artikel Gramsci, ada banyak hasil pengamatan yang tajam mengenai hal ini, baik dalam artikel pada bulan November 1919 (pada saat pemilu di bawah pemerintahan Nitti yang menerapkan sistem representasi proporsional untuk pertama kalinya) dan pada musim semi tahun 1921 (pemilu dilaksanakan oleh pemerintahan Giolitti setelah dibubarkannya Pemerintahannya yang lama). Pada tahun 1919, Gramsci masih menjadi anggota Partai Sosialis dan menerbitkan tulisan-tulisannya dalam Avanti! serta dalam L’Ordine Nuovo. Seluruh revolusioner proletarian, katanya, tahu betul dengan baik bahwa tujuan perjuangan politik mereka ialah untuk mendirikan sebuah kediktatoran proletariat. Namun, revolusi tak akan ‘bisa dicapai dengan sebuah serangan kejutan’. Kaum reformis dan oportunis benar, bahkan mereka yang menjadi anggota partai, ketika mereka mengatakan bahwa kondisi-kondisi politik di Italia tidak cocok bagi revolusi. Namun, penilaian tersebut akan berubah secara diametris jika orang melangkah dari level Italia ke level internasional. Dengan begitu, orang pastilah akan berkesimpulan bahwa kaum proletariat harus dipersenjatai dan dimatangkan karena momen revolusioner sudah dekat. Memang situasi di Italia, jika dianalisa secara obyektif, sungguh berbeda. Maka, menjadi tugas kaum proletariat Italia untuk berpartisipasi dalam pemilu, ‘bukan karena ilusi demokratis, bukan karena melunaknya kaum reformis’, namun hanya untuk bisa menciptakan kondisi-kondisi yang secara obyektif lebih baik bagi terciptanya kemenangan kelas buruh. Merupakan suatu kebodohan jika kita mengabaikan makna penting yang dimiliki Parlemen dalam kehidupan Negara. Dominasi yang selalu dimiliki oleh kelas menengah dalam Parlemen-lah yang memungkinkan kaum borjuis berhasil mentransformasi ideal-ideal kelas mereka menjadi ideal-ideal yang bernilai absolut bagi seluruh bangsa. ‘Dengan mengirimkan sejumlah besar militan sosialis ke Parlemen akan bisa diakhiri persaingan di antara para politisi ini... Adalah perlu untuk berjuang secara tak kenal lelah mengirimkan sebanyak mungkin militan Partai Sosialis ke Parlemen.’
Gramsci (yang pada saat itu merupakan seorang militan Partai Komunis) mengekspresikan ide-ide yang sama pada musim semi tahun 1921. Pada tanggal 1 April, Central Committee partai mengumumkan bahwa partai akan turut serta dalam pemilu yang akan datang dan mengajukan daftar calon nama dari partai, meski hal ini ditentang keras oleh Bordiga dan seluruh penganut paham abstaintionisme. Pada tanggal 12 April, Gramsci menerbitkan sebuah artikel dengan judul I communisti e le elezioni dalam L’Ordine Nuovo. Pembahasannya yang komprehensif itu diawali dengan sebuah definisi-definisi historis dari kondisi-kondisi yang memungkinkan lahirnya Partai Komunis, dan bagaimana Partai itu merepresentasikan kelas buruh revolusioner yang juga ‘lahir dan terorganisir dalam batas-batas demokrasi borjuis.’ Partai Komunis harus bekerja sedemikian rupa sehingga kelas buruh bisa memutuskan ikatan-ikatan yang menyatukan kelas buruh dengan kelas-kelas lainnya dan dengan begitu tak akan lagi mengusulkan, seperti di masa lalu, untuk berkolaborasi demi ‘perkembangan atau transformasi Negara parlementer birokratis’. Kelas buruh ingin memerintah negeri dan untuk itu, kelas buruh harus mengandalkan diri pada kekuatan-kekuatan riil, kelas buruh harus bisa tahu ‘berapa banyak buruh di Italia yang telah memiliki sebuah kesadaran yang kokoh akan misi historis kelas mereka’. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dalam pemilu, yang telah diputuskan akan diikuti oleh Partai Komunis, meski partai sadar bahwa ‘bagi kaum komunis, pemilu hanyalah satu dari sekian banyak bentuk organisasi politik dari masyarakat modern. Partai sendiri merupakan bentuk organisasi yang superior.’
Dan begitu kekuasaan telah berhasil direbut, Negara Buruh harus didirikan. Apakah Negara Buruh itu? Menurut sebuah definisi yang diambil Gramsci dari Lenin, ‘Negara Buruh ialah Negara borjuis tanpa kaum borjuis’. Negara Buruh adalah sebuah Negara yang, seperti halnya setiap negara borjuis, harus sanggup menyelesaikan problem-problem internal dan eksternalnya, yang pada akhirnya mengadopsi sistem-sistem dan metode-metode yang tak berbeda secara substansial dengan sistem-sistem dan metode-metode Negara borjuis. ‘Sebuah Negara tak akan bisa disusun tanpa sebuah angkatan bersenjata’ atau juga angkatan bersenjata yang pemberani dan kompak tak akan bisa disusun jika tidak ‘sebagai sebuah fungsi yang dibentuk oleh Negara dengan didukung oleh kehendak abadi dan oleh semangat kedisiplinan dan pengorbanan abadi dari seluruh rakyatnya’. Kedisiplinan mengandaikan sebuah hirarki dan kadangkala hirarki tersebut merupakan sebuah minoritas asalkan minoritas tersebut memiliki sebuah kesadaran yang lebih besar akan tugas historisnya dan lebih siap menjalankan tugas itu, dan terbukti menjadi satu-satunya yang sanggup membentuk Negara. Minoritas itu harus sanggup meyakinkan mayoritas seluruh rakyat ‘yang terdiri atas strata kelas menengah yang cair, kelas intelektual, kelas petani’ sehingga kepentingan minoritas adalah sama dengan kepentingan mayoritas. Namun, untuk bisa mencapai tujuan fundamental ini, dibutuhkan kedisiplinan dan hirarki: ‘Hirarki? Ya, hirarki. Kekuasaan buruh adalah fondasi dari hirarki kelas sosial yang baru; para intelektual, kaum petani, semua kelas menengah akan mengakui kelas buruh sebagai sumber kekuasaan Negara, mengakui kelas buruh sebagai kelas yang berkuasa. Saat pemilu untuk memilih anggota-anggota institusi-institusi perwakilan, mereka akan memilih para wakil dari partai kelas buruh, yaitu Partai Komunis.’

Bookmark & Share:

1 komentar:

Unknown 10 April 2022 pukul 23.54  

Mysuru Casino - The HERZAMMAN
Mysuru Casino - https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ The Home of the Best of the nba매니아 Slots! Visit us to Play the best slots and enjoy the best 바카라 table games in gri-go.com our casino. Visit 바카라 사이트 us

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.